Tag: dampak ekologis

  • Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana

    Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah yang susah payah Anda bangun dari jerih payah Anda, kemudian ditenggelamkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika rumah tempat Anda membina hubungan dengan keluarga, membesarkan dan mendidik anak, ternyata dalam waktu tertentu harus dihancurkan? Bagaimana perasaan Anda, ketika Anda harus meninggalkan kampung halaman Anda karena kesalahan yang tidak pernah Anda buat sebelumnya?

    Dari pertanyaan semacam itulah sebenarnya, saya ingin menggambarkan bahwa masalah rumah bukanlah melulu berhubungan dengan uang. Rumah adalah kebudayaan. Di dalam rumah terjadi interaksi di antara anggota keluarga. Di rumah berlangsung upaya membesarkan dan mendidik anak. Tetapi celakanya, dalam kasus Lapindo, yang tampil di hadapan kita seolah-olah hanyalah masalah jual beli rumah dan tanah saja. Tidak ada perhitungan bagaimana menyelesaikan masalah hancurnya kebudayaan ini. Di lain pihak, pemberitaan media seolah menggiring masyarakat kepada pemahaman, bahwa kasus Lapindo melulu masalah jual beli rumah dan tanah. Padahal di luar itu semua, ada hal yang lebih penting untuk dibahas, yaitu penghancuran lingkungan sekaligus tatanan sosial-budaya masyarakat secara terencana, yang bahkan berlangsung hingga 9 tahun bencana lumpur Lapindo.

    Penghancuran Ekologi

    Temuan Walhi (2008) menunjukkan bahwa lingkungan yang berada dekat dengan semburan lumpur telah tercemar dan dan mengandung senyawa logam berat polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) yang melebihi ambang batas normal. Senyawa inilah yang dapat memicu sel kangker dalam tubuh. Di samping pula, kandungan unsur lainnya, seperti timbal (Pb), kadmium (Cd), tembaga (Cu), dan kromium (Cr) yang dapat memicu berbagai penyakit. Hasil ini diperkuat oleh penelitian lain yang menunjukkan bahwa terdapat kandungan besi (Fe) pada air tanah di desa sekitar semburan lumpur.

    Pembuangan lumpur ke Kanal Porong ternyata tidak menyelesaikan masalah dan justru menimbulkan masalah baru. Pada warga Desa Kalisogo yang dekat dengan aliran Kanal Porong ditemukan kecenderungan mengalami penyakit tertentu. Warga yang menggunakan air tanah untuk dikonsumsi sehari-hari memiliki kecenderungan beberapa penyakit, seperti diare, mual, muntah, hingga nyeri perut (Putri dan Yudhastuti, 2013). Pembuangan lumpur ke Kanal Porong juga meningkatkan kandungan kadmium (Cd) dan timbal (Pb) pada ekosistem. Hal ini berpengaruh pula pada kondisi ikan yang hidup pada ekosistem tersebut, yang tentu saja tidak aman bila dikonsumsi (Purnomo, 2014).

    Informasi lain menunjukkan bahwa akibat pembuangan lumpur ke Kanal Porong dan Sungai Ketapang membuat ikan tercemar. Ikan di wilayah tambak Desa Penatarsewu misalnya, memiliki kondisi yang berlendir dan bau. Ini membuat warga tidak mau mengkonsumsinya (Dewi Rachmawati, 2013: 86). Penelitian di atas semakin membuktikan bahwa lumpur Lapindo ini memicu resiko ekologis yang semakin mengkhawatirkan.

    Menjadi semakin jelas, bahwa bencana lumpur Lapindo bukan hanya masalah ganti rugi semata. Kerusakan lingkungan menjadi ancaman serius di wilayah ini. Maka, pemulihan kondisi ekologis menjadi sangat relevan untuk diwacanakan.

    Penghancuran Sosial-Budaya

    Dalam kasus Lapindo, kebudayaan masyarakat dari desa-desa yang ditenggelamkan benar-benar dihilangkan dari akarnya. Ada banyak keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka untuk melakukan relokasi. Sebab, tinggal di lokasi yang dekat dengan sumber semburan lumpur bukanlah masalah yang gampang. Anda harus berurusan dengan kondisi lingkungan yang rusak: air yang keruh, udara yang busuk, dan tanah yang beracun.

    Sementara itu, melakukan relokasi juga bukanlah perkara mudah. Masalah pindah rumah bukan hanya perihal berpindah secara fisik-geografis semata. Relokasi adalah proses sosial-budaya. Hal inilah yang tak pernah ada dalam logika para pemangku kepentingan yang menangani kasus Lapindo. Anggapan umum yang beredar hanyalah: “Kalau korban lumpur sudah mendapatkan cicilan uang jual beli aset lalu pindah ke relokasi, masalahnya beres”. Sekali lagi, yang terjadi tidaklah sesederhana itu.

    Bagi mereka yang mengalami sendiri proses pemindahan paksa ini, pindah rumah benar-benar hal yang tidak sederhana. Selain harus mempertimbangkan masalah harga tanah di lokasi yang baru, seseorang harus mempertimbangkan kondisi di lokasi tujuannya: Dengan siapa dia tinggal? Dengan sanak keluarga, tetangga lama, atau dengan tetangga baru? Apakah di rumah barunya dia masih bisa bekerja atau justru jadi pengangguran? Bagaimana dengan sekolah anak-anaknya? Siapa teman-teman mereka? Tak jarang kondisi lokasi desa/kota juga menjadi pertimbangan tersendiri yang memusingkan.

