Tag: Kedungbendo

  • Lumpur Lapindo Meluap, Balai Desa Dipindah

    Lumpur Lapindo Meluap, Balai Desa Dipindah

    SIDOARJO – Jebolnya tanggul di titik 73 tidak hanya membuat lumpur masuk ke rumah warga di dua desa, Kedungbendo dan Gempolsari. Air lumpur tersebut juga menenggelamkan balai desa di Kalitengah Selatan. Akibatnya, balai desa itu dipindah ke rumah Juwadi, warga setempat.

    ’’Pemindahan dilakukan untuk menyelamatkan arsip desa,’’ kata Camat Tanggulangin Sentot Kun Mardianto.

    Pemindahan balai desa di Kedungbendo dimulai pukul 08.00 hingga pukul 14.30 Selasa (9/12). Upaya itu dipimpin Sekretaris Camat Tanggulangin Yani Setiawan. Lokasi balai desa berjarak sekitar 1 kilometer dari tanggul titik 73 yang jebol.

    Kondisi balai Desa Kedungbendo cukup memprihatinkan. Bagian dalamnya sudah tergenang lumpur hingga 20 sentimeter. Demikian pula halaman depan.

    Sejak pagi, lima pekerja membantu pegawai kecamatan mengangkati perabot dari dalam. Antara lain, mebel, lemari, dan komputer inventaris desa. Saat evakuasi, tidak semua perabot bisa diangkut ke balai desa yang baru. Perabot yang tidak bisa diselamatkan ditinggal di tempat. Misalnya, meja dan arsip lainnya.

    ’’Sejauh ini, tidak ada dokumen yang rusak,’’ kata Yani.

    Namun, dia belum yakin seratus persen dengan hal tersebut. Sebab, pihaknya belum memeriksa secara mendetail dokumen-dokumen tersebut. Termasuk, database warga yang tersimpan dalam komputer.

    Selain sudah dipenuhi lumpur, balai desa tersebut dipindah karena letaknya jauh dari jalan besar. Akses menuju tempat pelayanan publik itu sangat sulit. Untuk mencapai balai desa, selama ini warga harus menyeberangi jembatan bambu. Padahal, kondisi jembatan bambu itu kini mulai rusak.

    Ini bukan kali pertama Balai Desa Kedungbendo dipindah karena genangan lumpur. Saat awal lumpur meluber, balai desa dipindahkan ke rumah mantan Kepala Desa Kedungbendo Hasan. Dua tahun lalu, Hasan meninggal. Namun, rumah tersebut masih difungsikan sebagai balai desa.

    Saat tanggul jebol pada 30 November lalu, balai desa sempat terendam aliran lumpur. Endapan lumpur semakin parah karena hujan deras yang mengguyur kawasan tanggul beberapa hari terakhir. Akhirnya, balai desa dipindahkan ke rumah lama Juwadi.

    Sementara itu, sejak Sabtu (6/12), tim siaga bencana membentuk pos evakuasi di ruang pertemuan Balai Desa Gempolsari. Tim itu merupakan gabungan tim BPLS, forpimda, dan relawan dari Puskesmas Tanggulangin. Ruangan tersebut berukuran sekitar 10 x 20 meter.

    ’’Pos evakuasi digunakan menampung warga di RT 9 dan RT 10,’’ kata Suwito, relawan Kampung Siaga Bencana (KSB). Berdasar data yang dihimpun tim siaga bencana, terdapat 96 warga yang dievakuasi di Balai Desa Gempolsari.

    Hingga kemarin, belum ada seorang pun warga yang mengungsi ke pos tersebut. Warga beranggapan rumah mereka masih bisa ditempati, meski sesekali lumpur masuk ke dalam rumah. Namun, kata Suwito, warga beberapa kali mendatangi pos untuk meminta air bersih. (laz/c5/end)

  • Lapindo Bokek, Negara Tekor

    Lapindo Bokek, Negara Tekor

    JAKARTA, Jawa Pos – Menagih janji pelunasan ganti rugi kepada PT Minarak Lapindo Jaya seperti upaya tak berkesudahan bagi warga korban lumpur Sidoarjo. Sudah delapan tahun lima bulan semburan lumpur, namun PT Minarak Lapindo Jaya belum kunjung melunasi kewajibannya.

    Bahkan, yang terbaru, PT Minarak Lapindo Jaya angkat tangan karena tidak mampu lagi menyelesaikan ganti rugi warga korban lumpur di peta area terdampak (PAT) di Sidoarjo. Pihak perusahaan menyatakan bahwa kondisi keuangan PT Minarak Lapindo Jaya sedang payah. Padahal, sang pemilik, Aburizal Bakrie, baru saja menjamu hampir 500 peserta musyawarah nasional (munas) Partai Golkar di kompleks wisata mahal, Nusa Dua, Bali.

