Tag: ekosida

  • Sudah 14 Tahun Lumpur Lapindo, Pulihkah?

    Bambang Catur Nusantara

    Dewan Nasional WALHI dan Koordinator Pos Koordinasi untuk Keselamatan Korban Lumpur Lapindo (POSKOKKLuLa).

    Selama empat belas tahun, terhitung sejak 29 Mei 2006, lumpur Lapindo telah mengakibatkan terusir sedikitnya 20 ribu keluarga dari tempat tinggal mereka. Pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menangani masalah ini melalui beberapa Peraturan Presiden yang terus mengalami revisi sebagai akibat terus meluasnya dampak semburan. Selain mengatur dampak sosial ekonomi warga dengan skema penggantian jual beli, salah satu yang masih dilakukan hingga saat ini adalah pembuangan lumpur di sungai Porong.

    Sungai Porong merupakan sungai yang penting bagi kehidupan warga di Sidoarjo sejak dari masa lampau. Air sungai digunakan untuk sumber air irigasi pertanian dan budidaya perikanan. Sejak pembuangan lumpur ke sungai Porong pada 2007, ditemukan kandungan logam berat Timbal (Pb) dan Kadmium (Cd) pada air, sedimen, dan biota. Penelitian awal yang dilakukan WALHI Jawa Timur pada tahun 2008, menemukan setidaknya dua jenis logam berat Pb dan Cd, yang melampaui ambang batas aman. Penelitian itu dilakukan pada area di sekitar semburan lumpur dan air sungai Porong. Pada 2013, Tarzan Purnomo, seorang peneliti dari UNESA, menemukan kandungan logam berat Timbal pada tubuh ikan, ribuan kali diatas ambang batas aman.

    Pada tahun 2010, JATAM dan PoskoKKLuLa memeriksa kesehatan korban Lapindo yang masih tinggal di wilayah sekitar semburan. Dalam pemeriksaan diketahui, hasil Haematologi lengkap menunjukkan 75% dari 20 terperiksa, ternyata dalam kondisi tidak normal. Sepuluh tahun kemudian, pemeriksaan kesehatan umum (MCU) Maret tahun 2020, kepada sejumlah 25 warga korban lumpur yang tinggal di sekitar semburan, menunjukkan mayoritas mengalami infeksi saluran kemih (ISK). Sejumlah 16 warga dari 25 terperiksa mengalami infeksi ini. Ahli kesehatan yang dimintai pendapat terkait infeksi saluran kemih menyatakan ada tiga faktor utama penyebab infeksi: kualitas air minum, pola hidup, dan stress. Dalam situasi di wilayah lumpur Lapindo, tiga faktor ini bisa saling bertautan pada hidup warga.   

    Hasil pemeriksaan logam berat pada air dan sedimen yang dilakukan PoskoKKLuLa pada tahun 2018 dan 2019 juga tetap menunjukkan temuan kontaminasi Pb dan Cd. Pada sembilan lokasi yang diperiksa, menunjukkan ada lokasi yang meski airnya tidak mengandung kedua jenis logam berat, namun pada kompositnya ditemukan logam berat. Jika menggunakan rujukan KemenLH No 51/2004 yang menetapkan baku mutu air untuk pelabuhan Pb 0.05 mg/L dan Cd 0.01 mg/L dan untuk wisata bahari Pb 0.005 mg/L dan Cd 0.002 mg/L, maka hanya lokasi di Tanjungsari, Desa Kupang, yang memenuhi syarat untuk area budidaya dan pelabuhan. lokasi lain tak layak.

    Hasil pemeriksaan pada biota Kupang menunjukkan Cd sejumlah 20.68 mg/kg dan Pd sejumlah 17.36 mg/kg. Batas aman konsumsi untuk Kupang hanya 1,5mg/kg. Sedangkan Cd batas aman 1 mg/kg. Kupang yang diperiksa puluhan kali melebihi ambang batas aman dikonsumsi. Pada pemeriksaan sebelumnya oleh Walhi Jatim dan PoskoKKLula (2017), jenis udang, ikan, dan rumput laut hampir seluruhnya mengandung Pb dan Cd melebihi baku mutu SNI 7387:2009.

