Tag: bencana sosial

  • Bencana Itu Belum Berakhir

    Bencana Itu Belum Berakhir

    Sembilan tahun setelah erupsi pertama lumpur Lapindo pada 29 Mei 2006, bencana multidimensi itu belum berakhir. Bencana ini tak hanya menenggelamkan ratusan hektar tanah dan bangunan, tetapi juga merusak pranata sosial dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi, herannya pertanggungjawaban negara dan pelaku industri atas bencana ini terbatas pada kerangka jual beli tanah.

    Bencana industri ini dilatari oleh pengeboran PT Lapindo Brantas Inc (PT LBI) di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur yang dimulai pada 8 Maret 2006. Pada 27 Mei 2006, pengeboran itu mencapai kedalaman 9.297 kaki (2.789 meter). Dua hari setelah itu, erupsi pertama terjadi di sumur Banjar Panji 1. Erupsi ini mendesakkan 5.000 meter kubik lumpur panas menyembur dan menggenangi wilayah sekitarnya. Desakan lumpur panas ini terus membesar dan mencapai sekitar 170.000 meter kubik per hari pada Maret 2007.

    Kini, sembilan tahun sesudahnya, tak kurang dari 100.000 meter kubik lumpur panas masih keluar setiap hari dari wilayah bekas pengeboran PT LBI. Bencana lumpur menenggelamkan 12 desa di tiga kecamatan: Porong, Tanggulangin, dan Jabon. Ikut tenggelam di dalamnya 11.241 bangunan dan 362 hektar sawah. Sebanyak 10.641 kepala keluarga (KK) meliputi 39.700 jiwa kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan.

    Lumpur juga menggenangi puluhan pabrik yang menyebabkan ribuan buruh kehilangan pekerjaan. Pemilik pabrik merugi dan harus merelokasi pabriknya. Banyak usaha kecil juga mati. Industri kecil dan menengah di Sentra Industri Kulit Tanggulangin, Sidoarjo, mengalami penurunan omzet penjualan hingga 80 persen dan membuat sekitar 270 pengusaha dan perajin tas dan koper gulung tikar. Hingga kini, sentra industri kulit Tanggulangin belum pulih.

    Di luar itu, dampak bencana lumpur merusak banyak infrastruktur vital skala nasional: jalan KA Surabaya-Malang/Banyuwangi, jalan arteri Porong, pipa PDAM dari Pandaan/Umbulan ke Surabaya, jaringan SUTT 150 dan 70 KV Waru-Porong Bangil, pipa gas Pertamina, kali Porong (kanal DAS Kali Brantas), dan Kali Ketapang (penyedia air irigasi dan tambak), serta memutus Jalan Tol Porong-Gempol sepanjang 6 kilometer.

    Jasa Marga harus memindahkan ruas jalan tol, bergeser sekitar 3 kilometer ke arah barat. Kebutuhan lahan untuk membangun jalur Jalan Tol Porong-Gempol baru seluas 50 hektar dengan total biaya mencapai Rp 800 miliar. Saat ini baru Seksi Kejapanan-Gempol (3,55 km) yang rampung.

    Tak ditangani

    Dampak bencana ini tak sebatas kehancuran fisik bangunan, tanah, fasilitas umum dan sosial, tetapi juga sumber penghidupan serta kondisi lingkungan. Menurut data Greenomics, pada tahun pertama semburan lumpur Lapindo, kerugian ekonomi akibat semburan sekitar Rp 33,2 triliun. Sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kerugian langsung ditaksir mencapai Rp 7,3 triliun dan kerugian tidak langsung Rp 16,5 triliun.

    Di samping itu, kerusakan lingkungan dan gangguan kesehatan masyarakat belum ditangani. Kerusakan paling mengkhawatirkan adalah kualitas tanah, air, dan udara. Kualitas udara dipengaruhi oleh gas berbahaya yang dikeluarkan dari perut bumi. Air tanah di sumur-sumur penduduk yang bermukim di sekitar lokasi semburan banyak yang tidak bisa digunakan lagi. Air sumur berwarna kuning, keruh, dan berbau yang bisa berdampak bahkan sudah terjadi pada kesehatan masyarakat sekitar lumpur.

