Tag: kehidupan korban

  • Berlomba Menyelamatkan Yang Tersisa

    Berlomba Menyelamatkan Yang Tersisa

    korbanlumpur.info – Sunaryo berusaha mengambil paku-paku yang masih menancap di kayu-kayu yang ditumpuk didekatnya. Dengan hati-hati dia kumpulkan paku-paku itu kedalam kaleng bekas susu, dan kayu-kayu yang sudah bersih dari paku ditumpuk disampingnya. Bangunan rumahnya mulai kehilangan bentuk, atap dan pintu serta jendela-jendela sudah tidak lagi ada, dibantu saudaranya dia mulai membersihkan rumahnya, membongkarnya sendiri sedikit demi sedikit, berlomba dengan kedatangan air yang telah merembes ke sebelah rumahnya. Sunaryo tidak sendirian, hampir semua orang disitu sedang berusaha menyelamatkan apa yang masih diambil dari bangunan tempat tinggal mereka, sebelum lumpur benar-benar menenggelamkannya.

    Kamis (11/09) pukul 04.00 tanggul yang berdiri antara pusat semburan dengan dusun Sengon Desa Renokenongo jebol, air mengalir deras ke bekas persawahan yang sekarang sudah penuh air dan dengan segera mengalir mendekati perumahan warga yang ada disitu. “Jam empat saya dengar tanggulnya jebol, Jam tujuh saya sudah mulai membongkar rumah, khawatir air cepat datang” terang bapak yang telah dikaruniai seorang puteri ini.

    Sebenarnya wilayah dusun Sengon, seperti wilayah desa Renokenongo lainnya, sudah dimasukkan kedalam peta area terdampak, tapi sebagian warganya masih bertahan karena mereka belum mendapatkan kompensasi dari Lapindo. “Belum dapat sama sekali, ini semua (warga yang sedang membongkar bangunannya) belum ada yang menerima ganti rugi” ujar pria berumur 40 tahun ini. Mereka ini adalah warga yang tergabung kedalam PAGAR REKONTRAK (Paguyuban Rakyat Renokenongo Menolak Kontrak), sebagian besar memang tinggal di pengungsian Pasar Porong Baru, tetapi beberapa warga masih tinggal di rumah-rumah mereka yang dianggap masih bisa ditempati.

    Rumah Sunaryo sendiri bahkan terkesan baru saja dibangun, batu bata yang dipasang masih terlihat baru dan belum usang, demikian pula kayu kusen pintu dan jendela. “Iya ini baru, saya bangun karena terlanjur beli bahan bangunan sebelum lumpur masuk” ungkapnya. Tapi itu tidak bisa menghentikan aliran air bercampur lumpur yang terus mengalir mendekati rumah-rumah warga.

    Sunaryo mengumpulkan lagi paku-paku yang masih menempel di kayu-kayu itu. Dia butuh mengumpulkan sebanyak mungkin bahan bangunan yang masih bisa diambil, karena semua itu akan digunakannya lagi untuk membangun rumahnya yang baru, menurutnya kalau dia tidak mengambil sisa bahan bangunan miliknya, tetap saja akan diambil orang-orang lain. “Kalau saya tidak bongkar bangunan, nanti juga dibongkar orang lain” ujarnya sambil mencontohkan rumah-rumah di daerah Perumahan TAS I yang sisa bangunannya banyak diambil oleh orang-orang lain, dan bukan pemiliknya. Meskipun belum mendapat lahan untuk membangun kembali, atau bahkan tempat untuk menyimpan sisa bahan bangunannya, warga tetap saja mempercepat kerjanya untuk segera membersihkan apa yang bisa didapat dari bekas rumahnya sendiri “Nanti dulu kita cari tempatnya, mau numpang dimana atau ditaruh dimana, yang penting jangan sampai tenggelam dulu rumahnya” tutur Sunaryo.

    Hari semakin gelap, dan jalan-jalan dusun mulai tergenang air. Sunaryo dan warga lainnya bergegas meneruskan pekerjaan, berharap sedikit bisa menyelamatkan sisa-sisa rumahnya. Sementara, kejelasan nasib hak-haknya juga belum terang benar, mereka terpaksa meninggalkan tanah dan kampungnya karena lumpur tidak mengenal kompromi ketika datang begitu saja dan menenggelamkan apa saja yang dilewatinya.

