Tag: kompensasi

  • Lapindo mud wall falls, residents’ sorrows spiral

    Lapindo mud wall falls, residents’ sorrows spiral

    The Jakarta Post, Sidoarjo – The embankment of the Lapindo mud retaining pool in Sidoarjo, East Java burst on Wednesday evening because of high rainfall in the area, forcing residents, most of whom have not received compensation, to take shelter.

    “The burst embankment will be rebuilt 5 meters high. However, residents often blockaded the project, so the embankment, which is still only 3.5 meters high, collapsed and caused water to engulf residents’ homes and flow into the river,” Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) spokesman Dwinanto Prasetyo said on Thursday.

    Dwinanto said the government had provided a shelter for affected residents at the Gempolsari village hall, which could accommodate around 100 people, or 20 families, from the village.

    “We have set up a kitchen and provided blankets, clothing and other supplies at the shelter. However, residents prefer to remain in their swamped homes,” he said.

    He added the BPLS had operated two pumps to channel mud to the main retaining pool, from where two dredges would dump the mud into the Porong River.

    One of the residents, Sri Asih, 41, said her family refused to stay at the shelter provided by the local administration, since staying at home was far more comfortable.

    “Each heavy rain, we are always wary of the condition of the mud embankment, because it has collapsed before and water mixed with mud engulfed my home and damaged the furniture,” Sri told The Jakarta Post on Thursday.

    “We prefer moving our belongings, such as furniture, to the shelter at the village hall. If the water level rise further, we will obviously evacuate to the village hall,” she added.

    Sri hoped the government would soon fulfill its promises to pay compensation for her house and land, which were included on the map of areas affected by the Lapindo hot mudflow disaster.

    The government earlier announced it would pay compensation of Rp 781.7 billion (US$60.2 million).

    Many criticized the government’s decision over the compensation as it is actually the responsibility of PT Lapindo Brantas, a company controlled by the family of Aburuzal Bakrie, who is also chairman of the Golkar Party.

    PT Lapindo partly owns PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), which conducted gas exploration activities in the affected area leading to a blowout at one of Lapindo’s natural gas wells in 2006.

    Lapindo has persistently denied its exploration activity was the cause of the mud flow, instead blaming an earthquake in Yogyakarta, hundreds of kilometers to the west.

    Another victim, Ahmadi, 54, expressed hope President Joko “Jokowi” Widodo would not break his promise to immediately resolve the issue.

    “We are actually tired of the promises. If the government is still concerned with the fate of the hot mudflow victims, the payment process should not have been complicated,” said Ahmadi.

    Commenting on the planned compensation, Dwinanto Prasetyo said that although the government had provided the bailout funds, it must still wait for the completion of auditing by the Development Finance Comptroller (BPKP) before they could be disbursed.

    Meanwhile, East Java Governor Soekarwo said the disbursement of the funds for mudflow victims should go through several stages.

    Indra Harsaputra

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2015/03/20/lapindo-mud-wall-falls-residents-sorrows-spiral.html

  • Tentang Ganti Rugi

    Di media massa kerap kali disampaikan bahwa Lapindo sudah mengganti kerugian yang dialami oleh warga akibat semburan lumpur. Sejalan dengan itu, Lapindo melalui PT Minarak Lapindo Jaya membuat dan memasang iklan yang cukup intensif untuk menunjukkan bahwa mereka sudah melaksanakan tanggung jawab kepada warga. Dan segendang sepermainan, BPLS dan pemerintah juga kerap mewartakan bahwa Lapindo sudah membayar ganti rugi.

    Diberitakan pula bahwa warga korban Lapindo setelah dibayar, sekarang kaya raya. Skema pembayaran yang ditetapkan oleh Perpres adalah aset warga dibeli oleh Lapindo. Setelah pembayaran mendapat pembayaran berupa uang, sehingga sekarang kaya raya dan mulai bisa mendapat. Ini ditambah dengan pembandingan bahwa harga yang dibayar oleh Lapindo adalah lebih tinggi dari NJOP.

