Tag: bencana budaya

  • Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Tanggapan Terbuka untuk Awang Harun Satyana

    Oleh Anton Novenanto

    Catatan ini merupakan tanggapan terbuka atas tulisan Awang Harun Satyana berjudul “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo (?)” yang termuat dalam blog-nya (geotrekindonesia.wordpress.com). Tulisan Awang tersebut merupakan tanggapan Awang terhadap keberadaan sebuah buku yang ditulis oleh Henri Nurcahyo (2014) berjudul sama dengan judul tulisan Awang tersebut – hanya saja, judul buku itu tanpa tanda tanya (?) di belakangnya.

    Hal yang dapat dipetik dari tanggapan Awang itu, dan juga tanggapan saya ini, merupakan bukti bahwa pertarungan kuasa atas Kasus Lapindo masih belumlah tuntas. Bisa jadi, penerbitan buku Rekayasa Dongeng tidak mengakhiri pertarungan wacana itu, tapi justru mengawali pertarungan kuasa dalam ruang-ruang reproduksi budaya, yang lebih dahsyat dibandingkan perdebatan di forum ilmiah.

    Tanggapan Awang tentang buku Rekayasa Dongeng, tampaknya, tidak disusun berdasarkan pembacaannya terhadap bukunya langsung, tapi lebih mengacu pada artikel resensi saya terhadap buku tersebut, yang dimuat di korbanlumpur.info, yang merupakan reproduksi dari artikel asli yang dimuat pertama kali di Jawa Pos (Minggu, 5 Januari 2014). Dengan mengutip tiga paragraf dari resensi tersebut, Awang menyimpulkan keberadaan “dua tuduhan” yang sedang ditujukan pada dirinya. Karena Awang menggunakan artikel resensi saya tersebut sebagai acuan utamanya menulis, saya terusik untuk menuliskan tanggapan terbuka untuk beliau terkait tanggapannya tersebut.

    1. “Dua Tuduhan”

    Saya menganggap Awang tidak etis dalam melontarkan “dua tuduhan” dalam tulisannya tersebut. “Dua tuduhan” itu adalah sebagai berikut, seperti dikutip langsung dari tulisan Awang itu:

    1. Sebagai seorang geolog saya harusnya tidak menggunakan dongeng untuk pencarian kebenaran, saya harusnya menggunakan argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah.

    2. Saya telah memanipulasi dongeng Timun Mas untuk memenangkan kasus Lapindo.

    Tidak jelas siapa yang sedang dimaksud Awang telah melontarkan “dua tuduhan” terhadapnya itu. Apakah Henri Nurcahyo, sang penulis buku? Ataukah saya, sang penulis resensi atas buku tersebut, yang menjadi acuan utama Awang dalam menuliskan tanggapannya tersebut?

    Dalam tradisi diskusi ilmiah, tentulah sangat tidak etis apabila seseorang memberikan tanggapan terhadap tulisan orang lain tanpa melakukan pembacaan menyeluruh dan teliti terhadap tulisan yang sedang ditanggapinya tersebut. Saya menyimpulkan bahwa Awang belum/tidak membaca buku Rekayasa Dongeng karya Henri Nurcahyo sebab tulisan itu hanya mengutip artikel resensi saya dan saya tidak menemukan adanya kutipan langsung dari buku tersebut dalam tanggapan Awang tersebut, yang memang betul-betul “menuduh”-nya. Saya lalu khawatir, karena yang diacu adalah artikel saya, Awang sebenarnya sedang menuduh saya melontarkan “dua tuduhan” itu kepadanya.

    Dalam Rekayasa Dongeng, Henri justru menunjukkan rasa “terima kasih”-nya pada Awang karena telah memberinya inspirasi menulis buku Rekayasa Dongeng. Tulis Henri (h. 3):

    Adalah Awang Harun Satyana, geolog yang mempopulerkan dan banyak mengupas dugaan semburan lumpur yang terjadi ratusan tahun yang lalu itu, ketika peristiwa semburan Lumpur Lapindo masih belum lama terjadi. Sebagai pakar geologi dia menggunakan keilmuannya menelusuri sejarah geologi terkait lumpur tersebut. Dengan segala kerendahaan hati, saya banyak mengutip pernyataan Awang dalam penulisan buku ini. Justru berangkat dari kajian yang dilakukan Awang dan kolega pakar geologi lainnya itulah yang membuat saya untuk menyeriusi lagi kaitan antara dongeng Timun Mas dan semburan lumpur, khususnya Lumpur Lapindo sebagai contoh.

    Sekalipun, masih dalam paragraf yang sama, Henri langsung secara tegas melakukan pembedaan antara peristiwa semburan lumpur Lapindo dan dongeng Timun Mas sebagai dua entitas yang pada awalnya tidak saling berhubungan dan oleh karena itu, bagi Henri,

    Membicarakan keduanya dalam satu bahasan yang sama tidak lebih dari upaya untuk memaknai dongeng Timun Mas tersebut yang kebetulan juga menyebut-nyebut mengenai danau lumpur sebagaimana yang terjadi di Porong sekarang ini.

    2. Menjawab tuduhan pertama: “data ilmiah”

    Kadar keilmiahan dongeng sebagai data ilmiah bukanlah perhatian utama Henri dalam Rekayasa Dongeng, hal itu terungkap dalam paragraf pembuka catatan pengantar Ayu Sutarto, Guru Besar Universitas Jember, untuk buku itu.

