Tag: hak angket Lapindo

  • LOGAM: Hak Angket Lumpur Lapindo Tak Logis

    LOGAM: Hak Angket Lumpur Lapindo Tak Logis

    KANALSATU – Korwil LOGAM (Loyalis Golkar Muda) Jawa Timur, Ismet Rama, mengkritisi rencana hak angket lumpur Sidoarjo yang terus digulirkan oleh anggota fraksi Partai Golkar kubu Agung Laksono, yang kabarnya akan diluncurkan setelah agenda besar DPR terkait fit & proper test Kapolri selesai.

    Menurut Ismet, kasus lumpur Lapindo sudah inkracht dan tidak bisa digoyang lagi secara hukum. “Jika ada pihak yang akan menjadikan persoalan lumpur sebagai materi hak angket, dari aspek sebelah mana akan dibidik, dan dalam perspektif apa,” tegas Ismet yang merupakan kader Partai Golkar tersebut, Minggu (12/4).

    Kepentingan pribadi sebagian pihak di Partai Golkar, kata Ismet, hendaknya tidak lagi menyeret-nyeret kasus lumpur ke dalam wilayah politik, karena secara hukum kasus lumpur sudah clear. “Pendekatan apalagi yang mau dipakai kalau bukan perspektif hukum,” tegas Ismet.

    Lebih jauh Ismet mengatakan, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 November 2007 sudah jelas menolak gugatan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) atas PT Lapindo yang dituding sebagai penanggung-jawab atas kerusakan lingkungan akibat lumpur di sekitar Sidoarjo. “Pengadilan tegas menyatakan bahwa semburan lumpur akibat fenomena alam,” katanya.

    Pengadilan Jakarta Pusat juga menolak gugatan serupa yang diajukan YLBHI. Selain itu, Mahkamah Agung juga menolak permohonan uji materi atas Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007. “Dengan sejumlah putusan hukum tersebut, artinya kasus Lapindo sudah inkracht dan tidak bisa lagi diganggu gugat.”

    Ismet balik bertanya, “Jika hak angket berhasil dilakukan dan secara politis – misalnya – PT Lapindo dinyatakan bersalah, lantas apakah hasil paripurna itu bisa serta-merta dijadikan dasar ekskusi hukum, sementara secara hukum kasus lumpur sudah inkracht,” katanya.

    Terkait dengan itu, Ismet menghimbau fraksi lain untuk tidak ikutan menggulirkan hak angket lumpur Lapindo, jika tidak ingin dituding oleh masyarakat sebagai tindakan naif, memaksakan kehendak, dan tidak logis. “Jika hak angket ini didorong terkait kisruh Partai Golkar yang notabene melibatkan nama Aburizal Bakrie, sungguh tidak ada korelasinya. Mengada-ada, naif, dan tidak logis. Ini urusan partai, sentimen pribadi jangan dibawa-bawa ke wilayah politik,” kata Ismet.

    Lagi pula, kata Ismet, meski tidak ada satu pun putusan hukum yang memutuskan bahwa PT Lapindo Brantas bersalah terkait semburan lumpur Lapindo, tapi Grup Bakrie melalui PT Lapindo berkenan mengalah dan bersedia mengerjakan perintah recovery area sesuai Perpres No 14 Tahun 2007.

    Lapindo pun, kata Ismet, tidak berusaha melakukan yudicial review atas turunnya Perpres itu, namun memilih menjalankan kewajibannya meskipun lahan yang rusak akibat lumpur sangat luas, yakni (total luas Area Terdampak) 640 hektar. “Berdasarkan Perpres tersebut, Lapindo berkewajiban mengganti rugi lahan dalam Area Terdampak, sedangkan pemerintah melalui BPLS berkewajiban menangani lahan di luar Area Terdampak,” tambahnya.

    Pasal 15 dalam Perpres No 14 Tahun 2007, kata Ismet, seharusnya bisa menjadi landasan bagi para pihak-, sebelum melakukan justifikasi negatif terhadap kasus Lumpur Lapindo.

