Tag: cash and resettlement

  • Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Sidoarjo, Tempo.co – Sejumlah korban lumpur Lapindo yang mendapatkan ganti rugi sebuah rumah di perumahan yang dibuat Lapindo di Kahuripan Nirwana Village (KNV), Sidoarjo, mengaku hingga kini belum mendapatkan sertifikat tanah. “Dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli pun belum. Padahal tetangga dan saudara-saudara saya sudah menerima,” kata Bakrie, 40 tahun, warga Desa Kedengbendo, Porong, Rabu, 24 Juni 2015.

    Hal senada diungkapkan Wartik. Sejak mendapatkan rumah pada 2010, dia juga belum mendapatkan sertifikat. “Sertifikat untuk mendapatkan kunci rumah pun baru dikasih setahun kemudian.”

    Suaidi, 59 tahun, warga korban lumpur lainnya, juga bernasib sama. Namun Suaidi lebih beruntung. Ia sudah dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli empat bulan lalu. “Tinggal tunggu waktu keluar sertifikatnya.”

    Bakrie, Watik, dan Suaidi menempati rumah tipe 70 di KNV. Selain rumah tipe 70, korban lumpur Lapindo juga menempati rumah tipe 32 dan 54. Selain belum menerima sertifikat tanah, mereka juga mengaku belum mendapatkan sisa ganti rugi. Menurut Bakrie, Lapindo masih harus membayar Rp 76 juta. Sedangkan Watik dan Suaidi masing-masing kurang Rp 600 juta dan Rp 1,3 miliar.

    Mereka adalah tiga dari ribuan warga korban semburan lumpur Lapindo yang mengikuti skema ganti rugi sistem cash and resettlement. Skema itu berupa pemberian uang muka 20 persen, dan sisanya 80 persen berupa sebuah rumah di KNV.

    Sampai berita ini ditulis, pihak KNV belum bisa diminta keterangan penyebab warga korban lumpur belum menerima sertifikat serta jumlah persis warga yang belum menerima sertifikat. Perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya juga tidak tahu-menahu saat menghadiri sosialisasi pembayaran ganti rugi di Pendapa Delta Wibawa, Kabupaten Sidoarjo, Rabu, 24 Juni 2015. “Bukan bagian saya,” ujarnya.

    NUR HADI

    http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/24/173678019/korban-lumpur-lapindo-belum-terima-sertifikat-tanah

  • Korban Lapindo dan Mandulnya Negara

    Korban lumpur lapindo yang di dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007 kini tengah resah. Kurang lebih 1000 an orang belum menerima uang muka 20 persen. Sisanya sebesar 11 ribu kepala keluarga cemas menuggu ketidakjelasan pembayaran 80 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Hari Selasa, 5 Agustus 2008 yang lalu, kami bersama dengan ribuan korban lumpur melakukan aksi untuk meminta komitmen pemerintah dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menegakkan aturan hukum yang ada. Aturan hukum itu menyangkut pembayaran sisa 80 persen yang harus dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Namun, hasil pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS, dan BPN tak membuah hasil yang menggembirakan. Bupati, BPN, dan BPLS tak secara kongkrit menegakkan aturan itu.

    Sesuai dengan mekanisme hukum yang ada, pada tanggal 2 Mei 2007, menteri sosial selaku wakil ketua dewan pengarah BPLS, bersama dengan Ketua BPLS, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Sidoarjo, Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga mengadakan rapat bersama. Salah satu hasilnya disepakati bahwa tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya dapat di akte jual belikan. Sehingga secara otomatis posisinya setara dengan tanah tanah warga yang bersertifikat.

    Pertemuan ini tentu sangat menggembirakan warga. Harapan besar bahwa tanah tanah warga mendapatkan payung hukum dalam hal pembayaran sisa aset mereka sebesar 80 persen. Apalagi pada tanggal 24 Maret 2007, Badan Pertanahan Nasional membuat surat perintah kepada Badan Pertanahan Kabupaten Sidoarjo mengenai petunjuk pelaksanaan penyelesaian masalah lumpur Sidoarjo. Isi pokok surat itu adalah tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol bisa dilakukan penerbitan akte jual beli. Bahkan disaat PT Minarak Lapindo Jaya melakukan pelunasan pembayaran 80 persen, BPN dapat menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

    Waktu terus berlalu, setahun kemudian, warga telah waktunya mendapatkan sisa pembayaran 80 persen. Sebagian besar warga berharap, mereka dapat segera membeli rumah, karena selama ini mereka hidup dalam rumah kontrakan. Bahkan sebagian diantaranya telah membeli rumah dengan status hutang. Harapannya, hutang itu dapat segera terlunasi disaat mereka mendapatkan pembayaran uang sisanya sebesar 80 persen.

