Tag: menutup semburan

  • Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Timnas)

    Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? (Timnas)

    Oleh: Anton Novenanto

    (Bagian 2 dari 3 tulisan; tulisan sebelumnya klik di sini)

    SELAMA INI, PUBLIK menganggap bahwa negara tidak banyak berperan dalam penanganan awal semburan lumpur. Salah satu argumen yang kerap direpetisi adalah seputar pembiayaan penanganan awal dibebankan pada anggaran belanja Lapindo sehingga negara tidak bisa banyak berbuat untuk mengatasi semburan (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008). Bila mayoritas publik mengatakan bahwa pembebanan anggaran semacam itu sebagai ‘hukuman’, saya melihat bahwa keputusan itu sebagai pemberian keistimewaan pada Lapindo untuk bebas melakukan apapun, bahkan, jika perlu, mengorbankan rakyat sipil. Kecenderungan semacam ini semakin memperkuat argumen yang hendak disampaikan melalui tulisan ini: negara hadir demi melapangkan jalan bagi korporasi untuk bertindak sesukanya –sekalipun itu adalah penghancuran entitas sosial-ekologis di suatu kawasan.

    Dua pertanyaan terlontar: pertama, bagaimana Lapindo bisa mendapatkan keistimewaan tersebut? Kedua, mengingat keistimewaan tersebut bagaimanakah negara memainkan perannya dalam kasus Lapindo? Untuk menjawab kedua pertanyaan itu, kita perlu menelusuri proses penanganan awal semburan lumpur Lapindo yang berada di bawah koordinasi Tim Nasional Penanganan Semburan Lumpur di Sidoarjo (selanjutnya, ‘Timnas’). Timnas yang dibentuk 8 September 2006 memang hanya bertugas selama tujuh bulan, namun tim yang diketuai Basuki Hadimuljono (sekarang Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat) itu telah meletakkan pondasi dasar bagi proses pemindahan paksa warga di 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Sidoarjo.

    ***

    PADA 12 JUNI 2006, Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, membentuk tim terpadu untuk menangani luapan lumpur Lapindo (BPK 2007, 70). Tim diketuai Bupati Sidoarjo dan terbagi menjadi tiga tim koordinatif, a.l., Koordinasi Pengendalian Situasi yang berada di bawah wewenang Dandim 0816 Sidoarjo, Koordinasi Teknis ditangani oleh Lapindo dan BP Migas, dan Koordinasi Rehabilitasi Sosial dan Kehumasan menjadi tanggung jawab Wakil Bupati Sidoarjo, Saiful Illah (KomnasHAM 2012, 65).

    Dua hari setelah itu, pada 14 Juni 2006, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) membentuk tim khusus yang diketuai Rudi Rubiandini dari Jurusan Teknik Perminyakan, ITB, untuk menginvestigasi insiden tersebut (Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008, 65). Pada awal September 2006, tim mengumumkan bahwa hasil investigasi menemukan bahwa semburan lumpur terjadi akibat kelalaian Lapindo yang tidak memasang selubung pengaman sesuai rencana ketika mengebor Sumur Banjar Panji 1 (Tim Walhi 2008, 2). Dengan kata lain, pemerintah (c.q. tim investigasi) menyatakan bahwa semburan lumpur adalah bencana buatan manusia, akibat kecelakaan industrial.

    Selang beberapa hari setelah itu, pada 8 September 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani Keputusan Presiden No. 13 Tahun 2006 (Keppres 13/2006) tentang Timnas. Timnas direncanakan bertugas selama 6 (enam) bulan, namun menjelang habis masa kerjanya belum tampak tanda-tanda lumpur akan berhenti sehingga pada 8 Maret 2007 keluar Keppres 5/2007 tentang Perpanjangan Masa Tugas Timnas yang diperpanjang selama 1 (satu) bulan. Kerja Timnas berakhir pada 8 April 2007 berbarengan dengan penerbitan Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres 14/2007) tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang menggantikan Timnas.

    Terlepas dari kontroversi yang melingkupinya –terkait status keputusan presiden yang berada di luar struktur hukum formal di Indonesia (Gustomy 2012, 75–78; Batubara and Utomo 2012, 165–168), Keppres 13/2006 adalah peraturan pertama yang dikeluarkan pemerintah pusat dalam rangka mengatasi lumpur Lapindo dan Timnas adalah lembaga mitigasi pertama yang dibentuk khusus untuk menangani semburan lumpur Lapindo. Sekalipun hanya bekerja selama tujuh bulan, Timnas telah meletakkan pondasi dasar bagi pembangunan bencana yang akan dilanjutkan oleh BPLS sampai sekarang.