    Sikap tidak bertanggung jawab anak usaha Bakrie Group tersebut membuat negara menanggung kerugian. Sebab, agar warga tetap mendapatkan haknya, pemerintah terpaksa turun tangan dengan mengambil alih pembayaran ganti rugi.

    Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono mengatakan, pihaknya sudah meminta rekomendasi Kementerian Hukum dan HAM soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meminta negara menjamin pelunasan ganti rugi korban, baik di dalam maupun luar PAT. ”Jadi, (tanggung jawab ganti rugi) ini diambil oleh negara, dibayar dan (tanahnya) jadi aset negara,” ujarnya setelah sidang kabinet di Istana Negara Rabu (3/12).

    Sebagaimana diketahui, selama ini korban dalam PAT menjadi tanggung jawab Lapindo, sedangkan ganti rugi untuk korban di luar PAT ditanggung pemerintah. Namun, karena Lapindo sudah kehabisan dana, belum semua korban dalam PAT mendapatkan ganti rugi. Sementara itu, korban di luar PAT sudah mendapatkan ganti rugi dari pemerintah.

    Nah, Maret lalu MK telah mengabulkan permohonan enam korban lumpur Lapindo yang berada dalam PAT. Intinya, MK meminta negara dengan kekuasaan yang dimiliki untuk menjamin dan memastikan pelunasan ganti rugi korban dalam PAT. Namun, pemerintahan SBY menilai bahwa arti putusan itu bukan pemerintah yang harus mengganti rugi. Melainkan, pemerintah menggunakan kekuatan untuk menekan Lapindo agar segera menyelesaikan kewajibannya.

    Multitafsir itulah yang menurut Basuki sudah dikaji pemerintahan Jokowi. Oleh Kementerian Hukum dan HAM, putusan tersebut ditafsirkan bahwa pemerintah harus mengambil alih karena Lapindo sudah tidak mungkin lagi menyelesaikan kewajiban itu. ”Kalau tidak (mengambil alih), kami disalahkan secara konstitusi,” katanya.

    Sebelumnya, Direktur Utama PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla mengatakan, pihaknya sudah melunasi sebagian besar kewajiban pembayaran ganti rugi senilai Rp 3,8 triliun. Namun, masih ada kekurangan Rp 781 miliar yang belum dibayar. ”Bukan kami tidak mau membayar. Tapi, kondisi keuangan perusahaan kami lagi tidak ada,” ucapnya.

    Basuki menyebut, untuk mengambil alih tanggung jawab di wilayah PAT, pemerintah segera mengubah Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) agar menjadi payung hukum yang kuat. ”Kami juga minta opini dari Kejaksaan Agung,” ujarnya.

    Pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan dana besar untuk menanggulangi lumpur Lapindo. Sejak 2007 hingga 2014, anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membiayai BPLS sudah menyentuh angka Rp 9,53 triliun.

    Tuntut Kepastian

    Dari Sidoarjo, dikabarkan pansus lumpur Sidoarjo hingga kemarin belum mengambil tindakan tegas terkait dengan keluhan korban luapan lumpur Lapindo di peta terdampak. Namun, mereka tidak akan tinggal diam. Dalam waktu dekat, pansus akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

    Mereka bakal menjembatani pertemuan antara BPLS, bupati, dan warga. ”Rencananya, Jumat nanti (5/12) kami memanggil mereka. Melakukan mediasi untuk para pihak,” tegas Machmud, ketua pansus lumpur Sidoarjo.

    Pansus juga akan mendesak pemerintah untuk memberikan kepastian kepada korban soal pembayaran ganti rugi. Pansus juga bakal bertanya kepada pemerintah apakah benar pembayaran ganti rugi itu masuk APBN 2015.

    Untuk menyelesaikan permasalahan lumpur itu pun, pansus tidak hanya melibatkan korban dalam peta area terdampak. Mereka yang tidak masuk peta tersebut juga harus diberi pemahaman. Sebab, lanjut Machmud, terkait dengan kondisi lumpur saat ini, dua pihak warga itu memiliki keinginan yang berbeda.

