Tag: kesehatan korban lumpur

  • Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    tempo - lempar bakrie

    Ribuan korban lumpur, terutama dari golongan keluarga miskin (gakin) semakin nelangsa. Mereka harus pontang-panting mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini terjadi karena mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Padahal ancaman kesehatan mereka semakin besar, seiring lamanya semburan lumpur Lapindo.

    Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, menyebut ada ribuan warga korban lumpur Lapindo yang tidak tercover jaminan kesehatan. “Alasan Dinas Kesehatan lucu. Kami dianggap terlambat mendaftar. Padahal kami sama sekali tidak pernah dapat sosialiasi,” kata Harwati, Senin (26/5/2014).

    Perempuan 43 tahun itu mengaku sudah berjuang bersama para tetangganya sejak 2011. Ketika jaminan kesehatan masih bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Mulai tahun ini, jaminan kesehatan itu berganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

    Herwati menceritakan, awalnya, dia dan korban lumpur meminta didaftarkan Jamkesmas, namun gagal. Sebelumnya, nama-nama mereka juga gagal masuk ke Jamkesda dengan alasan terlambat mendaftar.

    Berbagai instansi mereka datangi. Mulai dari kelurahan, kecamatan, DPRD sampai Pemkab Sidoarjo. Jawaban yang didapat Harwati sangat normatif. Isinya lebih banyak janji. Harwati menilai, janji itu sampai saat ini belum terealisasi.

    Beberapa warga memang kemudian  mengurus surat keterangan miskin (SKTM) ke kelurahan. Surat ini bisa menjadi pengganti bagi warga miskin yang tidak memiliki kartu Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Tapi tidak sedikit warga yang frustrasi karena merasa dipingpong.

    “Kalau mengingat dipingpong-pingpong ini,  kami merasa kok seolah-olah orang miskin seperti kami ini dilarang sakit. Ya Allah, kok tega-teganya memperlakukan kami begitu,” tutur Herwati.

    Pendataan Korban Lumpur Lapindo Awut-awutan

    Cerita sedih disampaikan oleh Novik Akhmad, korban lumpur Lapindo asal Jatirejo. Dia mengeluh karena tidak pernah diikutkan dalam program jaminan kesehatan. Padahal mereka menderita karena bencana tersebut. “Dulu ada jamkesmas, ada juga jamkesda. Tapi kami tidak pernah diikutkan program itu. Padahal kami korban lumpur yang setiap hari menghirup gas beracun dari semburan lumpur,” keluh pemuda 32 tahun itu.

    Novik yang merasa sangat membutuhkan jaminan kesehatan, kemudian mendaftarkan kedua orangtuanya sebagai peserta BPJS secara mandiri. Premi ditanggungnya sendiri setiap bulan, Rp 90.000.

    Pemuda bertubuh kurus itu mengaku tidak memiliki uang lagi untuk menambah anggota keluarga masuk sebegai perserta BPJS. Pasalnya, untuk menambah peserta, dia harus kembali membayar premi. Untuk kelas III, premi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000, sedangkan kelas II, ditetapkan Rp 45.000.

    Dia menilai, pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya, terutama warga korban lumpur. Ada ribuan warga lain yang sama sekali tidak pernah tahu ada program jaminan kesehatan dari negara. Selama ini, hanya warga yang kritis saja yang mendapatkan akses informasi.

    Menurut Novik, kisah pilu warga itu terjadi karena pendataan yang dilakukan terhadap korban lumpur awut-awutan.  Ia lalu merujuk data Pemkab Sidoarjo melalui Basis Data Terpadu PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial). Di situ tercatat hampir 90 persen warga korban lumpur tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS. Bahkan di Desa Renokenongo, data rumah tangga sasaran tercatat nol persen. Padahal ada ratusan KK yang semestinya masuk kategori keluarga miskin (Gakin).

    Begitu juga di Desa Jatirejo, yang tercatat sebagai penerima jaminan kesehatan cuma 31 KK. Kemudian Desa Kedungbendo hanya 6 keluarga dan Siring 36 keluarga.

    “Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah melakukan pendataan. Yang jelas, ribuan warga lain tidak pernah didata. Alasan pemerintah daerah sih warga korban lumpur hidup terpencar. Jadi mereka kesulitan mendata. Padahal, pemerintah bisa kok mendata warga saat foto dan pengurusan e-KTP lalu. Tetapi itu tidak dilakukan,” kritik Novik.