    Keppres 13/2006 melanjutkan kesimpulan tim investigasi, bahwa semburan lumpur terkait dengan kegiatan industri migas (kecelakaan teknologi). Hal ini dapat dilacak dari peraturan perundangan yang melatarbelakanginya, yaitu UU Migas No. 22/2001, PP No. 19/1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan, PP No. 11/1979 tentang Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas Bumi, dan PP No. 35/2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi jo PP No. 34/2005. Melihat komposisi semacam ini, agenda kerja utama Timnas terkait dengan kegiatan industri migas, bukan mitigasi bencana. Timnas bekerja di bawah supervisi Menteri ESDM, yang memang representasi presiden yang mengurus industri migas di republik ini –sementara BPLS berada di bawah Menteri PU).

    Timnas dibentuk untuk melaksanakan tiga tugas, yaitu menutup semburan lumpur, menangani luapan lumpur, dan menangani masalah sosial (Butir Ketiga). Dan, untuk melakukan ketiga tugas itu segala biaya yang diperlukan Timnas dibebankan pada anggaran Lapindo (Butir Keenam). Klausul terkait pembiayaan ini sangat problematis. Sekilas, publik akan melihat politik anggaran semacam ini adalah sesuatu yang ‘baik’ karena publik meyakini semburan bersumber dari ulah Lapindo sehingga wajar bila Lapindo harus menanggung seluruh biaya penanganannya. Akan tetapi, politik anggaran semacam ini membuat seluruh tindakan penanganan awal semburan lumpur sangat tergantung pada keputusan jajaran direksi Lapindo (bdk. Schiller, Lucas, and Sulistiyanto 2008; Tim Walhi 2008). Lebih-lebih, BPK (2007, 73) menyebutkan bahwa Lapindo tidak pernah serius membiayai usaha penanganan awal tersebut, sehingga dapat disimpulkan kegagalan menutup semburan perlu dilihat dari kacamata politik-ekonomi sebuah perusahaan yang tidak mau menderita kerugian.

     ***

    LUMPUR PANAS YANG terus meluap adalah faktor alam yang memaksa pindahnya puluhan ribu penduduk, tetapi luapan itu tidak akan terus terjadi bila saja Lapindo tidak lalai dalam mengebor dan usaha menutup semburan berhasil dilakukan. Untuk menutup semburan satu teknik telah diusahakan: mengebor ‘sumur pertolongan’ (relief well), yaitu sumur yang dibor untuk memotong sumur utama ketika terjadi ledakan bawah tanah (blowout), seperti yang dialami oleh Sumur Banjar Panji 1. Pengeboran dilakukan dari titik yang berbeda di sekitar sumur utama dan diikuti dengan injeksi cairan khusus untuk menghentikan kebocoran yang ada. Teknik ini dikenalkan pada 1930an di Texas, Amerika Serikat.

    Agak sedikit berbeda, ahli pengeboran Lapindo mengklaim bahwa sebelum mengebor sumur pertolongan telah dilakukan dua metode lain: mengebor ulang Sumur Banjar Panji 1 (snubbing unit) dan mengebor lubang lain secara miring untuk memotong Sumur Banjar Panji 1 (sidetracking well) (Istadi et al. 2009). Namun, seperti dibahas sebelumnya (bagian 1) pengeboran ulang sumur utama, yang dilakukan pada 2 Juni 2006, merupakan kesalahan fatal (Adams 2006, 57); sementara itu, pengeboran miring perlu dilihat sepaket dengan teknik sumur pertolongan karena tindakan tersebut dilakukan untuk memperoleh data awal sebelum mulai mengebor sumur pertolongan (Rubiandini 2007). Laporan pemeriksaan BPK (2007, 59–60) menyebutkan bahwa telah dilakukan pengeboran tiga sumur pertolongan dan tiga sumur observasi sebagai rangkaian usaha menutup semburan lumpur Lapindo yang dipimpin oleh William Abel, konsultan pengeboran dari Houston, Texas, AS. Dalam wawancara pada bulan September 2006, Abel sangat yakin bahwa teknik itu akan berhasil, katanya, ‘Dalam sejarah pengeboran, belum pernah ada blowout yang gagal diatasi’ (dikutip dalam Normile 2006). Sayangnya, kali ini dia harus keliru, usaha itu gagal.