    Alangkah terkejutnya ketika harapan itu coba dirubah. PT Minarak Lapindo Jaya, bersama dengan Ketua Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan Emha Ainun Najib membuat nota kesepahaman bahwa sisa pembayaran 80 persen akan dibayarkan dalam bentuk cash and resettlement (C n R). Pola C n R mekanismenya berupa tanah warga ditukar guling satu banding satu. Sedangkan rumah rumah warga yang telah tenggelam PT Minarak Lapindo Jaya sanggup membayarnya sesuai dengan harga saat warga menerima uang muka 20 persen, yakni sebesar 1,5 juta per meternya.

    Bahkan PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak bersedia membayar secara tunai (cash) bagi tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol. Yang lebih konyol dan memuakkan, beberapa makelar bergentayangan setiap malam. Mereka mengumpulkan warga yang sangat awam mengenai praktik hukum dan prosedur pengurusan aset aset mereka yang telah tenggelam. Para makelar tersebut mengancam kepada warga, aset mereka yang 80 persen tidak akan diuruskan bahkan tidak akan di bayar, jika tidak segera mengumpulkan berkas berkas mereka kepada para makelar.

    Modusnya, para makelar mengumpukan warga pada malam hari selepas sholat isya’. Pada pertemuan itulah warga dibuat cemas, dan takut. Sehingga pada malam hari itu juga warga diminta mengumpulkan berkas untuk mengurus pembayaran sisa 80 persen dalam bentuk C n R.

    Menghadapi kenyataan yang amburadul seperti itu, beberapa warga yang melek secara politik dan hukum menginisiasi dibentuknya Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden) yang menutut sisa pembayaran 80 persen dalam bentuk tunai (cash), baik tanah maupun bangunan. Mereka menolak skema C n R yang dibuat oleh PT MLJ dan GKLL.

    Jika mekanisme C  n R dilakukan maka warga akan mengalami beberapa kerugian:

    1. Warga menderita kerugian tanah yang menjadi aset miliknya. Sebab jika PT Minarak Lapindo Jaya membayar tanah tersebut secara tunai, harganya satu juta per meter perseginya. Sedangkan dengan sisten C n R, PT Minarak Lapindo Jaya mengganti tanah warga dengan tanah, yang pengadaannya tanahnya per meter perseginya paling mahal 300 ribu per meter perseginya.
    2. Lokasinya tanah tempat tukar guling relatif jauh dengan mata pencaharian warga, yang rata rata menjadi buruh pabrik, buruh tambak, dan sektor informal lainnya di sekitar Porong dan Tanggulangin.
    3. Pembayaran 80 persen secara tunai yang semestinya dapat digunakan untuk beli rumah dan modal usaha, dengan model C n R, maka uang tunai yang dimiliki warga semakin berkurang, sebab hanya mendapatkan pembayaran dari rumah mereka yang tenggelam saja.
    4. Jika warga terpaksa harus membangun rumah ditanah hasil relokasi satu banding satu, mereka akan tinggal di dalam komplek perumahan. Suasana hidup didalam perumahan secara kultural dan sosial jelas akan sangat berbeda dengan suasana hidup di kampung pendesaan. Biaya sosial hidup diperumahan akan lebih mahal, sebab air harus beli lewat PDAM atau membeli genset sedotan air, serta biaya biaya lainya, layaknya hidup di dalam perumahan.

    Menghadapi situasi ini, maka Geppres menginginkan agar komitmen pembayaran 80 persen harus tetap dalam bentuk uang tunai. Namun perjuangan ini masih menghadapi jalan buntu, ketika secara sepihak PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar tanah tanah yang bukti kepemilikannya hanya pethok d, letter c, maupun sk gogol. Menghadapi situasi seperti ini, BPN, BPLS, dan Bupati cenderung acuh. Tak ada konsekuensi paksa apapun yang ditujukan kepada PT Minarak Lapindo Jaya dari pemerintah atas sikap itu. Negara telah dikalahkan oleh praktik dagang. Sejarah VOC terulang kembali dalam sejarah Indonesia modern. Mana janji dan pernyataanmu Pak Presiden.