    Gambar1. Peta lokasi titik pemeriksaan logam berat

    Jika diperbandingkan dengan temuan hasil biomonitoring maka kondisi logam berat ini berkesesuaian dengan hasil amatan dengan indikator biota tidak bertulang belakang (makroinvertebrata) pada empat lokasi sungai Brantas Porong yang di tiga lokasi menunjukkan tercemar berat, hanya di wilayah Tanjungsari Desa Kupang, yang wilayahnya tercemar ringan.

    Sementara wilayah irigasi di Kedungcangkring, pemeriksaan laboratorium tidak menemukan kandungan logam berat Pb, dalam pemeriksaan biomonitoring juga menunjukkan level tercemar ringan. Di lokasi Keboguyang dan lokasi Gempolsari, kondisinya tercemar sedang. Pada dua lokasi lain, Tambak Kalisogo dan Glagaharum menunjukkan tercemar berat. Dua lokasi terakhir merupakan saluran irigasi aktif untuk sawah, kolam, dan juga perikanan tambak di sisi paling timur.

    LokasiKondisi Badan SungaiKondisi Air Sungai
    Titik 1: Sungai Brantas, GempolTidak SehatTercemar Berat
    Titik 2: Sungai Brantas, BesukiTidak SehatTercemar Berat
    Titik 3: Sungai Brantas, TanjungsariKurang SehatTercemar Berat
    Titik 4: Sungai Brantas, TlocorTidak SehatTercemar Berat
    Titik 5: Irigasi BesukiKurang SehatTercemar Berat
    Titik 6: Irigasi BuaranTidak SehatTercemar Berat
    Titik 7: Irigasi PermisanTidak SehatTercemar Berat
    Titik 8: Irigasi GlagaharumTidak SehatTercemar Berat
    Titik 9: Irigasi PologuntingTidak SehatTercemar Berat
    Tabel 1. Hasil pantau biomonitoring.

    Pemeriksaan melalui biomonitoring ini mempermudah penilaian awal kualitas air sungai. Pemeriksaan yang dilakukan Agustus 2019 pada lokasi titik sampel Gempol, Tanjungsari, dan Tlocor, menunjukkan bagian Sungai Porong dekat pembuangan lumpur Lapindo(Gempol dan Besuki) tercemar berat, di wilayah tengah (Tanjungsari) tercemar ringan, dan wilayah hilir (Tlocor) tercemar berat. Sementara sungai irigasi bagian timur tanggul lumpur Lapindo menunjukkan satu lokasi tercemar ringan(Besuki), dua lokasi tercemar sedang(Buaran dan Pologunting), dan dua lokasi tercemar berat(Glagaharum dan Permisan).

    Sejak awal hingga saat ini, informasi terkait situasi sosial, lingkungan, kesehatan, maupun dampak lainnya pada area-area terdampak belum sepenuhnya bisa diketahui oleh masyarakat yang tinggal disana. Hampir tidak ada informasi yang berkaitan dengan lingkungan yang bisa menggambarkan buruknya wilayah semburan lumpur Lapindo ini.

    Kondisi ini juga kemudian diperparah dengan belum jelasnya pemulihan hak-hak korban Lapindo. Degradasi kualitas lingkungan seharusnya disandingkan dengan menurunnya kualitas kesehatan warga. Hasil penelusuran rekam tren penyakit di Puskesmas sekitar semburan lumpur Lapindo, menunjukkan adanya dampak kesehatan yang serius pada warga. Jumlah penderita ISPA di Puskesmas Porong, Tanggulangin, dan Jabon mengalami peningkatan yang signifikan sejak 2007. Di Puskesmas Porong paring tinggi peningkatannya. Dari rata-rata 20 ribu kasus pada tahun 2006 menjadi 50 ribu kasus pada tahun 2007. Catatan tren penyakit pada tahun 2019 juga menunjukkan ISPA masih yang teratas. Rata-rata di masing-masing puskesmas masih diatas 15 ribu. Hasil medical check up (diinisiasi PoskoKKLuLa dan JATAM, 2019) pada 25 warga menunjukkan 7 warga mengalami restriksi ringan pada paru-paru, dua diantaranya menunjukkan indikasi pneumonia. 