    Dalam era teknologi informasi ini bentuk-bentuk folklor lisan seperti gosip, desas-desus, kabar burung, kabar angin, ramalan dan othak-athik gathuk “menggabungkan satu gejala atau peristiwa dengan gejala atau peristiwa lain hingga terkesan memiliki keterkaitan” terkesan semakin banyak diminati. Peminatnya bukan hanya terdiri dari orang-orang yang berlatar pendidikan rendah, melainkan juga mereka yang berpendidikan tinggi. (h. 9)

    Ayu melihat bahwa peristiwa bencana, termasuk semburan lumpur Lapindo, selalu disertai dengan kemunculan desas-desus dan, menurutnya,

    Desas-desus lumpur Lapindo semakin bernuansa sejarah ketika seorang geolog, Awang Satya Laksana, menelusuri fenomena semburan lumpur tersebut dari berbagai aspek. (h. 14)

    Saya lalu melihat bahwa “tuduhan” pertama tentang “data ilmiah” disimpulkan dari satu paragraf kutipan langsung artikel resensi saya, yang disampaikan ulang dalam tanggapan Awang tersebut. Paragraf itu berbunyi demikian:

    Tentu saja, pencarian kebenaran dengan mengkaitkan dongeng Timun Mas dengan kondisi ekologis (danau lumpur) di dunia nyata, seperti yang dilakukan Awang, merupakan bukti bahwa dongeng berfungsi sebagai wacana. Usaha semacam ini merupakan ironi karena dilakukan oleh seorang geolog, yang idealnya menyusun argumen berdasarkan data-data yang metodologis, yang ilmiah, bukan dari sebuah dongeng.

    Jika pembaca membaca halaman per halaman Rekayasa Dongeng, maka pembaca tidak akan menemukan dua kalimat yang menyusun paragraf yang dikutip Awang tersebut. Yang artinya, dua kalimat tersebut adalah kalimat saya dan artinya, harus saya akui, kesimpulan tentang “ironi” itu adalah pendapat dari saya. (Dalam 206 halaman Rekayasa Dongeng, Henri menyebut kata “ironi” hanya satu kali (!) (h. 104) dan itu pun konteksnya bukan tentang metodologi atau data ilmiah.)

    Dalam tanggapannya atas “tuduhan” pertama itu, Awang kembali mengingatkan pembaca bahwa dongeng Timun Mas muncul pertama kali dalam kasus Lapindo dalam sebuah makalah yang disampaikannya di sebuah forum ilmiah di Bali (Satyana 2007) (makalah dapat diunduh di sini). Dengan sangat yakin Awang mengklaim bahwa “sumber-sumber sejarah” yang digunakannya dalam menyusun argumen (seperti Kitab Pararaton, Serat Kanda, dan Babad Tanah Jawi) untuk makalahnya itu adalah betul “data ilmiah”. Tentu saja, dalam kesempatan ini, saya tidak hendak memberi kuliah pada pembaca tentang bilamana data dikatakan ilmiah dan bilamana data itu tidak ilmiah. Yang menjadi pertanyaan saya adalah: apakah ketiga sumber yang digunakan oleh Awang tersebut bisa dikategorikan sebagai “sumber sejarah”?

    Di kalangan sejarawan, perdebatan tentang apakah ketiga “kitab” tersebut itu dapat digunakan sebagai sumber penulisan sejarah (historiografi) Jawa sudah lama terjadi. Yang mendasari perdebatan adalah, tentu saja, kitab-kitab itu anonim – tidak jelas siapa yang menulisnya. Hal ini berbeda, misalnya, dengan Nagarakertagama yang jelas-jelas mencantumkan identitas penulisnya, sehingga isinya dapat dipertanggungjawabkan, bukan atas dasar ilmiah, namun atas dasar kredibilitas sang penulisnya, Mpu Prapanca (Riana 2009; Slametmulyana 1979).

    Jika kita masuk ke ranah substansi dari Serat Kanda dan Babad Tanah Jawi, maka kedua kitab itu lebih berfungsi sebagai narasi yang ditulis untuk melegitimasi berdirinya rejim politik (Mataram Islam). Secara singkat, terdapat sebuah kesepakatan – yang tentu saja dapat dipertanyakan kembali – di kalangan para sejarawan bahwa dua kitab itu bukan “sumber sejarah”, melainkan “tafsir terhadap peristiwa-peristiwa bersejarah tertentu” semacam “karya sastra” bahkan beberapa menyebut “ramalan” (Braker 1980; Carey 2008; Day 1978; Drewes 1966; Florida 1995; Pigeaud 1967; Rahardjo 2011; Ras 1987; Ricklefs 1972, 1979). Sementara itu, Kitab Pararaton lebih bercerita tentang proses berdirinya dua kerajaan besar Jawa, Singasari dan Majapahit, beserta silsilah para raja (itu juga sebabnya nama kitab itu adalah Para Raton, dari “para ratu”) dan peristiwa “penting” pada masa dua kerajaan tersebut (Noorduyn 1975; Phalgunadi 1996).

    Bahwa kitab-kitab tersebut adalah bukti kebesaran sejarah Jawa memang tak dapat dipungkiri, namun untuk menggunakannya sebagai “sumber penulisan sejarah” Jawa merupakan hal yang perlu dipikirkan ulang, apalagi sampai mengklaim bahwa data-data yang tersampaikan dalam kitab-kitab tersebut adalah “data ilmiah”. Fakta semacam ini tentunya terkadang menyakitkan bagi orang Jawa, termasuk saya, yang sudah mengganggap bahwa kitab-kitab tersebut adalah betul “sejarah Jawa”. Saya tidak paham apakah Awang mengikuti problematika perdebatan tentang metodologi penulisan sejarah (Jawa) dengan mengacu pada kitab-kitab tersebut dalam menulis makalahnya, dan beberapa tulisan selanjutnya.