    ”Negara tidak boleh dikalahkan, hukum harus ditegakkan”.

  • Korban Lapindo, Apa Pantas Saya Bawa Pacul?

    Setelah menyaksikan langsung rumah yang disediakan PT Minarak Lapindo Jaya bagi korban Lapindo, Sumiran seperti kebingungan. Niatnya memang sudah bulat menerima rumah itu sebagai ganti rugi. “Tapi saya bingung memilih,” kata lelaki 47 tahun itu. Rumah 54 meter persegi di atas lahan 148 meter itu ia rasa belum cukup untuk tempat main dua anaknya.

    Selain bingung memilih, dia mesti yakin rumah itu cukup layak buat dirinya. Semula dia khawatir apakah pintu dari tripleks itu cukup kuat jika ditabrak anaknya. Begitu pula dinding rumah yang ia selisik satu per satu. Tapi, setelah mencoba pompa air, dia sejenak terdiam. “Alhamdulillah, airnya tidak asin,” katanya.

    Rumah dari Minarak itu terdiri atas tiga kamar tidur dan satu kamar mandi. Berdiri di kawasan seluas 2.000 hektare, rumah itu akan menjadi hunian baru bagi korban Lapindo yang setuju dengan ganti rugi cash and resettlement. Kusen rumah terbuat dari aluminium. Gentingnya terbuat dari beton. “Kalau bocor, kayaknya sulit cari gantinya,” kata Sumiran, yang diiyakan rekannya.

    Bagi Sumiran, rumah di Kahuripan Nirwana Village di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, itu boleh disebut elite. Apalagi jika melongok gerbang perumahan yang berbentuk dua raksasa dari sembilan rangka baja. Nama perumahan ditulis dalam huruf kapital dengan ukuran jumbo. Jalan masuk selebar 10 meter terbagi dua dengan taman apik di bagian tengahnya.

    Menurut Vice President Minarak Andi Darussalam Tabussala, perumahan ini memang didesain dengan konsep regency. Kompleks ini dirancang agar mampu menampung 7.000 rumah bagi korban Lapindo yang tak punya sertifikat tanah dan bangunan. “Sampai sekarang perumahan ini terus dikerjakan,” kata Andi.

    Rumah yang didesain agar tampak elite ini justru membuat Sumiran takut menempati. “Apa pantas saya bawa pacul kalau hidup di sini,” katanya. Maklum, sejak lahir hingga dewasa, dia hidup dalam keluarga petani. Sawah adalah sumber kehidupannya.

    Sumiran berharap Minarak Lapindo Jaya bisa menyediakan area persawahan bagi penghuni Kahuripan Nirwana Village agar warganya bisa tetap bercocok tanam. “Bertani merupakan pekerjaan kami turun-temurun,” katanya. Kalau beralih profesi, tentu Sumiran harus belajar lagi dari nol.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • PT Minarak Paksakan Pola Uang dan Tempat Tinggal

    SURABAYA — Andi Darussalam Tabusalla, Vice President PT Minarak Lapindo Jaya, juru bayar yang ditunjuk PT Lapindo Brantas Inc, menolak permintaan warga korban lumpur yang tidak memiliki sertifikat sebagai kelengkapan berkas kepemilikan aset. Mereka meminta diberi ganti rugi secara tunai (cash and carry). “Kami tetap tidak bisa membeli aset yang nonsertifikat,” katanya kemarin.

    Ia mengatakan, selain berpatokan pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2007, proses jual-beli harus mengikuti kaidah akta jual-beli (AJB). Kepada mereka, ditawarkan konsep uang tunai dan tempat tinggal (cash and resettlement).

    Pernyataan Andi ini sekaligus menjawab tuntutan sekitar 1.000 korban Lapindo yang pada Minggu, 6 Juli lalu, menggelar istigasah menolak konsep cash and resettlement. Warga menuntut percepatan pelunasan cash and carry bagi rumah ataupun tanah mereka yang kini telah tertutup lumpur.