    Tabel 2. Tren ISPA di Puskesmas Porong 

    Pemantauan secara periodik kualitas udara dilakukan setiap musim sejak 2017 oleh PoskoKKLuLa dengan menggunakan ecochecker, lempeng perak. Seluruhnya konsisten menunjukkan paparan hidrogen sulfida (H2S). Lempeng perak yang terpasang selama satu bulan, telah mengubah warna perak menjadi gelap. Paparan H2S ini terkonfirmasi dengan gas detector. Penggunaan lempeng tembaga untuk mengidentifikasi paparan klorin digunakan pada musm kemarau dan hujan tahun 2019, menunjukkan perubahan warna yang sama. Yang terakhir, pemeriksaan menggunakan gas detector pada bulan Maret 2020 menunjukkan adanya PAH di udara sekitar area semburan lumpur Lapindo.   

    Gambar 3. Hasil olah pemantauan udara dengan lempeng perak (Desember 2017 – Januari 2018), warna merah menunjukkan perubahan paparan H2S yang tinggi

    Pada akhir 2019, tiga puskesmas di sekitar area semburan tetap mencatat ISPA sebagai penyakit dengan penderita paling banyak. Jika dibandingkan tren ISPA tahun 2016 dan 2017, jumlah ini naik beberapa ribu warga. Tren ini menunjukkan persoalan pernafasan menjadi yang paling utama diantara kasus kesehatan yang lain, pada situasi wabah Covid 19 saat ini, warga dalam posisi sangat rentan.

    Wabah Covid 19 telah membatasi ruang gerak korban Lapindo. Pengojek di atas tanggul terpukul paling awal. Tidak ada pegunjung di area semburan. Sebagian warga korban Lapindo yang masih menggantungkan penghasilan dari jasa ojek mengantarkan pengunjung lokasi semburan. Alternatif pendapatan lain juga tidak ada, wilayah Sidoarjo menerapkan pembatasan sosial berskala besar sejak April. Saat ini diperpanjang untuk ketiga kali.

    Dengan situasi seperti ini, pengurus negara seharusnya melakukan mitigasi perluasan dampak lumpur lapindo dengan melakukan serangkaian tindakan: pertama, memeriksa kualitas lingkungan hidup di sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Setidaknya logam berat harus diperiksa pada air, sedimen, tanah di sekitar lumpur Lapindo sepanjang sungai Porong, sungai irigasi, dan sumur warga di sekitar semburan. Pemeriksaan juga sangat perlu dilakukan pada biota air dan laut yang menjadi bahan konsumsi, seperti Kupang, kerang, dan ikan; kedua: melakukan pemantauan kesehatan warga dengan melakukan pemeriksaan kesehatan (MCU) untuk mendapatkan gambaran utuh kondisi kesehatan dan perubahan-perubahannya, lalu melakukan upaya pencegahan pemburukannya; ketiga, melakukan pendampingan untuk pemulihan ekonomi warga melalui serangkaian program penguatan ketrampilan, permodalan, dan akses pasar. Ketergantungan korban Lapindo pada pihak lain sebagai satu-satunya sumber pendapatan, seperti saat Covid 19 ini, akan selalu menjadikan warga dalam posisi rentan; keempat, pengetatatan ijin ekstraksi sumber daya alam pada wilayah kelola rakyat dengan mengutamakan hak rakyat untuk menolak kegiatan yang merugikan penghidupan mereka. Penghentian ijin pengeboran migas di Sidoarjo menjadi salah satu kebijakan mencegah risiko bencana yang berulang; kelima, ketiadaan panduan pengelolaan menangani bencana industri membuat situasi lumpur Lapindo tidak mendapatkan penanganan komprehensif. Sudah seharusnya disusun panduan khusus memitigasi bencana industri dan mengelola risiko bencana industri. BNPB perlu prioritaskan penyusunan panduan ini. Jika tidak segera dilakukan, niscaya kegagapan dalam mengelola risiko bencana industri seperti pada kasus lumpur Lapindo masih akan terus dijumpai. Risiko bencananya tak mampu dicegah, lingkungan tak bisa diperbaiki, dan hidup warga tak bisa dipulihkan. Rakyat yang akan terus diminta mensubsidi, menjadi korban, lagi dan lagi.     

  • Skandal Ekosida Lumpur Lapindo

    Ekosida merupakan istilah yang digunakan dalam bidang lingkungan hidup. Jika genosida diartikan sebagai pembasmian seluruh atau sebagian bangsa, ras, kelompok etnik ataupun kelompok agama, maka ekosida diartikan sebagai pembasmian atau perusakan sistem ekologi normal, yang tentu berakibat pada nasib buruk manusia.

    Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global (akibat globalisasi), penerapan faham ultra-utilitarianisme serta eksploitasi dari cara-cara produksi mutakhir yang dilakukan kaum kapitalis.

    Ekosida sebenarnya tak jauh dari model genosida, misalnya terjadinya ‘pembasmian penduduk’ akibat toksinasi atau kehancuran fungsi lingkungan hidup seperti yang terjadi pada komunitas penduduk sekitar tambang emas Newmont di Buyat dan lain-lain, serta kematian massal dalam banjir besar atau longsor akibat perusakan fungsi lingkungan hidup. Dalam kasus lumpur Lapindo, ekosida telah terjadi sebagai fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi, sebab telah menjadi pengetahuan umum).

    Zat beracun

    PBB melalui United Nations Disaster Assessment and Coordination sejak Juli 2006 telah merekomendasikan untuk adanya penelitian dan monitoring secara reguler terhadap soal lingkungan dalam kasus lumpur Lapindo. Tetapi tampaknya pemerintah Indonesia tidak terlalu memperhatikan hal yang berkaitan kesehatan masyarakat dalam jangka pendek dan panjang akibat semburan lumpur tersebut. Contohnya, gas semburan lumpur Lapindo itu sudah menewaskan dua warga Siring Barat (Sutrisno, meninggal 14/3/2008 dan Luluk, meninggal 26/3/2008) serta puluhan orang serta anak-anak dirawat di rumah sakit.

    Guna mendeteksi bahaya akibat pencemaran dan perusakan ekologi karena semburan lumpur Lapindo itu, September 2007 sampai dengan Januari 2008, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bekerjasama dengan beberapa ahli dan laboratorium melakukan penelitian lumpur Lapindo di Sidoarjo di berbagai titik hingga ke wilayah terluar akibat semburan lumpur Lapindo. Penelitian yang dilakukan Walhi tersebut juga dalam rangka untuk ‘meneguhkan keyakinan’, apa benar hasil penelitian beberapa laboratorium kampus di dalam negeri yang menyatakan tak ada masalah dengan kandungan lumpur Lapindo, dibandingkan dengan hasil penelitian sementara (awal) pemerintah RI dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan adanya kemungkinan fatal akibat gas semburan lumpur Lapindo.

    Penelitian Walhi tentang logam berat akibat lumpur Lapindo menunjukkan hasil sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kep. MenKes No. 907/2002
    Hasil Analisa Logam Pada Materi
    Lumpur Lapindo
    Air Lumpur Lapindo
    Sedimen Sungai Porong
    Air Sungai Porong
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    nd
    nd
    nd
    nd
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,003
    0,3063
    0,0314
    0,2571
    0,0271
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    0,4379
    0,008
    0,4919
    0,0144
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    7,2876
    0,8776
    3,1018
    0,6949

    Perbandingan parameter ambang batas logam berat sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kadar maksimal yang diperbolehkan
    Per. MenKes No. 416/1990
    Kep.MenKes No. 907/2002
    WHO 1992
    Uni Eropa
    Kanada
    USA
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,005
    0,05
    0,05
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,005
    0,003
    0,005
    0,005
    0,005
    0,005
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    1
    1
    0,1
    1
    1
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05

    Selain logam berat, Walhi juga meneliti kandungan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Karena mahalnya biaya, Walhi hanya menguji kandungan Benz(a)anthracene dan Chrysene yang hasilnya mencapai ribuan kali lipat dari ambang batas. Beberapa senyawa lain yang tergolong dalam PAH adalah acenaphthene, acenaphtylene, anthtracene, benz(a)antracene, benz(a)pyrene, benz(b)fluoranthene, chrysene, dibenz(a,h)anthracene, fluoranthene, fluorene, indeno(1,2,3cd)pyrene, naphthalene, phenanthrene dan pyrene (Liguori et al, 2006), dan masih terdapat ribuan senyawa lainnya.

    Sebagai perbandingan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan baku mutu PAH dalam air laut untuk wisata bahari sebesar 0,003 mg/liter. Sedangkan baku mutu Hidrokarbon dalam udara yang diizinkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 adalah 160 ug/Nm3. Namun dalam temuan Walhi, kadar Benz(a)anthracene di titik tertentu ada yang mencapai 0,5174 mg/kg (sampel terendah 0,4214 mg/kg). Sedangkan kadar Chrysene ada yang mencapai 806,31 μg/kg lumpur kering (sampel terendah 203,41 μg/kg).