    Dalam tulisan lain, masih di dalam blognya, yang berjudul “Gunung-gununglumpur Jawa & Madura: pendekatan geo-histori,” Awang kembali menggunakan secuil informasi dalam Serat Pararaton yang mencantumkan tentang sebuah peristiwa Pagunungan Anyar sebagai sebuah gununglumpur. Tentunya, kesimpulan ini sangat dangkal. Serat Pararaton hanya menyebutkan peristiwa dan tahun kejadiannya. Untuk itu, untuk mengklaim bahwa peristiwa Pagunungan Anyar adalah sebuah gununglumpur diperlukan sumber sejarah dan arkeologis yang lain sebagai pembanding dan tidak bisa hanya dengan mengandalkan informasi sepenggal yang muncul dalam Serat Pararaton.

    Pada titik ini, saya hanya ingin mengatakan bahwa Awang perlu berhati-hati ketika menjumpai suatu sumber, karena sebagai seorang ilmuwan tentunya tidak bisa begitu saja mencomot sebuah pernyataan untuk digunakan menyusun argumen tanpa melakukan verifikasi dan menguji reliabilitasnya. Dalam kasus penggunaan tiga “kitab bersejarah” itu, perlulah diimbangi dengan dokumen/arsip sejarah ataupun bukti-bukti arkeologis sehingga tesis tentang Pagunungan Anyar adalah memang betul sebuah gununglumpur dapat dibuktikan secara ilmiah, bukan – meminjam istilah Ayu Sutarto – berdasarkan “desas-desus”.

    3. Menjawab tuduhan kedua: “manipulasi dongeng”

    Untuk menjawab tuduhan kedua tentang “manipulasi dongeng” Awang mengklaim bahwa dia tidak sedang melakukan manipulasi terhadap dongeng Timun Mas. Argumen yang dilontarkan adalah dongeng Timun Mas itu (yang menyebutkan tentang danau lumpur) diambilnya dari sebuah buku yang diterbitkan tahun 1999 oleh Elex Media Komputindo, penulisnya adalah S. Ashari. Intinya adalah dia tidak sedang mengarang dongeng itu, tapi dongeng itu ditemukan dan diambil dari sebuah buku yang sudah diterbitkan sebelum semburan lumpur Lapindo terjadi.

    Dalam bukunya, Henri menggunakan kata “rekayasa” dan sama sekali tidak menggunakan kata “manipulasi”. Kata “manipulasi” muncul dalam artikel resensi saya dan oleh karena itu saya mengajak kita membuka KBBI untuk mencari definisi kata “manipulasi”. Di situ kita dapat ditemukan definisi kedua dari kata “manipulasi” sebagai berikut:

    upaya kelompok atau perseorangan untuk memengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Dari definisi tersebut, secara gamblang kita dapat melihat bahwa sebuah usaha menulis paper dalam sebuah forum ilmiah (seperti yang dilakukan Awang) merupakan sebuah usaha melakukan manipulasi perilaku, sikap dan pendapat orang lain (audiens forum itu) terhadap sebuah fenomena (gununglumpur) dengan menggunakan data-data tertentu (dongeng Timun Mas). Buku Ashari, paper Awang, buku Henri, dan tanggapan saya ini merupakan sebuah upaya “manipulasi” – mempengaruhi perilaku, sikap, dan pendapat orang lain.

    Jika pembaca membaca Rekayasa Dongeng, maka pembaca akan menemukan bahwa begitu banyak varian dongeng Timun Mas yang beredar di Jawa Tengah dan di Jawa Timur. Uniknya, tidak semua versi itu mencantumkan keberadaan danau lumpur tempat Buto Ijo mati tenggelam. Pertanyaan kita, mengapa Awang hanya mengangkat dongeng Timun Mas yang “berlumpur”, yang ini berarti mengabaikan keberadaan versi lain dongeng, yang “tidak berlumpur”? Artinya, sekali lagi, publik perlu mempertanyakan kredibilitas keilmiahan paper Awang tersebut, yang seolah-olah tidak melakukan verifikasi data dengan baik, seperti seharusnya proses penulisan sebuah naskah akademik.

    Sampai pada titik ini, saya merasa perlu untuk melontarkan sebuah kritik terhadap kalimat terakhir yang ditulis Awang dalam tanggapannya itu: “Pengejaran ilmu pengetahuan tak ada urusannya dengan politik.” Kalimat itu sangat kontradiktif dengan apa yang ditulis dalam paragraf sebelumnya tentang perjalanan “politik” Awang ke beberapa lembaga negara (seperti, ditulisnya, Polda Jatim, DPD, DPR, DPRD Jatim, Komnas HAM, dan Mahkamah Konstitusi) terkait dengan kasus Lapindo.

    Pengejaran ilmu pengetahuan akan selalu terkait dengan keputusan politik yang akan diambil, dalam kasus Lapindo apakah semburan itu alamiah atau industrial. Betul, Awang tidak terlibat secara langsung dalam mengambil keputusan, namun setidaknya pengetahuan “ilmiah” yang ditawarkannya itu sedikit banyak menjadi pertimbangan bagi pengambilan keputusan tersebut. Artinya, ini lagi-lagi membuktikan posisi politis para ilmuwan itu jauh berbahaya dibandingkan para politis, karena ilmuwan selalu berada di belakang layar pengambilan banyak keputusan politik yang sering kali membahayakan publik.

    4. Pernyataan terbuka

    Dalam paper untuk konferensi di Bali, khususnya dalam bagian tentang kondisi geologi, Awang sepertinya cukup paham bahwa pemboran Sumur Banjar Panji 1 berada pada wilayah kondusif bagi gununglumpur. Pertanyaannya kemudian, mengapa BP Migas (sekarang SKK Migas), tempat Awang bekerja, memberikan izin pemboran di sebuah wilayah dengan kondisi yang rentan semacam itu? Pemberian izin semacam itu sama saja dengan menjerumuskan perusahaan pada sebuah kondisi bahaya, seperti yang ditulis dalam tanggapannya “Sumur Banjarpanji 1 […] adalah korban […], bukan penyebab”.