    Warga juga mengatakan kesepakatan yang dibuat antara PT Minarak dan warga-pada saat pembayaran uang muka 20 persen-tidak ada keharusan tentang syarat sertifikat. Karena itu, warga menuntut pembayaran sisa 80 persen segera dilakukan. Warga yang menolak pola cash and resettlement menyebut diri sebagai Gerakan Pendukung Perpres.

    Andi Darussalam mengatakan, jika warga tetap berkeras, tidak ada solusi lain yang bisa ditempuh. “Pola cash and resettlement merupakan solusi yang elegan dan menguntungkan kedua pihak,” katanya.

    Koordinator Gerakan Pendukung Perpres Fathurozi mengatakan jika PT Minarak tetap menolak tuntutan mereka, warga mengancam akan terus melakukan unjuk rasa. “Sesuai perjanjian, September 2008 Minarak sudah harus melunasi, tapi kini tiba-tiba mereka ingkar dan menciptakan konsep cash and resettlement,”katanya sembari menambahkan, jika mereka mengambil konsep tersebut, mereka akan kembali dipersulit oleh Minarak.

    ROHMAN TAUFIK | Koran Tempo

  • Bupati Sidoarjo: “Saya Tidak Tahu Apa itu Cash and Resettlement”

    Sidoarjo, SuaraPorong – Pola Cash and Resettlement (CnR) yang digulirkan oleh Lapindo ternyata tidak dikenal oleh pemerintah. Pasalnya, dalam penyelesaian masalah ganti rugi korban Lapindo, yang dijadikan acuan adalah skema yang ada dalam Peraturan Presiden 14/2007, yaitu skema Cash and Carry (CnC) dengan pola pembayaran 20-80 persen.

    “Saya tidak tahu apa itu Cash and Resettlement,” tegas Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso.

    Hal itu terungkap dalam pertemuan antara perwakilan korban Lapindo dengan Bupati, BPLS dan BPN di pendopo tadi siang. Sesuai dengan mekanisme dan ketentuan yang ada, seharusnya mekanisme pembayaran itu adalah dengan CnC. “Warga sudah memegang kumpulan dokumen yang tepat, ada tanda tangan saya, Pak Mensos, semua pihak, semua lengkap semua komitmen pada penyelesaian menurut Perpres.”

    Bupati menambahkan, seharusnya skema CnC yang sesuai Perpres itu yang dijadikan acuan untuk penyelesaian pembayaran. Tetapi karena Minarak cenderung untuk memilih CnR, Bupati meminta agar untuk warga yang menolak tawaran ini juga harus difasilitasi. Dan karena urusan wilayah di dalam Peta Terdampak adalah tanggung jawab BPLS, Bupati meminta BPLS bersikap tegas dan mendorong penyelesaian masalah ini.

    Terkait dengan proses perumusan skema CnR sendiri, Bupati mengaku tidak pernah dilibatkan dan tidak tahu menahu. Demikian juga pihak terkait lainnya yaitu dari BPLS maupun BPN. Hal ini menimbulkan keraguan di warga tentang bagaimana seandainya Minarak Lapindo Jaya nantinya ternyata mengingkari kesepakatan, tidak akan ada dasar hukum dan tidak ada lembaga pemerintahan yang akan membantu.

    Pendapat senada disampaikan oleh Deputi Sosial Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Soetjahjono Soejitno. Sesuai dengan Perpres, ditegaskan bahwa dalam penyelesaian masalah sosial lumpur Lapindo, BPLS berpegang kepada Perpres. Sedangkan terkait pendapat Lapindo yang dijadikan dasar CnR yaitu tidak bisanya tanah non sertifikat untuk di Akta Jual-Beli (AJB),

    BPLS mengacu pada pendapat BPN selaku lembaga yang berwenang dalam masalah pertanahan. “Kami sami’na wa atho’na”, terang Soejitno.

    Penjelasan Bupati itu kontan mendapat sambutan positif dari warga korban Lumpur Lapindo. Sumitro, korban dari Perumtas, mengaku menghargai kepedulian yang ditunjukkan oleh Bupati terhadap nasib korban. Meski begitu, Sumitro mengingatkan agar Bupati tetap konsisten dan berkomitmen memperjuangkan nasib semua korban Lapindo.