    Kegagalan menutup semburan berdampak pada meluasnya luapan lumpur panas dan memaksa puluhan ribu warga untuk pindah dari hunian mereka. Volume semburan lumpur mencapai 70.000-150.000 m3/hari dengan suhu mencapai 70o Celcius (Davies et al. 2007). Dalam waktu tiga minggu saja, lumpur sudah mengubur area padat penduduk seluas 90 hektar dan memaksa lebih dari 2.000 penduduk mengungsi. Hanya jeda seminggu setelah itu, area yang terbenam lumpur mencapai 145 hektar dan semakin banyak orang yang harus pergi dari rumah mereka. Pada bulan September 2006, area yang terendam mencapai 240 hektar. Di akhir 2006, luasan wilayah terdampak berlipat ganda, menjadi 450 hektar, menyusul ledakan pipa gas bawah tanah milik Pertamina yang meruntuhkan tanggul di Timur Laut, pada 22 November, dan mengakibatkan lumpur menggenangi kompleks perumahan padat huni, Perumahan Tanggulangin Asri Sejahtera (PerumTAS).

    Luas area yang tergenang lumpur terus melebar seiring dengan kegagalan upaya menutup pusat semburan. Kini, untuk menahan meluasnya lumpur telah dibangun tanggul semipermanen sepanjang mencapai 8 (delapan) kilometer di sekeliling semburan utama mengelilingi wilayah seluas mencapai 800 hektar. Sekalipun usaha membendung dan membuang sebagian lumpur ke Selat Madura, melalui Kali/Kanal Porong sudah dilakukan,[i] luapan lumpur tak kunjung surut. Selain persoalan lumpur, dampak ekologis lain yang kasat mata adalah deformasi (penurunan/kenaikan) dan pergeseran (yang mengakibatkan keretakan) permukaan tanah, semburan-semburan kecil gas yang mudah terbakar, serta degradasi kualitas air tanah dan udara.

    Dampak kolateral tersebut telah menyebabkan wilayah di luar tanggul lumpur menjadi kawasan tak layak huni dan oleh karenanya para penduduknya harus mengungsi ke tempat lain. Estimasi saya, berdasarkan foto peta satelit yang disediakan GoogleEarth, wilayah terdampak langsung itu mencapai lebih dari 1.500 hektar, yang mencakup 15 desa/kelurahan di 3 (tiga) kecamatan. Kelimabelas desa/kelurahan itu antara lain: Desa Gempolsari, Desa Kedungbendo, Desa Kalitengah, dan Desa Ketapang di Kecamatan Tanggulangin; Desa Renokenongo, Desa Glagaharum, Kelurahan Siring, Kelurahan Gedang, Kelurahan Jatirejo, Kelurahan Mindi, dan Kelurahan Porong di Kecamatan Porong; serta Desa Kedungcangkring, Desa Pejarakan, dan Desa Besuki di Kecamatan Jabon. Pada dua tahun pertama, jumlah penduduk yang harus pindah diperkirakan mencapai 39.000 jiwa. Jumlah ini belum termasuk korban tambahan pasca terbitnya Perpres 68/2011 (sekitar 3.000 jiwa), Perpres 37/2012 dan Perpres 33/2013 (belum ada estimasi jumlah korban berdasarkan kedua perpres terakhir tersebut). Pemerintah tidak pernah merilis berapa jumlah resmi penduduk yang harus meninggalkan rumah mereka akibat lumpur Lapindo, sejak 2006 sampai sekarang.

    Tidak ada angka resmi dari pemerintah yang menyebutkan luasan wilayah yang harus dikosongkan akibat semburan lumpur Lapindo. Menurut prediksi para geolog, lumpur dari perut bumi akan keluar secara masif sampai 30 tahun sejak pertama kali menyembur, dan masih akan terus menyembur dalam volume yang lebih kecil sampai ratusan tahun ke depan (Davies et al. 2011). Sayang, pemerintah belum pernah merilis ke publik prediksi jangka panjang perluasan dampak lumpur Lapindo.

    Pada 13 Desember 2006, Timnas menyatakan pengeboran sumur pertolongan harus dihentikan karena permukaan tanah tidak stabil sehingga dapat membahayakan para awak (Hadimuljono 2007, 63–65). Alasan itu bisa jadi benar, tapi Rudi Rubiandini, ketua tim investigasi yang juga bertanggung jawab untuk menutup semburan, berpendapat bahwa tidak berlanjutnya usaha menutup semburan juga disebabkan ihwal non-teknis, yaitu ketidakseriusan untuk menutup semburan yang indikasinya dapat dilihat dari ketidaksesuaian usaha dengan kaidah keilmuwan (KomnasHAM 2012, 64; Mudhoffir 2013, 26). BPK pun menemukan persoalan administrasi keuangan sebagai kendala utama kegagalan menutup semburan karena di awal Timnas dan/atau Lapindo tidak memperkirakan biaya total yang akan dikeluarkan untuk mengebor sumur pertolongan itu, yang mencapai Rp 237,91 milyar. Tentang penutupan semburan, BPK berpendapat:

    Penyusunan anggaran dan kegiatan oleh Timnas tidak didasarkan pada kemampuan penyandang dana [Lapindo, AN], hal ini menunjukkan tidak adanya kejelasan likuiditas dana yang tersedia. Semua alternatif penanganan tidak akan efektif berjalan jika terhalang keterbatasan dana dan hanya dilaksanakan setengah jalan. (BPK 2007, 75)

    Keppres 13/2006 memang tidak mengatur secara jelas tentang kewenangan Timnas untuk memaksa Lapindo melakukan seluruh pembayaran tepat waktu. Akan tetapi, itu bukan berarti negara tidak berperan dalam urusan menutup semburan. Justru, negara (c.q. Presiden) adalah aktor utama yang memerintahkan pembiayaan penutupan semburan tersebut pada Lapindo. Ditambah lagi, negara (c.q. Timnas) merupakan aktor yang melegitimasi penghentian usaha penutupan semburan tersebut dan dengan demikian negara berperan penting memunculkan biaya lain yang lebih jauh besar.

    ***

    DALAM PEMBAHASANNYA TENTANG ‘bencana pembangunan’, Oliver-Smith (2010) tidak berbicara tentang faktor bahaya lingkungan yang tak terduga, tiba-tiba, apalagi alamiah. Dia justru sedang membahas proses yang dilakukan secara terencana atas nama kemajuan dan kepentingan umum, atau yang kerap disebut ‘pembangunan’. Menurutnya, pada satu sisi, pembangunan dilakukan untuk menghadirkan infrastruktur baru demi pencapaian kemajuan suatu bangsa; namun, pada sisi lain, pada hakikatnya pembangunan adalah ‘penghancuran dan pencabutan manusia dari hunian dan komunitasnya’ (Oliver-Smith 2010, 3). ‘Pemindahan paksa’ menjadi kata kunci dalam pembahasan Oliver-Smith tentang bencana pembangunan dan menurutnya proses itu tidak terjadi secara tiba-tiba; sebuah proses yang juga terjadi dalam kasus Lapindo.

    Secara kasat mata, lumpur Lapindo memang faktor alam utama bagi terjadinya pemindahan paksa bagi puluhan ribu warga di sekitar semburan. Namun, seperti telah dibahas sebelumnya, faktor manusia menjadi kunci utama bagi munculnya semburan. Kondisi itu diperparah dengan dihentikannya usaha menutup semburan oleh, lagi-lagi, manusia. Faktor manusia kembali menjadi penting dalam menentukan siapa yang harus pindah dan siapa yang harus bertahan melalui proses, yang disebut James Scott (1998, 3), ‘pemetaan’. Pemetaan bukan hanya sekadar menghadirkan gambar bumi dalam selembar kertas tapi menunjukkan kuasa negara dalam memprioritaskan modifikasi lingkungan dan manusia yang tinggal di atasnya (bdk. Crampton 2001; Elden 2010).

    Dalam kasus Lapindo, perkembangan wilayah yang terbenam lumpur dapat ditelusuri dari proyek penanggulan yang mengikuti skala prioritas yang dibuat pemerintah atas dasar, lagi-lagi, ‘kepentingan umum’. Pada bulan-bulan awal semburan, prioritas pemerintah adalah melindungi ruas jalan tol Porong-Gempol yang merupakan tulang punggung perekonomian Jawa Timur. Segala proyek penanggulan lumpur kemudian ditujukan agar lumpur tidak meluap sampai jalan tol, kalaupun hal itu terjadi pemerintah akan mengusahakan agar jalan tol dapat segera digunakan lagi dengan segala caranya. Salah satunya adalah membangun tanggul yang menghalangi laju lumpur menuju jalan tol. Tidak jelas kapan upaya penanggulan secara resmi dilakukan. Mengacu catatan BPLS, pada masa sebelum Timnas dibentuk proyek penanggulangan dilakukan oleh satuan militer Kodam V Brawijaya dengan menggunakan uang dari Lapindo (Karyadi, Soegiarto, and Harnanto 2012).[ii]

    Negara tidak hanya sudah berperan aktif dalam proyek penanggulan awal, tapi juga sebagai aktor yang menentukan nilai tukar dan mekanisme kompensasi yang diberikan pada korban Lapindo. Mengacu sebuah studi, nilai kompensasi bagi korban Lapindo datang dari Saiful Illah, Wakil Bupati kala itu (sekarang, Bupati Sidoarjo), sekitar bulan September 2006 (Karib 2012, 67–68). Konteks pada waktu itu adalah pemerintah membutuhkan sebidang tanah di Desa Jatirejo untuk membangun tanggul di sisi Barat semburan. Tujuannya adalah menahan luapan lumpur ke rel kereta api dan jalan raya Porong. Saiful, didampingi aparat militer, menemui 12 (duabelas) warga Jatirejo dan meminta mereka untuk menjual tanah dan rumahnya untuk kepentingan bersama. Dia menawarkan uang sejumlah Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan dan Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah pekarangan. Saiful berargumen harga tersebut jauh di atas harga tanah ‘normal’ sebelum lumpur menyembur yang berkisar antara Rp 75.000 dan Rp 150.000 per meter persegi. Para warga yang berada di bawah tekanan psikologis tidak memiliki opsi lain kecuali menerimanya. Informasi tentang harga tersebut menyebar cepat di kalangan korban yang lain yang pada saat itu juga sedang menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian mereka tapi masih belum ada kepastian tentang mekanisme dan nilai kompensasi. Belakangan, nilai yang ditawarkan Saiful dan mekanisme ‘jual beli aset’ semacam itulah yang diterapkan juga sebagai acuan penentuan dan pemberian kompensasi kepada seluruh korban Lapindo.