    Dari seluruh data geologis yang disampaikan Awang – dan juga para geolog lain – wilayah Blok Brantas adalah wilayah yang rentan bagi kelahiran sebuah gununglumpur, hal ini sebenarnya semakin menegaskan bahwa di Blok Brantas (juga di kawasan lain yang berpotensi lahir sebuah gununglumpur) tidak boleh ada lagi aktivitas pemboran. Hal ini dilakukan untuk menghindari “korban-korban” selanjutnya dari gununglumpur, entah itu perusahaan pemboran, warga sekitar, ataupun publik luas.

     

    Heidelberg, 11 Juli 2014

     

    Referensi acuan:

    Braker, L. F. 1980. Dichtung und Wahrheit, some notes on the development of the study of Indonesian historiography. Archipel 20, 35–44.

    Carey, P. 2008. The power of prophecy. Prince Dipanagara and the end of an old order in Java, 1785-1855. Leiden: KITLV Press.

    Day, A. 1978. Babad Kandha, Babad Kraton and variation in modern Javanese literature. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 134, 433–450.

    Drewes, G. 1966. The struggle between Javanism and Islam as illustrated by the Serat Dermagandul. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 122, 309–365.

    Florida, N. 1995. Writing the Past, Inscribing the Future: History as Prophecy in Colonial Java. Durham & London: Duke University Press.

    Noorduyn, J. 1975. The eastern kings of Majapahit. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 131, 479–489.

    Nurcahyo, H. 2014. Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo. Surabaya: Asosiasi Tradisi Lisan.

    Phalgunadi, I. G. P. 1996. The Pararaton: a Study of the Southeast Asian Chronicle. New Delhi: Sundeep Prakashan.

    Pigeaud, T. G. 1967. Literature of Java: Vol I (Synopsis of Javanese Literature 900-1900 A.D.). The Hague: Martinus Nijhoff.

    Rahardjo, S. 2011. Peradaban Jawa: dari Mataram Kuno sampai Majapahit Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu.

    Ras, J. J. 1987. The genesis of the Babad Tanah Jawi; Origin and function of the Javanese court chronicle. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143, 343–356.

    Riana, K. I. 2009. Kakawin Dēśa Warņnana uthawi Nāgara Kŗtāgama. Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

    Ricklefs, M. C. 1972. A consideration of three versions of the “Babad Tanah Djawi,” with exerpts on the fall of Madjapahit. Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London 35, 285–315.

    ––––––– 1979. The evolution of Babad Tanah Jawi texts: In response to Day. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 135, 443–454.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Slametmulyana 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

     

  • Teror Lapindo

    Teror Lapindo

    Oleh: Anton Novenanto (http://novenanto.lecture.ub.ac.id/teror-lapindo/)

    Bagi para peneliti yang mendalami kasus Lapindo –setidaknya saya–, artikel pendek Gregory Forth (“Heads under bridges or in mud. Reflections on a Southeast Asian “diving rumor”, 2009) mungkin sepintas tidak menarik ataupun relevan bagi perkembangan kasus tersebut. Namun, membaca ulang artikel tersebut, saya semakin terbuka dalam melihat sebuah fenomena baru yang saat ini sedang berkembang di Indonesia, yaitu bagaimana kasus Lapindo telah meninggalkan jejak bagi persoalan budaya tidak hanya di Porong, Sidoarjo, namun juga di segala penjuru Indonesia.

    Berburu kepala manusia untuk lumpur Lapindo

    Dalam artikelnya, Forth mengangkat tema rumor yang menyebar dalam masyarakat terkait dengan proyek pembangunan (modernisasi); bahwa dalam setiap pembangunan bangunan modern (jembatan, bendungan, dan, termasuk juga, gereja) membutuhkan kepala manusia, khususnya anak-anak, sebagai tumbal yang ditaruh sebagai pondasi dari struktur bangunan agar kuat dan bertahan lama. Rumor semacam ini, bahwa pembangunan membutuhkan tumbal manusia, menurut catatan Forth, juga menjadi tradisi di Eropa.

    Rumor telah menjadi perhatian Forth sejak lama. Namun, pada musim panas 2008, ketika Forth berkunjung ke Flores, tempatnya melakukan penelitian sejak 1984, dia terkesima dengan kemunculan sebuah rumor yang menyebar di sana tentang kebutuhan kepala anak-anak untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo di Jawa Timur. Jumlah yang dibutuhkan, menurut rumor itu, adalah ribuan dan hal itu menimbulkan ketakutan pada orangtua maupun anak-anak di Flores. Setiap harinya, para orangtua selalu mengawasi anak-anak mereka (sekolah, bermain) agar mereka tidak menjadi sasaran penculikan dan tumbal untuk menutup semburan lumpur Lapindo. Menurut catatan Forth, rumor serupa juga sempat menyebar di Sumba, Bali dan Kalimantan.

    Forth mencatat beberapa perbedaan antara rumor kepala manusia untuk lumpur Lapindo dan rumor kepala manusia untuk proyek pembangunan yang biasa beredar di Flores. Dalam rumor terkait lumpur Lapindo relasi yang muncul adalah bipartit –Jawa dan non-Jawa (Flores)–, sementara dalam rumor pembangunan biasa relasinya adalah tripartit –orang asing (Eropa), orang lokal (Flores), dan pekerja bangunan (biasanya datang dari Jawa). Dalam rumor terkait pembangunan biasa, diceritakan bahwa pelaku penculikan adalah para pekerja proyek pembangunan (yang kebanyakan adalah orang Jawa itu).