  • “Cash and Resettlement”, Jalan Sesat

    Subagyo SH, Tim Advokasi Posko Bersama Korban Lumpur Lapindo

    Tampaknya jalan yang ditempuh korban lumpur Lapindo untuk mendapatkan pembayaran jual-beli tanah dan bangunan mereka yang telah terkubur bubur lumpur itu harus penuh liku.

    Kilas balik perjuangan warga korban lumpur Lapindo, saya coba ingatkan kembali. Dahulu, warga korban lumpur terwp-content-wp-content dalam wadah yang secara prinsip terbelah dalam dua aliran. Aliran pertama Warga yang setuju skema Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) yaitu jalan penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dan rumah warga korban dengan pembayaran 20 persen di muka dan 80 persen sebelum masa kontrak rumah korban berakhir.

    Mereka kini tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang konon merupakan mayoritas korban lumpur Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007.

    Aliran kedua, warga yang tidak setuju skema Perpres No. 14/2007, mereka meminta pembayaran strict cash (tunai langsung). Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak). Tapi seiring jalan, Pagarrekontrak yang bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru Sidoarjo itu akhirnya setuju dengan skema Perpres No. 14/2007 setelah ditekan melalui ancaman pemutusan air PDAM, listrik dan penghentian jatah makanan. Pada akhir April 2008 kemarin Pagarekontrak setuju dengan skema pembayaran jual-beli 20:80, tapi meminta jaminan jika ternyata PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ingkar janji. Namun, terakhir pimpinan mereka (H. Sunarto) tiba-tiba mengambil keputusan menukik tajam: setuju cash & resettlement yang menimbulkan rasan-rasan para pengikutnya yang takut menyatakan ketidaksetujuan mereka.

    Di luar GKLL dan Pagarrekontrak masih ada ribuan korban lain yang berjuang dalam kelompok-kelompok kecil dan para individu. Bahkan di Pasar Porong Baru saya menemukan adabeberapa orang korban yang mendeklarasikan tekadnya,” Sampai kiamatpun saya tak akan menjual tanah dan rumah saya yang telah terendam!” Ternyata di luar itu juga banyak yang belum mau menjual tanah dan rumah mereka yang terkubur lumpur. Mereka kelak akan menggugat ganti rugi kepada Lapindo. Pilihan ini juga harus dihormati.

    Ada juga warga yang berkasnya ‘diblokir’ oknum aparat desa sebab mereka tidak mau menuruti adanya pungutan 25 persen sehingga BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) tidak berani meneruskan prosesnya. Ada juga sengketa perbedaan tafsir jenis tanah yang menurut dokumennya tanah pekarangan tapi menurut kenyataan separoh rumah dan separoh dibuat tempat menamam kangkung (ditafsir sawah).

    Ada pula warga yang resah sebab ada pengurus desa atau kelurahan atau pengurus kelompok warga yang meminta ‘uang jasa’ 0,5 persen. Ada juga sedikit warga yang ‘berbelanja perhiasan dan kendaraan’ setelah memperoleh pembayaran uang muka 20 persen. Dan lain-lain, kisahnya tidak sesederhana yang diberitakan media, tidak semesra apa yang digambarkan oleh iklan-iklan Lapindo di media.

    Jalan tengah?

    Warga kini dibelit masalah baru, yaitu: MLJ tidak lagi tunduk pada skema Perpres No. 14/2007. MLJ tidak mau membayar cash and carry (C&C) sesuai klausul PIJB dan Perpres No. 14/2007. Alasannya, tanah nonsertifikat (Petok D dan Letter C) tidak dapat di-dibuatkan akte jual beli (di-AJB-kan) karena berbenturan dengan aturan UU No. 5/1960 (UUPA).

    Atas dalih tersebut, maka muncullah skema baru di luar PIJB yang telah ditandatangani MLJ dan korban lumpur Lapindo, yaitu: cash and resettlement (C&R). Skema C&R itu disusun dalam Nota Kesepahaman tanggal 25 Juni 2008 antara MLJ, pengurus GKLL, perwakilan warga dan Emha Ainun Nadjib yang dinyatakan dalam nota tersebut sebagai penggagas pendekatan budaya.