    Dampak dari kasus Lapindo ini bukan semata masalah uang ganti rugi saja, melainkan lebih dari itu, masalah sosial budaya. Kondisi sosial budaya yang telah ada dan melekat pada masyarakat, hancur akibat bencana ini.

    Sebelum mempertimbangkan banyak hal tentang relokasi, seseorang harus benar-benar ikhlas bahwa rumah dan kampung halamannya akan dihancurkan. Agar seseorang dapat secara legal dihitung menjadi “korban” bencana lumpur Lapido, rumah dan tanahnya harus terlebih dahulu masuk dalam Peta Area Terdampak (PAT). Baru setelah itu, dia akan diperlakukan dengan cara tertentu, seperti penghitungan dan pengukuran rumah dan tanah.

    Dengan masuk dalam PAT, sebenarnya seseorang telah merelakan diri sebagian dari hidupnya dihancurkan. Rumah, pekarangan, dan sawah, harus direlakan untuk dijadikan tanggul penahan ataupun kolam lumpur. Dan tentu saja, kehidupan yang ada di dalamnya juga ikut hilang.

    Saya katakan kehidupan sosial dihancurkan karena memang, bagi masyarakat, rumah, pekarangan, dan sawah bukan saja aset yang bernilai ekonomis, melainkan bagian dari kehidupan sosial budaya itu sendiri. Penghancuran ini juga bukan hanya pada produk budaya yang sifatnya artefak saja. Dampak dari kasus Lapindo juga dapat melahirkan rusaknya ikatan sosial.

    Laporan Utomo dan Batubara (2009), misalnya, menunjukkan bahwa warga justru terlibat dalam berbagai macam konflik di antara tetangga sebagai dampak dari bencana ini. Laporan Amiruddin (2012) menemukan bahwa konflik horizontal juga setelah pindah di lokasi resettlement. Sebagai contohnya adalah warga yang tinggal KNV, sebuah pemukiman yang dibangun oleh pihak Lapindo dan dijual kepada warga korban. Ternyata, kasus Lapindo tak hanya menenggelamkan aset saja, melainkan juga memporak-porandakan hubungan sosial di antara warga.

    “Terencana”

    Dari gambaran di atas, saya ingin mengatakan bahwa dari kasus Lapindo ternyata melahirkan penghancuran; dari satu penghancuran melahirkan penghancuran yang lain. Dari penghancuran ekologis, menciptakan penghancuran sosial budaya. Dari penghancuran dan penenggelaman desa, melahirkan penghancuran hubungan sosial antar tetangga. Dari penghancuran tempat tinggal, melahirkan penghancuran pranata sosial di tempat tinggal yang baru. Bermula dari penghancuran di satu tempat dan waktu tertentu, melahirkan penghancuran pada dimensi tempat dan waktu yang lain, dan seterusnya.

    Menurut saya, bentuk-bentuk penghancuran sebagai dampak dari krisis ekologis ini ternyata tidak hadir begitu saja. Dia muncul di tengah relasi manusia dengan lingkungan ekologisnya dan berjalan dalam skema tertentu. Penghancuran ini berjalan secara terencana. Saya katakan terencana karena memang penanganan bencana ini telah mengalami perencanaan yang matang dengan melibatkan banyak jejaring ilmuwan.

    Ada perhitungan-perhitungan dan pertimbangan-pertimbangan tertentu dalam penanganannya, seperti, misalnya, mengapa limbah lumpur ini dialirkan ke Sungai (Kanal) Porong? Mengenai hal ini Harnanto (2011) memiliki jawaban kenapa lumpur harus dialirkan ke Sungai Porong:

    Ada tiga prinsip pengelolaan lumpur yang berhubungan dengan Kali Porong, yakni pembuangan lumpur ke Kali Porong didistribusikan di palung sungai melalui beberapa lokasi di hilir spillway, semakin ke hilir semakin baik; memanfaatkan potensi daya air Kali Porong pada saat musim hujan, yang melimpah dan murah, untuk menghanyutkan lumpur ke laut; dan pengamanan fungsi Kali Porong untuk menjaga kinerja Kali Porong sebagai kanal banjir (floodway) Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. (Harnanto, 2011: 1).

    Sebagai ilmuwan yang bekerja untuk BPLS, tentunya pertimbangan-pertimbangan Hartanto di atas didasarkan pada metode ilmiah, sehingga dari hasil penelitiannya itu lahir pula alasan pembenar atas kebijakan pembuangan lumpur ke Kali Porong, dan bukan usaha untuk menyumbat sumber semburan. Padahal, pembuangan lumpur ke Sungai Porong jelas-jelas berdampak pada kehidupan warga. Karena dampak tersebut, pada akhirnya warga harus bersusah payah untuk bertahan hidup (Dewi Rachmawati, 2013), serta kemunculan penyakit baru (Putri dan Yudhastuti, 2013).

