Tag: luapan lumpur

  • Lumpur Lapindo Meluber Lagi, Puluhan Rumah Warga Tergenang

    Lumpur Lapindo Meluber Lagi, Puluhan Rumah Warga Tergenang

    SURABAYA, KOMPAS.com – Lumpur Lapindo meluber di titik 74 tanggul penahan menyusul tingginya curah hujan yang terjadi di kawasan tersebut. Akibatnya, lumpur menggenangi puluhan rumah warga.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Dwinanto P, mengatakan curah hujan yang cukup tinggi selama beberapa hari terakhir membuat tanggul penahan yang ada di titik 74 tidak kuat menahan lumpur dari dalam kolam penampungan.

    “Puncaknya pada Kamis (19/3/2015) dini hari tadi, lumpur dengan cepat meluber keluar sehingga puluhan rumah yang ada di Desa Gempolsari tenggelam akibat luberan lumpur yang mengalir tersebut,” katanya.

    Ia mengemukakan, saat ini sekitar seratus orang warga yang rumahnya terendam lumpur terpaksa mengungsi di balai desa setempat.

    “Kami juga sudah melakukan koordinasi dengan warga termasuk memberikan kepada mereka kebutuhan makanan selama mereka di lokasi pengungsian tersebut,” katanya.

    Ia mengatakan, untuk penanganan lumpur itu sendiri saat ini sudah digunakan dua unit pompa air untuk mengalirkan lumpur menuju ke dalam kolam utama dan selanjutnya menggunakan dua kapal keruk untuk mengalirkan lumpur menuju ke Kali Porong.

    “Selain itu, kamu tetap menggunakan alur yang ada di sisi selatan rumah warga dan juga mengalirkan lumpur ke sungai terdekat supaya volume lumpur bisa segera diselesaikan,” katanya.

    Ia mengatakan, saat ini, pihaknya masih berkonsentrasi untuk menurunkan volume lumpur di dalam kolam penampungan baru kemudian melakukan melakukan perbaikan tanggul lumpur.

    “Pengaliran lumpur ke Kali Porong saat ini yang menjadi konsentrasi kami supaya luberan lumpur bisa segera berkurang dan kami bisa melakukan perbaikan tanggul lumpur yang sempat terkena luberan,” katanya.

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/03/19/12212591/Lumpur.Lapindo.Meluber.Lagi.Puluhan.Rumah.Warga.Tergenang

  • Tanggul Lumpur Lapindo Jebol Lagi, Puncak Hujan Mengancam

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Untuk kedua kali, dalam pekan ini, tanggul penahan lumpur Lapindo di titik 73B Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol akibat diguyur hujan deras. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, puncak musim hujan yang akan mulai awal Januari hingga Februari 2015 akan mengancam puluhan ribu warga.

    Pemantauan Kompas, Rabu (17/12/2014), menunjukkan, banjir lumpur semakin parah, mengalir ke permukiman warga di dua desa terdampak. Warga kembali mengungsi demi keselamatan dan kenyamanan mereka.

    ”Saya tak tahu persis kapan tanggul jebol lagi. Yang jelas hari Rabu ini, sewaktu melihat tanggul, kondisinya sudah berantakan. Mungkin karena diguyur hujan Selasa siang hingga petang kemarin,” ujar Warsito (45), warga Desa Kedungbendo, di Sidoarjo, Rabu.

    Lokasi tanggul yang bobol kali ini berada di sebelah selatan jebolan pada Minggu lalu. Lebar jebolan baru itu sekitar 3 meter dan menambah panjang yang lama, yang untuk sementara ditutup sesek (anyaman bambu) dan karung pasir. Material perbaikan darurat itu pun porak poranda tersapu aliran lumpur yang keluar dari tanggul yang jebol.

    Akibatnya, rumah warga di Desa Gempolsari dan Kalitengah kembali terendam banjir. Ketinggian air meningkat dibandingkan dengan banjir lumpur pada Selasa malam lalu. Material lumpur yang terbawa air juga semakin pekat.