    Dalam pandangan Forth, relasi yang terbangun dalam rumor terkait kasus Lapindo yang beredar di Flores itu bukanlah sekadar relasi antara Jawa dan non-Jawa (Flores), namun lebih pada relasi antara mereka dan “negara” (atau “negara yang Jawa-sentris”). Diceritakan tentang adanya sekelompok “ninja” dari Jawa yang sengaja pergi ke Flores untuk mencari anak-anak non-Jawa untuk diambil kepalanya. Menurut rumor itu, kepala anak-anak Jawa tidak lagi efektif untuk dijadikan tumbal menutup semburan itu. Bila dalam rumor perburuan kepala sebelumnya anak-anak itu diculik dulu baru dipotong kepalanya, untuk kasus Lapindo diceritakan bahwa para ninja ini langsung membunuh anak-anak itu dan memotong kepala mereka seketika itu juga. Pada saat yang sama, BPLS juga berusaha menutup semburan dengan “bola-bola beton,” yang, lagi-lagi, menyerupai kepala manusia.

    Rumor dan teror

    Apa relevansi kisah tentang rumor pencarian kepala manusia itu di Flores tersebut dengan perkembangan kasus Lapindo di Indonesia sekarang ini? Belajar dari catatan Forth tersebut, kejadian lumpur Lapindo telah membuat orang Flores melakukan modifikasi atas rumor bahwa kepala manusia tidak hanya berguna dan dibutuhkan demi kelancaran proyek pembangunan (modernisasi), namun juga untuk menghentikan bencana lingkungan – lumpur Lapindo yang disebabkan oleh proyek pembangunan (pertambangan).

    Yang menarik bagi saya, tentu saja, bukanlah kadar kesahihan dari informasi yang inheren dalam rumor tersebut, namun lebih pada bagaimana rumor telah menjadi, apa yang disebut Michel Foucault (1972) sebagai, “wacana” yang menggerakkan dinamika sosial. Sebagai wacana, rumor telah menjadi struktur kuasa yang mengatur tindakan sekelompok manusia (Wolf 1999), dalam kasus ini para orangtua di Flores untuk mengawasi anak-anak mereka dari ancaman para ninja imajiner dari Jawa. Artikel Forth tersebut menunjukkan pada kita bahwa ada persoalan yang hegemonik, laten, dan kultural dari kasus Lapindo, yang bisa jadi lebih serius ketimbang semburan lumpur dan usaha mitigasi terhadapnya. Persoalan itu tidak hanya menyerang para korban ataupun orang yang tinggal di sekitar semburan di Porong, tapi juga menghinggapi bangsa Indonesia.

    Rumor, yang disertai dengan kepanikan, merupakan sebuah manifestasi rasa cemas dari sekelompok masyarakat terhadap sebuah perubahan yang akan terjadi pada mereka (Semedi 2014). Inheren dalam setiap rumor adalah ketidakpastian. Panik, menurut Enrico Quarantelli (1954), adalah perilaku yang menyertai suatu kondisi ketidaktahuan tentang apa yang bakal terjadi itu dan oleh karenanya perilaku macam ini biasanya “non-sosial” (dalam artian, lebih berorientasi pada menyelamatkan diri sendiri) dan “non-rasional” (dalam artian, lebih dilakukan secara spontan). Akan tetapi, nalar reflektif manusia modern telah membuka sebuah horizon tentang resiko-resiko yang inheren dalam setiap tindakan rasional manusia untuk mengatasi ancaman masa depan (Beck 1992). Alih-alih digerakkan oleh kepanikan, dinamika masyarakat semacam ini lebih diwarnai oleh pelbagai macam kecemasan yang muncul akibat mereka mengetahui apa yang bakal terjadi pada hidup mereka, sekalipun pengetahuan itu sifatnya hanya kalkulasi prakiraan semata. Oleh karena itu, kecemasan akan memicu perilaku-perilaku yang sosial (berorientasi pada orang lain), rasional (terukur, terencana, memperhitungkan untung/rugi), dan, dalam banyak kasus, sangat politis (memanipulasi perilaku orang lain).

    Efek Lapindo

    Menurut catatan BPK-RI (2007), kalkulasi ekonomi kerugian setahun pertama akibat semburan lumpur Lapindo telah mencapai angka 30 triliun rupiah. Untuk menangani itu, sampai tahun anggaran 2012 berakhir, BPLS telah menyedot uang APBN sebesar 3,5 triliun rupiah, yang sebagian besar habis untuk mengatasi semburan, merelokasi jalan, dan membeli aset korban “di luar peta.” Jumlah itu belum termasuk uang yang sudah dikeluarkan oleh Lapindo untuk biaya mitigasi awal dan pembayaran aset korban “di dalam peta.” Sampai Desember 2013, menurut catatan yang termuat di website BPLS (bpls.go.id, diakses terakhir 3 Juli 2014), Lapindo sudah menyelesaikan hampir 80 persen dari pembayaran pada korban, dengan nominal sebesar 3,049 triliun rupiah. Di luar itu, Lapindo sudah mengucurkan uang lebih dari 3 triliun rupiah untuk membiayai usaha awal mitigasi semburan lumpur yang dilakukan oleh Timnas PLPS (Lapindo Brantas 2011).

    Bagi warga Sidoarjo, kasus Lapindo telah meninggalkan trauma mendalam, mengingat dampak sosial-ekologi yang ditimbulkan oleh semburan lumpur itu cukup dahsyat. Selain itu, kecemasan warga tekait dengan resiko yang terkandung dalam sebuah gununglumpur (mud-volcano), seperti: tanah ambles dan retak (Abidin et al. 2008), kandungan logam berat dalam lumpur (Juniawan et al. 2012), endapan lumpur di Kanal Porong dan Selat Madura (Karyadi et al. 2012), gas hidrokarbon yang keluar bersamaan dengan semburan lumpur (Nusantara 2010), ataupun tanggul jebol. Semburan yang belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti melahirkan pertanyaan tentang kemungkinan perluasan dampak sosial-ekologis dari lumpur Lapindo.