    Orang-orang seperti Sunaryo dan warga dusun Sengon lainnya jelas akan terus bertambah, lumpur belum berhenti menyembur, tanggul-tanggul tidak pernah memberi jaminan keselamatan warga disekitarnya, skenario penanganan selalu berkutat pada tambal sulam penanggulan, sementara pemerintah sudah menyatakan diri menyerah terhadap penanganan semburan lumpur ini (Kompas 12/08). Tidak ada yang jelas betul bagi Sunaryo, kecuali bahwa lumpur ini akan terus melebar.  [rere]

  • Ojek Tanggul, Mengais Rejeki Di Tengah Bahaya

    korbanlumpur.info – Sudah dua tahun ini Marsudiono (42 tahun) jadi tukang ojek di tanggul lumpur Lapindo. Baginya bau busuk lumpur, debu, dan terik matahari yang menyengat sudah menjadi sego jangan alias sudah biasa baginya.

    Yudi, begitu sapaan akrab Mardudiono, tak tahu kalau luapan lumpur itu mengandung logam berat yang berbahaya macam Cadmium, Chromium, Arsen juga Merkuri. Dia hanya tahu kalau bau itu bisa membahayakan kesehatannya dan sialnya bapak dua anak ini tidak punya pilihan lain saat saya tanya apakah dia tidak takut? “Takut juga, tapi bagaimana lagi kan harus cari duit,” tutur Yudi.

    Rumah Yudi dulunya di dekat tugu masuk desa Siring. Di antara tugu dan pintu masuk menuju pusat semburan lumpur, tepatnya, di RT 11 RW 02 nomer 17. Dia menempati rumah seluas 350 meter bersama istri Surotin (39 tahun) dan dua orang anaknya Ryan Priyambodo (17 tahun) dan Yora Lensinawati (12 tahun).

    Di rumah tersebut Yudi menyewakan 10 ruangan pada karyawan-karyawan dari luar daerah. Sebelum lumpur meluap Siring merupakan kawasan industri yang cukup sibuk.

    “Perkamar 75 ribu sebulannya,” tutur Yudi.

    Banyak perusahaan dan salah satu perusahaan yang terkenal adalah PT. Catur Putera Surya (CPS). PT ini mencuat namanya pada tahun 1993-an karena kasus pembunuhan buruhnya yang benama Marsinah karena menuntut kenaikan gaji 20%. Marsinah lalu menjadi salah satu simbol perlawanan buruh.

    Tokohnya pernah difilmkan oleh sutradara Slamet Rahardjo Djarot pada 2001. Waktu awal semburan lumpur orang-orang Siring bilang ini karena kualat dengan Marsinah. Tak jelas apa maksudnya. Yudi tak begitu percaya. “Orang hanya menjadikannya guyonan saja,” tutur Yudi.

    Kini semuanya telah hilang. Kehidupan bertetangga Yudi, kos-kosannya sebagai penopang hidupnya sekeluarga musnah. Dia sudah menerima 20 persen ganti rugi tanah pekarangan dan rumahnya. Namun itu belum cukup untuk bertahan hidup dia musti bekerja dan itu juga dialami oleh banyak keluarga dari Siring dan Jati Rejo.

    Ojek di sekitar luapan lumpur Lapindo menjadi pilihan mereka. Sebanyak 150 orang dari dua desa itu yang kehilangan pekerjaan dan memilih menjadi ojek tanggul dan mengantarkan orang yang penasaran dengan luapan lumpur Lapindo.

    Orang-orang dari luar daerah banyak yang penasaran dengan tanggul. Tanggul menjadi lokasi wisata dadakan. Kata ‘wisata’ sebenarnya kurang pas untuk lokasi bencana di mana ribuan orang dipaksa keluar dari tempat tinggal dan merenggut puluhan nyawa. Kata yang lebih pas mungkin ‘ziarah’.

    “Ziarah lebih pas agar orang mengingat kalau di tempat ini pernah ada orang yang meninggal dan diusir dari tempat tinggalnya,” tutur Yudi.

    Tarifnya bervariasi tergantung jauh dekatnya putaran. Paling mahal 50 ribu untuk mengelilingi seluruh tanggul yang meliputi empat desa. “Biasanya butuh waktu empat jam,” tutur Yudi.