    Sesuai Perpres itu, lanjutnya, kewajiban Lapindo Brantas sbb: 1. Menanggung biaya sosial, membeli tanah dan bangunan masyarakat, 2. Pembayaran bertahap 20% di muka dan 80% sebulan sebelum masa kontrak habis, 3. Biaya penanggulangan lumpur, termasuk penanganan tanggul sampai ke Kali Porong.

    Sedangkan kewajiban Pemerintah dalam Perpres No 14 Tahun 2007, kata Ismet, sebagai berikut: 1. Menanggung biaya sosial kemasyarakatan di luar Area Terdampak, 2. Menanggung biaya penanganan infrastruktur untuk penanganan lumpur.

    “Lapindo Brantas telah berusaha menyelesaikan apa yang menjadi tanggung jawabnya sesuai Perpres No 14 Tahun 2007. Mulai dari menanggung biaya sosial kemasyarakatan, pembayaran ganti rugi di area terdampak. Kabarnya Grup bakrie telah menghabiskan dana Rp 6 triliun lebih untuk keperluan tersebut,” katanya.

    Tapi anehnya, kata Ismet, ketika pemerintah akan menjalankan kewajibannya sesuai Perpres No 14 Tahun 2007 – terkait kewajiban pemerintah atas areal di luar peta terdampak, justru banyak pihak yang meributkan.

    “Jika poin itu yang akan dibawa ke Senayan sebagai materi hak angket, sungguh naif. Karena sejatinya semburan lumpur itu adalah bencana yang seharusnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah,” kata Ismet. (win5)

  • Golkar dan Lapindo

    Golkar dan Lapindo

    Versi PDF unduh di sini.

    MENYUSUL kekalahan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tahun 2014 lalu, Partai Golkar berada dalam posisi tersulit sepanjang sejarah republik ini. Golkar memiliki budaya politik untuk selalu merapat dan berkoalisi dengan pemegang kekuasaan. Di era Indonesia memilih presidennya secara langsung, kandidat Golkar selalu kalah. Namun, Golkar selalu berhasil memperkuat posisi politiknya untuk merapat pada kursi kekuasaan.

    Pada pemilihan presiden 2004, kandidat Golkar (Wiranto-Salahuddin Wahid) kalah di putaran pertama. Pada putaran kedua partai pun melimpahkan dukungannya kepada pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Kalla pun ditunjuk sebagai ketua umum partai periode 2004-2009. Sementara beberapa kader penting masuk dalam kabinet dan pelbagai posisi strategis lainnya.

    Pada tahun 2009, kandidat Golkar (Jusuf Kalla-Wiranto), lagi-lagi, kalah dalam pemilihan presiden satu putaran. Akan tetapi, Golkar berhasil mempertahankan posisinya sebagai partai pendukung sang penguasa. Salah satu kader kunci bagi keberhasilan itu adalah Aburizal Bakrie yang terpilih sebagai ketua umum partai, mengalahkan Surya Paloh dalam Munas di Riau, Pekanbaru, Oktober 2009.

    Di bawah pimpinan Aburizal, Golkar menginisiasi pembentukan Sekretariat Gabungan (Setgab) koalisi partai pendukung pemerintah dan Aburizal duduk sebagai ketuanya. Berangkat dari perjalanan semacam itu, kita dapat berkesimpulan bahwa dalam peta politik nasional, politisi Partai Golkar tidak pernah merasakan bagaimana menjadi oposisi.

    ‘Aburizalisasi Golkar’

    Tidak seperti zaman sebelumnya, Golkar mulai memperhitungkan kekuatan ‘figur’ (Aburizal) dan menggarapnya sebagai magnet partai. Rasionalisasinya adalah memperkokoh mesin partai warisan Orde Baru yang sudah berjalan baik.

    Untuk mencapai tujuan itu beberapa kader penting partai yang tidak sepaham dengan Aburizal dan ide-idenya diberhentikan. Sebagian lain memilih loncat ke partai lain. Mereka tidak sepakat dengan gerakan ‘Aburizalisasi Golkar,’ suatu gerakan menjadikan persoalan personal Aburizal menjadi persoalan kelembagaan partai. Salah satu yang paling kentara adalah, tentu saja, penggalangan dukungan partai atas kasus Lapindo.