    ”Sekarang ketinggian air bercampur lumpur sudah 1 meter lebih di dalam rumah. Padahal, sebelumnya tinggi banjir hanya 40 sentimeter hingga 80 sentimeter di dalam rumah dan 1 meter di luar rumah,” ujar Solihin (40), warga Gempolsari, saat ditemui di rumahnya.

    Lumpur yang keluar dari tanggul yang jebol tersebut juga mengalir ke Sungai Ketapang karena sempadan sungai ambrol di beberapa titik. Volume air di sungai pun terus bertambah hingga menyentuh permukaan dan meluber di beberapa tempat.

    Melihat banjir yang kian tinggi, warga Gempolsari dan Kalitengah memutuskan kembali mengungsi di Balai Desa Gempolsari. Mereka mengkhawatirkan keselamatan jiwanya.

    ”Sampai kapan kami harus hidup dikejar-kejar lumpur seperti ini. Harta benda habis dan rumah juga makin lapuk, temboknya terendam banjir,” kata Askanah (65), warga yang mengungsi.

    Bertahan

    Kepala Desa Gempolsari Abdul Haris mengatakan, jumlah pengungsi mencapai 100 orang yang didominasi kaum ibu, warga lanjut usia, dan anak-anak. Malam hari mereka berkumpul di pengungsian dan pada siang hari beraktivitas biasa seperti bekerja atau membersihkan rumah.

    ”Kendati begitu, masih ada yang nekat bertahan di rumahnya yang sudah terkepung banjir lumpur. Alasannya, mereka menunggu rumah, takut barangnya hilang,” kata Haris.

    Pasangan Suwadi (85) dan Saniakah (65), misalnya, meminta pembayaran ganti rugi dilunasi terlebih dahulu agar mereka bisa pindah ke tempat yang lebih layak huni.

    Bupati Sidoarjo Saiful Illah berencana menemui Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Dia akan menunjukkan foto kondisi warga korban lumpur yang menderita dan tanggul yang kritis.

    ”Saya akan ke Jakarta dipanggil Presiden Jokowi. Akan saya sampaikan semua keluhan warga agar pelunasan ganti rugi segera terselesaikan,” ujar Saiful.

    Puncak hujan Januari

    Kepala Kelompok Analisis dan Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Juanda, Surabaya, Taufik Hermawan mengatakan, rata-rata hujan di Sidoarjo terjadi pada siang atau malam hari. Intensitasnya termasuk ringan hingga sedang. Curah hujan ringan rata-rata 1-5 milimeter (mm) per jam atau 5-20 mm per hari.

    ”Curah hujan masuk dalam kategori sedang apabila 5-10 mm per jam atau 20-50 mm per hari. Lama hujan rata-rata 20-60 menit. Kecuali beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Pulau Bawean, lama hujan bisa 3-4 jam,” tutur Taufik.

    Puncak musim hujan yang ditandai dengan hujan lebat dan sangat lebat akan terjadi mulai awal Januari hingga Februari 2015. Saat itu, rata-rata curah hujan mencapai 20 mm per jam atau 100 mm per hari.

    Taufik mengingatkan, hujan lebat berpotensi terjadi karena ada pengaruh tidak langsung dari siklon tropik Hagupit di Filipina yang mengakibatkan terjadi konvergensi awan di langit Jawa Timur. Konvergensi akan memicu pertumbuhan awan hujan yang sangat banyak.

    Hujan yang terus turun bisa menyengsarakan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Ada sekitar 40.000 warga yang terancam banjir dari kolam lumpur Lapindo, terutama saat puncak musim hujan.

    Apalagi, sejumlah titik tanggul kini rawan jebol, sementara antisipasi bencana masih minim. (NIK/ANG/DIA)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/12/18/16064201/Tanggul.Lumpur.Lapindo.Jebol.Lagi.Puncak.Hujan.Mengancam

  • Kena Lumpur Lapindo, Puluhan Warga Mengungsi Lagi

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Puluhan warga korban Lapindo di Desa Gempolsari Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur terpaksa dievakuasi setelah rumah mereka tergenangi air lumpur pada Selasa malam, 16 Desember 2014. “Malam ini juga kami evakuasi, terutama anak-anak dan ibu-ibu yang kami bawa ke balai desa,” kata Kepala Desa Gempolsari, Abdul Haris, kepada Tempo.

