“Cash and Carry” atau Mati!


Jatirejo, korbanlumpur.info – Pada saat media ramai memberitakan tentang betapa warga korban lumpur yang di dalam peta sudah menerima kunci rumah di perumahan Kahuripan Nirwana Villages, ribuan orang lainnya masih terkatung-katung nasibnya. Mereka adalah kelompok yang menolak tawaran cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Warga tetap bersikeras untuk menuntut pembayaran cash and carry. “Cash and Carry atau Mati!” Demikian semboyan Bang Rois, tokoh warga dari Siring, Porong.

Semangat itu mengemuka dalam pertemuan korban lumpur Lapindo dari kelompok yang menamakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007). Pertemuan yang digelar di Posko GEPPRESS di Desa Jatirejo tadi malam (25/07) itu dihadiri oleh ratusan warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Reno Kenongo dan Kedung Bendo.  Rapat itu bertujuan untuk mensosialisasikan rencana kerja dan tuntutan GEPPRES kepada anggotanya.

GEPPRES merupakan kelompok pecahan dari kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang lebih dikenal sebagai kelompok binaan Cak Nun. Pada tanggal 24 Juni 2008, GKLL yang awalnya menuntut cash and carry menandatangani nota kesepahaman dengan MLJ untuk menerima cash  and resettlement, disaksikan oleh Bupati, Kepala BPLS dan Cak Nun selaku pembina GKLL. Karena nota kesepahaman itulah kemudian banyak warga yang kecewa yang kemudian membentuk GEPPRES “Sebab kami sudah dikhianati oleh GKLL dan Cak Nun,” tegas Musthofa, ketua GEPPRES.

Menurut Musthofa, awalnya GKLL menuntut untuk pembayaran sisa 80% secara cash and carry. “Bahkan warga semuanya disuruh untuk membuat surat pernyataan dan mandat kepada Cak Nun untuk memperjuangkan”, tambah Musthofa. Sebagian besar warga beranggapan bahwa pembayaran 20% yang sudah mereka terima adalah atas jasa Cak Nun. Saat itu, lanjut Musthofa, ada 3.000-an warga yang tergabung dalam GKLL, “karena kami memang ingin sisa pembayaran 80% dibayar secara cash and carry.”

Alasan warga menuntut cash and carry adalah karena warga tidak akan bisa hidup di perumahan seperti yang ditawarkan Lapindo. “Sebagian besar warga itu petani dan tukang bangunan. Lha bagaimana kami bisa hidup di perumahan? Kami sudah biasa hidup di desa yang orangnya kenal semua. Jelas kami tidak akan kerasan dan tidak akan bisa kerja,” jelas Wito, salah seorang pengurus GEPPRES dari Jatirejo, dengan panjang lebar.

Lain lagi yang diutarakan Hari Suwandi, koordinator Desa Kedungbendo dalam kepengurusan GEPPRES. Menurut Hari, orang sudah terlanjur berencana untuk membangun rumah atau melakukan berbagai hal lainnya dengan uang 80% yang mestinya mereka terima akhir bulan ini. “Sebagian sudah beli tanah, mbangunnya dengan uang dari Minarak. Ada yang sudah kadung bayar uang muka untuk beli rumah di desa lain. Lha kalau gak jadi seperti ini ya gimana?” terangnya.

Yang lebih rumit, sebagian besar orang mengaku berhutang dan berjanji untuk melunasi setelah menerima pembayaran 80%. Tetapi karena Minarak menolak membayar secara tunai, tentunya mereka terancam untuk gagal. “Ada itu bahkan yang sudah membayar uang muka untuk naik haji sampai 15 juta. Lha kalau tidak bisa melunasi ini kan bisa hangus” tambah Hari. Karena itu warga menolak skema cash and resettlement dan tetap menginginkan untuk pembayaran cash and carry.

Dalam pertemuan GEPPRES yang kedua tadi malam, warga membulatkan tekad untuk tetap menuntut hak mereka. Secara hukum, warga yakin bahwa posisi mereka sudah sangat kuat. “Kita ini kan sudah dilindungi dengan Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membayar 20-80 kepada korban. Lha kenapa Peraturan dari Presiden bisa dikalahkan oleh nota kesepahaman GKLL dengan MLJ. Yang memimpin negara ini memangnya siapa?” tegas Musthofa yang disambut tepuk semangat peserta pertemuan yang membludak sampai ke sisi jalan raya.

Pendapat itu dibenarkan oleh Paring Waluyo, pendamping warga dari Posko Porong. Menurut Paring, hak warga untuk mendapatkan sisa pembayaran sebanyak 80 persen secara cash and carry itu dilindungi paling tidak oleh 4 peraturan hukum. Yang pertama adalah Perpres 14/2007 itu sendiri. Pada pasal 15 dari Perpres menegaskan bahwa Lapindo wajib membeli tanah dan bangunan warga dengan skema 20-80, dimana sisa pembayaran dilakukan satu bulan sebelum masa kontrak habis.

Yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 24 P/HUM/2007 tanggal 14 Desember 2007 yang merupakan jawaban atas permintaan Uji Materiil Perpres 14/2007. “Putusan MA yang merupakan lembaga tertinggi dalam masalah hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang cara pembayaran yang diatur dalam Perpres, dan menegaskan kewajiban bagi Lapindo untuk menjalankan Perpres bagi warga yang memilih skema ini,” tambah Paring.

Yang ketiga adalah Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo. “Dalam surat ini disebutkan bahwa tanah Letter C, Pethok D dan SK Gogol, bisa di-akta jual beli-kan. Nah, kalau Minarak bilang bahwa tanah non-sertifikat tidak bisa di AJB-kan, itu kesimpulan sepihak,” terangnya disambut tepuk tangan setuju dari peserta pertemuan.

Sedangkan yang terakhir adalah risalah rapat tanggal 2 Mei yang ditandatangani Minarak dan Perwakilan warga yang juga disaksikan oleh pejabat terkait (Mensos, Bupati, Kepala BPLS, BPN, dsb) . Pada pertemuan itu juga disepakati bahwa tanah non sertifikat bisa di-AJB-kan. “Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Minarak untuk tidak memenuhi tuntutan warga yang ingin memilih cash and carry,” pungkas Paring.

Karena itu, GEPPRES menyatakan dengan tekad bulat bahwa mereka tetap akan memperjuangkan untuk menuntut cash and carry atas sisa pembayaran 80%. Setelah 2 tahun menunggu, warga mengaku bahwa mereka tidak mau lagi dibohongi dan dibodohi. “Lha sebentar lagi kontrak rumah sudah habis, kita tidak punya pilihan lain selain hanya menuntut kepada pemerintah. Kami akan bawa ini sampai ke RI-1 yang keputusannya ternyata diselewengkan di bawah oleh aparatnya,” tukas Musthofa, ketua GEPPRES.

Warga sendiri mengaku tidak akan mundur untuk menuntut hak yang selama ini sudah diambil oleh Lapindo. “Warga korban lumpur jangan takut, saya yang akan didepan. Kalau aparat mau menangkap, tangkap saja saya. Silahkan, wong saya memperjuangkan rakyat kecil, tetangga saya yang tukang-tukang becak itu. Jangan takut. Pokoknya cash and carry atau mati,” tegas Bang Rois, tokoh dari Siring yang disambut dengan tepukan setuju dari warga korban lumpur Lapindo lainnya.
Translate »