    Perencanaan lain misalnya, dilakukan Turniningtyas Rachmawati, dkk (2011) tentang proses pemukiman kembali. Para ilmuwan ini merumuskan lokasi pemukiman kembali yang sesuai dengan preferensi korban. Sebelumnya, melalui Majalah Solusi (Edisi 06, 31 Desember 2007-7 Januari 2008) pihak Lapindo telah menggiring opini warga agar mau memilih opsi resettlement sebagai pengganti pilihan cash and carry. Ini berarti korban sebenarnya diajak untuk menuruti kemauan pihak Lapindo agar mau ikut dalam skema yang mereka rencanakan.

    Apakah negara absen dalam bencana ini? Negara sama sekali tak pernah absen. Jauh sebelum lumpur menyembur di tengah pemukiman warga, siapa lagi yang memberikan ijin berdirinya perusahaan pengeboran di tengah pemukiman padat penduduk kalau bukan negara, melalui Ditjen Migas dan BP Migas? Ijin yang disampaikan kepada wargapun bukan pendirian perusahaan pengeboran, melainkan usaha peternakan. Dengan demikian, lanjut Novenanto, “kehadiran negara di masa awal kasus Lapindo adalah sebagai otorita politik yang memberikan izin berlangsungnya kegiatan industri berbahaya tanpa kontrol ketat yang potensial memicu lahirnya krisis sosial-ekologis yang lebih luas” (Novenanto, 2015: 46).

    Pun demikian dengan penanganan bencana lumpur dinaungi oleh peraturan presiden. Hingga saati ini saja, telah dikeluarkan enam peraturan; Perpres No. 14/2007, Pepres No. 48/2008, Perpres No. 40/2009, Perpres No. 48/2011, Perpres No. 37/2012, dan Perpres No. 33/2013. Namun yang patut dipertanyakan adalah, peran macam apa yang disandang oleh penyelenggara negara melalui aturan itu? Novenanto berargumen justru melalui peraturan presiden itulah “negara hadir untuk melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya—sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan” (2015: 46). Dengan kata lain, justru melalui peraturan presiden itu, korporasi dapat meraih kekuasaan atas penanganan lumpur Lapindo dengan skema-skemanya, yang pada akhirnya akan melahirkan penghancuran tatanan sosial-budaya dan penghancuran ekologis.

    James C. Scott (1998) pernah mendedahkan dalam bukunya, bahwa melalui proyek-proyek pembangunan yang diusung negara, justru gagal dalam mengayomi masyarakat. Bagi Scott ini disebabkan karena pandangan dan kondisi masyarakat lokal tak pernah diperhatikan. Atas nama efisiensi, maka negara lebih menafikkan kompleksitas masalah kehidupan lainnya. Demikian halnya yang terjadi pada penanganan bencana lumpur Lapindo. Skema-skema yang diciptakan, justru menciptakan malapetaka baru bagi warga, dan melapangkan jalan korporasi. Peraturan presiden adalah mekanisme legal bagi korporasi untuk memisahkan warga dari tanahnya (land exclusion) (Karib, 2012), lalu melakukan pengusiran paksa, dengan memperluas perusakan lingkungan.

    Oleh karena itu, kasus Lapindo adalah bentuk yang sekaligus mampu melahirkan penghancuran yang terencana; melibatkan perencanaan dengan pertimbangan-pertimbangan teknis-akademis dan dinaungi kebijakan negara, demi melapangkan kuasa korporasi.

    Mengapa kita harus “mengingat Lapindo”?

    Penghancuran ini akan terus berlangsung hingga lebih dari 20 tahun ke depan, seiring prediksi ahli bahwa usia semburan lumpur yang mencapai kurun waktu itu pula (Batubara dan Utomo, 2011: 45). Prediksi para ahli ini sepertinya akan menjadi kenyataan karena memang berbagai macam upaya dilakukan, namun belum ada satupun cara yang membuahkan hasil. Tercatat sejak 2006, ada beberapa upaya penutupan semburan, dari cara yang sifatnya saintifik seperti Snubbing Unit method, Well Side Tracking method, Relief Wells method, High Density Chained Balls method, hingga cara yang sifatnya supranatural pernah dilakukan (Batubara dan Utomo, 2011).

    Setelah gagalnya usaha-usaha tersebut, tidak ada lagi upaya penghantian sumber semburan. Sejak saat itu, upaya yang dilakukan Lapindo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) hanya meninggikan tanggul penahan lumpur saja sembari mengaduk-aduk lumpur agar dapat lancar mengalir ke Kanal Porong. Jika memang kondisinya demikian, sampai kapan proses penghancuran terencana ini berlangsung? Lalu, desa-desa dan kehidupan-kehidupan mana yang akan menunggu giliran untuk dihancurkan?

    Pengalaman saya berikut ini mungkin dapat memberikan sedikit ilustrasi:

    Akhir 2007, ketika perjalanan antara Surabaya-Malang, saya pernah menyempatkan diri singgah di sebuah warung makan. Lokasinya tidak jauh dari tanggul penahan lumpur. Waktu itu luas dan tinggi tanggul belum setinggi tahun 2015 sekarang ini.