    Warga yang terus menuntut Lapindo adalah karena mereka mengambil untung dan serakah. Hal ini terkait dengan poin nomor dua diatas, bahwa mestinya setelah dibayarkan ganti ruginya oleh Lapindo, warga seharusnya bersyukur dan berhenti berdemo2. Apalagi dibandingkan dengan korban bencana alam biasa, dimana ganti rugi hanya diberikan senilai 15 juta per keluarga

    Lapindo sudah memberikan semua fasilitas yang diperlukan oleh korban. Dalam berbagai kesempatan, pihak Lapindo selalu mengemukakan bahwa mereka sudah menyediakan semua fasilitas dasar yang diperlukan oleh korban, mulai dari kesehatan, air bersih, pendidikan sampai pada penyediaan makanan untuk korban.

    Lapindo meskipun belum jelas bersalah, sudah mengeluarkan dana miliaran bahkan triliunan rupiah untuk korban. Berlarut-larutnya penyelidikan kasus Lapindo dan ditolaknya dua gugatan class action dari Walhi dan YLBHI kepada Lapindo seringkali dijadikan alasan Lapindo bahwa mereka tidak bersalah. Meskipun mereka tidak bersalah, namun toh Lapindo tetap peduli dan mengeluarkan biaya ratusan milyar bahkan triliunan rupiah lebih.

    Yang pertama perlu diklarifikasi adalah, tidak ada yang namanya ganti rugi. Yang terjadi adalah proses jual-beli aset korban (tanah, sawah dan bangunan). Dan korban disini adalah yang rumahnya masuk dalam peta terdampak, mereka adalah korban langsung.

    Begini analoginya:

    Ada bis yang entah kenapa nyeruduk serombongan pengendara motor. Sebagai bentuk pertanggungjawaban si pengemudi, seharusnya dia membiayai biaya perawatan dan penyembuhan para pengendara, lalu membetulkan kerusakan motornya ke bengkel, dan mungkin memberi sejumlah santunan sebagai ganti rugi atas ketidaknyamanan atau kehilangan waktu yang dialami tiap pengendara. Dan motor tetap dikembalikan kepada si pengendara tho?

    Tetapi alih-alih melakukan semua hal diatas, si pengemudi mobil ini ternyata memilih untuk membeli motor yang ditabrak, dengan harga diatas harga pasar, tanpa mempedulikan luka diderita maupun kerugian yang dialami para pengendara. Dengan uang hasil pembelian itu, korban diharap mampu beli motor lain, juga mengobati sendiri lukanya dan mengganti kerugian lain yang timbul tadi.

    Masalahnya kemudian adalah, terdapat beberapa jenis pengendara. Ada pengendara yang motornya keluaran terbaru, sehingga dihargai cukup mahal, namun ada juga yang motornya sudah butut, sehingga harganya juga murah. Kalau yang motornya baru tadi, mungkin memang akan cukup untuk beli motor baru, dan biaya pengobatan. Nah untuk yang motornya butut, jangan2 hanya untuk biaya pengobatan saja sudah habis duitnya.

    Nah, ada yang lebih celaka lagi nasibya, yaitu adalah mereka yang naik motor pinjaman. Dengan skema tadi, yang dapat duit adalah yang punya motor. Sedangkan dia tidak dapat apa2, dan semakin babak belur karena keluar biaya sendiri untuk pengobatan. Yang untung malah si empunya motor dirumah, yang tidak ikut mengalami kecelakaan.

    Usut punya usut, kabarnya kenapa si penabrak tadi memilih skema ini adalah karena ternyata dia punya bengkel reparasi motor. Sehingga, motor-motor yang ditabrak dan ringsek tadi, nantinya bisa diperbaiki lagi dan dijual sehingga mendatangkan untung. Jadi yang mestinya sekarang dia keluar duit dan merugi karena dia bersalah telah nabrak, malah potensial dapat untung.

    Demikian juga dengan bencana Lapindo ini. Tidak ada itu yang namanya ganti-rugi. Oleh Perpres 14/2007, alih-alih membayar ganti rugi kepada warga, malah diperintahkan membeli sawah, tanah dan bangunan milik warga. Tidak peduli kerugian lain yang mereka alami, baik fisik (seperti kehilangan dan rusaknya perabot dan barang lainnya) maupun non fisik (penderitaan di pengungsian, kehilangan sumber pencaharian maupun pekerjaan, hidup yang tiba-tiba tercerabut dari lingkungan sosial dan budaya yang diakrabinya, dan sebagainya), Lapindo hanya bertanggungjawab membeli aset mereka.