    Warga korban lumpur sendiri selama ini tidak sempat mengurus masalah itu. Mereka terlalu disibukkan dengan alotnya pelunasan ganti rugi dan tempat tinggal sementara

    Uang Ganti Rugi Lumpur Lapindo Sudah Habis untuk Berobat
    Arrohma
    Kegiatan Komunitas Arrohma

    Penuturan senada  disampaikan korban lumpur lainnya, Khoiri. Sejak lima tahun silam, istrinya divonis mengidap kanker serviks. Warga asli Siring itu pun bingung bukan kepalang karena tidak memiliki ongkos untuk biaya pengobatan.

    Awalnya, Khoiri bisa membiayai pengobatan istrinya dengan uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tahun pertama, Khoiri sudah menghabiskan Rp 100 juta. Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk biaya kemoterapi. Kemudian dia harus menjual rumah di kawasan Pandaan.

    Khoiri jatuh miskin. Dia tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhan selanjutnya. Tabungannya saat itu hanya menyisakan Rp 5 juta. Berbagai instansi pemerintah dia datangi.

    Dia hanya ingin istrinya terdaftar di dalam jamkesmas atau sejenisnya. Dia mendatangi kecamatan dan Dinkes Sidoarjo. Namun tidak ada hasil.

    Oleh seorang dokter, Khoiri dan istrinya disarankan mengurus SKTM. “Alhamdulillah setelah itu kemoterapinya gratis,” kata Khoiri. Namun dia tetap harus menyediakan uang jutaan rupiah untuk menebus obat yang tidak masuk dalam daftar tanggungan negara. Meski begitu, dia bersyukur nyawa istrinya tertolong.

    Saat ini, kondisi istrinya sudah membaik. Tapi masih kontrol ke dokter. Nah untuk kebutuhan kontrol ini Khoiri merasakan sulitnya hidup tanpa jaminan kesehatan. Ia terpaksa telat tiga bulan dari jadwal kontrol yang ditentukan dokter.

    Tiap kontrol, Khoiri harus mengeluarkan minimal Rp 500.000. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengumpulkan uang itu. Ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai kuli bangunan yang memang tidak seberapa. Apalagi pekerjaan kuli bangunan itu tidak selalu ada.

    Biasanya, bila sedang tidak order bangunan, Khoiri mencoba menganis rejeki dengan mengojek. Itupun dilakukan dengan was-was karena kondisi kesehatan Khoiri sendiri rawan gangguan. Dua kali kecelakaan saat nguli menjadi penyebab. Dokter menyarankan agar dia tidak bekerja terlalu berat. “Saya hampir mati karena terlindas truk saat nguli,” ujarnya lirih.

    Khoiri sangat berharap, ia dan keluarga terdaftar sebagai peserta BPJS.

    Dinas Kesehatan Tak Tahu Jumlah Warga Lapindo yang Terdaftar

    Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti mengaku tak tahu persis jumlah warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang telah terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, data tersebut sepenuhnya ada di tangan BPJS Kesehatan sendiri. “Saya hanya PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk Dinas Kesehatan yang tugasnya untuk pemberian pelayanan kesehatan saja,” kata Ika, Kamis (27/5/2014).

    Dia hanya memastikan, untuk korban lumpur yang memang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dinyatakan miskin, biaya pengobatannya akan ditanggung oleh pemerintah.

    Terkait syarat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi korban lumpur Lapindo, juga tidak ada perbedaan dengan syarat kepesertaan masyarakat yang lain.

    Yang paling utama, dalam BPJS, penyakit-penyakit atau bahaya kesehatan yang termasuk dalam KLB atau kejadian luar biasa, tidak dicover. Dengan demikian, untuk penyakit-penyakit yang tergolong KLB, sepenuhnya menjadi beban pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo.

    “Dan kalau memang belum terdaftar ke dalam BPJS, harus dilihat dulu apakah yang bersangkutan tergolong mampu atau tidak. Kalau mampu, pengobatan di puskesmas ya bayar. Sebaliknya kalau tidak mampu, ya gratis,” lanjutnya

    DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan

    Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengakui memang ada banyak warga korban lumpur yang tidak tersentuh jaminan kesehatan yang diselenggarakan negara. Penyebabnya, tidak semua dari mereka yang menyandang status miskin. Padahal, status miskin itu menjadi syarat mutlak mendapatkan jaminan dari negara.

    “Kan tidak semua warga korban lumpur itu miskin. Jadi perlu ada pendataan yang selektif untuk menentukan siapa yang berhak,” ujarnya.

    Mahmud menjelaskan, penyelenggarakan jaminan kesehatan oleh BPJS itu ada dua model, yakni mandiri dan dibiayai negara. Untuk kategori kedua, hanya warga berstatus miskin saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan yang tidak termasuk miskin, harus atas biaya sendiri. “Jadi ada kok warga (korban lumpur) yang mendaftar BPJS mandiri,” kata dia.