    Kasus Lapindo, sekalipun diklaim tidak akan mempengaruhi posisi Aburizal Bakrie dan Partai Golkar dalam kancah politik nasional, rupanya cukup signifikan dalam mempengaruhi kegagalan pencalonan Aburizal sebagai calon presiden dari Partai Golkar dalam pemilihan presiden tahun ini (sesuatu yang sudah banyak diprediksikan oleh banyak kalangan). Kasus Lapindo telah menjadi “dosa politik yang tak termaafkan” dari Aburizal, sehingga tidak ada partai politik yang menginginkan koalisi dengan Partai Golkar jika tetap mengajukan ketua umumnya itu untuk maju sebagai kandidat calon presiden. Partai Golkar pun harus masuk dalam koalisi Partai Gerindra untuk mencalonkan pasangan Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa dalam pemilihan presiden tahun ini. Disebutkan, jika pasangan ini memenangkan pemilihan presiden, maka Aburizal akan mendapatkan posisi sebagai “menteri utama” dalam kabinet mereka. Tentu saja, transaksi politik semacam ini juga berarti atribusi “dosa politik” Aburizal terkait kasus Lapindo pada pasangan tersebut.

    Terganjal Lapindo
    Terganjal Lapindo

    Wacana “Lapindo”

    Kasus Lapindo telah memaksa para pejabat pemerintah, dari level kepala desa sampai menteri, dan petinggi Lapindo, untuk berpikir keras dalam menyusun strategi politis untuk saling menyelamatkan diri dari ancaman pidana dan hukum. Salah satu yang paling mengancam adalah, tentu saja, perihal ijin dan pemboran non-prosedural Sumur Banjar Panji 1. Berdasarkan catatan tim dari BPK-RI, ijin pemboran Sumur Banjar Panji 1 telah melanggar beberapa aturan hukum tentang pertambangan dan juga peraturan daerah tentang tata ruang Kabupaten Sidoarjo, serta proses pemboran sumur tersebut dilakukan tanpa pengawasan ketat dari badan pemerintah manapun, khususnya BP Migas. Hal ini tentu saja kontradiktif dengan pernyataan seorang geolog BP Migas yang mengakui bahwa Blok Brantas merupakan salah satu tempat yang potensial bagi lahirnya sebuah gununglumpur (Satyana 2007); alih-alih mengawasi ketat proses pemboran di Blok Brantas, BP Migas justru membiarkan proses itu berjalan tanpa kontrol.

    Jika betul demikian, maka sanksi hukum mengancam para pejabat pemerintah tersebut. Jadi, sekalipun pada bulan Agustus 2006 Tim Investigasi –dibentuk oleh Menteri ESDM dan dipimpin oleh Rudi Rubiandini– menyatakan bahwa semburan lumpur dipicu oleh kesalahan pemboran –dan kemudian ini yang diyakini oleh publik sampai sekarang– (Rubiandini 2007; Tim Walhi 2008), para pejabat pemerintah pun mati-matian menjadi garda depan untuk meyakinkan publik bahwa semburan dipicu oleh gempabumi.

    Perubahan sikap pemerintah semacam itu dan pengingkaran terhadap kecelakaan industrial justru memancing resistensi keras dari publik. Wacana bahwa lumpur Lapindo adalah bencana industri bukannya tambah surut dan hilang, namun justru semakin kuat dan meluas. Imajinasi kehancuran yang melekat dalam lumpur Lapindo – lagi-lagi, terima kasih pada media massa dan teknologi informasi – telah menyebar luas tidak hanya di seputaran Porong, tapi juga sampai ke seluruh penjuru tanah air dan telah suatu teror tersendiri bagi warga yang tinggal berdampingan dengan kegiatan pertambangan.

    Di Sidoarjo, hal itu termanifestasikan dalam penolakan warga setempat terhadap aktivitas pemboran sumur baru oleh Lapindo di Kalidawir, yang masih merupakan areal Blok Brantas (ARA 2012). Bahkan, Bupati Sidoarjo Saiful Illah sempat menyatakan untuk tidak akan mengeluarkan izin pemboran baru pada Lapindo di wilayahnya selama pembayaran pada korban Lapindo masih belum tuntas (Sumedi 2013). Reaksi juga muncul di tempat lain. Di Jombang, warga menolak rencana Exxon Mobile melakukan eksplorasi di Blok Gunting (Praditya 2013). Dari Bandulan, Kabupaten Semarang, datang kabar tentang rencana eksplorasi panas bumi yang mendapat penolakan dari warga setempat (Munir 2014). Di Samarinda, warga mempertanyakan semburan lumpur yang terjadi di ladang minyak perusahaan asal Prancis, Total, di Blok Mahakam (Kaltim Pos, 16 November 2013).

    Reaksi-reaksi tersebut terkait erat dengan kekhawatiran warga bahwa peristiwa semacam lumpur Lapindo di Porong juga akan melanda mereka. Selain itu, resistensi warga lokal terhadap kegiatan pertambangan juga semakin meningkat di beberapa tempat di Indonesia, seperti di Rembang, di Blora, di Urutsewu, di Mataram, di Flores, dan masih banyak yang lain. Pada saat yang sama, sekelompok organisasi non-pemerintahan menjadikan hari semburan pertama lumpur Lapindo, 29 Mei, sebagai Hari Anti-Tambang (Hantam). Setiap tahunnya, solidaritas masyarakat sipil terhadap korban Lapindo di pelbagai kota telah bertransformasi menjadi gerakan menolak aktivitas pertambangan.

    Selama ini, para korban telah menjadikan tanggal 29 Mei 2006 (hari menyemburnya lumpur Lapindo) sebagai waktu sosial dan sakral dengan menggelar kegiatan-kegiatan komemoratif yang dipusatkan pada “29 Mei” setiap tahunnya. Uniknya, mereka tidak sekadar mengidentifikasi diri sebagai korban bencana lingkungan (semburan lumpur), tapi juga sebagai korban tragedi politik manusia –ketidaktegasan pemerintah dalam menangani dampak turunan dari bencana itu. Di tahun 2013 lalu, misalnya, mereka memasang monumen nisan Tragedi Lumpur Lapindo, yang tertulis:

    Lumpur Lapindo telah mengubur kampung kami.