    Masalahnya, tidak semua orang mempunyai aset yang besar, sehingga ganti rugi tersebut hanya akan cukup untuk membeli aset di tempat yang lain. Sedangkan kehilangan barang, hutang yang harus diambil selama mengungsi, kehilangan pekerjaan, biaya pengobatan, tambahan biaya sekolah anak, dan sebagainya tidak dihitung. Apalagi kerugian yang bersifat immaterial.

    Seperti analogi kecelakaan mobil nabrak motor diatas, yang paling merana nasibnya adalah kelompok warga yang tinggal disitu, namun tidak ikut memiliki aset, alias pengontrak atau penyewa. Meskipun mereka sudah bertahun-tahun (beberapa kasus bahkan puluhan tahun) tinggal disitu dan bekerja serta menjadi bagian dari warga, karena bukan pemilik aset, maka dia tidak dapat apa-apa. Yang mendapat pembayaran malah pemilik tanah yang bisa jadi orang dari luar daerah dan tidak mengalami dampak apa2 dari bencana ini.

    Sekali lagi sesuai dengan analogi diatas, ternyata Lapindo tidak benar-benar ’rugi’. Dengan skema jual beli ini, mereka saat ini sudah menguasai tanah seluas hampir 700 ha, secara utuh dalam satu blok, diwilayah yang diperkirakan sangat kaya akan kandungan hidrokarbon. Dan dengan adanya pengembang besar PT Bakrieland Development, Tbk, bukan tidak mungkin bekas wilayah yg sekarang terendam lumpur ini, entah berapa tahun lagi akan disulap jadi kawasan industri atau hunian yang mahal (ingat perkembangan kawasan pantai Indah kapuk di Jakarta atau kawasan Pakuwon di Surabaya?). Jadi, duit yang keluar hari ini anggap saja investasi lahan properti masa depan.

    Dari uraian diatas, bagaimana mungkin Lapindo sudah mengganti rugi korban?

  • Ronde-ronde Lumpur Lapindo

    Oleh: Emha Ainun Nadjib

    Kapan-kapan kampung kita juga tidak dijamin tak akan tertimpa gempa, banjir, tanah longsor, atau segala jenis keisengan geologi bumi dan alam lainnya. Juga rumah saya. Kapan saja, mungkin semenit mendatang, kita bisa mengalami sesuatu yang mengerikan: bangkrut, kehilangan, kecewa, kaget, syok, stres, depresi, atau apa pun, pada diri kita, keluarga, kantor, komunitas, klub, golongan. Kemungkinan itu ada pada semua dan setiap kita. Karena itu, saya tidak berani tak bersungguh-sungguh melakukan apa pun, apalagi terkait dengan penderitaan sesama manusia. Itulah keberangkatan tulisan ini.

    Bertele-telenya, sangat seret dan macetnya, penanganan hak sekitar 50 ribu korban lumpur di Sidoarjo, yang kampungnya tenggelam, kira-kira kronologinya begini. Sampai setahun lebih setelah 29 Mei 2006 adalah ronde 1: korban vs Lapindo. Ronde 2: korban vs Minarak Lapindo. Kemudian setelah Presiden turun gunung adalah ronde 3: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) vs Minarak Lapindo.

    Pada 10 Juli 2007, Presiden marah besar mendengar laporan (tidak melalui jalur birokrasi) kemacetan itu, kemudian Nirwan Bakrie dipanggil Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Maka, ini adalah ronde 4: Presiden vs Bakrie. Dan kalau ini gagal, ronde 5 adalah rakyat vs Lapindo.

    Wallahualam. Di tengah-tengah menulis ini, saya ditelepon oleh Direktur Operasional PT Minarak Lapindo yang melaporkan bahwa besok akan dilaksanakan pembayaran untuk korban yang verifikasinya menggunakan Letter C dan Petok D–kriteria yang sebelumnya ditolak untuk mendapatkan hak bayar, meskipun masih ada kontroversi tentang luas bangunan.