    Warga yang masuk korban terdampak menginginkan penanggulan dihentikan sebelum ganti rugi tuntas dibayar. Sebaliknya, warga Desa Kedungbendo dan Kaliketapang berharap lumpur segera ditanggul. Sebab, jika dibiarkan meluber, lumpur bisa menggenangi kediaman mereka. ”Kami berharap keadaan tetap kondusif. Kuncinya ada pada pembayaran ganti rugi korban di peta terdampak,” tegas Machmud. (owi/laz/may/hen/sep/c11/end)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/9930/Lapindo-Bokek-Negara-Tekor-

  • Korban Lapindo Masih Diabaikan

    Perwakilan dari Desa Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo dan Siring, Sidoarjo, yang menggabungkan diri dalam Gerakan Pendukung Perpres  No 14/2007 (Geppres) menyatakan bahwa saat ini masa kontrak rumah 2 (dua) tahun telah habis, sehingga telah melewati jatuh tempo pembayaran 80 persen jual-beli tanah dan rumah yang tenggelam, sebagaimana pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 tahun 2007.

    Akan tetapi ternyata, PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa pembayaran 80 persen, dengan alasan tanah-tanah warga yang bukti kepemilikannya berupa Pethok D, Letter C, atau SK Gogol tidak bisa “di-AJB-kan” (dibuatkan akte jual beli). Sebagaimana lazim di desa-desa tersebut, mayoritas warga, sekitar 14.000 KK, bukti kepemilikan tanah mereka adalah Pethok D, Letter C dan SK Gogol. Sangat sedikit yang memiliki sertifikat hak milik (SHM).

    Alasan PT MLJ tersebut tidak masuk akal. Sebab, Badan Pertanahan Nasional telah mengirimkan surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo yang telah bersertifikat maupun belum bersertifikat. BPN menjelaskan secara rinci mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik maupun tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol.

    PT MLJ justru memaksakan model cash and resettlement dalam penyelesaian sosial korban lumpur Lapindo. Ini tidak sesuai dengan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No 14 tahun 2007. Karena itu, Geppres menolak model cash and resettlement dan tetap berpegang teguh mendukung pelaksanaan Perpres No. 14 Tahun 2007. Geppres menuntut Pemerintah untuk “memaksa PT MLJ agar tunduk kepada Perpres dan menindak tegas atas pembangkangan yang dilakukan”.

    Berbeda dengan Geppres, korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Perwakilan Warga Perumtas menyatakan bahwa bahkan sampai hari ini, mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen. Mereka mengatakan bahwa, pada 24 April 2007, mereka telah bertemu dengan Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Dirut Bank Tabungan Negara, Dirut Bank Nasional Indonesia dan Gubernur Jakarta. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa pembayaran uang muka 20 persen korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 akan dibayarkan mulai tanggal 24 April 2008.

    Faktanya hingga kini mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen, apalagi berkenaan dengan pembayaran sisa 80 persen. Padahal saat ini telah setahun lebih dari waktu yang dijanjikan. Untuk itu PW Perumtas menuntut “realisasi pembayaran seratus persen langsung”.

    Sedangkan Gerakan 3 Desa yang terdiri dari Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, menuntut keadilan Pemerintah dalam menangani permasalah sosial di ketiga desa tersebut. Pada Juli 2008 lalu Presiden memang telah mengeluarkan Perpres No. 48 Tahun 2008 yang menetapkan ketiga desa tersebut dalam peta area terdampak. Namun dalam hal mekanisme implementasi, muncul banyak masalah, dan tidak sesuai dengan tuntutan warga.

    Pertamasebagian wilayah Desa Besuki, yakni Desa Besuki yang berada di timur bekas jalan tol tidak masuk ke dalam peta area terdampak. Berkaitan dengan hal itu, Gerakan 3 Desa menuntut wilayah Desa Besuki bagian timur untuk “dimasukkan ke dalam peta area terdampak”. Keduapenentuan harga jual beli aset lahan dan bangunan di wilayah 3 desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) masih belum jelas. Gerakan 3 Desa menuntut harga itu disesuaikan dengan desa-desa yang masuk wilayah peta area terdampak, yakni tanah sawah 120.000 per meter persegi, tanah kering 1.000.000 per meter persegi, dan bangunan 1.500.000 per meter persegi.