    Saat itu saya mengobrol dengan seorang warga Kelurahan Gedang, Kecamatan Porong. Saya mengajukan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan sehari-harinya setelah munculnya lumpur Lapindo. Saya bukan wartawan, tetapi entah mengapa dia sangat serius menjawabnya. Hal yang paling saya ingat dari obrolan itu adalah dia (masih) merasa aman dengan kondisi lingkungannya. Perasaan aman disebabkan antara tanggul lumpur dan rumahnya dipisahkan oleh jalan raya Porong. Dia merasa aman meskipun setiap hari mencium bau menyengat, terutama ketika angin bertiup ke arah rumahnya, dan air di rumahnya mulai mengeruh. Dia merasa aman dan masih merasa tenang tinggal di rumahnya tanpa harus bingung mencari lokasi pindah sambil menuntut ganti rugi.

    Namun apa yang terjadi tahun 2013 lalu semuanya bertolak belakang. Kelurahan Gedang masuk dalam Perpres No. 33/2013. Dapat dipastikan seluruh warga yang tempat tinggalnya masuk dalam Peta Area Terdampak harus pindah. Setelah terancam dengan pencemaran air, tanah, dan udara, maka relasi sosial warga ini dimungkinkan akan terancam. Sebab dalam proses ini, mereka harus segera meninggalkan kampung halaman untuk mencari pemukiman baru. Konflik horizontal dan kemungkinan untuk tinggal tercerai-berai antara tetangga terbuka lebar. Seseorang yang semula merasa aman ternyata harus rela terusir dari kampung halamannya.

    Dari ilustrasi di atas patutlah kita bertanya, apakah kita akan selalu merasa aman dengan kondisi lingkungan kita? Jangan-jangan halaman belakang rumah kita juga akan terancam dengan kasus serupa? Apakah kita bersedia kalau tempat tinggal kita diambil alih dan dirusak oleh korporasi? Apakah kita hanya pasrah dan menunggu waktu saja? Dari tulisan ini, saya ingin mengajak anda untuk mengingat, bahwa yang terjadi pada kasus Lapindo bukan hanya masalah pelunasan jual beli aset saja. Saya ingin mengajak anda mengingat bahwa yang terjadi di Sidoarjo ini adalah sebuah tragedi, sebuah pengahancuran entitas sosial, budaya, dan lingkungan yang terencana.

    Dalam editorial Majalah Solusi edisi perdana (19-25 November 2008) tertulis:

    Cerita masa lalu itu sebaiknya kita simpan saja di memori kita sebagai catatan sejarah. Kini yang penting bagaimana membenahi persoalan di seputar semburan lumpur Sidoarjo secara tepat.

    Dari ajakan tersebut kita patut mempertanyakan; untuk membenahi persoalan, kenapa memori masa lalu ini cukup disimpan saja? Mengapa tidak kita buka saja memori-memori ini sebagai pelajaran? Bukankah kita memiliki reputasi buruk mengenai ingatan, mudah lupa dengan peristiwa-peristiwa penting di tanah air? Dengan menyimpan memori, bukankah kita pada akhirnya tidak pernah menuntaskan berbagai macam tragedi masa lalu di negeri ini?

    Maka, kesadaran yang harus kita miliki bersama adalah kita harus mengingat bahwa kasus Lapindo adalah sebuah penghancuran bentuk kehidupan yang terencana. Sebuah proyek penghancuran tata kehidupan manusia dengan lingkungan fisiknya. Logika ini jelas bertentangan dengan logika yang dibangun oleh pihak Lapindo melalui Majalah Solusi tersebut. Logika yang diusung oleh Majalah Solusi hanya akan menguburkan dan akhirnya membusukkan ingatan sosial. Pada akhirnya, masalah sosial dan lingkungan takkan pernah terselesaikan secara tuntas. Dengan menyimpan memori, kita hanya akan menumpuk-numpuk kebohongan; kebohongan satu ditumpuk dengan kebohongan yang lain, dan seterusnya. Bukankah berdirinya perusahaan pengeboran di tengah-tengah pemukiman warga Porong ini didasarkan atas kebohongan? Dari sinilah kita menemukan bahwa “Mengingat Lapindo” menjadi semakin relevan.

    Lutfi Amiruddin, Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya

    Pustaka Acuan

    Amiruddin, Lutfi. 2012. Solidarity of Lapindo Mudflow Victims in Resettlements. Tesis pada Management of Infrastructure and Community Development, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

    Anonim. 2008. Mencari Solusi. Majalah Solusi, Edisi 01 (19-25 November).

    —–. 2008. Columbus. Majalah Solusi, Edisi 06 (31 Desember 2007-7 Januari 2008).

    Utomo, Paring W. dan Bosman Batubara. 2009. Skema Ganti Rugi Terhadap Korban Lumpur Panas Di Sidoarjo (Kajian di Desa Ketapang dan Besuki Timur), Laporan Penelitian. Surabaya.

    Batubara, Bosman dan Paring W. Utomo. 2011. Kronik Lumpur Lapindo, Skandal Bencana Industri Pemboran Migas di Sidoarjo. Yogyakarta: Insist Press.

    Harnanto, Aris. 2011. Peranan Kali Porong Dalam Mengalirkan Lumpur Sidoarjo ke Laut. Badan Pelaksana, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (Bapel-BPLS), Oktober 2011.

    Karib, Fathun. 2012. Programming Disaster: Switching Network, Village, Politics, and Exclusion beyond Lapindo Mudflow. Tesis (tidak diterbitkan), University of Passau, Germany.