    Batas psikologis

    Sejak beberapa hari yang lalu, saya menghitung bahwa Senin, 16 Juli, lusa mungkin merupakan batas psikologis akhir bagi para korban lumpur Sidoarjo ketika Presiden dan aparat pemerintahnya harus memastikan validitas kebijakan dan kinerja untuk memastikan pembayaran ganti rugi bagi penduduk korban lumpur.

    Beberapa hari ini, terutama kemarin, agak repot saya meredam kemarahan para korban, menunda amukan mereka sampai akhirnya kemarin Presiden marah besar kepada Minarak. Sudah pasti itu sangat mengurangi tensi emosi korban untuk sejenak waktu. Tapi, kalau ini gagal lagi, kesempatan berikutnya bukan naik tensi lagi, tapi pasti menjadi ledakan atau minimal letusan.

    Sejak Presiden pulang dari turun gunung di Sidoarjo, sebenarnya hal itu melahirkan langkah maju secara kebijakan dibanding tahap sikap sebelumnya, tapi belum diaplikasikan secara signifikan di lapangan. Pada 26 Juni 2007 pagi, Presiden Yudhoyono menyaksikan pembayaran simbolis Minarak Lapindo kepada 163 korban, dan sampai kini tahap yang itu saja pun belum tuntas. Padahal angka 163, yang dengan pembayaran sebelumnya berjumlah 522, adalah produk verifikasi Tim Nasional yang kini sudah dibubarkan. Hasil verifikasi BPLS, yang jadwalnya diaplikasikan dalam pembayaran sejak 1 Juli 2007, sampai menjelang habis dua minggu tidak memberikan optimisme kepada psikologi korban. Dari 400 berkas hasil BPLS, oleh Minarak Lapindo hanya diterima 38.

    Masalah utama yang mengganjal proses ini adalah tidak adanya kalimat kebijakan eksplisit dari Presiden bahwa hak verifikasi atas tanah dan bangunan korban ada di tangan BPLS, sementara Minarak Lapindo adalah kasir. Pihak Minarak ikut berada dalam proses verifikasi BPLS dan berlaku sebagai pengambil keputusan akhir diterima atau tidaknya berkas verifikasi. Ribuan tanda tangan Bupati Sidoarjo tetap tidak berlaku bagi Minarak, meskipun hal itu yang membuat Presiden marah dan kemudian mengambil keputusan untuk ngantor di Sidoarjo selama 3 hari.

    Situasi ketidakpercayaan muncul lagi seperti sebelumnya, dan hari demi hari emosi ketidakpercayaan itu akan meningkat curam dan akan sangat mudah melahirkan anarkisme jika sampai Senin 16 Juli lusa Presiden tidak segera mengambil langkah yang tegas.

    Tuhan, ayam, dan pemerintah

    Tuhan menciptakan janin dengan perlindungan maintenance, sistem, dan fasilitas yang menjamin tercapainya goal menjadi bayi. Bahkan sampai bayi itu kelak dewasa dan mati, jaminan sistem dan fasilitas Tuhan itu tetap berlangsung, termasuk mekanisme kontrolnya.

    Induk ayam pun bertelur dan mengeraminya untuk menciptakan suhu dan kehangatan demi pematangan telur itu, menjamin perlindungan dan panduan rezeki sampai kelak telur itu menjadi anak ayam, kemudian dewasa dan didemokratisasi, diindependenkan.

    Negara dan pemerintah tinggal meniru ayam. Kalau membuat keputusan, ya, disertai maintenance, sistem, fasilitas, dan mekanisme kontrol seketat mungkin. Harus diakui hal itu tak tersiapkan secara memadai dalam kasus lumpur sehingga bertele-tele sampai setahun lebih. Dalam pertemuan Cikeas 24 Juni 2007, Presiden bertanya: Minarak ini apa? Ternyata beliau tak pernah mendapat laporan yang mencukupi tentang anak perusahaan Lapindo yang khusus menangani korban itu. Bahkan tatkala kemudian Presiden turun gunung, kesadaran dan peningkatan kinerja “induk ayam” itu pun tidak cukup progresif. Keputusan hasil Presiden berkantor tiga hari di Sidoarjo kurang dikawal secara ketat oleh mesin birokrasi.