    Menurut Haris masih ada 100 warga Gempolsari yang tinggal di rumahnya, meski kawasan itu sudah ditetapkan sebagai area terdampak lumpur Lapindo. Mereka berasal dari 24 kepala keluarga yang menempati 20 rumah. “Mereka harus kami evakuasi karena ketinggian air sudah mencapai 40 sentimer dari permukaan tanah,” ujar Haris.

    Air yang menggenangi perumahan warga itu berasal dari Kali Ketapang yang sudah mulai meluber. Air juga berasal dari pusat semburan dan mengalir ke tanggul yang jebol di titik 73 B. Haris mengatakan ada pula aliran air yang berasal dari titik 68 Desa Gempolsari.

    Namun yang paling berbahaya adalah hujan deras, sehingga air lumpur yang ada di dalam kolam penampungan naik dan mengalir ke perumahan. Haris mengatakan karena hujan deras, debit air di Kali Ketapang dan kolam penampungan terus meningkat.

    Susianto, salah satu warga korban lumpur Lapindo mengatakan awalnya menolak untuk dievakuasi. Namun karena tidak memiliki tempat tinggal, mereka menuruti rencana kepala desa tersebut. “Mau gimana lagi, terpaksa kami turuti,” kata dia.

    Berdasarkan pantauan Tempo, sebagian besar warga Gempolsari hingga kini masih sibuk dengan evakuasi barang-barang milik mereka. Mereka bersedia tinggal di kantor balai desa meskipun dengan peralatan seadanya. Evakuasi di balai desa masih terus berlanjut hingga seluruh barang bisa dipindahkan.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/12/16/058629005/Kena-Lumpur-Lapindo-Puluhan-Warga-Mengungsi-Lagi

  • Pasca Kelud, Semburan Lapindo Menguat

    Pasca Kelud, Semburan Lapindo Menguat

    Metrotvnews.com, Sidoarjo: Semburan lumpur Lapindo di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menguat. Aliran lumpur panas terlihat mengalir deras di celah-celah kolam penampungan, Kamis (20/2). 

    Belum ada kajian ahli geologi apakah menguatnya semburan lumpur ini ada kaitannya dengan letusan Gunung Kelud.

    Menguatnya semburan lumpur Lapindo ini terlihat dari pusat semburan pada Kamis pagi. Aliran lumpur panas mengalir deras melewati celah-celah kolam penampungan lumpur. Panasnya suhu aliran lumpur terlihat dari asap putih yang mengepul mengikuti arah aliran lumpur.

    Lumpur panas yang keluar dari pusat semburan ini mengalir deras dan menggerus kolam penampungan lumpur.

    Belum diketahui apakah menguatnya semburan lumpur Lapindo ini ada kaitannya dengan meletusnya Gunung Kelud. Menurut Kepala Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Dwinanto, saat ini belum ada kajian ahli geologi yang mengaitkan menguatnya semburan dengan letusan Gunung Kelud.

    Dwinanto menjelaskan, semburan lumpur Lapindo saat ini masih fluktuatif yaitu terkadang menguat dan kemudian melemah lagi.

    “Volume lumpur yang keluar dari perut bumi rata-rata masih mencapai 20 ribu hingga 30 ribu meter kubik per hari,” kata Dwinanto.

    Guna menangani semburan lumpur Lapindo ini, BPLS mengerahkan enam kapal keruk untuk mengalirkan lumpur ke Kali Porong. Empat kapal keruk dioperasikan di titik 25 dan dua unit lagi dioperasikan di titik 42.

    BPLS juga mengoperasikan escavator ponton untuk mengaduk lumpur di kolam penampungan. Lumpur yang sudah diaduk tersebut kemudian disedot kapal keruk untuk dialirkan ke Kali Porong. (Heri S)

    Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2014/02/20/6/217428/Pasca-Kelud-Semburan-Lapindo-Menguat

  • Mudflow Threatens Renokenongo Residents

    The remaining residents of Renokenongo village, partly devastated by the mudflow two years ago, were knocking down their homes and salvaging their belongings as hot mud and water began inundating the village after a section of the giant encircling dike collapsed recently.