    Novenanto, Anton. 2015. “Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya?” Kanal, Vol. XI (Maret 2015).

    Purnomo, Tarzan. 2014. “Cadmium and Lead Content in Aquatic Ecosystem, Brackiswater Ponds and Fish in Areas Affected Lapindo Mud.” Proceeding of International Conference on Research, Implementation and Education of Mathematics and Sciences 2014, Yogyakarta State University, (18-20 May).

    Putri, Tika A. dan Ririh Yudhastuti. 2013. Kandungan Besi (Fe) Pada Air Sumur dan Gangguan Kesehatan Masyarakat di Sepanjang Sungai Porong Desa Tambak Kalisogo Kecamatan Jabon Sidoarjo. Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.

    Rachmawati, Dewi F. 2013. Strategi Survival Petani Tambak Di Tengah Bencana Industri Lumpur Lapindo Di Desa Penatarsewu, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Skripsi (tidak diterbitkan), Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan lmu Politik, Universitas Brawijaya, Malang.

    Rachmawati, Turniningtyas A, dkk. 2011. “Disaster Risk Reduction to Municipal Spatial Plan: A Case Study of Mudflow Disaster in Sidoarjo, Indonesia.” European Journal of Social Sciences, Vol. 23, No. 4.

    Scott, James C. 1998. Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed. New Haven & London: Yale University Press.

    Walhi Jawa Timur. 2008. Logam Berat dan PAH Dalam Air dan Lumpur Lapindo (Riset Awal Walhi Jawa Timur 2007-2008). Sidoarjo: Walhi Jawa Timur.

  • Dampak Pembuangan Lumpur, Petani Tambak Rugi Ratusan Juta

    suarasurabaya.net – Sebanyak 15 perwakilan petani tambak dari Masyarakat Sidoarjo Kelompok Korban Lumpur di Luar Area Peta Terdampak mengadu ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Mereka mengaku mengalami kerugian ratusan juta rupiah, dampak dari pembuangan air bercampur lumpur yang dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (10/12/2014).

    Mereka diterima langsung Ketua dan anggota Panitia Khusus (Pansus) lumpur dalam rapat dengar pendapat di ruang rapat gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Sidoarjo.

    “Pengerjaan pembuangan air lumpur ke aliran sungai Ketapang membuat petampak rugi. Banyak ikan kami mati, sawah juga rusak” kata Basori pada ketua dan anggota Pansus Lumpur, Rabu (10/12/2014).

    Basori mengatakan sungai Ketapang selama ini airnya selalu mengalir ke sejumlah sungai, diantaranya di Desa Penatar Sewu, Desa Sentul, Desa Glagaharum Kecamatan Porong. Nah, sungai-sungai itu juga menjadi sumber air bagi tambak dan sawah yang dikelola warga sekitar

    Para petani petambak mendesak pemerintah memberikan air bersih, sementara BPLS juga dituntut untuk menyediakan tandon air bagi petani tambak.

    “Mau tidak mau tanggul kolam penampungan lumpur lapindo titik 68 dan 73 Desa Kedungbendo Kecamatan harus ditangani dan ditanggul, jangan sampai air lumpur meluber ke tambak dan petani warga sekitar dekat tanggul,” teriak Rohman.

    Sampai berita ini ditampilkan, rapat itu belum menghasilkan solusi bagi petani tambak, terutama mengenai pembahasan pembuangan, penanggulan dan pengerjaan yang dilakukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.(riy/edy)

    Bruriy Susanto

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2014/144540-Dampak-Pembuangan-Lumpur,-Petani-Tambak-Rugi-Ratusan-Juta

  • Kali Porong Penuh Lumpur, Penambang Pasir Kehilangan Pekerjaan

    korbanlumpur.info – Dulu Samian (40 tahun), warga Permisan Jabon, menjadi penambang pasir di kali Porong. Dia harus merelakan pekerjaannya hilang lantaran kali Porong kini dipenuhi lumpur hingga hampir rata dengan dua pinggirnya.

    Jam kerja Samian tak lazim yakni mulai jam 3 dini hari saat kali surut dan Samian bisa mengambil pasir dengan leluasa menggunakan perahu kecil. Tiap hari dia bisa mengumpulkan 12 perahu penuh pasir. Pekerjaannya selesai kalau jam satu siang karena mulai pasang, truk-truk pengusung pasir sudah menunggu hasil kerjanya.

    “Saya biasa dapat delapan puluh ribu per hari,” tutur Samian.

    Menurut catatan Final Draft United Nations Environment Programe yang dirilis Juni 2008: luapan lumpur Lapindo yang luapannya naik terus mulai dari 40 ribu-60 ribu meter kubik  per hari pada awal awal 2007 menjadi 80 ribu meter kubik tiap harinya pada Agustus 2007 dan terus meningkat hingga 150 ribu meter kubik perharinya dan menyebabkan 10.426 rumah dari dua belas desa di tiga kecamatan Sidoarjo tenggelam.

    Luas luapannya hingga 810 hektar dan menghilangkan pekerjaan 1873 karyawan dari 30 pabrik yang tak bisa beroperasi karena terendam lumpur. Karyawan ini agak beruntung karena tercatat resmi dan dapat ganti rugi selama enam bulan sesuai upah minimum daerah.