    Air mata seember

    Mohon izin saya kemukakan sedikit background berikut ini, untuk menghindari bias dan salah sangka di seputar masalah ini. Saya tercampak ke lubang pekerjaan yang sama sekali jauh melampaui batas kemampuan saya. Sebanyak 10.476 keluarga (sekitar 45 ribu orang, sekitar 94 persen dari seluruh korban) menyampaikan surat mandat untuk bertindak sebagai wakil mereka dalam menyampaikan jumlah korban lumpur Lapindo sesuai dengan data yang mereka miliki kepada Presiden, termasuk tuntutan dan harapan agar Presiden mengambil langkah taktis untuk mengatasi permasalahan mereka.

    Surat itu disampaikan pada 22 Juni 2007, kemudian 16 perwakilan penduduk yang menandatangani surat itu bertemu dengan Presiden di Cikeas pada 24 Juni 2007 sore. Berlangsunglah pertemuan satu setengah jam. Presiden sangat capek oleh berbagai urusan dan beban sehingga meminta saya memimpin rapat yang dihadiri 16 perwakilan korban lumpur, wakil Institut Teknologi Surabaya (ITS), 4 menteri, serta Kepala BPLS. Presiden menangis tiga kali dengan aktualisasi ekspresi yang berbeda-beda. Dan saya yakin di muka bumi ini, sejak zaman Nabi Adam, tak ada presiden yang sedemikian bodohnya sehingga tidak tahu bahwa, biarpun menangis seember, tidaklah bisa menyelesaikan masalah.

    Karena itu, dalam rapat itu tidak saya katakan kepada beliau: “Pak, meskipun sampean nangis sampai seember, itu tidaklah menyelesaikan masalah.” Bahkan di tengah rapat, ketika Bambang Sakri, salah seorang perwakilan korban, menangis terus-menerus selama mengemukakan keluhannya, saya berdiri dan berjalan mendatanginya, saya elus pundaknya, saya peluk dan saya bisiki: “Ancene arek Sidoarjo gembeng-gembeng (Memang orang Sidoarjo dikit-dikit nangis).”

    Dalam rapat itu Presiden mengalami 4 kali eskalasi keputusan. Pertama, kata Presiden: “Dalam waktu dekat saya akan ke Sidoarjo.” Setelah omong-omong lagi, menjadi, “Besok saya ke Sidoarjo.” Kemudian meningkat lagi, “Besok saya akan ngantor tiga hari di Sidoarjo.” Terakhir, “Besok jam 2 siang saya akan berangkat ke Sidoarjo bersama Cak Nun dan Saudara-saudara semua perwakilan korban.”

    Maka lahirlah keputusan Sidoarjo yang lumayan mengubah keadaan. Pertama, semula proses ganti rugi tanpa time schedule, kini jelas batas akhirnya: 14 September. Kedua, kriteria verifikasi tanah dan bangunan korban sangat diperlonggar: kalau tak ada IMB Letter C, Petok D, ya, data ITS. Kalau tak ada, ya, cukup kesaksian warga yang ditandatangani dari birokrasi terbawah sampai bupati. Ketiga, hak verifikasi ada pada BPLS, Minarak Lapindo tinggal membayar.

    Sampai anak-cucu

    Ini telur yang lumayan, tapi yang angrem siapa agar menetas? Kita yang di bawah harus lebih proaktif. Secara moral, kita semua bertanggung jawab atas semua korban, baik yang menerima ganti rugi (DP) 20 persen, yang menuntut 50 persen, 100 persen, maupun bahkan yang punya ide-ide 300 persen dan 500 persen. Hak amanat hanya dari yang 20 persen dan 50 persen serta 16 pengusaha Gabungan Pengusaha Korban Lumpur (GPKL). Tapi ketika kita merekayasa agar Menteri tertentu datang ke Surabaya untuk dipertemukan dengan mereka, diskusi sangat memikirkan korban secara keseluruhan.