    Dalam skema ini, pembayaran uang muka 20 persen yang telah dilakukan MLJ kepada warga dihibahkan kepada penerimanya. Selanjutnya, MLJ hanya mau membayar harga rumah atau bangunan milik warga yang terendam lumpur. Sedangkan tanahnya tidak dibeli, tapi diganti dengan tanah di tempat lain. Inilah yang dianggap sebagai ‘jalan tengah’ sebagai bentukwin win solution.

    Sesungguhnya, ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 sudah menjadi ‘jalan tengah’ bagi Lapindo Brantas Inc., (putusan Mahkamah Agung RI No. 24 P/HUM/2007) meski belum tentu jalan adil bagi rakyat Indonesia, sebab rakyat melalui APBN harus menanggung biaya pembangunan infrastruktur serta biaya penyelesaian sosial di luar peta terdampak versi pemerintah. Perpres No. 14/2007 itu sendiri sudah tidak taat dengan prinsip absolute liability dalam pertanggungjawaban usaha hulu migas yang seharusnya diformulasikan dalam kontrak kerjasama usaha hulu migas berdasarkan pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).

    Ketika mayoritas korban lumpur Lapindo mau menerima skema pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu maka aturan jual-belinya membentur UU No. 5/1960 (lihat pasal 21). Sebab, mayoritas tanah korban lumpur adalah tanah Hak Milik. Sedangkan MLJ selaku perseroan terbatas (PT) bukan merupakan subyek hukum yang boleh memiliki Hak Milik atas tanah. Seharusnya mekanisme formalnya bukan jual-beli tanah, tapi bisa dengan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi.

    Tapi nasi sudah menjadi bubur. MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres No. 14/2007 (tampak pada catatan tangan di Risalah Pertemuan tanggal 2 Mei 2007 antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, MLJ dan perwakilan 4 desa). Tapi kini MLJ mulai ‘membangkang’ Perpres itu, ingkar dengan klausul C&C dalam PIJB yang disusunnya sendiri. Pebruari 2008 lalu, MLJ meminta syarat: “MLJ akan mau meng-AJB-kan tanah-tanah Petok D dan Letter C, asalkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi persetujuan.” Lalu BPN mengeluarkan Surat BPN tanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Lapindo (yang ditandatangani Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Atas tanah) yang menjamin dapatnya dilaksanakan jual-beli terhadap tanah-tanah Petok D, Letter C, gogol dan yasan.

    Sebelumnya, Kepala BPN Sidoarjo juga menjamin akan menerbitkan sertifikat kepada Lapindo jika seluruh tanah warga korban lumpur sudah dibeli (Radar Sidoarjo, 12/4/2007). Menteri Sosial pun pernah mengatakan bahwa Lapindo tidak bisa tidak membayar, karena itu perintah Perpres No. 14/2007 (Kompas, 4/5/2007). Tetapi nyatanya MLJ bisa ‘memaksakan diri’ untuk mengingkari skema Perpres No. 14/2007 dan PIJB yang telah dikonsepnya sendiri. Bagi Lapindo, hukum itu adalah apa saja keinginannya. Negara sepertinya tunduk kepada Lapindo.

    Jalan sesat

    Silahkan para pihak yang menyetujui cara atau skema C&R untuk menganggapnya sebagai jalan tengah. Tetapi bukan berarti para korban lumpur yang ‘terpaksa’ menerima jalan itu telah diperlakukan adil dan pasti. Saya katakan ‘terpaksa’ sebab jika mereka ditanya jawabannya memang terpaksa, daripada tak memperoleh apa-apa. 

    Skema C&R itu secara hukum menjadi ‘jalan sesat’ sebab melawan aturan Perpres No. 14/2007 yang susah payah melanggar UUPA dan ‘terpaksa’ dilegalisasi dengan putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007. Itulah diskresi hukum yang di tingkat teknis telah disetujui Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga pihak Lapindo telah diberikan jaminan kepastian hukum oleh Presiden, MA dan BPN.

    Tetapi justru hak kepastian hukum para korban lumpur Lapindo dilanggar oleh MLJ seenaknya sendiri. Jika hari ini Lapindo bisa membangkang Perpres No. 14/2007 dan perjanjian (PIJB) yang telah ditandatanginya, apa susahnya baginya untuk kelak mengingkari model-model penyelesaian baru yang sudah terlanjur disetujui dengan ‘keterpaksaan’ warga korban lumpur Lapindo yang tak pernah diberikan pilihan, baik skema C&R dan lain-lainnya yang tak ada payung hukumnya? Bolehkah masyarakat korban lumpur Lapindo juga seenaknya sendiri untuk tidak patuh pada hukum negara?