    Sebagai ketua umum partai, Aburizal tidak perlu harus hadir sendiri untuk mengklarifikasi segala tuduhan publik terkait kasus Lapindo. Dia cukup memfungsikan kader partainya untuk menyuarakan kepentingannya. Hasilnya, kader dan simpatisan partai dari level nasional sampai level kampung telah disulap menjadi agen ‘normalisasi’ kasus Lapindo agar sesuai dengan versi Aburizal, dan Lapindo.

    Praktik ‘normalisasi’ itu dilakukan di pelbagai medan pertarungan kekuasaan. Yang paling masif adalah penggiringan opini di ruang-ruang publik. Di DPR, Golkar menginisiasi pendirian Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) dan memimpinnya. Pada praktiknya, yang dimaksud ‘pengawasan’ adalah melancarkan pelbagai skema penyelesaian kasus Lapindo menuruti kepentingan Aburizal, dan Lapindo.

    Golkar adalah kunci bagi lolosnya pengalokasian dana APBN untuk Lapindo. Sejak 2007, trilyunan rupiah uang rakyat telah digelontorkan untuk menangani dan menutupi segala macam akibat dan ulah Lapindo. Tak hanya itu, di bawah kendali Golkar, DPR pun menyatakan lumpur Lapindo sebagai ‘bencana alam,’ alih-alih ‘bencana teknologi.’

    Di tingkat lokal, Golkar merekrut beberapa korban Lapindo yang haus kekuasaan menjadi kader partai. Para korban ditawari beragam posisi, mulai anggota legislatif (nasional, provinsi, dan kabupaten/kota) sampai kepala daerah (Sidoarjo), asalkan mereka menyuarakan dan mendukung Aburizal, dan Lapindo.

    Dengan demikian, Golkar telah menjadi alat yang sangat efektif bagi Aburizal bukan hanya untuk melakukan ‘normalisasi’ namun juga melepaskan diri dari kasus Lapindo.

    Hak angket Lapindo, untuk (si)apa?

    Beberapa pengamat politik memprediksikan bahwa pasca pesta demokrasi 2014 lalu Golkar akan mengulang pola yang terjadi sebelumnya, yakni merapat ke penguasa. Pola itu diputus oleh sikap Aburizal, sebagai ketua umum partai, yang bersikeras untuk tetap mendukung Koalisi Merah Putih pimpinan Partai Gerindra. Padahal Golkar mendapatkan suara lebih banyak ketimbang Gerindra.

    Sikap Aburizal itu memicu reaksi keras dari sebagian besar eksponen partai. Menjadi oposan bertentangan dengan budaya politik partai. Bibit resistensi pun berkembang, namun casus belli bagi konflik internal Golkar adalah Munas Bali yang memilih kembali Aburizal sebagai ketua umum. Beberapa kader penting mengklaim Munas Bali tidak sah. Mereka pun menggelar Munas tandingan di Jakarta dan mengangkat Agung Laksono sebagai ketua umum partai.

    Perseteruan internal Golkar berlanjut menjadi makin runyam ketika lembaga negara lain turun campur. Dalam pelbagai pernyataannya, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan dukungannya pada kubu Agung Laksono. Pernyataan itu sangat politis. Eksekutif membutuhkan dukungan dari parlemen bagi terlaksananya program. Tambahan suara dari Golkar di parlemen akan sangat menguntungkan bagi pemerintah. Dalam konteks tersebut, SK Menteri Hukum dan HAM No. M.HH-01.AH.11.01 (23 Maret) yang menyatakan kubu Agung sebagai kubu yang sah menjalankan Golkar sangat problematis.

    Kubu Aburizal mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta yang pada 1 April lalu melemparkan putusan sela yang memerintahkan penundaan pemberlakuan SK tersebut. Selain itu, kubu Aburizal mewacanakan untuk melancarkan hak angket menggugat keputusan itu, yang langsung mendapatkan reaksi dari kubu Agung untuk menginisiasi hak angket untuk kasus Lapindo.