    Terkait upaya memberikan jaminan kesehatan itu, lanjut Mahmud, pihaknya sudah mempertemukan warga korban lumpur dengan Dinkes serta Bappeda Kabupaten Sidoarjo.  Namun, kata Mahmud, tidak bisa kemudian mengintervensi data penerima BPJS yang dimiliki BPLS. Sebab, data penerima jaminan dari negara itu merupakan domain Badan Pusat Statistik (BPS).

    Mahmud mengkritik cara pendataan keluarga miskin korban lumpur Lapindo. Pendataan oleh BPS itu dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur di Sidoarjo.

    Menurut Mahmud, pendataan dan perumusan kriteria miskin untuk korban lumpur itu seharusnya dilakukan tim terpadu, gabungan dari BPS, Pemkab Sidoarjo,  kelurahan, dan perwakilan warga.

    Data miskin itu, lanjut Mahmud, seharusnya diupdate terus. Sebab, warga miskin untuk korban lumpur Lapindo bersifat dinamis.

    Dia mencontohkan, ada warga yang sebelum terjadi tragedi lumpur, termasuk warga mampu. Namun, setelah  terjadi semburan lumpur, menjadi miskin. Ada juga warga yang masuk kriteria kaya setelah menerima ganti rugi dari Lapindo, tapi kemudian jatuh miskin karena membengkaknya kebutuhan hidup. “Inilah yang perlu selalu dilihat dan diantisipasi,” tuturnya.

    Pendataan terakhir dilakukan pada 2011. Padahal, saat itu sudah banyak warga miskin korban lumpur yang tidak tercover jaminan kesehatan, yang saat itu masih bernama Jamkesmas.  “Kami meminta agar ada pemutakhiran data dalam waktu dekat,” tegasnya.

    Informasinya, pada 2014 ini akan ada pendataan ulang. Dia berharap Pemkab Sidoarjo mendorong BPS agar lebih teliti dalam mendata warga korban lumpur. Dia menilai, permasalahan di sana tidak sama dengan daerah lain yang juga menjadi obyek pendataan.

    Permasalahan lain yang dianggap menyulitkan pendataan adalah tersebarnya domisili warga korban lumpur.  “Masalah ini memang sangat teknis. Tetapi, mereka kan tetap warga Sidoarjo meskipun tinggal di daerah lain. Apalagi, mereka tidak akan melepas status warganya karena masih terkait dengan proses ganti rugi,” ungkap politikus PAN itu.

    Untuk sementara, Mahmud menyarankan agar warga menggunakan SKTM untuk mendapatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan juga bisa dilakukan di puskemas.

    Korban Lumpur Lapindo Bertahan dengan Jimpitan Sehat

    Para korban lumpur Lapindo terus berharap bisa menikmati layanan  kesehatan gratis dari negara yang kini ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi, karena tidak mau mati dalam ketidakpastian, mereka membentuk lembaga pendanaan mandiri, Jimpitan Sehat.

    Komunitas Ar-Rohma membuat terobosan dengan menggarap model pendaanaan swadaya untuk membantu biaya pengobatan. Tidak besar memang dana yang bisa dibagikan, tapi manfaatnya cukup dirasakan para anggota komunitas itu.

    Ar-Rohma beranggotakan korban lumpur dari empat desa,  Jatirejo, Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo, yang lenyap terkubur lumpur Lapindo.

    Dana pengobatan itu mereka namakan dana Jimpitan Sehat. Sesuai namanya, dana itu mereka ambil kecil-kecilan secara rutin dari para anggotanya. “Kami bertemu dua minggu sekali. Nah di pertemuan itu, ada jimpitan lima ribu rupiah. Namanya Jimpitan Sehat,” kata Saropah, Selasa (27/5/2014).

    Saropah dulu tinggal di  Jatirejo. Tapi sejak 2006, ia harus membawa keluarganya mengungsi setelah rumahnya terkubur lumpur.

    Saropah kini tinggal di Pasuruan bersama suami dan tiga anaknya. Meski tinggal di Pasuruan, Saropah dan suaminya, Sulastro, setiap hari tetap bertandang ke lokasi lumpur Lapindo.  Hidupnya masih bergantung di desa kelahirannya itu. Bedanya dulu, hidupnya bergantung  pertanian sawahnya, kini bergantung pada wisatawan lumpur Lapindo. Persisnya, jasa ojek untuk melayani pengunjung lumpur. Kalau beruntung, rezekinya bisa bertambah lewat VCD lumpur yang ia jajakan untuk pengunjung.