    Apakah MLJ bisa dijamin tak akan ingkar lagi dan tak akan membuat masalah lagi dengan skema penyelesaian baru yang belum pasti itu? Salahkah para korban yang tidak lagi menaruh kepercayaan kepada MLJ setelah dibohongi?

    Artikel ini tidak memberikan solusi baru, kecuali bahwa seharusnya solusi yang telah disepakati agar dilaksanakan, sebagai cara saling menghormati kedudukan hukum masing-masing pihak. Jika tidak, negara punya wewenang melakukan ‘paksaan pemerintahan’ kepada Lapindo serta MLJ untuk tunduk kepada hukum negara. Jika tidak, berapa kali lagi negara ini dan warga korban lumpur akan diremehkan terus oleh anak-anak kecil dari Grup Bakrie itu?

  • “Cash and Carry” atau Mati!

    “Cash and Carry” atau Mati!

    Jatirejo, korbanlumpur.info – Pada saat media ramai memberitakan tentang betapa warga korban lumpur yang di dalam peta sudah menerima kunci rumah di perumahan Kahuripan Nirwana Villages, ribuan orang lainnya masih terkatung-katung nasibnya. Mereka adalah kelompok yang menolak tawaran cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Warga tetap bersikeras untuk menuntut pembayaran cash and carry. “Cash and Carry atau Mati!” Demikian semboyan Bang Rois, tokoh warga dari Siring, Porong.

    Semangat itu mengemuka dalam pertemuan korban lumpur Lapindo dari kelompok yang menamakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007). Pertemuan yang digelar di Posko GEPPRESS di Desa Jatirejo tadi malam (25/07) itu dihadiri oleh ratusan warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Reno Kenongo dan Kedung Bendo.  Rapat itu bertujuan untuk mensosialisasikan rencana kerja dan tuntutan GEPPRES kepada anggotanya.

    GEPPRES merupakan kelompok pecahan dari kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang lebih dikenal sebagai kelompok binaan Cak Nun. Pada tanggal 24 Juni 2008, GKLL yang awalnya menuntut cash and carry menandatangani nota kesepahaman dengan MLJ untuk menerima cash  and resettlement, disaksikan oleh Bupati, Kepala BPLS dan Cak Nun selaku pembina GKLL. Karena nota kesepahaman itulah kemudian banyak warga yang kecewa yang kemudian membentuk GEPPRES “Sebab kami sudah dikhianati oleh GKLL dan Cak Nun,” tegas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Menurut Musthofa, awalnya GKLL menuntut untuk pembayaran sisa 80% secara cash and carry. “Bahkan warga semuanya disuruh untuk membuat surat pernyataan dan mandat kepada Cak Nun untuk memperjuangkan”, tambah Musthofa. Sebagian besar warga beranggapan bahwa pembayaran 20% yang sudah mereka terima adalah atas jasa Cak Nun. Saat itu, lanjut Musthofa, ada 3.000-an warga yang tergabung dalam GKLL, “karena kami memang ingin sisa pembayaran 80% dibayar secara cash and carry.”

    Alasan warga menuntut cash and carry adalah karena warga tidak akan bisa hidup di perumahan seperti yang ditawarkan Lapindo. “Sebagian besar warga itu petani dan tukang bangunan. Lha bagaimana kami bisa hidup di perumahan? Kami sudah biasa hidup di desa yang orangnya kenal semua. Jelas kami tidak akan kerasan dan tidak akan bisa kerja,” jelas Wito, salah seorang pengurus GEPPRES dari Jatirejo, dengan panjang lebar.

    Lain lagi yang diutarakan Hari Suwandi, koordinator Desa Kedungbendo dalam kepengurusan GEPPRES. Menurut Hari, orang sudah terlanjur berencana untuk membangun rumah atau melakukan berbagai hal lainnya dengan uang 80% yang mestinya mereka terima akhir bulan ini. “Sebagian sudah beli tanah, mbangunnya dengan uang dari Minarak. Ada yang sudah kadung bayar uang muka untuk beli rumah di desa lain. Lha kalau gak jadi seperti ini ya gimana?” terangnya.