    ***

    TIMNAS YANG DIBENTUK belakangan semakin membuktikan kehadiran negara dalam proses pemindahan warga secara paksa dari hunian mereka. Dari beberapa dokumen yang ada, terlihat jelas bagaimana Timnas telah menjadi perantara bagi warga dan Lapindo dalam rangka negosiasi nilai kompensasi dan mekanismenya. Salah satunya adalah Surat Pernyataan yang ditandatangani Ketua Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono di atas meterai Rp 6.000 pada tanggal 13 November 2006. Di dalam surat itu tertulis bahwa Basuki, atas nama Timnas, bersedia memfasilitasi dan meneruskan permintaan ganti rugi dengan cara cash and carry korban Lapindo kepada Lapindo. Tidak hanya itu, tertulis juga bahwa ‘proses verifikasi data, negosiasi ganti rugi tanah dan bangunan, serta realisasi pembayaran tersebut akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Maret 2007’. Turut membubuhkan tanda tangan dalam surat itu adalah Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

    Pada 27 November 2006, Timnas melayangkan surat resmi kepada pimpinan Lapindo terkait penyelesaian dampak sosial-ekonomi akibat lumpur Lapindo. Surat itu berisi empat butir: 1) masyarakat menghendaki ganti rugi dengan cara tunai (cash and carry); 2) masyarakat menghendaki pernyataan kesanggupan dari Lapindo untuk penanggulangan masalah sosial-ekonomi; 3) ganti rugi dihitung berdasarkan nilai berikut: Rp 1 (satu) juta per meter persegi tanah, Rp 1,5 juta per meter persegi bangunan (termasuk bangunan tingkat); dan, 4) ganti rugi tanah sawah ditentukan sebesar Rp 120.000 per meter persegi. Surat itu ditandatangani oleh Basuki, dan dengan mengetahui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dari selembar surat itu, kita dapat melihat bagaimana representasi negara hadir untuk menuntut Lapindo untuk mengompensasi kerugian sosial-ekonomi yang diderita warga. Relasi kuasa yang terjadi bukan antara warga dan Lapindo, melainkan antara negara (c.q., Timnas, Bupati, DPRD Sidoarjo) dengan Lapindo.

    Surat itu mendapatkan balasan pada 4 Desember 2006 ketika Lapindo melayangkan surat kepada Timnas, u.p. Basuki Hadimuljono. Dalam surat itu, Lapindo menyatakan kesanggupannya untuk memberi warga kompensasi atas kerugian yang diderita mereka sebagai bentuk ‘kepedulian sosial dan tanggung jawab moral’ perusahaan.[iii] Nilai yang disepakati sama dengan yang ditulis dalam surat Timnas, sementara mekanisme yang disanggupi oleh Lapindo adalah ‘jual beli’, yang berarti terjadi perpindahan kepemilikan atas aset dari warga ke Lapindo. Yang menarik adalah surat yang ditandatangani oleh Manajer Umum Lapindo Imam Agustino itu diarahkan kepada Timnas (sebagai lembaga representasi negara) dan bukan kepada warga. Surat itu ditembuskan kepada lembaga negara yang lain, a.l., Presiden, Wakil Presiden, Ketua dan Anggota Tim Pengarah Timnas, Bupati Sidoarjo, dan Ketua DPRD Sidoarjo –tidak disebutkan sama sekali bahwa surat itu sedang ditujukan pada warga– sehingga semakin jelas bagaimana sebenarnya negara telah hadir dalam kasus Lapindo ini.