    Terakhir beberapa hari yang lalu saya dari Jakarta bersama Direktur Operasional Minarak, anak perusahaan Lapindo yang bertugas menangani korban lumpur, mengadakan pertemuan dengan perwakilan penduduk. Kemudian terjadi kesepakatan, bersalaman, dan baca Al-Fatihah bareng. Ada kesepakatan bahwa sekitar 442 luasan tanah hasil verifikasi BPLS, besok segera dibayar oleh Minarak Lapindo. Tapi kemudian gagal lagi.

    Sekarang rondenya adalah Presiden vs Bakrie. Tidak ada kaitan formal hukum antara Grup Bakrie dan Lapindo atau perusahaan induknya. Tapi, sebagaimana Lapindo sendiri menyebut apa yang dilakukannya kepada korban lumpur adalah solidaritas kemanusiaan dan tolong menolong, penyebutan Bakrie di atas adalah karena ada keterkaitan kultural, kemanusiaan, dan kebangsaan antara Lapindo dan Bakrie. Apalagi Presiden pernah menceritakan kepada saya bahwa ia sudah berkata keras kepada Bakrie: “Anda harus bayar itu. Kalau tidak, nanti akan sangat panjang sampai ke anak-cucu.”

    Kita saksikan bersama bagaimana ronde ini berlangsung. Lapindo punya banyak kekuatan dan kelemahan dari berbagai sisi, demikian juga pemerintah. Pihak-pihak lain yang terkait juga dipaksa melakukan latihan-latihan. Jab, swing, hook, straight, dan uppercut tersimpan dan diasah. Namun, yang saya dambakan bukanlah itu semua, melainkan kemaslahatan bersama, dan itulah sebabnya hari demi hari saya terus berupaya menyambung semua pihak yang terlibat dan mencoba merangkul mereka ke semesta nilai-nilai manusia yang lebih tinggi dari transaksi ekonomi, formalisme hukum, apalagi dendam dan kebencian.

    Tapi pada 12 Juli 2007 pagi, Direktur Operasi Minarak Lapindo melaporkan: pengajuan hasil verifikasi BPLS sebanyak 344 berkas, sudah dibayar 52, yang 292 akan dilaksanakan pembayarannya hari ini. Apakah itu secercah harapan? Meskipun janji Presiden ketika turun gunung setiap seminggu dibayar 1.000 sampai 14 September 2007?(***)

    Sumber: Koran Tempo, 13 Juli 2007

  • Lapindo dan Absennya Pemerintah

    Oleh: Tata Mustasya

    Jika tak ada perubahan kebijakan mendasar, sejarah bakal mencatat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mangkir dari salah satu kewajiban pentingnya. Akan tertulis, pemerintah absen, dengan tidak melindungi sepenuhnya hak-hak masyarakat Sidoarjo dari semburan lumpur panas.

    Padahal, buku-buku teks kebijakan publik—misalnya Economics of the Public Sector oleh Joseph E Stiglitz—menegaskan perlunya peran pemerintah (government role) mengoreksi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi, misalnya ada pajak terhadap pencemaran oleh pabrik. Dengan demikian, biaya sosial polusi tidak ditanggung masyarakat yang “tidak bersalah”, juga pengusaha mempunyai insentif untuk meminimalisasi polusi.

    Jika keberadaan eksternalitas negatif menuntut intervensi pengambil kebijakan, amat ganjil jika perampasan aneka hak masyarakat di Sidoarjo tak mampu menghadirkan pemerintah secara penuh. Yang paling nyata, timbulnya ketidakjelasan ganti rugi. Ada apa dengan Lapindo dan absennya pemerintah?

    Bukan perilaku pasar

    Perlu dicatat, sikap Lapindo—dengan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian masyarakat—bukan perilaku “ekonomi pasar”. Sebaliknya, ekonomi pasar menuntut pertanggungjawaban dan penghormatan hak milik (property rights).