    Around 300 families stayed on in the submerging village because they had yet to receive full compensation either from mining corporation PT Lapindo Brantas or from the government.

    They did receive 20 percent of the compensation due them from Lapindo, but the remaining 80 percent has not been paid despite the expired deadline the government set in a 2007 presidential instruction addressing the disaster.

    Resident Buang Sucipto said they could do nothing to salvage their houses as the mudflow slowly and surely displaced them from their homes.

    “The land and the houses are undocumented but they are ours. We deserve fair compensation. Lapindo should also pay for the hardship. The disaster has robbed the villagers of their social well-being,” he said here Wednesday.

    Minarak Lapindo Jaya, a unit of Lapindo, has offered resettlement instead of cash compensation for families whose assets were undocumented.

    Acting head of Renokenongo village Subakri urged the Sidoarjo Mudflow Handling Agency (BPLS) to immediately repair the failing dike because, apart from the mudflow inundating their homes, its noxiousness is disturbing the locals.

    “We have never given up. We have to receive what is our right although the disaster has caused so much suffering and violated our right to live peacefully and humanely,” Subakri said.

    Separately, BPLS spokesperson Akhmad Zulkarnain said the failing dike near the main hot mud outpouring was due to fragile soil conditions. He said several cranes had been deployed to dredge mud from the Porong river to strengthen the collapsing dike.

    “It may look like we aren’t doing anything, but we actually have done a great deal to repair the collapsing retaining wall. We need more time to tackle the problem,” he said.

    In a separate development, 600 Renokenongo families who have been living in makeshift dwellings at the Porong market building have negotiated an agreement with Minarak Lapindo Jaya regarding their assets damaged by the mudflow.

    Pitanto, coordinator for the Renokenongo disaster victim group, said the victims have received Minarak’s offer for a 20 percent payment up front and resettlement to end the more than two years of displacement.

    “Minarak is still examining the ownership documents for the houses and land the victims owned,” Pitanto said.

    So far, he said, 147 of the 475 families whose assets were damaged have been examined. The review is expected to be completed in a few weeks.

    “All recipients will sign the agreement at the same time,” he said, adding victims accepted Lapindo’s offer after the government had guaranteed the deal.

    The victims have rejected Lapindo’s proposed compensation scheme because the presidential decree did no spell out any sanctions if the mining company were to fail to meet the compensation payment deadline.

    “If the deal is signed, Minarak will pay 20 percent of the compensation for the damaged houses. The remaining 80 percent will be paid within one year,” he said.

    “All the victims will be resettled to a nearby housing compound within a year and they will receive the deeds for their new homes,” he added.

    Ridwan Max Sijabat, The Jakarta Post

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2008/09/19/mudflow-threatens-renokenongo-residents.html

  • Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    Lumpur Cemari Saluran Irigasi

    korbanlumpur.info – Selama ini tidak banyak yang diketahui oleh masyarakat luas, bahwa pembuangan lumpur ke Kali Porong bermasalah dan tidak sesukses seperti apa yang direncanakan oleh pihak Lapindo Brantas Inc dan BPLS.

    Permasalahan muncul saat saluran irigasi Sungai Brantas yang berasal dari Mojokerto untuk pengairan sawah warga tercemar oleh luberan lumpur dari Kali Porong.

    Luberan ini muncul karena gorong-gorong I yang ada di Desa Pejarakan mengalami kerusakan, kemungkinan kerusakan ini disebabkan oleh endapan lumpur di Kali Porong yang kondisinya sudah cukup mengkhawatirkan. Endapan lumpur di Kali Porong menyebabkan aliran sungai terganggu. Yang kemudian membuat alirannya mandeg.

    Hal ini membuat warga Pejarakan sengsara, karena selain masalah bocornya gorong-gorong, selama ini air sumur juga sudah tidak bisa dikonsumsi warga. Desa-desa lain juga mengalami hal yang serupa.