    Yang paling sial karena tak dapat ganti rugi adalah pemilik usaha rumahan macam, usaha dompet, tas, penambak, petani, buruh bangunan dan penambang pasir yang jumlahnya ribuan orang di tiga kecamatan yang terdampak lumpur.

    Orang-orang ini berusaha sendiri untuk melanjutkan hidupnya dengan mengojek, tukang parkir bahkan banyak yang jadi pengemis.

    Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkesan lambat dan tak tegas dalam menangani kasus ini. Meski sudah mengeluarkan peraturan presiden yang mengatur pertanggungjawaban Lapindo untuk mengurusi lumpur sekaligus korbannya. Namun SBY tak bisa berbuat apa-apa saat Lapindo mangkir dari peraturan itu.

    Banyak yang curiga ketidaktegasan ini disebabkan karena kedekatan hubungan antara SBY dengan Abu Rizal Bakrie, penguasa Bakrie and Brothers (induk Lapindo Brantas)-cum-orang terkaya se Indonesia versi Forbes Asia Desember 2007-cum-pemilik aset $US 5,4 milyar-cum-Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

    Kecurigaan ini makin mengental setelah dua tahun lebih pemerintah tak juga menuntaskan kasus luapan lumpur Lapindo.

    Karena ketidaktegasan ini masyarakat yang kehilangan pekerjaan macam Samian terlantar. Kali Porong tempat dia bekerja sudah dipenuhi lumpur dan ditutup sekarang, tak ada lagi aktivitas penambangan pasir di sana. Samian dan kawan-kawannya dipaksa untuk mencari pekerjaan baru untuk melanjutkan hidupnya.

    Dia menjadi buruh bangunan serabutan kini. Sekarang ini dia lagi ada garapan di daerah Tuyono, Tanggulangin. Penghasilan Samian menurun separuhnya.

    “Sekarang 40 ribu per hari,” tutur Samian. Setelah pekerjaan ini selesai Samian tak tau musti bekerja kemana lagi.[re/mam]

  • Lapindo Silt Feared to Trigger Major Flooding

    Mudflow victims on Wednesday protested the dumping of mud into the Porong River for a second time, saying the buildup of sediment had produced a pungent stench and increased the risk of rainy season flooding along the East Java river.

    SILTING DANGER: Mud siphoned from Lapindo gas mining site hardens and clogs the Porong River in East Java on Wednesday. Local residents have protested the dumping over fears that the four-meter-thick silt will cause the major river to burst its banks in the rainy season.

    The mud mass has reached between two and five meters from the top of the river, visibly spanning 1 kilometer from its point of entry near the defunct Gempol Toll road bridge in Besuki, Jabon district.

    The mud has even reached as far as Pejarakan village, 18 km downstream of the dumping site.

    “People protested the dumping because the sediment has reached a dangerous level. The river water cannot flow and could burst the banks to engulf the residents’ houses,” Kupang village head Sudjarwo said.

    He said villagers had asked the National Sidoarjo Mudflow Mitigation Team (BPLS) to dredge the sediment ahead of seasonal rains to avoid flooding in the area.

    He said if the BPLS refused to remove the clogged mud, the 15 villages would possibly see floods in the rainy season.

    The 15 affected villages are Kedungcangkring, Pejarakan, Dukuhsari, Besuki, Keboguyang, Permisan, Jemirahan, Pangreh, Trompo Asri, Balongtani, Kupang, Kedungrejo, Semambung, Kalisogo and Kedungpandan, all in Jabon district.

    Experts and environmental groups, including the Indonesian Forum for the Environment, have heavily criticized the dumping, saying it could have severe environmental repercussions.

    BPLS spokesman Achmad Zulkarnain claimed the mitigation team had cleared a channel in the river using four floating excavators to increase the water’s flow.

    “We are also concentrating on repairing the main banks which collapsed due to Monday and Tuesday’s rallies. We hope residents do not block the work as it’s for the common interest,” Zulkarnain said.

    Hundreds of mudflow victims shut down a reconstruction site at the Porong mudflow area Monday, demanding mining company Lapindo Brantas Inc. pay the remaining 80 percent compensation owed them as ordered by a presidential instruction.

    Protesters grabbed tools from construction workers, prevented others from operating cranes working the main mudflow banks and stopped supply trucks from entering the site.

    A presidential Instruction No. 14/2007, issued one year after the erupting mud began to submerse villages on May 29, 2006, orders Lapindo to pay the remaining compensation owed residents one month before the end of a two-year house leasing arrangement ends.

    The company, partly owned by the family of Coordinating Minister for People’s Welfare Aburizal Bakrie, has paid out 20 percent of the required compensation to allow mudflow victims to rent houses.

    Indra Harsaputra, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/28/lapindo-silt-feared-trigger-major-flooding.html

  • Santos says has provisions for clean-up bill

    Santos Ltd has rejected suggestions that it is facing a ten-fold cost blow-out in its clean-up of the world’s largest mud volcano in East Java.

    The oil and gas giant dismissed media speculation that it has understated the severtity of the incident, saying “given the conditions at site and current activities being conducted…existing provisions remain an appropriate estimate of its potential liability associated with the incident.”