    Lapindo hanya mengobral janji palsu.

    Negara abai memulihkan kehidupan kami.

    Suara kami tak pernah padam, agar bangsa ini tidak lupa.

    Di tahun 2014 ini, tema yang diangkat dalam rangkaian peringatan semburan adalah “Saatnya tenggelamkan sang raksasa lumpur Lapindo,” yang secara lugas menyerang Aburizal Bakrie dan Partai Golkar yang dipimpinnya.

    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)
    Monumen Tragedi Lumpur Lapindo (Courtesy of Lutfi Amiruddin, 2013)

    Jika rumor pencarian kepala anak di Flores untuk menutup semburan lumpur Lapindo –terlepas benar atau salah– telah memancing reaksi para orangtua, maka imaji kehancuran lingkungan dan ketidakbecusan politik bencana oleh pemerintah telah memicu tindakan masyarakat dalam bersikap terhadap pemerintah dan industri tambang di Indonesia. Rentetan peristiwa tersebut, tentu saja, merupakan bukti bahwa kasus Lapindo telah menjadi sebuah struktur kuasa yang tidak hanya mengatur perilaku masyarakat, tapi juga menteror siapa saja yang tinggal di republik ini.

    Pustaka acuan

    Abidin, H. Z., R. J. Davies, M. A. Kusuma, H. Andreas & T. Deguchi 2008. Subsidence and uplift of Sidoarjo (East Java) due to the eruption of the Lusi mud volcano (2006 – present). Environmental Geology.

    ARA 2012. Warga masih trauma; Lapindo: “well test” bukan pengeboran sumur gas. Kompas, 26 Mei, h. 21.

    Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) 2007. Laporan Pemeriksaan atas Penanganan Semburan Lumpur Panas Sidoarjo. Jakarta: Badan Pemeriksa Keuangan.

    Beck, U. 1992. Risk Society: Towards a New Modernity (trans M. Ritter). London, Newbury Park, New Delhi: Sage Publication.

    Forth, G. 2009. Heads under bridges or in mud. Anthropology Today 25, 3–6.

    Foucault, M. 1972. The Archaeology of Knowledge (trans A. M. S. Smith). New York: Pantheon Books.

    Juniawan, A., B. Rumhayati & B. Ismuyanto 2012. The effect of carbon organic total and salinity on the discharge of heavy metals Pb and Cu in Lapindo mud into the Aloo River.Journal of Pure and Applied Chemistry Research 1, 41–50.

    Karyadi, Soegiarto & A. Harnanto 2012. Pengaliran Lumpur Sidoarjo ke Laut Melalui Kali Porong. Malang: Bayumedia Publishing.

    Lapindo Brantas 2011. Social Impact Report: Sidoarjo Mud Volcano. Jakarta.

    Munir, S. 2014. Eksploitasi geotermal Gedong Songo; Warga dihantui trauma Lapindo. Kompas.com, 3 Juni (available on-line: http://regional.kompas.com/read/2014/06/03/0920383/Ekpsloitasi.Geothermal.Gedong.Songo.Warga.Dihantui.Trauma.Lapindo.).

    Nusantara, B. C. 2010. Empat tahun janji tak pasti. Jurnal Dinamika HAM 10, 105–121.

    Praditya, I. I. 2013. Trauma lumpur Lapindo hambat eksplorasi migas di Jatim. Liputan6.com15 November (available on-line: http://bisnis.liputan6.com/read/747016/trauma-lumpur-lapindo-hambat-eksplorasi-migas-di-jatim?wp.trkn).

    Quarantelli, E. L. 1954. The nature and conditions of panic. The American Journal of Sociology 60, 267–275.

    Rubiandini, R. 2007. Kejadian dan Penanggulangan Semburan Lumpur di Sekitar Sumur Banjarpanji-1 Lapindo Brantas Inc. Bandung.

    Satyana, A. H. 2007. Bencana geologi dalam “Sandhyâkâla” Jenggala dan Majapahit: hipotesis erupsi gununglumpur historis berdasarkan Kitab Pararaton, Serat Kanda, Babad Tanah Jawi; folklor Timun Mas; analogi erupsi LUSI; dan analisis geologi depresi Kendeng, delta Brantas. In The 36th IAGI, The 32th HAGI, and the 29th IATMI Annual Convention and Exhibition. Bali.

    Semedi, P. 2014. Palm oil wealth and rumour panics in West Kalimantan. Forum for Development Studies 1–20 (available on-line: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/08039410.2014.901240).

    Sumedi, D. P. 2013. Pemkab Sidoarjo belum izinkan Lapindo ngebor lagi. Tempo.co, 11 September (available on-line: http://www.tempo.co/read/news/2013/09/11/206512392/Pemkab-Sidoarjo-Belum-Izinkan-Lapindo-Ngebor-Lagi).

    Tim Walhi 2008. Kejadian dan penanggulangan semburan lumpur Lapindo Brantas Inc. In Lapindo: Tragedi Kemanusiaan dan Ekologi (ed) D. Setiawan, 1–37. Jakarta: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia.

    Kaltim Pos, 2013. Total yakin tak seperti Lapindo, 16 November (available on-line: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/41047/total-yakin-tak-seperti-lapindo.html.

    Wolf, E. R. 1999. Envisioning Power: Ideologies of Dominance and Crisis. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press.

  • Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    IMG_20140528_180212Oleh: Henri Nurcahyo

    Sudah delapan tahun lumpur Lapindo menyembur, masih juga belum ada kejelasan penyelesaian persoalan yang menyelimutinya. Semburan lumpur itu bukan hanya sebuah peristiwa geologi semata, namun juga bencana sosial, bencana intelektual dan juga bencana budaya. Lapindo telah menggunakan segala macam cara untuk menciptakan wacana pembenaran bahwa mereka tidak bersalah.