    Beberapa kali Saropah terbantu  Jimpitan Sehat itu. Itu ia rasakan  ketika melahirkan anak ketiganya. Juga ketika seorang anaknya harus berobat di puskesmas. Satu lagi, manfaat jimpitan kesehatan itu dirasakan ketika orangtuanya meninggal. Ya, Jimpitan Sehat juga mengcover biaya kematian.

    “Bantuannya memang ala kadarnya. Tetapi itu cukup membantu meringankan kami. Setidaknya bisa buat beli obat atau buat transport saat berobat,” ujarnya

    Sulit Peroleh Layanan Kesehatan, Korban Lapindo Dilarang Sakit

    kerajinan 06

    Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan. Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.

    Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39), menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota. Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.

    “Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.

    Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

    Harwati sendiri mengaku terinspirasi dari perjalanan hidupnya. Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi, karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.

    Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit bagi Harwati. Sebelum meninggal, RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya, Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS. Padahal, satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.

    “Dari kejadian itu, saya sering kali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya.

    sumber: Liputan Khusus Harian Surya

  • Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Sidoarjo, korbanlumpur.info — Sekitar 30 warga korban Lapindo yang tergabung dalam kelompok belajar Ar-Rohma hari Senin (3/6) mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Tujuan kedatangan warga kali ini adalah ingin menyampaikan persoalan pendidikan dan kesehatan yang selama tujuh tahun belakangtidak mendapatkan perhatian dari Lapindo maupun pemerintah.

    Kelompok warga yang mayoritas perempuan itu langsung ditemui Mahmud, ketua Komisi D DPRD Kabupaten Sidoarjo. Warga langsung menyampaikan aspirasinya terkait persoalan pendidikan dan kesehatan yang tengah mereka hadapi. Mulyani, seorang anggota Ar-Rohma dari Desa Jatirejo, menyampaikan perihal anaknya yang saat ini terancam tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) karena masih menunggak biaya UAS dan tiga bulan SPP.

    “Saya hanya tukang jahit. Dulu sebelum lumpur menenggelamkan kampung saya, pendidikan tidak menjadi masalah buat saya. Di tempat baru sekarang, saya mati-matian mencari uang untuk membiayai anak saya sekolah.  Sudah 3 bulan saya belum bisa membayar SPP anak saya. Anak saya diancam tidak bisa mengikuti UAS kalau belum bisa melunasi SPP,” cerita Mulyani, yang kini tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II.

    Nur Hadi Setiyawan, siswa SMU Walisongo, Gempol, juga terancam tidak menerima ijazah. Pasalnya sejak kelas 1 sampai kelas 3 dirinya juga sering menunggak SPP. Total biaya SPP yang belum dilunasi hampir sebesar 3 juta rupiah. “Anak saya tahun ini lulus SMU, tapi kami belum bisa mengambil ijazahnya karena belum bisa melunasi SPP dan biaya Ujian Nasional,” keluh Nur Ali, orangtua Nur Hadi.

    Menanggapi persoalan pendidikan korban Lapindo tersebut, Mahmud berjanji akan segera menindaklanjutinya. Politisi dari Fraksi PAN ini dalam waktu dekat akan mengundang Dinas Pendidikan dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    “Dalam waktu dekat kami akan mengundang Dinas Pendidikan dan BPLS untuk membicarakan hal ini. Disiapkan saja data anak-anak yang putus sekolah dan yang kesulitan biaya agar bisa ditindak lanjuti,” janji Mahmud.

    Harwati, Kordinator Kelompok Belajar Ar-Rohma, sangat berharap anggota dewan dari Komisi D bisa membantu persoalan warga. Menurutnya selama ini korban Lapindo sudah menderita. Ganti-rugi aset tanah dan bangunan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan banyak warga yang kini semakin menderita.

    “Banyak anak-anak korban Lapindo yang putus sekolah. Banyak warga yang kehilangan mata pencaharian, yang lalu kesulitan membiayai sekolah anak-anaknya. Jaminan kesehatan juga sama sekali tidak diperhatikan. Kami berharap Komisi D bisa membantu kami untuk mengatasi masalah ini,” ungkap Harwati di akhir pertemuan.

    Lebih lanjut Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur yang juga ikut dalam pertemuan itu sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

    “Kasus lumpur Lapindo ini sudah tujuh tahun berjalan, seharusnya negara juga menjamin dan memulihkan hak-hak korban Lapindo. Persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi juga harus menjadi prioritas,” ungkapnya.