    Aroma gas dengan kandungan hidrokarbon yang tinggi mengakibatkan banyak warga terdampak menderita sesak napas. Pantauan Walhi di Puskesmas Porong menunjukkan jumlah penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) terus meningkat pasca semburan lumpur. Tahun 2007 terdapat 28.640 kasus. Dua tahun kemudian angkanya melonjak hingga 52.543 kasus.

    Aroma gas masih terus menebar di sekitar kawasan terdampak. Hasil penelitian Walhi pada 2006-2008 menemukan zat polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH), senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik (penyebab kanker), terkandung di dalam air Kali Porong dan lumpur yang menggenangi wilayah tersebut.

    Selain itu, pranata sosial masyarakat ikut hancur. Ikatan sosial yang semula cukup erat berubah bahkan hilang sama sekali. Hal itu tampak kasatmata ketika berlangsung pemberian ganti rugi dari negara ataupun pihak Lapindo. Pola pemberian ganti rugi yang memisahkan korban di Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT mengakibatkan perpecahan warga dan kecemburuan satu sama lain. Sebagian warga menilai telah terjadi praktik diskriminasi terhadap mereka yang notabene sama-sama menjadi korban.

    Di antara warga sendiri muncul kelompok yang kemudian berperan sebagai calo atau makelar untuk mengurus percepatan pemberian ganti rugi. Pola yang umum terjadi adalah para calo dadakan ini mengutip imbalan untuk “jasa” yang mereka berikan. Sejumlah warga menilai hal itu sangat tidak etis karena mengomodifikasikan bencana yang menimpa warga. Hal ini rentan memunculkan konflik antarwarga.

    Jual beli

    Selama sembilan tahun, penanganan dampak bencana industri lumpur Lapindo masih sebatas kerangka jual beli. Melalui peraturan presiden, negara dan Lapindo membeli tanah dan bangunan yang dimiliki para korban. Sayangnya hingga kini, persoalan ganti rugi korban di Peta Area Terdampak (PAT) masih terus muncul.

    Hingga Desember 2014, PT Minarak Lapindo, perusahaan juru bayar PT LBI, hanya mampu mengganti Rp 3,03 triliun dari total ganti rugi PAT sebesar Rp 3,8 triliun. Artinya, masih ada sisa kewajiban Rp 781,7 miliar. Pada Februari 2015, pemerintah memutuskan mengalokasikan dana untuk menalangi yang belum dibayarkan PT Minarak Lapindo. Ada 114 berkas yang hanya menerima 20 persen ganti rugi. Mereka itu yang selama 9 tahun terakhir hidupnya terkatung-katung.

    Mereka yang telah menerima ganti rugi pun tak lepas dirundung masalah. Yang telah mendapatkan ganti rugi dan tinggal di rumah baru pun sangat sulit memperoleh lahan garapan baru. Kehancuran sendi-sendi kehidupan warga Porong merupakan bencana yang tak berkesudahan.

    (MG RETNO SETYOWATI/DWI ERIANTO/LITBANG KOMPAS)

    Sumber: Harian Kompas (30 Mei 2015)

  • Penghancuran Terencana

    Penghancuran Terencana

    Selang beberapa tahun berlalu, terdapat banyak perubahan kondisi di sekitar semburan lumpur Lapindo. Tidak hanya lingkungan fisik, melainkan juga terjadi perubahan sosial dan budaya.

    Setelah masuk dalam skema Perpres, warga harus menjual tanah dan rumahnya. Kondisi ini secara otomatis pula memaksa mereka untuk meninggalkan kampung halaman dan mencari permukiman baru. Sebelum meninggalkan rumah dan tanahnya, biasanya warga menghancurkan bangunannya sebab sisa bangunan itu bisa dimanfaatkan dengan dijual atau dimanfaatkan lagi jika membangun rumah baru.

    Foto-foto ini hanyalah sekelumit cerita mengenai dampak lumpur Lapindo, sebuah bencana teknologi yang menyisakan kehancuran. Desa dan kampung kini menjadi wilayah mati. Desa tak berpenghuni. Sisa puing bangunan rumah yang telah dihancurkan. Kehancuran itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Kehancuran itu terjadi karena telah direncanakan. Inilah beberapa potret penghancuran terencana itu.

    Teks dan foto oleh Lutfi Amiruddin

    Versi PDF unduh di sini.