    Hal lain yang tak kalah menarik adalah jika kita melihat Peta Area Terdampak tanggal 4 Desember 2006 yang menjadi lampiran surat Lapindo itu (lihat Peta 1). Peta yang dibuat oleh Lapindo dan disetujui oleh Basuki Hadimuljono itu menentukan wilayah mana saja yang akan dibeli Lapindo dan mana yang tidak. Di peta itu juga Basuki menambahkan suatu wilayah yang ditandainya dengan huruf “A” sebagai wilayah yang juga harus dibeli oleh Lapindo. Sekalipun hanya selembar kertas, peta itu memiliki efek kuasa yang menentukan pemindahan paksa para penduduk yang tinggal di atas wilayah yang akan dibeli oleh Lapindo. Mengingat peta itu disetujui oleh negara (c.q. Timnas), kita harus berpikir ulang tentang asumsi umum negara absen dalam proses pemindahan penduduk secara paksa terkait kasus Lapindo.

    Peta 4 Desember 2006
    Peta 4 Desember 2006

    Peta adalah politik. Peta telah menjadi instrumen paling efektif dalam proses pemindahan paksa korban Lapindo. Peta 4 Desember 2006 tidak mencantumkan wilayah yang baru terkena dampak luapan lumpur Lapindo pasca meledaknya pipa gas bawah tanah Pertamina pada 22 November 2006 malam. Ledakan yang mengakibatkan belasan orang meninggal dunia itu juga menyebabkan runtuhnya tanggul sisi Utara dan membuat lumpur meluber ke perumahan padat huni PerumTAS. Gelombang kedua pengungsi pun datang, jumlah korban pun melonjak pesat. Para korban baru ini menuntut agar tanah dan bangunan mereka yang terbenam lumpur Lapindo juga harus dimasukkan ke dalam peta area terdampak sehingga mereka juga mendapatkan kompensasi atas kerugian yang mereka derita.

    Pada tanggal 22 Maret 2007, peta baru dirilis (lihat Peta 2). Kali ini semakin terlihat bagaimana peran negara dalam proses pemindahan paksa. Peta itu dibuat oleh Timnas dan ditandatangani oleh Ketua Tim Pelaksana Timnas Basuki Hadimuljono. Kali ini, semakin banyak representasi negara yang turut menyetujuinya, a.l., Gubernur Jawa Timur Imam Utomo, Ketua DPRD Jawa Timur Fatur Rosyid, Ketua Pansus Lumpur di DPRD Jawa Timur Y. A. Widodo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, dan Ketua DPRD Sidoarjo Arly Fauzi. Dengan demikian, Peta Area Terdampak 22 Maret 2007, yang kemudian menjadi acuan bagi Perpres 14/2007, dilegitimasi oleh 6 (enam) aparatus negara yang menunjukkan bagaimana kuasa negara hadir dalam kasus Lapindo.

    Peta 22 Maret 2007
    Peta Area Terdampak 22 Maret 2007

    Timnas hanya bertugas selama tujuh bulan. Pada 8 April 2007, Timnas digantikan oleh BPLS melalui penerbitan Perpres 14/2007. Kita memang bisa saja menilai Timnas bekerja dalam segala keterbatasannya karena seluruh pembiayaan mengikuti anggaran Lapindo, namun Timnas juga telah meletakkan pondasi dasar bagi sebuah rencana pemindahan penduduk secara paksa melalui penerbitan peta area terdampak. Pola semacam ini berlanjut pada masa kerja BPLS, hingga kini. Dari uraian bagian ini, kita dapat menyaksikan bagaimana negara hadir sebagai aktor utama yang melegitimasi terjadinya pemindahan penduduk secara paksa. Pada bagian selanjutnya, kita akan terus menelusuri peran negara dalam melegitimasi perluasan bencana pembangunan itu. (bersambung)

    [i] Dampak dari pembuangan itu adalah percepatan sedimentasi di sepanjang Kanal Porong dan terbentuknya pulau baru seluas sekitar 45 hektar di muara, hanya dalam kurun kurang dari 9 (sembilan) tahun.

    [ii] Biaya pembangunan dan pemeliharaan tanggul menjadi beban Lapindo secara legitim sejak 8 September 2006 (Keppres 13/2006) sampai 23 September 2009 (Perpres 40/2009, yang menandai peralihan tanggung jawab keuangan atas tanggul kepada APBN). Ini berarti selama lebih dari tiga tahun Lapindo dengan leluasa mengendalikan proyek penanggulan. Laporan Humanitus Sidoarjo Fund (HSF) menyebutkan bahwa Lapindo telah mengeluarkan dana sebesar Rp 1,35 Trilyun untuk penanganan luapan lumpur (Richard 2011, 96).