    Filsuf Prancis Jacques Derrida berpendapat bahwa dalam dunia politik hal paling sulit dalam politik bukanlah memperjuangkan kemerdekaan ‘liberté’ atau menciptakan kesetaraan ‘egalité, melainkan menjalin persaudaraan ‘fraternité.’Lewat buku Politics of Friendship (2005), Derrida mengungkapkan motif politik persaudaraan tidak murni sosial namun sangat pribadi: menyelamatkan diri sendiri.

    Berangkat dari argumen Derrida tentang politik persaudaraan, hak angket Lapindo – jika benar dilaksanakan – perlu dilihat sebagai strategi pendukung Agung Laksono untuk menyelamatkan diri dari kasus Lapindo. Caranya adalah melepaskan beban yang ditimpakan pada Golkar dan mengembalikannya ke pundak Aburizal. Wacana yang dipelihara dan disebarluaskan adalah ‘kasus Lapindo merupakan persoalan pribadi Aburizal dan perusahaannya, bukan persoalan Partai Golkar.’

    Kita berharap wacana hak angket Lapindo tidak berubah menjadi, apa yang disebut Derrida ‘simulakra,’ ruang yang diciptakan terlihat seolah-olah penting dan perlu bagi kepentingan bersama, namun sebenarnya hanya dibuat-buat untuk menutupi motif pribadi dari para penciptanya.

    Kita sangat mendukung pengusutan tuntas kasus Lapindo. Namun, kita juga berhak dan perlu bertanya: apakah hak angket akan efektif bagi tujuan itu? Kita harus terus mengingatkan pemerintah bahwa ada persoalan sangat mendesak untuk dilakukan: memulihkan dampak dan krisis sosial-ekologis akibat lumpur Lapindo.***

    Anton Novenanto, pengajar di Jurusan Sosiologi, Universitas Brawijaya, Malang

    Sumber: http://indoprogress.com/2015/04/golkar-dan-lapindo/

  • Pengamat: DPR Tidak Boleh Terjebak dalam Konflik Golkar

    Pengamat: DPR Tidak Boleh Terjebak dalam Konflik Golkar

    BeritaSatu.com, Jakarta – Pengamat politik dari IndoStrategi Andar Nubowo meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak terjebak dalam konflik Partai Golkar di parlemen. Dia menilai kubu Aburizal Bakrie (ARB) dan Agung Laksono (AL) mulai menggunakan DPR untuk kepentingan masing-masing.

    “Wacana angket Lapindo yang diusulkan kubu AL tampaknya untuk mengimbangi angket Menkumham yang diinisiasi oleh Partai Golkar kubu ARB. Jelas ini pola serangan balik atas ARB. Apalagi, kasus Lapindo identik dengan ARB,” ujar Andar saat dihubungi BeritaSatu.com, Selasa (31/3).

    Menurutnya, jika hak angket Lapindo dan Menkumham ini terjadi, maka akan menjadi kontestasi siapa yang paling berpengaruh dan kuat di parlemen, baik dalam konteks Partai Golkar sendiri ataupun Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH).

    “Kita berharap DPR bisa memilih dan memilah. Tidak terjebak pada arus konflik di tubuh partai tertentu. Lembaga DPR itu lembaga rakyat, tidak boleh disetir oleh salah satu pihak,” tegas Andar.

    Hak angket Lapindo, katanya kesannya memang lebih kuat sebagai politik revenge kubu AL terhadap ARB. Dia pun mengharapkan pimpinan DPR dan anggotanya perlu memeriksa secara objektif dan menghindari politisasi lembaga eksekutif untuk kepentingan kelompok tertentu.

    “Tetapi, jika substansi itu sesuai dengan tupoksi anggota dewan, ya jalan saja tanpa terjebak pada konflik internal partai tertentu. Intinya, DPR harus fokus bekerja di atas kepentingan partai atau golongan tertentu,” terangnya.

    Andar mengaku bahwa kesan politisasi kasus Lapindo tak terhindari. Pasalnya, kasus ini merupakan kasus lama, sejak zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Publik, katanya, tentu bertanya mengapa baru dimunculkan hak angketnya setelah dualisme Partai Golkar.