    Dalam jangka pendek, akibatnya hanya tampak adanya penduduk yang keracunan gas dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Namun dalam jangka panjang, lumpur Lapindo tak hanya menjadi nasib buruk masa depan para korban langsung, tapi juga masyarakat yang setiap hari melintasi sekitar semburan lumpur Lapindo yang terancam oleh penyakit kanker akibat senyawa PAH yang bersifat karsiogenik. Pasalnya, zat beracun yang termasuk PAH bersifat bebas tempat, bisa bercampur udara, air, tanah dan seluruh media yang ada.

    Dahulu, Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk., Faiz Shahab menyatakan pihaknya serius membangun pabrik batu bata skala besar di lokasi bencana. Namun, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Ir Amien Widodo mengatakan bahwa lumpur Lapindo itu bisa memicu kanker. Sifat-sifat karsinogenik ini terutama dipicu oleh kandungan logam berat yang terdapat dalam lumpur (Kompas, 14/7/2006). Itulah mengapa pabrik batu bata yang direncanakan itu tidak ada kabarnya lagi, sebab bisa jadi mereka takut dengan sifat bahaya lumpur Lapindo.

    Logam berat juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif (kelainan fisik) dan menimbulkan keturunan penderita slow learner (lambat berpikir), sedangkan zat-zat beracun PAH mengakibatkan kanker, permasalahan reproduksi, membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan baru akan tampak akibatnya.

    Peran negara dan korporasi

    Artikel ini tidak bermaksud ‘meneror’ masyarakat, tetapi didasari hasil penelitian laboratorium. Para ahli yang turut dalam penelitian Walhi tersebut berpesan agar Walhi ‘merahasiakan’ identitasnya sebab kampus tempat mengajarnya rupanya sudah tidak bisa independen. Ini semakin menunjukkan bahwa hegemoni korporasi telah menyerang kemerdekaan intelektual.

    Terlepas dari semua itu, setidak-tidaknya pemerintah RI seharusnya lebih serius dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari akibat buruk lumpur Lapindo yang dalam banyak hal selalu ditutup-tutupi. Jika tidak, sama halnya pemerintah terlibat dalam skandal ekosida, sebagaimana banyak laboratorium domestik yang membuat kesimpulan berdasarkan ‘pesanan’ sehingga tidak lagi obyektif. Inilah fenomena kekuasaan kapitalis yang menerapkan faham ultra-utilitarianisme, tidak peduli dengan nasib sosial.

    Para pejabat pemerintah dan seluruh pengambil keputusan korporasi kasus semburan lumpur Lapindo, termasuk ‘laboratorium palsu’ mungkin bisa mengelak dan bersembunyi pada hari ini dalam kejahatan ekosida itu. Tetapi kelak kasus ini akan membawa mereka ke pengadilan hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam forum hukum internasional, jika mereka tidak mau bertanggung jawab mulai hari ini untuk tunduk pada hukum internasional dan nasional dalam rangka memenuhi hak-hak para korban lumpur Lapindo yang sudah lama menderita dan terancam menjadi korban ekosida.

    Sebagai pihak yang telah mengambil ‘manfaat’ (utilitas) dari negara ini, berlakulah adil dan santun kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini! Jangan hanya mau enaknya, lalu lari dari tanggung jawab!

    Percepatan penyelesaian sosial hendaknya segera dilakukan agar warga korban lumpur semakin bisa diselamatkan dari kejahatan ekosida tersebut. Alangkah malang nasib warga korban lumpur yang diombang-ambingkan oleh pihak Lapindo. Dahulu Lapindo bersuara lantang akan patuh kepada model penyelesaian menurut pasal 15 Perpres No. 14/2007, tapi kini malah membangkangnya dengan memaksakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa tanah-tanah Petok D, letter C dan gogol tak dapat dibuatkan akte jual beli. Padahal sudah ada pedoman berupa Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo.

    Jika Lapindo si anak korporasi Grup Bakrie itu bisa ‘mempermainkan’ diskresi hukum yang dibuat pemerintah, lalu Presiden yang membuat diskresi hukum itu diam saja, maka kepala negara ini telah diinjak-injak. Jika begitu, bagaimana kewajiban pemerintah untuk melindungi korban lumpur Lapindo dan menegakkan hukum?