    [iii] Sampai saat ini dasar hukum kesanggupan Lapindo untuk ‘membeli’ tanah dan bangunan warga tidak pernah dilontarkan secara jelas dan terjadi inkonsistensi dari perwakilan Lapindo dalam menyatakan alasan pembelian itu (‘perintah Ibunda Bakrie’, ‘tanggung jawab sosial perusahaan’, ‘mengikuti Perpres 14/2007’, ‘murni transaksi jual beli’, ‘sedekah’, dsb.). Berdasarkan analisis atas konteks historis kemunculan surat Lapindo tersebut, saya membuat dugaan sederhana. Surat itu dirilis pada masa Timnas, yang berarti dasar hukum bagi seluruh keputusan seharusnya mengacu pada peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu seputar kegiatan industri migas. Ini berarti dasar keputusan jual beli aset warga dilakukan dalam logika perusahaan migas yang sedang memberi kompensasi, yang memang diatur dalam peraturan perundangan yang melandasi Keppres 13/2006, yaitu PP No. 35/2004 khususnya Bab VII (Pasal 62 – Pasal 71). PP No. 35/2004 mengatur tentang penggunaan tanah dalam kegiatan industri migas. Disebutkan bahwa pemegang hak atas tanah ‘wajib mengizinkan Kontraktor untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi di atas tanah yang bersangkutan’ (Pasal 62 Ayat 2). Untuk kebutuhan itu, ada beberapa cara yang bisa diterapkan, yaitu: ‘jual beli, tukar menukar, ganti rugi yang layak, pengakuan atau bentuk penggantian lain’ (Pasal 63 Ayat 2) dengan ‘memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak terakhir’ (Pasal 65 Ayat 1). Status tanah tersebut ‘menjadi milik negara’ (Pasal 67 Ayat 1) dan kontraktor berhak membangun fasilitas mereka di atas tanah tersebut (Pasal 69 Ayat 2), yang koheren dengan UU Pokok Agraria No. 5/1960 (Pasal 26 & Pasal 27). Jadi, keputusan Lapindo membeli tanah dan bangunan warga dilandaskan pada logika perusahaan migas yang sedang mencari lahan untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan/atau eksploitasi. Dugaan saya ini mungkin sedikit berbeda dengan pendapat yang selama ini bergulir yang membahas proses jual beli itu hanya mengacu pada UU Pokok Agraria No. 5/1960 (lih. Kurniawan 2012; Putro and Yonekura 2014). Yang patut dicatat, sekalipun UU Pokok Agraria adalah peraturan perundangan tertinggi tentang persoalan pertanahan di Indonesia, UU tersebut tidak pernah dijadikan sebagai landasan hukum bagi peraturan presiden terkait penanganan lumpur Lapindo.

  • Korban Lapindo Harap Dana Talangan Pemerintah Segera Cair

    KBRN, Surabaya: Pemerintah akhirnya akan membayar kekurangan ganti rugi (dana talangan-red) bagi korban luapan lumpur Lapindo sebesar 781 milyard pada tahun depan. Meski dibutuhkan proses yang cukup panjang untuk merealisasikan pembayaran tunggakan, karena harus mendapatkan persetujuan dari DPR, namun bagi warga terdampak lumpur lapindo, hal tersebut merupakan angin segar, karena penantian 8 tahun segera terobati.

    “Semoga saja segera terealisasi, ya saya harap pemerintah tidak mencicilnya, kami minta hitam diatas putih, karena permasalahan Lapindo ini sudah terjadi sejak tahun 2006, saya juga ingin punya rumah sendiri,” ungkap Juwito warga terdampak lumpur Lapindo kepada Radio Republik Indonesia RRI, Senin (22/12/2014).

    Menurut Juwito, imbas kejadian luapan lumpur Lapindo, warga terdampak serba dalam ketidakpastian, kondisi tanggul lumpur yang rawan jebol, serta masih banyaknya masyarakat yang hidup dalam kesusahan membuat warga harus memutar otak agar bisa bertahan hidup.

    “Jadi selama ini hidup ya dari pengunjung yang melihat lumpur secara dekat, kita menyediakan sebuah wp-content, kalau ada yang ngasih Alhamdulillah, kalau tidak, ya tidak apa-apa, prinsipnya kita tidak meminta-minta,” urainya.

    Kepala Pusat  Studi Kebumian dan Bencana dari ITS Amin Widodo, menjelaskan, menyusul kompensasi ganti rugi yang akan diberikan bagi korban lumpur Lapindo, hal paling utama yang harus dilakukan Pemerintahan Jokowi-JK yakni bagaimana segera memetakan titik-titik rawan, karena menurut Amin permasalahan utama selain pemberian kompensasi bagi warga, pemerintah harus mempunyai cara menghentikan semburan lumpur.

    “Ini juga harus menjadi prioritas, bagaimana pemerintah mempunyai cara menghentikan semburan lumpur, kita tidak mempunyai teknologi untuk menutup itu, jadi menimbulkan patahan Watukosek, orang banyak yang tidak mikir, begitu tahun 2007 pengadilan memutuskan bencana alam, terus MA menguatkan, itu sangat bahaya imbasnya bisa terkena Bandara Juanda,” terang Amin.