    Kasus bangkrutnya perusahaan energi raksasa, Enron, di Amerika Serikat (AS) tahun 2001 merupakan contoh. Terbukti melakukan penipuan keuangan, Chief Executive Officer (CEO) Enron Jeffrey Skilling—salah satu lulusan terbaik Harvard Business School—divonis hukuman penjara 24 tahun 4 bulan. Skilling dan beberapa petinggi Enron lain telah menyembunyikan prospek buruk Enron untuk mendongkrak harga saham dan nilai pasar perusahaan itu. Dengan manipulasi mereka, Enron berkembang menjadi perusahaan ketujuh terbesar di AS dan mendapat predikat America’s Most Innovative Company dari majalah Fortune pada tahun 1996-2001.

    Hukuman berat itu menunjukkan pentingnya sebuah perekonomian pasar yang melindungi hak- hak pelakunya dan publik. Dalam kasus Enron, yang dilindungi adalah investor dan 21.000 pegawai. Para petinggi Enron bahkan harus menyerahkan aset-aset pribadi untuk ganti rugi.

    Yang menarik, penegak hukum di AS melakukan yurisprudensi dalam vonis petinggi Enron dan kantor akuntan Arthur Andersen sebagai auditor. Kejahatan Enron dan Arthur Andersen sebagai perusahaan harus dibebankan kepada individu para eksekutif puncak meski kesalahan mereka sekadar “tidak mau tahu” terhadap praktik bisnis kotor.

    Dalam satu aspek, perilaku Lapindo lebih destruktif dibandingkan dengan Enron. Lapindo merugikan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai akad ekonomi dengan perusahaan itu. Mereka bukan investor atau pegawai.

    Lapindo juga terindikasi mencari celah untuk “efisiensi” ganti rugi. Relokasi—bukan penggantian uang— menghilangkan pilihan warga terhadap tempat tinggal baru. Lebih jauh, kerugian warga disimplifikasi menjadi hilangnya hak milik (properties) dan menafikan kerugian karena hilangnya pekerjaan dan tekanan psikologis.

    Peran pemerintah

    Presiden Yudhoyono—atas nama warga—harus memaksa Lapindo membayar ganti rugi dalam bentuk uang, bukan cuma komitmen. Urgensi peran pemerintah mutlak. Hal ini disebabkan pertama, kerugian dan hilangnya hak milik telanjur terjadi dan begitu nyata; kedua, kekuatan tawar Lapindo dan warga yang amat asimetris. Dalam kondisi ini, “negosiasi” bipartit antara Lapindo mustahil berlangsung adil. Langkah konkretnya, bentuk sebuah auditor independen untuk menghitung kerugian. Valuasi kerugian jangan dikendalikan Lapindo.

    Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu.

    Selanjutnya, Presiden harus melakukan terobosan sehingga kesalahan Lapindo dapat ditarik dan dibebankan ke pundak petinggi perusahaan ini, bukan melulu operator lapangan. Langkah ini mencegah skenario—yang mulai dilontarkan beberapa politisi—untuk membebankan biaya kerugian kepada negara dengan dalih bencana nasional. Di sinilah ada hambatan ekonomi-politik yang kuat.

    Pemilik saham terbesar PT Energi Mega Persada—sebagai pemegang terbesar saham Lapindo saat lumpur panas pertama kali terjadi—merupakan pemain penting di pasar politik. Konsekuensi, ketegasan Yudhoyono mungkin bisa mengubah keseimbangan politik yang merepotkan.

    Persoalannya, di sisi lain, publik mulai curiga pemerintah juga melibatkan diri dalam “skandal” ini. Teori strukturalis menemukan faktanya di mana elite politik bermain mata dengan pebisnis besar bukan melulu soal kepentingan, tetapi juga kedekatan alami dari banyak aktivitas, seperti golf dan makan malam. Tidak heran baik Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Bupati Sidoarjo kerap terlihat berbicara atas nama Lapindo, bukan masyarakat yang dirugikan.

    Menyikapi mangkirnya pemerintah, ada pihak-pihak yang memiliki kewajiban moral untuk bertindak. Pertama, aktivis (misalnya di bidang lingkungan dan hak asasi manusia), tokoh agama, dan cendekiawan; Kedua, partai politik, terutama partai yang memiliki basis kuat di Jawa Timur, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 22 Maret 2007