    SUBAGYO, S.H. 

  • Saat Menteri KLH dibutakan oleh Lapindo

    Pada 31 Juli 2008 lalu, KLH memberikan predikat biru plus pada Lapindo Brantas Inc. Blue company merupakan predikat kepada perusahaan yang telah cukup baik melaksanakan kewajibannya terhadap lingkungan. Sejak dibebankan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial bagi perusahaan tambang oleh Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri mining, oil and gasoline berlomba-lomba menggelar kegiatan-kegiatan amal yang diekspos oleh media, sementara perusakan lingkungan oleh perusahaan tersebut tak lagi menjadi persoalan besar di bangsa ini. Eco-labeling le[ada Lapindo tersebut menunjukkan keberpihakan Pemerintah RI terutama Kementrian KLH terhadap korporasi pelaku kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

    Undang-undang Perseroan Terbatas sebenarnya masih absurd dalam mengemas Corporate Environmental and Social Responsibility. Sejauh apa suatu perusahaan dinilai menghormati lingkungan hidup belum ada stadarisasinya. Meskipun absurd, sesuatu yang mutlak terlihat jelas bahwa suatu perusahaan tidak comply terhadap lingkungan hidup adalah jika aktivitas perusahaan itu telah jelas mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Terlebih bila disambungkan dengan tiga elemen CSR  yang dikenal di dunia internasioanl yaitu people, planet, profit (masyarakat, planet, dan keuntungan). Suatu perusahaan dalam mencari keuntungan wajib memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan planet ini.

    Di tengah kerancuan indikator perusahaan comply atau tidak terhadap lingkungan hidup, pemerintah dapat sewenang-wenang menyematkan predikat hijau dan biru terhadap perusahaan yang nyata-nyata mengakibatkan ecocide, seperti halnya yang diterima Lapindo. Menurut penemuan BPK-RI dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Lapindo terbukti lalai dalam pengeboran hingga menyebabkan menyemburnya Lumpur Panas yang mengandung gas mudah terbakar di sumur Banjar Panji-1 yang kini telah merendam habis 12 desa di Sidoarjo. Semburan Lumpur ini mengakibatkan sedikitnya 60 ribu orang mengungsi karena ekosistemnya dimusnahkan. Menurut penelitian berapa ahli, Lumpur ini mengandung logam berat seperti Cadmium, Chromium, Arsen, dan Merkuri yang kadarnya diatas baku mutu yang dipersyaratkan. Tidak hnya itu, Lumpur ini juga mengandung mikrobiologi yang bersifat patogen seperti coliform, salmonella, dan staphylococcus aureus.

    Coliform ini adalah bakteri yang banyak ditemui di feses binatang berdarah panas seperti reptiliaColiform tidak menyebabkan penyakit tapi adanya coliform ini menjadi indicator adanya organisme yang membawa penyakit atau patogen. Sedangkan Salmonella adalah mikrobiologi yang menyebabkan typhoid fever, paratyphoid fever, dan foodborne illness/food poisoning. Staphylococcus aureus, adalah mikrobiologi yang menyebabkan penyakit golden step yang dapat mengakibatkan radang selaput otak (meningitis), Pneumonia, toxic shock syndrome (TSS) dan septicemia.

    Lebih buruk lagi, akhir-akhir ini baru diketahui bahwa lumpur ini mengandung Polyciclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) 2000 kali ambang batas normal. PAH ini adalah senyawa kimia yang terbentuk proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil di areal pengeboran. PAH merupakan senyawa yang berbahaya karena ia selain karsinogenik dan mutagenik, ia juga teratogenikIa tidak langsung menyebakan tumor atau kangker secara lansung, namun PAH akan berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker. Mengerikannya, PAH dapat berpindah dari media apapun. Tidak hanya dari udara yang dihirup, namun dari pori-pori kulit dan lubang tubuh. Menginjak tanah yang terkontaminasi PAH (akibat terkena udara yang mengandung PAH), serta mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi PAH dapat mengakibatkan PAH masuk ke tubuh manusia.