    Yang lebih rumit, sebagian besar orang mengaku berhutang dan berjanji untuk melunasi setelah menerima pembayaran 80%. Tetapi karena Minarak menolak membayar secara tunai, tentunya mereka terancam untuk gagal. “Ada itu bahkan yang sudah membayar uang muka untuk naik haji sampai 15 juta. Lha kalau tidak bisa melunasi ini kan bisa hangus” tambah Hari. Karena itu warga menolak skema cash and resettlement dan tetap menginginkan untuk pembayaran cash and carry.

    Dalam pertemuan GEPPRES yang kedua tadi malam, warga membulatkan tekad untuk tetap menuntut hak mereka. Secara hukum, warga yakin bahwa posisi mereka sudah sangat kuat. “Kita ini kan sudah dilindungi dengan Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membayar 20-80 kepada korban. Lha kenapa Peraturan dari Presiden bisa dikalahkan oleh nota kesepahaman GKLL dengan MLJ. Yang memimpin negara ini memangnya siapa?” tegas Musthofa yang disambut tepuk semangat peserta pertemuan yang membludak sampai ke sisi jalan raya.

    Pendapat itu dibenarkan oleh Paring Waluyo, pendamping warga dari Posko Porong. Menurut Paring, hak warga untuk mendapatkan sisa pembayaran sebanyak 80 persen secara cash and carry itu dilindungi paling tidak oleh 4 peraturan hukum. Yang pertama adalah Perpres 14/2007 itu sendiri. Pada pasal 15 dari Perpres menegaskan bahwa Lapindo wajib membeli tanah dan bangunan warga dengan skema 20-80, dimana sisa pembayaran dilakukan satu bulan sebelum masa kontrak habis.

    Yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 24 P/HUM/2007 tanggal 14 Desember 2007 yang merupakan jawaban atas permintaan Uji Materiil Perpres 14/2007. “Putusan MA yang merupakan lembaga tertinggi dalam masalah hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang cara pembayaran yang diatur dalam Perpres, dan menegaskan kewajiban bagi Lapindo untuk menjalankan Perpres bagi warga yang memilih skema ini,” tambah Paring.

    Yang ketiga adalah Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo. “Dalam surat ini disebutkan bahwa tanah Letter C, Pethok D dan SK Gogol, bisa di-akta jual beli-kan. Nah, kalau Minarak bilang bahwa tanah non-sertifikat tidak bisa di AJB-kan, itu kesimpulan sepihak,” terangnya disambut tepuk tangan setuju dari peserta pertemuan.

    Sedangkan yang terakhir adalah risalah rapat tanggal 2 Mei yang ditandatangani Minarak dan Perwakilan warga yang juga disaksikan oleh pejabat terkait (Mensos, Bupati, Kepala BPLS, BPN, dsb) . Pada pertemuan itu juga disepakati bahwa tanah non sertifikat bisa di-AJB-kan. “Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Minarak untuk tidak memenuhi tuntutan warga yang ingin memilih cash and carry,” pungkas Paring.

    Karena itu, GEPPRES menyatakan dengan tekad bulat bahwa mereka tetap akan memperjuangkan untuk menuntut cash and carry atas sisa pembayaran 80%. Setelah 2 tahun menunggu, warga mengaku bahwa mereka tidak mau lagi dibohongi dan dibodohi. “Lha sebentar lagi kontrak rumah sudah habis, kita tidak punya pilihan lain selain hanya menuntut kepada pemerintah. Kami akan bawa ini sampai ke RI-1 yang keputusannya ternyata diselewengkan di bawah oleh aparatnya,” tukas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Warga sendiri mengaku tidak akan mundur untuk menuntut hak yang selama ini sudah diambil oleh Lapindo. “Warga korban lumpur jangan takut, saya yang akan didepan. Kalau aparat mau menangkap, tangkap saja saya. Silahkan, wong saya memperjuangkan rakyat kecil, tetangga saya yang tukang-tukang becak itu. Jangan takut. Pokoknya cash and carry atau mati,” tegas Bang Rois, tokoh dari Siring yang disambut dengan tepukan setuju dari warga korban lumpur Lapindo lainnya.