    Celakanya, kalangan ahli geologi sendiri, malah tidak satu suara untuk menegaskan penyebab terjadinya semburan. Apakah ilmu geologi tidak cukup canggih untuk menjelaskan peristiwa eksakta seperti itu? Bahkan organisasi profesi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) sendiri hingga kini tidak pernah punya sikap resmi terkait semburan yang mencelakakan itu. Para ilmuwan berebut mengumbar serangkaian teori dan kepintarannya bersilang pendapat sehingga malah membingungkan masyarakat. Inilah yang disebut Bencana Intelektual.

    Padahal, dalam logika awam, penyebab terjadinya semburan lumpur itu karena Lapindo melakukan penyeboran di situ. Lepas apakah ada pengaruh gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum semburan, lepas dari kesalahan prosedur pengeboran, lumpur tidak akan menyembur kalau Lapindo tidak mengebor di kawasan yang sebetulnya sudah diketahui punya potensi kuat menyemburkan lumpur itu. Proses awal mula penentuan lokasi pengeboran itu sendiri saja sudah sarat dengan rekayasa dan manipulasi.

    Peristiwa semburan lumpur Lapindo ini adalah bencana budaya, karena masyarakat diteror oleh perang wacana untuk menerima logika yang seolah-olah ilmiah. Para guru pasti akan bingung menjawab ketika ditanya muridnya perihal apa yang menyebabkan terjadinya semburan itu. Kebingungan ini akan terus membekas selama puluhan tahun, persis seperti wacana pembenaran pembantaian terhadap (mereka yang dituduh) PKI yang mengendap di kepala rakyat negeri ini selama puluhan tahun, sampai kemudian muncul upaya mencari kebenaran setelah Soeharto runtuh.

    Teror wacana budaya ini juga merambah wilayah dongeng, yang menyebut-nyebut dongeng Timun Mas untuk menguatkan alasan bahwa memang sudah wajar terjadi semburan lumpur di Porong. Sebab, dongeng Timun Mas adalah varian Cerita Panji, sebuah kisah legenda yang berpusat di Daha (Kediri) dan Jenggala (Sidoarjo). Dalam dongeng itu memang disebutkan sang raksasa tenggelam dalam lautan lumpur akibat lemparan terasi (belacan) oleh Timun Mas. Rekayasa ini diperkuat dengan kitab-kitab kuno yang seolah-olah sah sebagai sumber sejarah.

    Banyak orang yang dengan mudah percaya tafsir mainstream terhadap dongeng tersebut. Padahal, sesungguhnya dongeng Timun Mas seperti yang banyak dikenal orang selama ini bukan dongeng Jawa Timur, melainkan Jawa Tengah. Sementara yang berkembang di Jawa Timur sendiri adalah dongeng Timun Mas dalam versi yang lain. Saya menemukan sedikitnya ada tiga versi berbeda mengenai dongeng ini, sebagaimana yang menjadi bahan cerita ludruk dan Wayang Kancil. Dongeng Timun Mas versi Jatim ini memang tidak populer, namun yang jelas dalam versi ini justru sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya lautan lumpur.

    Sebagaimana varian Cerita Panji lainnya, tokoh perempuan selalu identik dengan Dewi Sekartaji, sedangkan tokoh lelaki yang menjadi pahlawan penyelamat si perempuan adalah penyamaran Panji Asmorobangun. Pakem seperti itulah yang juga terdapat dalam dongeng Ande-ande Lumut yang juga merupakan varian Cerita Panji. Disebutkan bahwa Kleting kuning adalah Dewi Sekartaji, sedangkan Panji Asmorobangun menyamar sebagai Ande-ande Lumut.

    Rekayasa dongeng ini, dengan menyejajarkan dongeng Timun Mas dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo, tanpa disadari justru membuahkan blunder tersendiri. Karena dalam dongeng itu tokoh Raksasa dikalahkan oleh gadis desa yang lemah tak berdaya bernama Timun Mas. Lantas, mengapa dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo ini yang tenggelam justru “timun mas” dan bukan raksasanya? Itulah sebabnya para pegiat pembela korban lumpur lantas menguatkan logika ini dengan menjadikannya tema peringatan 8 tahun semburan lumpur Lapindo. Pesan utama dalam dongeng itu malah semakin dipertegas dengan kalimat, “sudah saatnya menenggelamkan raksasa dalam kubangan lumpur Lapindo”.

    Paradigma seperti ini sudah dipakai untuk mendasari peringatan semburan lumpur setahun lalu, dengan membuat ogoh-ogoh berupa raksasa berbaju kuning, kemudian dilemparkan ke kubangan lumpur. Ogoh-ogoh itu masih ada hingga sekarang.

    Dan saat ini Dadang Christanto yang jauh-jauh datang dari Australia semakin mempertegas penderitaan para Timun Mas itu. Mereka divisualkan dengan patung-patung manusia dengan tangan menengadah, membawa sisa-sisa perabotan rumahtangga sebagai harta yang terakhir. Juga para seniman Taring Padi dari Yogyakarta menyajikan puluhan instalasi berupa tangan-tangan yang terbenam, hanya kelihatan bagian lengan dan lima jari tangannya seperti orang tenggelam. Ini juga tangan-tangan Timun Mas yang masih menderita hingga sekarang, masih terombang-ambing oleh perdebatan kaum elitis. Bukan pada tempatnya mereka yang tenggelam, justru si Raksasa itulah yang seharusnya terbenam dalam kubangan laknat ini. Tunggu saja waktunya. (*)

    Henri Nurcahyo, penulis buku “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo”, penerbit Asosiasi Tradisi Lisan.

    Sumber: Jawa Pos, 1 Juni 2014