    Santos was responding to a study, leaked to Fairfax newspapers, which said the only way to mitigate the disaster, resulting from a drilling incident in May 2006, was to transport the mud 14 kilometres to the ocean to create a wetland, estimated to cost between $1.9 billion and $4.6 billion over 25 years.

    The local company’s share of the bill would come to between $355 and $829 million, the report said.

    Santos said “the situation remains dynamic, complex and uncertain, and the company will continue to review the adequacy of the provision in light of developments and available information.”

    Santos owns an 18 per cent non-operating stake in PT Lapindo Brantas, which reported drilling problems a day before the eruption.

    Santos has yet to admit liability and has been accused of downplaying the disaster, which has been said is likely to cost the company 10 times more than it has revealed to the stock market.

    Tim Lindsay, director of the Asian Law Centre at Melbourne University, said most of the public does not understand the magnitude of the problem.

    “If the projections are correct, it will be catastrophic for any company held responsible,” Professor Lindsay told Fairfax.

  • Normalkan Kembali Kali Porong

    korbanlumpur.info  – Kerusakan berat yang terjadi di Kali Porong akibat pembuangan lumpur Lapindo, mengakibatkan kekhawatiran warga Jabon. Hari rabu (10/08) sekitar 60-an warga yang berasal dari desa-desa yang terletak di sepanjang selatan sisi Kali Porong mengadakan aksi demonstrasi untuk menuntut penghentian pembuangan lumpur ke Kali Porong sebelum normalisasi dijalankan. Mereka beranggapan Lapindo dan BPLS tidak peka dengan warga yang ada di sekitar Kali Porong.

    Dengan terus menerus menggelontorkan lumpur ke Kali Porong tanpa diimbangi usaha normalisasi yang maksimal, maka bencana bagi mereka tinggal menunggu waktu. Sekarang yang terlihat bekerja hanya tiga eskavator yang mengaduk-aduk lumpur, jelas tidak seimbang dengan banyaknya lumpur yang terus mengendap di Kali Porong.

    Sudirman Al Rosyad, Kepala Desa Semambung menyatakan bahwa pembuangan ke Kali Porong harus dievaluasi kembali. “Kami tidak ingin peristiwa banjir yang terjadi dulu di Kali Sogo akibat pembuangan lumpur terulang lagi” katanya. Peristiwa melubernya air ke desa-desa disepanjang sungai akibat tidak bisa lancarnya aliran sungai menurutnya karena kinerja Lapindo dan BPLS tidak maksimal menangani kerusakan Kali Porong. “Kalau ini terus dibiarkan, kurang dari satu bulan desa kami juga akan mengalami banjir” sambungnya.

    Aksi yang dimulai sekitar pukul sembilan pagi ini, kemudian ditambah dengan kedatangan massa dari desa Besuki, dan desa Keboguyang. Kedatangan massa ini karena mereka merasa juga akan mengalami dampak akibat pembuangan lumpur ke Kali Porong.

    Setelah sekitar dua jam berdemonstrasi, proses negosiasi mereka sampai pada kesimpulan bahwa mereka harus menemui Bupati Sidoarjo, akhirnya dengan tertib massa membubarkan diri, dan menyatakan akan segera mendatangi Bupati untuk menuntut hal yang sama. “Lapindo dan BPLS harus mengembalikan fungsi Kali Porong” tegas Sudirman lagi. [re]

  • Beringin: Dusun Yang Terpinggirkan

    korbanlumpur.info – Apa yang terjadi terhadap dusun Beringin desa Pamotan sungguh memprihatinkan, sumur-sumur warga telah keluar gelembung-gelembung gas sehingga airnya tidak bisa dipakai lagi, selain itu, semburan api juga bermunculan dibeberapa rumah dan pekarangan warga. dusun Beringin, Pamotan terletak di sebelah barat pusat semburan lumpur Lapindo dan berjarak sekitar 2 km. Sama seperti desa-desa di luar peta area terdampak, kondisi kerusakan lingkungan dan turunnya kualitas kesehatan tidak dilihat sama sekali oleh Pemerintah.

    Kondisi ini sudah mulai sekitar bulan Januari 2008 dan hingga sekarang tidak ada penanganan serius. “Ini sudah sejak Januari, awalnya cuma kecil, sekarang semakin membesar” ujar Semiwati, 56 tahun warga Beringin. Semiwati menuturkan, di rumah kakanya Amani, api sudah keluar di dapur. “Awalnya kita mau nyalain kompor, tiba-tiba api menyambar ke sebelahnya, dulu itu bekas bak kontrol selokan” tambahnya. Dirumah Amani itu, semburannya diberi pipa untuk mengalirkan gas dan atapnya dilobangi agar gas bisa keluar ruangan, karena posisi keluarnya semburan api ada di dapur, keluarganya terkadang memakainya sebagai kompor. Sedangkan di rumah Semiwati sendiri air sumur sudah tidak bisa digunakan, gelembung-gelembung gas muncul dan airnya berbau serta berasa asin “Airnya banger, coba saja kalau nggak percaya” ujarnya. Dan memang benar, air itu berbau dan rasanya asin, tentu saja kondisi air yang seperti seharusnya tidak bisa dipakai lagi.