    © Ahmad Novik untuk korbanlumpur.info

  • Tragedi Lumpur Lapindo, ‘Tutup Mata’ di Tengah Kerusakan Lingkungan dan Pelanggaran HAM

    Peringatan 7 Tahun semburan Lumpur Lapindo di Surabaya, Rabu (29/5/13). Sudah tujuh tahun, namun HAM masyarakat belum dipulihkan. Merekapun hidupdalam lingkungan yang tercemar. Foto: Jatam

    Tujuh tahun sudah tragedi luapan lumpur Lapindo meporakporandakan kehidupan warga sekitar Sidoarjo, tetapi sampai kini perhatian pemerintah minim. Pemulihan HAM puluhan ribu jiwa itu masih terabaikan. Komnas HAM pun menyatakan, kemungkinan mengkaji kembali dan mencari fakta-fakta baru dalam kasus ini.

    Sesak nafas, kesemutan, pusing dan nyeri persendian badan menimpa anak-anak sampai dewasa. Itulah antara lain gangguan kesehatan warga yang hidup di sekitar lumpur Lapindo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim).

    “Saat ini warga setiap hari hirup gas. Banyak yang sakit pernapasan. Banyak juga yang sakit kepala, pusing, nyeri. Ini aneh, biasa nyeri sendi kalau sudah dewasa. Di sana anak-anak sudah mengalami,”  kata Abdul Rohim, warga Besuki kepadaMongabay, pertengahan Mei 2013.

    Warga sering sakit-sakitan.  Sayangnya, pemerintah, Kementerian Kesehatan sampai Dinas Kesehatan hingga hari ini seakan tak peduli.  Warga tak tahu apa yang bercokol di dalam tubuh mereka saat ini. “Banyak warga tak normal. Sudah tujuh tahun ini tak pernah cek kesehatan. Pemerintah pun tak ada inisiatif untuk memeriksa warga sekitar luapan Lapindo.”

    Angka penderita inspeksi saluran pencernaan akut (ISPA) dan pencemaran meningkat.  Pada temuan awal di beberapa Puskesmas terdata sekitar 46 ribuan orang menderita ISPA, sekitar 1.000 an orang mengalami mual-mual dan mencret.

    Puluhan ribu korban lumpur Lapindo yang mengalami kesulitan hidup ini seakan disederhanakan lewat ganti rugi lahan oleh perusahaan. Pemerintah pun, tak memberikan perhatian khusus pada korban, misal dari pelayanan kesehatan maupun pendidikan. “Kalau sekarang, pemerintah sebatas proses kesehatan pakai fasilitas umum seperti jamkesmas.”

    Menurut Rohim, pernah ada diskusi terbuka mengenai kesehatan warga mengundang Badan Penanggulangan Lumpur Lapindo (BPLS). Saat itu, masyarakat korban Lapindo meminta jaminan kesehatan. “Mereka bilang usul ke bupati atau ke gubernur. Sampai sekarang ya kami tidak ada perhatian.”

    Bagi mereka, sebagai pemerintah, baik pusat maupun daerah, seharusnya sudah bisa peka dengan keperluan pelayanan kesehatan masyarakat yang tinggal di lingkungan bergas berbahaya ini.

    Tak hanya masalah lingkungan. Sekolah anak-anak korban Lapindo juga banyak terbengkalai. “Dulu  sekolah dekat sekarang jauh. Harus pakai sepeda ontel.

    Di tengah lingkungan rusak dan tercemar serta ketidakjelasan pelayanan kesehatan dan pendidikan, warga harus menghadapi rentetan masalah lain. Rohim mengatakan, saat ini warga juga mempunyai masalah dengan pengembang. Dalam pembangunan perumahan warga yang relokasi, pengembang tampak ingkar janji. “ Awalnya bilang jadi, misal, bayar 20 persen tanah disiapkan. Ini sudah dibayar 50 persen, pengembang belum siapkan tanah.”

    Pemerintah Jawa Timur, berjanji mengawal pembangunan rumah-rumah warga terdampak lumpur Lapindo ini. Lagi-lagi, janji tinggal janji. “Kalau dari awal pemerintah kawal sampai pindah, mungkin kami tidak ada persoalan,” ucap Rohim. Proses ganti rugi bersengketa juga ada. “Banyak sekali masalah seperti ini.”

    Belum lagi perubahan kehidupan sosial antarwarga. Saat ini, kawan bisa jadi lawan. Urusan ganti rugi, urusan pindah lokasi dan jual beli kerap menjadi pemicu masalah antarwarga.