    “Go Away From Porong”

    Proses pembongkaran rumah di tepi Jalan Raya Porong di seberang tanggul penahan lumpur. Setelah “masuk peta” berdasarkan Perpres 68/2011 dan dibeli pemerintah dengan APBN, tanah dan bangunan yang berada dalam wilayah Kelurahan Siring Barat ini harus dibongkar. Tulisan “Go Away from Porong” terpampang pada salah satu dinding bangunan yang masih tersisa. Judul itu menyiratkan pula bahwa penghuni yang mendiami tanah itu harus pergi meninggalkannya. (Aperture priority, F/8, 1/640sec, ISO 400)

    Puing-Puing

    Ini bukanlah sawah yang sedang diairi, melainkan tanah bekas bangunan yang telah dibongkar. Genangan air berasal dari hujan yang turun pada pagi sebelum foto ini diambil. Dahulu lokasi tersebut merupakan permukiman warga. Namun, demi kelancaran penyelesaian bagi korban lumpur Lapindo melalui skema Perpres, semua warga harus rela tanah dan bangunannya dibeli, termasuk wilayah Kelurahan Siring Barat ini. Setelah tanah dan bangunan dibeli, maka bangunan dibongkar, dan hanya menyisakan puing-puingnya. (Aperture priority, F/8, 1/800 sec, ISO 400)

    Tanggul Protes

    Tanggul penahan lumpur tidak hanya berfungsi untuk menahan lumpur agar tidak meluap, tetapi juga dimanfaatkan oleh warga sebagai tempat memampang spanduk protes. Protes biasanya ditujukan kepada pihak Lapindo yang belum melunasi cicilan jual beli rumah dan tanah berdasarkan Peta Area Terdampak 22 Maret 2007. Protes juga kerap berisi tuntutan pertanggungjawaban Lapindo atas kerusakan lingkungan di wilayah kecamatan Porong dan Jabon, Sidoarjo. Tanggul penahan lumpur bukan sekedar bangunan fisik, melainkan juga arena pertarungan berbagai macam opini. (Aperture priority, 1/8, 1/400 sec, ISO 400)

    Masih Bertahan

    Salah satu rumah di sebelah barat tanggul di Jalan Raya Porong ini masih bertahan. Meskipun sudah miring akibat penurunan tanah, sang pemilik menolak untuk menjualnya. Rumah ini bisa jadi akan menjadi rumah terakhir yang masih berdiri di antara rumah lain yang telah dirobohkan. Memang penyelesaian korban Lapindo dengan cara menjual aset berupa rumah dan tanah dirasakan oleh korban bukanlah cara yang adil. (Manual, f/22, 1/60 sec, ISO 400)

    Kampung Mati

    Dulu, lokasi ini adalah kampung, tempat warga hidup bertetangga. Rumah itu dulu ditempati oleh beberapa keluarga. Di rumah itu pula mereka hidup, membesarkan, dan mendidik anak-anak mereka. Namun, setelah “masuk peta” dan melalui proses jual beli, beberapa bangunan rumah hanya menunggu waktu untuk dihancurkan. Penghuninya pun harus pindah dan mencari permukiman baru. Kini, tidak ada lagi manusia yang mendiaminya. Yang tersisa hanyalah seonggok batu bata yang direkatkan oleh semen menunggu gilirannya untuk dihancurkan. Sebuah musholla pun menunggu untuk dihancurkan. Ruang sosial, tempat interaksi sosial, kini hanya menjadi puing-puing yang tak berguna. (Aperture priority, f/10, 1/400 sec, ISO 400)

    Jangan Dibongkar

    Salah satu dinding rumah warga yang belum dibongkar. Pemilik bangunan belum membongkar dinding rumah ini lantaran pihak Lapindo belum melunasi proses jual beli bangunan dan tanah. Mempertahankan sisa bangunan ini penting karena dapat digunakan sebagai bukti luas bangunan yang harus dibeli oleh pihak Lapindo. Meskipun telah enam tahun berlalu sejak Perpres 14/ 2007 ditetapkan, proses cicilan jual beli tanah antara PT Minarak Lapindo Jaya dengan korban belum juga terlunasi sepenuhnya. (Aperture priority, f/8, 1/100sec, ISO 400)