    Kebocoran ini diketahui oleh pihak Dinas Pengairan pada tanggal 19 Agustus 2008. Informasi yang didapatkan dari pihak Dinas Pengairan apabila ini tidak segera diatasi, maka sawah-sawah warga sepanjang aliran irigasi akan tercemar.

    Ketika ditanya mengenai tindakan BPLS atas kejadian ini, pihak Dinas Pengairan mengatakan, “wah mas, kalo nunggu responnya pihak BPLS, kebocoran ini malah nggak akan cepat diselesaikan. Ya lebih baik kita selesaikan sendiri dengan tindakan cepat”.

    Tiga hari setelah kejadian, usaha penutupan sumber kebocoran irigasi baru dapat diselesaikan. Namun usaha penutupan ini belum dapat menghilangkan kekhawatiran warga Pejarakan, karena tidak menutup kemungkinan kejadian serupa akan terjadi lagi. [cek/tang]

  • Ke Mana Lumpur Dibuang

    SUDAH berhari-hari warga Desa Kedungbendo bergotong-royong membangun tanggul penahan lumpur. Penduduk setempat tak ingin kampung mereka terendam lumpur dari sumur PT Lapindo Brantas seperti tiga desa di sekitar Lapindo-Desa Siring, Jatirejo, dan Renokenongo. Tapi, akhirnya, pekan lalu jebol juga tanggul di Kedungbendo.

    Sudah hampir sebulan kebocoran di Lapindo terjadi, tapi amuk lumpur itu belum bisa dihentikan, juga belum bisa dibuang. Lapindo sejatinya telah menyiapkan tiga kolam penampung lumpur. Satu ada di sebelah utara jalan tol Porong-Gempol atau hanya 200 meter dari sumur Lapindo. Dan dua kolam lainnya berada di sebelah selatan jalan tol Porong-Gempol. “Itu bisa menampung lumpur sampai tiga pekan,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo Brantas.

    Ternyata perhitungan Imam meleset, jangkauan lumpur meluas ke Kedungbendo yang letaknya berdekatan dengan kolam pertama. Belakangan, para pejabat setempat baru sadar bahwa volume lumpur yang menyembur dari ladang Lapindo itu lebih besar dari yang diperkirakan semula, 5.000 meter kubik per hari. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur memperkirakan volume lumpur yang mengalir dari dasar bumi itu sebesar 50 ribu meter kubik per hari.

    Taksiran tersebut sama dengan hitungan tim dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) yang telah meneliti di 16 titik di kawasan yang digenangi lumpur. “Itu angka paling ekstrem,” kata Anggraeni, salah satu anggota tim ITS.

    Untuk mencegah perluasan lumpur, ITS mengusulkan agar areal kolam penampung lumpur yang semula 24 hektare diperluas jadi 225 hektare. “Lokasinya di kecamatan Porong, Tanggulangin, dan kecamatan Jabon,” kata Hasan Basri.

    Saat ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Sidoarjo baru menyiapkan lahan 85 hektare dan 24 hektare di antaranya di Desa Renokenongo. Jika semua kolam telah siap, diperkirakan bisa menampung lumpur selama dua bulan. Rencananya, setelah lumpur diendapkan di kolam, air di bagian permukaan akan dialirkan ke kali Porong.

    Teori ini bisa jalan jika kolam-kolam itu saling berdekatan. Masalahnya, letak kolam pertama dengan kolam kedua dan ketiga berjauhan. Saat ini kolam kedua dan ketiga masih melompong alias belum teraliri lumpur.

    Semula Lapindo berharap lumpur secara otomatis mengalir ke kolam tersebut karena bantuan gaya gravitasi. Namun, lumpur ternyata tidak bergerak arah ke kolam. Lumpur itu malah menerjang belasan pabrik dan rumah warga Jatirejo dan Renokenongo.

    Lapindo sebenarnya berusaha mengalirkan lumpur itu ke kolam kedua dan ketiga dengan sedotan mesin. “Tapi hanya jalan sebentar dan akhirnya macet,” ujar Subakri, Sekretaris Desa Renokenongo. Alhasil, kini lumpur bergerak semaunya sendiri. Duh.

    ZA, Sunudyantoro dan Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006