    “Kesan politisnya kan tidak bisa dihindari. Tetapi, jika memang ditemukan fakta baru dalam Lapindo yang merugikan rakyat dan negara, saya kira boleh boleh saja. Makanya itu, argumentasi hak angket ini harus betul-betul jelas dan berdampak luas bagi masyarakat,” pungkasnya.

    Yustinus Paat | FEB

    Sumber: http://www.beritasatu.com/nasional/261613-pengamat-dpr-tidak-boleh-terjebak-dalam-konflik-golkar.html

  • Golkar Kubu Munas Jakarta Wacanakan Hak Angket Lapindo

    Golkar Kubu Munas Jakarta Wacanakan Hak Angket Lapindo

    JurnalParlemen, Senayan – Dualisme kepengurusan Partai Golkar antara kubu Munas Ancol (Agung Laksono) dengan Munas Bali (Aburizal Bakrie) kian memanas. Saling gugat dan ajukan laporkan ke Bareskrim Mabes Polri pun sudah dilakukan kedua kubu.

    Kini, Golkar kubu Agung Laksono memerintahkan anggotanya di Senayan, menggalang dukungan untuk pengajuan penggunaan Hak Angket soal Lapindo, sebagai balasan kepada Golkar kubu Aburizal yang lebih dulu menggulirkan penggunaan hak angket soal putusan Menkum dan HAM Yasonna Laoly mengesahkan kepengurusan Golkar kubu Agung Laksono.

    “Kita upayakan besok kita galang angket soal Lapindo, angket pajak, dan angket pertambangan. Ini akan kita kerahkan agar di DPR lakukan angket. Kita dukung pemberantasan korupsi,” kata Wakil Ketua Umum Golkar Munas Ancol Yorrys Raweyai, Senin (30/3), di Gedung DPR, Jakarta.

    Yorrys menambahkan, angket tersebut ditujukan untuk mendalami apakah dana talangan dari Pemerintah ditujukan untuk kepentingan rakyat, atau hanya dijadikan lahan bagi pengusaha untuk meraup keuntungan.

    “Dana yang diberikan untuk kemanusiaan ke Lapindo kami setuju. Tapi, apakah rakyat terselamatkan atau pengusaha yang menikmati itu?,” tukasnya.

    Jay Waluyo

    Sumber: http://www.jurnalparlemen.com/view/9726/golkar-kubu-munas-jakarta-wacanakan-hak-angket-lapindo.html

  • Pengamat: Hak Angket Lapindo Tak Relevan

    Pengamat: Hak Angket Lapindo Tak Relevan

    KBR, Jakarta – Wacana penggalangan hak angket Lapindo dinilai sarat kepentingan politik. Ini menyusul kisruh dua kubu antara Agung Laksono dan Aburizal Bakrie di internal partai Golkar.

    Menurut Koordinator Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti, pengguliran hak angket oleh kubu Agung saat pemerintahan Joko Widodo, tidak relevan. Pasalnya sebagain besar kebijakan tentang lumpur Lapindo diambil saat pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

    “Kalau tidak hati-hati, sebetulnya yang tengah diangketi ini adalah pemerintahanya Jokowi yang disebut bukan merupakan aktor utama dalam pengabaian hak-hak masyarakat Lapindo,” kata Ray Rangkuti di KBR Pagi, (30/3/2015).

    “Ini kepentingan publik, cuma momentumnya kurang tepat, ini harusnya terjadinya di era Pak SBY. Mestinya sejak di eranya pak SBY yang relevan dilakukan. Ini jadi pertanyaan kita.”

    Ray Rangkuti menambahkan, hak angket Lapindo diperkirakan akan gagal seperti halnya hak angket untuk Menteri Hukum dan HAM.

    Kata dia, banyaknya wacana hak angket menunjukkan DPR lebih sibuk dengan urusan internal ketimbang kepentingan publik. Ray memperkirakan, kisruh internal partai maupun di DPR akan mewarnai wajah politik Indonesia sepanjang tahun ini.

    Ninik Yuniarti

    Sumber: http://portalkbr.com/03-2015/pengamat__hak_angket_lapindo_tak_relevan/69214.html