    Dianto Bachriadi, Komisioner Komnas HAM mengatakan, pada 2012, Komnas HAM telah menemukan fakta dan bukti permulaan terjadi 15 pelanggaran HAM dari kasus lumpur Lapindo ini.  Pelanggaran HAM itu antara lain,  hak rasa aman, hak pengembangan diri, perumahan, pangan, kesehatan,  pelanggaran hak pekerja, hak atas pendidikan dan berkeluarga, kesejahteraan, jaminan sosial, hak para pengungsi sampai hak kelompok rentan.

    Sayangnya, sampai saat ini hasil temuan Komnas HAM bak menjadi tumpukan kertas semata. Tak ada tindaklanjut berarti. “Kita dorong polisi lakukan pidana terhadap perusahaan. Ini untuk pertanggungjawaban pelaku atas kerugian  yang dialami korban.  Harusnya pemidanaan,” katanya.

    Jika ada pemidanaan, kata Dianto, ganti rugi kepada warga korban bisa ditekan. “Ada unsur paksa.” Lagi-lagi tak dilakukan polisi. Malah, kasus-kasus yang sudah dilaporkan di SP3-kan. Seharusnya,  kepolisian tak perlu menanti pengaduan untuk menangani kasus ini . “Ini masalah serius dari aparat kepolisian.”

    Dia membenarkan, meskipun Komnas HAM  sudah menyatakan ada pelanggaran tetapi tidak ada konsekuensi khusus. Untuk itu,  lembaga ini mendesak pemerintah peduli pada persoalan yang menciptakan pelanggaran  HAM, dan kerugian material serta masa depan ribuan orang ini.

    Jika mendiamkan saja, kata Dianto, berarti pemerintah gagal mengelola negara. “Orang sudah jelas ada pelanggaran, korban sudah jelas tapi do nothing.”.

    Mengenai dugaan pelanggaran berat, ujar dia, pada analisis awal pertama Komnas HAM belum ditemukan. Namun, bukan berarti tidak dimungkinkan dilihat kembali. Kenapa begitu? Sebab, sudah tujuh tahun tak ada perkembangan berarti, baik pemerintah maupun swasta tak ada niat sungguh-sungguh. Sedang ribuan korban sampai kini, hak-hak mereka tak terpenuhi.

    “HAM mereka belum pulih, secara ekonomi, sosial dan ekologi merosot. Sekarang ada pada titik nadir. Beberapa hal ini memungkinakan kita untuk masuk kembali.”

    Komnas HAM, katanya,  bisa mengkaji kembali dan pengumpulan fakta-fakta baru. “Mungkin saja ada kesimpulan baru terkait pelanggaran HAM berat dalam kasus lapindo ini.”

    Nasib buruk warga Sidoarjo berawal sejak hari kelam, 29 Mei 2006.  Akibat pemboran sumur Banjar Panji I oleh Lapindo Brantas itu, tercatat 11 desa, tiga kecamatan di Sidoarjo, tenggelam. Sebanyak 2.381 keluarga atau 9.160 jiwa menjadi korban. Mereka tak hanya kehilangan harta benda, juga kehidupan dan lingkungan sehat.

    © Sapariah Saturi | mongabay.co.id | 29 May 2013

  • Kesehatan Korban Lumpur Lapindo Terabaikan

    korbanlumpur.info – Nur Khaiyya (39 tahun) berbaring di balai bambu ditunggui putrinya Fatimah. Beberapa bulan terakhir penyakit kencing manis dan darah tingginya kian parah. Tangannya kirinya lumpuh dan untuk berjalan saja dia susah.

    Khaiyya seorang korban lumpur Lapindo dari Desa Besuki, Jabon, Sidoarjo. Rumahnya di RT 03/RW 05 tiga kali terkena luapan lumpur yang paling parah pada Minggu sore 9 Febuari lalu, saat tanggul titik KM 40 jebol yang menyebabkan Besuki tergenang air lumpur. Ribuan warga Besuki lalu mengungsi di Tol Porong-Gempol.

    Menurut Peraturan Presiden 14 Tahun 2007, Besuki termasuk wilayah luar peta dan semua akibat semburan lumpur dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    Khaiyya sakit darah tinggi sebelum kejadian itu dan penyakitnya kian parah.

    “Kencing manis, darah tinggi, linu, lumpuh, dan perut kanker,” tutur Khaiyya. Tak hanya itu, menurut Dokter Doni, dokter umum yang memeriksanya Khaiyya juga menderita sesak nafas karena penyakit paru-paru.

    “Saya mau periksa di puskesmas tapi kalau pagi tidak ada yang mengantar jadi periksa di dokter umum, tiap periksa saya bayar 25 ribu (Rupiah),” tutur Khaiyya.

    Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah penyakit yang paling banyak diderita pengungsi di tol Porong-Gempol. Menurut catatan pasien Puskesmas Jabon sejak 11 Febuari 2008 jumlah penderita ISPA terus meningkat tiap bulannya mulai 60 pasien, 114 pasien, 131 hingga 164 pasien pada bulan Mei 2008.

    Selain ISPA radang lambung alias maag juga menjadi penyakit yang jumlah pasiennya meningkat terus meningkat. Ketika ditanya soal gangguan kejiwaan para pengungsi, Dokter Djoko Setiyono, dokter puskesmas Jabon, bilang masalah kejiwaan serius belum terlalu tampak, masalah psikologis masih pada tingkat paling rendah yakni gastritis alias maag.

    “(Para pengungsi) makannya tidak teratur, penyakitnya lambung, karena stres, banyak pikiran,” tutur Setiyono.

    Dalam catatan pasien Puskesmas Jabon selama 7 bulan pengungsian sejak Febuari ada dua kasus gangguan kejiwaan serius.

    “Dua pasien kejiwaan ada dua pada bulan Febuari, tapi sakitnya sudah mulai sebelum mengungsi,” jelas Setiyono.

    Kecamatan Jabon hanya ada 3 dokter yang bekerja di Puskesmas Jabon; Dokter Stevanus Idong Djuanda, Dokter Djoko Setiyono, dan Dokter Vita Sofia. Jumlah ini tidak tidak cukup untuk Kecamatan Jabon yang berjumlah 64.000 jiwa. Setelah terjadi bencana Lumpur pemerintah tak juga menambah jumlah tenaga medis.

    “Satu dokter melayani sekitar 15-20 ribu jiwa,” tutur Idong Djuanda.

    Pengungsi memang tidak dipungut biaya pengobatan di Puskesmas ini. Tak ada program khusus untuk menangani kesehatan para pengungsi kecuali hanya dimasukkan dalam program bantuan kesehatan untuk orang miskin alias Jaring Pelayanan Kesehatan Masyarakat (JPKM).

    “Warga Besuki hanya menunjukkan KTP dan KK saja untuk mendapatkan pelayanan,” tutur Setiyono, “sementara surat keterangan miskin tidak dipenuhi warga.”

    JPKM alias Asuransi Kesehatan Untuk Masyarakat Miskin (Askeskin) adalah program kesehatan bikinan Abu Rizal Bakrie selaku Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat (Menko Kesra), yang dibiayai negara.

    Pada akhir 2007 Ical, sapaan Abu Rizal Bakrie, selaku Menko Kesra, sebagaimana dikutip Suara Karya Online, mengambil kebijakan memotong 1 dari 2 triliun dana perjalanan dinas tidak mengikat Departemen Kesehatan untuk nomboki Askeskin.

    Sangat mungkin dana ini banyak tersedot untuk para korban lumpur Lapindo, apalagi pemerintah tak membikin alokasi dana khusus untuk penanganan masalah kesehatan ini.

    Pemerintah tampak tidak sungguh-sungguh. Setelah lima bulan semburan lumpur, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono baru bikin Keputusan Presiden (Keppres) No 13 Tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional (Timnas) Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dan enam bulan berikutnya pemerintah bikin Keppres No 5 Tahun 2007 untuk memperpanjang masa kerja Timnas ini. Kedua Kepres ini tak mengatur secara khusus penanganan kesehatan korban lumpur Lapindo.

    Ivan Valentina Ageung, mantan Manajer Pengembangan Hukum dan Litigasi Wahana Lingkungan Hidup yang kini aktif di Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI) yang pernah memperkarakan Lapindo, mengatakan kasus Lapindo ini salah dari awal. Penanganannya tidak dimasukkan dalam koridor penanggulangan bencana. Penanganannya diserahkan kepada Lapindo sebagai korporasi dengan perjanjian jual-beli biasa seperti tidak terjadi apa-apa.

    Kerpres No 13 Tahun 2006 menyatakan PT. Lapindo Brantas bertanggungungjawab atas pembiayaan operasional Tim Nasional Penanggulangan lumpur. Selain itu meski Tim Nasional bertugas melakukan upaya penanggulangan lumpur; yang meliputi penutupan semburan lumpur, penanganan luapan lumpur, dan penanganan masalah sosial, tugas ini tak mengurangi tanggungjawab penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkan.