    Ketigadisebutkan dalam Perpres No. 48 Tahun 2008 bahwa sisa pembayaran 80 persen aset warga akan dilakukan setelah pelunasan sisa pembayaran 80 persen bagi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggungjawab PT Lapindo Brantas. Bagi Gerakan 3 Desa, pembayaran 80 persen aset mereka tidak ada hubungannya dengan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, sebab menggunakan sumber mata anggaran yang berbeda. Artinya, pelunasan 80 persen untuk ketiga desa tersebut dilakukan tanpa menunggu pelunasan sisa 80 persen bagi korban yang masuk peta terdampak 22 Maret 2007 yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

    Sementara, korban Lapindo yang tergabung dalam Paguyuban Warga 9 Desa yang berasal dari Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, Gedang, Mindi, Glagah Arum, Plumbon, Pamotan, Ketapang, Gempolsari menyatakan bahwa desa-desa tersebut telah terkena dampak luapan lumpur Lapindo berupa munculnya buble gas di mana-mana, penurunan tanah, rusaknya sumber mata air, tergenangnya sebagian wilayah oleh rembesan air yang berasal dari tanggul lumpur Lapindo, maupun bau gas yang menyengat.

    Paguyuban Warga 9 Desa menyayangkan Pemerintah tidak bertindak cepat dan sigap. Wilayah desa tersebut tidak ditetapkan dalam peta area terdampak, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di desa-desa tersebut. Padahal, empat orang warga desa telah meninggal akibat pencemaran gas yang terjadi dan belasan lainnya jatuh sakit.

    Karena itu, Paguyuban Warga 9 Desa menuntut kepada Pemerintah untuk (1) menetapkan wilayah 9 desa ke dalam peta area terdampak; (2) menggunakan cara Perpres No 14 tahun 2007, yakni dengan melakukan jual-beli lahan di wilayah kami dengan mekanisme 20 persen sebagai uang muka, dan 80 persen sisanya dibayarkan dalam jangka waktu 1 tahun kemudian; (3) jaminan keamanan, keselamatan, dan sosial.

    Jakarta, 29 Agustus 2008
    Gerakan Pendukung Perpres No 14 Tahun 2007/Geppres
    Perwakilan Warga Perumtas

    Gerakan 3 Desa
    Paguyuban Warga 9 Desa

    Kontak:

    Paring 08125296063
    Beggy 085269135520

  • Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    Warga Kedung Bendo Masih Bertahan

    korbanlumpur.info – Meskipun aksi di tempat lain dibubarkan secara paksa oleh aparat kepolisian, warga yang menduduki akses ke tanggul di Desa Ketapang masih tetap bertahan. Sampai pukul 02.00 hari Selasa (26/8) warga masih tinggal di tenda darurat yang siang tadi didirikan oleh warga. “Kami tetap bertahan sampai tuntutan kami dipenuhi,” ujar Abdul Syukur (40 tahun) kepada Kanal.

    Bersama dengan puluhan korban lainnya dari Desa Kedung Bendo dan Gempolsari, Cak Syukur, demikian pria 40 tahun ini biasa dipanggil, yang merupakan warga Desa Ketapang memilih tidur di tanggul. Tidak hanya, laki-laki dewasa yang memutuskan untuk tinggal di tanggul, tetapi juga ibu-ibu maupun anak-anak kecil semuanya tidur di tenda yang dibangun seadanya itu.

    “Rumah kami kan sudah tenggelam, kontrak 2 tahun juga sudah habis. Kami tidak punya lagi tempat untuk tinggal,” terang bapak satu putra ini.

    Pendapat senada diungkapkan oleh Anto (29 tahun) warga Desa Kedung Bendo yang juga bertahan di tanggul. Pemuda lajang yang akrab dipanggil Gambar ini menegaskan tekad bahwa warga tidak khawatir aksi mereka akan dibubarkan oleh aparat. “Atas dasar apa aparat membubarkan kami. Sepanjang belum dilunasi, tanah ini kan masih milik kami,” tegasnya ketika ditemui dini hari tadi.

    Koordinator aksi di tanggul Desa Ketapang, Hari Suwandi menjelaskan bahwa memang beberapa kali dia dihubungi aparat dari Polres Sidoarjo. Pihak kepolisian menanyakan bagaimana situasi aksi yang dilakukan oleh warga di Desa Ketapang. Dan sejauh ini, situasi aksi di Desa Ketapang memang relatifterkendali. “Tadi malam kami mengadakan istighotsah yang dipimpin oleh Ustadz Matsukril dari Desa Kedung Bendo,” terang Hari.

    Menurut rencana, aksi korban Lumpur Lapindo dengan menutup tanggul akan dilanjutkan selama beberapa hari ke depan. Dan selama tuntutan mereka belum dipenuhi, warga akan tetap menduduki tanggul.

    “Bahkan kalau perlu kami akan mendirikan gubuk untuk tempat tinggal kami dan keluarga di atas tanah dimana dulu rumah kami berdiri,” tegasnya. (ako)