Korban Lapindo Masih Diabaikan


Perwakilan dari Desa Renokenongo, Jatirejo, Kedungbendo dan Siring, Sidoarjo, yang menggabungkan diri dalam Gerakan Pendukung Perpres  No 14/2007 (Geppres) menyatakan bahwa saat ini masa kontrak rumah 2 (dua) tahun telah habis, sehingga telah melewati jatuh tempo pembayaran 80 persen jual-beli tanah dan rumah yang tenggelam, sebagaimana pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No. 14 tahun 2007.

Akan tetapi ternyata, PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa pembayaran 80 persen, dengan alasan tanah-tanah warga yang bukti kepemilikannya berupa Pethok D, Letter C, atau SK Gogol tidak bisa “di-AJB-kan” (dibuatkan akte jual beli). Sebagaimana lazim di desa-desa tersebut, mayoritas warga, sekitar 14.000 KK, bukti kepemilikan tanah mereka adalah Pethok D, Letter C dan SK Gogol. Sangat sedikit yang memiliki sertifikat hak milik (SHM).

Alasan PT MLJ tersebut tidak masuk akal. Sebab, Badan Pertanahan Nasional telah mengirimkan surat kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo yang telah bersertifikat maupun belum bersertifikat. BPN menjelaskan secara rinci mekanisme jual beli untuk tanah bersertifikat hak milik maupun tanah dengan bukti Yasan, Letter C, Pethok D, Gogol.

PT MLJ justru memaksakan model cash and resettlement dalam penyelesaian sosial korban lumpur Lapindo. Ini tidak sesuai dengan pasal 15 ayat (1) dan (2) Perpres No 14 tahun 2007. Karena itu, Geppres menolak model cash and resettlement dan tetap berpegang teguh mendukung pelaksanaan Perpres No. 14 Tahun 2007. Geppres menuntut Pemerintah untuk “memaksa PT MLJ agar tunduk kepada Perpres dan menindak tegas atas pembangkangan yang dilakukan”.

Berbeda dengan Geppres, korban lumpur Lapindo yang tergabung dalam Perwakilan Warga Perumtas menyatakan bahwa bahkan sampai hari ini, mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen. Mereka mengatakan bahwa, pada 24 April 2007, mereka telah bertemu dengan Presiden, Wakil Presiden, Menko Kesra, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Sosial, Dirut Bank Tabungan Negara, Dirut Bank Nasional Indonesia dan Gubernur Jakarta. Dalam pertemuan tersebut disepakati bahwa pembayaran uang muka 20 persen korban lumpur Lapindo di dalam peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 akan dibayarkan mulai tanggal 24 April 2008.

Faktanya hingga kini mereka belum mendapatkan uang muka 20 persen, apalagi berkenaan dengan pembayaran sisa 80 persen. Padahal saat ini telah setahun lebih dari waktu yang dijanjikan. Untuk itu PW Perumtas menuntut “realisasi pembayaran seratus persen langsung”.

Sedangkan Gerakan 3 Desa yang terdiri dari Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring, menuntut keadilan Pemerintah dalam menangani permasalah sosial di ketiga desa tersebut. Pada Juli 2008 lalu Presiden memang telah mengeluarkan Perpres No. 48 Tahun 2008 yang menetapkan ketiga desa tersebut dalam peta area terdampak. Namun dalam hal mekanisme implementasi, muncul banyak masalah, dan tidak sesuai dengan tuntutan warga.

Pertamasebagian wilayah Desa Besuki, yakni Desa Besuki yang berada di timur bekas jalan tol tidak masuk ke dalam peta area terdampak. Berkaitan dengan hal itu, Gerakan 3 Desa menuntut wilayah Desa Besuki bagian timur untuk “dimasukkan ke dalam peta area terdampak”. Keduapenentuan harga jual beli aset lahan dan bangunan di wilayah 3 desa (Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring) masih belum jelas. Gerakan 3 Desa menuntut harga itu disesuaikan dengan desa-desa yang masuk wilayah peta area terdampak, yakni tanah sawah 120.000 per meter persegi, tanah kering 1.000.000 per meter persegi, dan bangunan 1.500.000 per meter persegi.

Ketigadisebutkan dalam Perpres No. 48 Tahun 2008 bahwa sisa pembayaran 80 persen aset warga akan dilakukan setelah pelunasan sisa pembayaran 80 persen bagi korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggungjawab PT Lapindo Brantas. Bagi Gerakan 3 Desa, pembayaran 80 persen aset mereka tidak ada hubungannya dengan sisa pembayaran korban lumpur Lapindo yang menjadi tanggung jawab PT Lapindo Brantas, sebab menggunakan sumber mata anggaran yang berbeda. Artinya, pelunasan 80 persen untuk ketiga desa tersebut dilakukan tanpa menunggu pelunasan sisa 80 persen bagi korban yang masuk peta terdampak 22 Maret 2007 yang menjadi tanggung jawab Lapindo.

Sementara, korban Lapindo yang tergabung dalam Paguyuban Warga 9 Desa yang berasal dari Desa Siring bagian barat, Jatirejo bagian barat, Gedang, Mindi, Glagah Arum, Plumbon, Pamotan, Ketapang, Gempolsari menyatakan bahwa desa-desa tersebut telah terkena dampak luapan lumpur Lapindo berupa munculnya buble gas di mana-mana, penurunan tanah, rusaknya sumber mata air, tergenangnya sebagian wilayah oleh rembesan air yang berasal dari tanggul lumpur Lapindo, maupun bau gas yang menyengat.

Paguyuban Warga 9 Desa menyayangkan Pemerintah tidak bertindak cepat dan sigap. Wilayah desa tersebut tidak ditetapkan dalam peta area terdampak, sehingga tidak ada satu pihak pun yang bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi di desa-desa tersebut. Padahal, empat orang warga desa telah meninggal akibat pencemaran gas yang terjadi dan belasan lainnya jatuh sakit.

Karena itu, Paguyuban Warga 9 Desa menuntut kepada Pemerintah untuk (1) menetapkan wilayah 9 desa ke dalam peta area terdampak; (2) menggunakan cara Perpres No 14 tahun 2007, yakni dengan melakukan jual-beli lahan di wilayah kami dengan mekanisme 20 persen sebagai uang muka, dan 80 persen sisanya dibayarkan dalam jangka waktu 1 tahun kemudian; (3) jaminan keamanan, keselamatan, dan sosial.

Jakarta, 29 Agustus 2008
Gerakan Pendukung Perpres No 14 Tahun 2007/Geppres
Perwakilan Warga Perumtas

Gerakan 3 Desa
Paguyuban Warga 9 Desa

Kontak:

Paring 08125296063
Beggy 085269135520

Translate »