    Dampak dari PAH di tubuh manusia ini baru dapat terlihat setelah PAH terakumulasi dalam tubuh, antara lain dapat menyebabkan kangker permasalahan reproduksi, dan membahayakan organ dalam dan kulit. Di Pasar Porong, beberapa orang telah teridentifikasi memiliki benjolan-benjolan di sekitar leher, payudara dan punggung. Menurut data di RSUD Sidoarjo, beberapa korban telah meninggal dunia dan teridentifikasi flek di paru-paru mereka, bahkan di korban yang diketahui selama hidupnya bukan perokok aktif. Saat ini masih ada ratusan ribu warga Sidoarjo yang menghirup udara yang terkontaminasi dan berbau busuk, mengkonsumsi air yang terkontaminasi PAH, hidup tanpa peringatan dari perusahaan.

    Setelah kerusakan lingkungan dan sosial akut yang ditimbulkan oleh perusahaan ini, penyematan predikat biru kepada Lapindo merupakan bentuk kongkret pemerintah menutup mata atas perbuatan Lapindo. Predikat biru ini merupakan bukti adanya konspirasi antara lapindo dengan pemerintah dan menempatkan posisinya diametral dengan rakyat. Penyematan ini dikemas dalam sebuah perhelatan mewah yang memakan dana sekitar 3 milyar rupiah. Tidak ada transparansi dalam penentuan indikator menghormati lingkungan, apalagi adanya partisipasi masyarakat sekitar areal aktivitas perusahaan untuk memberikan penilaian apakah perusahaan itu comply terhadap lingkungan dan sosial atau tidak.

    Uang triliunan yang telah dikeluarkan oleh Lapindo untuk upaya menanggulangi dampak semburan (yang pada kenyataannya tidak tuntas), tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk CSR, karena uang tersebut adalah kewajiban lapindo yang lahir akibat perbuatannya merusak lingkungan. Berbeda dengan konsep awal CSR yang merupakan filatropi korporasi atau karitatif. Uang tersebut bukanlah bantuan bencana alam seperti halnya banyak bantuan perusahaan untuk korban gempa, namun merupakan kewajiban perusahaan karena telah memusnahkan suatu ekosistem tanpa ampun.

    Sangat tidak tepat adanya apabila pemerintah menyematkan predikat biru plus kepada lapindo yang tidak hanya melakukan pemusnahkan ekosistem (ecocide), namun juga tidak bertanggung jawab atas restitusinya, mengingat sebagian besar dana penanggulangannya dibebankan kepada APBN. Pemerintah yang harusnya melindungi rakyat karena posisi timpang antara korporasi dan rakyat, justru menambah kekuatan gigantika korporasi. Begitulah apabila kehormatan menteri KLH telah dibeli dengan uang panas Lapindo.

    DINA SAVALUNA

  • Lapindo, Ecocide, dan Culture Genocide

    Oleh: M. Ridha Saleh

    Sejak 29 Mei 2006 hingga detik ini, semburan lumpur Lapindo membawa dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar ataupun bagi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Lumpur telah menggenangi 12 desa di tiga kecamatan, merendam tak kurang dari 10.426 unit rumah, merusak area pertanian dan peternakan, serta menggenangi sarana dan prasarana publik. Sekitar 30 pabrik yang tergenang terpaksa menghentikan aktivitas produksi dan merumahkan ribuan tenaga kerja. Tercatat 1.873 orang tenaga kerja yang terkena dampak lumpur ini serta lebih dari 8.200 jiwa dipindahpaksakan dan 25 ribu jiwa diungsikan.

    Akibat amblesnya permukaan tanah di sekitar semburan lumpur, pipa air milik PDAM Surabaya patah. Lalu pipa gas milik Pertamina meledak akibat penurunan tanah karena tekanan lumpur. Dan sekitar 2,5 kilometer pipa gas terendam bahkan sampai merenggut nyawa manusia. Ditutupnya ruas jalan tol Surabaya-Gempol hingga waktu yang tidak ditentukan mengakibatkan kemacetan di jalur-jalur alternatif, yaitu melalui Sidoarjo-Mojosari-Porong dan jalur Waru-jalan tol-Porong. Sebuah saluran udara tegangan ekstratinggi milik PT PLN serta seluruh jaringan telepon dan listrik di empat desa serta satu jembatan di Jalan Raya Porong tak dapat difungsikan.

    Semburan lumpur yang diakibatkan oleh aktivitas pengeboran PT Lapindo Brantas menuai berbagai kritik ataupun gugatan formal dari pihak-pihak yang peduli. Namun, sebaliknya, tidak sedikit wacana bermunculan yang memposisikan PT Lapindo Brantas tidak bersalah dalam kasus ini.