    Namun warga tidak punya pilihan lain, dengan air yang bercampur gas, mereka masih tetap menggunakannya untuk aktifitas sehari-hari. Semiwati sudah sedemikian kesal dengan kinerja pemerintah yang tidak tanggap, menurutnya warga sama sekali tidak terperhatikan, BPLS hanya memberi bantuan air yang tidak konstan pengirimannya “Dua hari sekali, cuma dua tandon pula, tentu tidak cukup, karena sumur warga sudah rusak semua” lagipula, kerusakan sudah terjadi sejak januari, tapi bantuan air baru ada satu bulan kemarin. Bantuan air bersih sama sekali tidak bisa mencukupi seluruh kebutuhan warga. Warga sendiri mengaku gelisah atas kondisi ini “Itu katanya mengandung gas beracun, kita was-was juga, gimana kalau keracunan, gimana kalau tiba-tiba apinya membesar” sambung Semiwati.

    Sampai sekarang, mereka berharap agar wilayah mereka segera diselesaikan dan warga bisa diselamatkan.[re]

  • Living on the Poisonous Stream

    The residents of Permisan village near the Porong river in East Java have been harvesting fish from their ponds for generations, but since an environmental disaster at the Lapindo Brantas gas mining site in May 2006, the area has been suffering from vast eruptions of volcanic mud, which have buried nearby villages and displaced thousands of people.

    Whilst Permisan is not in the immediate vicinity of the mud flow, it does rely on the local river water to replenish its fish ponds, and since the company has been using the river to deposit the excess mud from the disaster zone, the fishermen have noticed that their fish harvests are getting smaller and less frequent.

    In this video, the residents of the community filmed their own story to demonstrate that their rights to livelihood have been violated and to request the acknowledgement of this by those responsible, and their assistance to help the community to manage their resources more effectively to ensure the sustainability of their local economy and way of life.

  • Kontrak Habis, Ganti Rugi Tak Segera Dilunasi

    Mendesak, Normalisasi Sungai Porong

    SIDOARJO, KOMPAS  Sekitar 100 warga Desa Jatirejo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, berunjuk rasa lagi menuntut pembayaran sisa ganti rugi 80 persen. Saat ini kontrak rumah mereka sudah habis. Warga yang tidak memiliki uang terpaksa mengungsi kembali ke Pasar Baru Porong.

    Unjuk rasa dilakukan seusai upacara peringatan HUT Kemerdekaan Ke-63 RI di areal tanggul lumpur Lapindo, Minggu (17/8). Upacara itu diikuti anggota Badan Penanggulangan Lumpur di Sidoarjo (BPLS), karyawan PT Lapindo Brantas, anggota Batalyon Zeni Tempur V Brawijaya, dan warga korban lumpur dengan inspektur upacara Mayor (Inf) Rukun Santoso.

    Selesai upacara pada pukul 08.30, warga Jatirejo lantas mengibarkan spanduk bertuliskan tuntutan pembayaran sisa ganti rugi.

    Uswanti (31), salah satu warga, berteriak sambil menangis di hadapan anggota BPLS. Ia meminta agar BPLS memperjuangkan nasib korban lumpur Lapindo yang belum juga menerima sisa ganti rugi 80 persen.

    “”Masa kontrak kami sudah habis sejak Juli lalu. Seharusnya kami sudah menerima sisa ganti rugi pada Juni 2008. Kenyataannya, hingga kini ganti rugi belum kami terima,”” ujar Uswanti.

    Mereka juga belum menerima uang perpanjangan kontrak. Akibatnya, Uswanti, suami, dan dua anaknya kembali menempati Pasar Baru Porong. Sebelumnya ia mengontrak rumah di Kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo. ””Kami terpaksa meninggalkan rumah kontrakan karena tidak punya uang untuk memperpanjang kontrak,”” katanya.

    Warga lain, Mohamad Amrul (48), mengancam akan menduduki tanggul dan menghentikan proyek penanggulangan lumpur jika sisa pembayaran tidak segera dilunasi.

    Kepala Humas BPLS Ahmad Zulkarnain menyatakan, pihaknya terus mengupayakan penyelesaian sisa ganti rugi 80 persen kepada PT Minarak Lapindo Jaya.

    Normalisasi Sungai Porong

    Sebanyak 11 kepala desa di Kecamatan Porong beserta Camat Porong Totok Mariyanto mendesak BPLS melakukan normalisasi Sungai Porong. Penyebabnya, kondisi sungai terus mendangkal akibat pembuangan lumpur ke sungai.

    ”Akibat pembuangan lumpur ke sungai, air menjadi susah mengalir, sedangkan permukaan air terus naik. “Kami khawatir jika musim hujan tiba permukiman warga yang terletak di sekitar sungai bisa terendam luapan air sungai,”” kata Totok.

    Menjawab desakan tersebut, Zulkarnain menyatakan, BPLS akan menambah alat keruk untuk memperdalam sungai agar air mengalir lancar. 

    Adapun upaya lain, yaitu menggelontorkan air ke sungai agar lumpur hanyut tidak bisa dilakukan. ”Air untuk menggelontor sungai berasal dari dam Lengkong, Mojokerto. Padahal, pada musim kemarau ini debit air di sana menipis,” kata Zulkarnain. (APO)

    © Kompas