    Karena ketiadaan kepastian soal penanganan kesehatan ini, bisa dibayangkan betapa semrawutnya pelaksanaan penangananan kesehatan. Soal pendanaan, Pemerintah pusat hanya mengatur tapi tak menyediakan duit untuk membiayainya. Sementara, dalam kasus pembiayaan yang dibebankan kepada Lapindo, Pemerintah tak mengatur secara rinci bagaimana teknis pembayarannya dan apa sanksi yang diterima Lapindo kalau mangkir dari tanggungjawab.

    Kasus pendanaan ini sempat muncul di sidang paripurna DPRD Sidoarjo pada Juli 2006. Win Hendrarso, bupati Sidoarjo, saat itu bilang tak ada pos untuk penanganan korban lumpur ini. Selama tiga bulan penanganan lumpur dana yang digunakan adalah “dana talangan” karenanya dia meminta Lapindo Brantas untuk mencairkan dana yang diajukan oleh Dinas Kesehatan Sidoarjo sebesar 1,3 miliar yang telah digunakan untuk menalangi biaya kesehatan ini.

    “Dana cadangan Pemkab hanya mampu untuk mambantu kebutuhan biaya kesehatan maksimal selama tiga bulan ke depan,” kata Hendrarso. Karena tak ada peraturan khusus soal teknis pembayaran Hendrarso tak memberi tenggat waktu pembayaran pada Lapindo.

    Masalah ini lebih ruwet lagi menyusul lahirnya Peraturan Presiden No 14 Tahun 2007. Jika Keppres 13/2006 menyebutkan semua akibat sosial dan ongkos Tim Nasional ditanggung Lapindo, Perpres 14 tahun 2007 malah melonggarkan tanggungjawab Lapindo. Lapindo hanya bertanggung jawab atas korban yang berada di dalam peta, sementara korban yang di luar peta ditanggung oleh pemerintah menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

    “Inkonsistensi semacam ini tidak dibenarkan menurut Hukum Administrasi Negara,” kata Subagyo, ahli hukum dari Lembaga Hukum dan Keadilan HAM Indonesia (LHKI) Surabaya.

    Lebih lanjut, menurut Cak Bagyo, sapaan akrab Subagyo, Pemerintah tidak menggunakan standar penanggulangan bencana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 24/2007. Dalam undang-undang tersebut, yang disebut bencana bukan hanya bencana alam, tetapi juga yang diakibatkan oleh ulah manusia seperti kasus lumpur Lapindo ini. Pemerintah tidak tegas dengan status bencana dan sengaja mengambangkannya. Bahkan hingga dua tahun status itu belum jelas.

    Pembedaan status ini menjadi masalah karena korban yang berada di luar peta macam korban dari Desa Besuki tidak mendapatkan hak-hak kesehatan sebagaimana korban bencana. Para korban terutama di luar peta tidak mendapatkan pelayanan khusus masalah kesehatan, kecuali lewat program Askeskin.

    Tak hanya itu, banyak korban dari wilayah dalam peta pun kerap harus mengongkosi sendiri biaya kesehatan mereka bila mereka sakit. Kesehatan mereka memburuk dan tak mendapatkan pelayanan dan penanganan serius. Di pengungsian Pasar Baru Porong, misalnya, tercatat tujuh orang yang menderita gangguan jiwa; Juwi (warga RT 01/RW 1 Reno Kenongo), Pitiyah (warga RT 04/RW01 Renokenongo), Sumariya (warga RT 01/RW 01), Kusmina (warga RT 01/RW01), Bawon (RT 06/RW 02), Rukiyati (warga RT 02/ RW 01).

    Warga yang sakit jiwa ini dibiarkan begitu saja, bahkan sekadar pemeriksaan pun tak ada. Warga hanya menduga kalau mereka sakit jiwa karena kebiasaan mereka yang aneh, “Ada yang belanja tak bayar atau berdiri ke utara seharian dan bilang ingin pulang ke Renokenongo (desa asal mereka),” kata Tuini, salah seorang pengungsi di Pasar Baru Porong.

    Menurut Cak Bagyo, penelantaran pemerintah terhadap korban lumpur Lapindo ini adalah pelanggaran hak asasi manusia. “Korban bisa menuntut pelanggaran HAM ini dan berhak mendapatkan kompensasi,” tutur Cak Bagyo.

    Ivan Valentina Agueung tak punya harapan dengan pengadilan di Indonesia. Dia pernah memperkarakan Lapindo dan pemerintah untuk pertanggungjawaban ini namun hasilnya nihil. Salah urus penanganan bencana dan rusaknya lingkungan ini, menurut Valentina, musti dilaporkan ke dunia internasional.

    Soal penanganan pengungsi, “korban bisa mengundang lembaga UNHCR atau OXFAM International,” tutur Valentina Ageung.