    Dalam konteks ekologi manusia, benarkah PT Lapindo telah melakukan praktek ecocide dan apakah di sana–dalam konteks hak asasi manusia–terdapat dan/atau ditemukan culture genocide?

    Wacana ecocide

    Franz J. Broswimmer-lah yang mengartikan bahwa ecocide is the killing of an ecosystem. Pemusnahan ekosistem dalam hal ini tidak boleh dilepaskan dari kenyataan bahwa ekosistem merupakan tata dan rangkaian kehidupan manusia. Dari pengertian Broswimmer, kita bisa mengerti bahwa apa yang terjadi di sekitar luapan lumpur Lapindo merupakan suatu tindakan yang mengakibatkan terjadinya pemusnahan ekologi dan hilangnya hak-hak dasar kehidupan masyarakat di Sidoarjo.

    Lebih lanjut Broswimmer menjelaskan bahwa pemusnahan ekosistem dilakukan melalui tindakan sistematis. Sistematis dalam konteks ecocide tentu berbeda dengan unsur sistematis yang dimaksudkan dalam konteks genocide. Sistematis dalam ecocide adalah suatu tindakan yang dilakukan baik sengaja maupun tidak disengaja oleh pelaku dan menyebabkan musnahnya satuan-satuan penting fungsi ekologi, sosial, dan budaya sebagai bagian dari kehidupan manusia.

    Ada tiga unsur dampak yang dimaksudkan dalam wacana ecocide, yaitu pertama, dampaknya sangat panjang terhadap suatu satuan dan fungsi kehidupan serta tidak dapat dipulihkan kembali. Kedua, terdapatnya satuan dan fungsi yang musnah pada suatu rangkaian kehidupan dari kondisi semula. Ketiga, terdapatnya penyimpangan-penyimpangan fisik dan psikis manusia.

    Satu hal yang juga penting dalam wacana ecocide, tidak terlalu mempersoalkan penyebab kejadian, tapi lebih menekankan konteks, akibat, dan dampak kejadian serta sejauh mana bahaya kehidupan itu akan terancam dari kejadian tersebut.

    Jika kita mengacu pada wacana ecocide dalam konteks semburan lumpur Lapindo, kita dapat melihat indikasi-indikasi secara gamblang bahwa di sana terdapat praktek ecocide, karena yang paling nyata dari dampak yang diakibatkan oleh semburan lumpur Lapindo adalah dampaknya yang sangat panjang dan musnahnya satuan-satuan penting fungsi ekologi, sosial, dan budaya terhadap kehidupan manusia.

    Culture genocide

    Culture genocide dapat diartikan sebagai tindakan kejahatan luar biasa terhadap satuan fungsi dan tatanan kehidupan secara massal, dengan mengubah atau menghancurkan sejarah dan simbol-simbol peradaban suatu kelompok atau komunitas. Culture genocide, menurut pakar hukum internasional dan kebiasaan hukum pidana internasional, bukan bagian dari tindakan dan tidak dapat disebut sebagai unsur praktek genocide, karena genocide hanya mengakui unsur-unsur perlakuan yang bersifat fisik, seperti yang terurai dalam Statute Roma dan juga terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.

    Adakah praktek culture genocide dalam kasus lumpur Lapindo? Sejauh ini kasus lumpur Lapindo luput dari wacana-wacana hak asasi manusia. Justru kasus tersebut lebih didominasi oleh masalah teknis saintis dan hukum positif. Padahal kasus ini, dalam konteks hak asasi manusia, dapat dikategorikan sebagai kasus yang memiliki dimensi yang sangat serius terhadap masalah-masalah kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan, jika kita mencermati secara mendalam, dalam kasus tersebut terdapat unsur-unsur tindakan yang menyebabkan hilangnya tatanan kehidupan, yaitu hilangnya sejarah, termasuk simbol-simbol masyarakat setempat.

    Mengungkapkan berbagai wacana dan dimensi yang terjadi pada kasus semburan lumpur Lapindo, sesungguhnya saya tidak ingin memojokkan PT Lapindo Brantas. Saya bermaksud agar hukum dapat ditegakkan, keadilan dapat dipenuhi, dan kebenaran dapat diungkapkan. (***)

    Sumber: Koran Tempo, 21 Februari 2008