    Meski saat ini belum ada solusi akan pencegahan, lumpur Lapindo kata Amin, dapat menjadi nilai manfaat yang berguna dan dapat menopang taraf hidup masyarakat, selama dikelola dengan optimal.

    “Berdasarkan penelitian yang kita lakukan, lumpur Lapindo itu, mempunyai potensi sebagai campuran beton ringan, dan untuk litium batre,” kata Amin.

    Dwinanto Kepala Humas BPLS mengakui, selama ini solusi akan penghentian semburan lumpur Lapindo masih menemui jalan buntu. Berbagai opsi yang dilakukan mulai mengebor miring, hingga solusi lainnya juga belum menunjukkan hasil, karena sempat mendapatkan penolakan warga.

    “Dengan adanya kejelasan dari pemerintah akan ganti rugi, kami berharap permasalahan Lapindo dapat terselesaikan, termasuk langka kedepan nantinya,” tambah Dwi.

    Selama ini, berbagai upaya dilakukan agar lumpur Lapindo tidak terus menyembur, mulai dari hal-hal yang berbau klenik, dengan melakukan ruwatan, cara modern melalui temuan dan kajian juga dilakukan.

    Salah satu yang siap menghentikan luberan lumpur Lapindo, yakni Djaya Laksana Alumni ITS, melalui metode konsep bendungan Bernoulli yang digagas, Dajaya Optimis, Lapindo dapat dihentikan.

    “Sebenarnya apa yang dilakukan warga dengan melakukan penolakan, tidak perlu terjadi jika pemerintah sejak beberapa tahun lalu mempunyai strategi penghentian lumpur, tidak ada kata terlambat untuk itu, semua ada kemauan,” lanjut Djaya.

    Konsep bendungan Bernoulli yang diteliti oleh tim ITS kata Djaya bisa menjadi salah satu solusi alternatif untuk menghentikan luapan lumpur Lapindo Sidoarjo.

    “Sebenarnya konsepnya mudah mengaplikasikan teori bendungan Bernouli, hanya membutuhkan waktu yang tidak lama yakni 6 bulan, dimana dapat dijamin semburan lumpur dapat berhenti selamanya,” terang Djaya.

    Djaya menerangkan teori Hukum Bernouli yang akan digunakan untuk menghentikan luapan lumpur, yakni diantaranya memasang bendungan yang terbuat dari pipa. Pipa yang dirakit tersebuk katanya, dipasang di semburan lumpur dengan ketinggian kurang lebih 50 meter. Ketika pipa-pipa yang dipasang tersebut sudah mengelilingi pusat semburan, maka lumpur yang akan meluber akan tertahan pipa. Dengan penuhnya lumpur yang terhalang bendungan buatan tersebut, maka beban lumpur akan dapat mematikan semburan.

    “Tapi sebelum memasang pipa, harus ada studi akan kontur tanah, hal itu dilakukan untuk mengetahui kelayakan tanah,” terangnya.

    Djaya menjelaskan, Konsep Bernouli yang ia kembangkan, diklaim tidak asal-asalan. Teori yang sudah di suarakanya sejak tahun 2006 ini, belum ada tanggapan positif dari pemerintah meski penerapan hukum Bernouli sudah dipresentasikannya ke pihak-pihak terkait. (BH/Yus).

    Sumber: http://www.rri.co.id/post/berita/127739/nasional/korban_lapindo_harap_dana_talangan_pemerintah_segera_cair.html

  • Pemerintah Jangan Pasrah Soal Lumpur Lapindo

    Sidoarjo, (ANTARA News) – Pemerintah tidak boleh menyerah dan bersikap pasrah tanpa mengambil tindakan untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo yang terjadi sejak tahun 2005.

    Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Syafruddin Ngulma Simeulue kepada ANTARA, usai mengikuti salat Idulfitri bersama ratusan warga korban semburan lumpur di atas tanggul di Desa Ketapang, Porong, Sidoarjo, Rabu (1/10).

    Dia mengusulkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang para ahli pengeboran ntuk membahas langkah-langkah yang bisa diambil guna menghentikan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

    “Presiden bisa memanggil ahli-ahli “drilling” terbaik untuk membahas segala kemungkinan yang bisa diambil guna menutup semburan lumpur. Saya yakin para ahli pengeboran itu mengetahui langkah apa yang harus dilakukan,” katanya.

    Syafruddin menegaskan, Presiden memiliki kewenangan tertinggi untuk mengambil langkah-langkah terbaik untuk mengatasi semburan lumpur akibat pengeboran Migas Lapindo Brantas Inc.

    Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur itu meminta pemerintah berada di garis depan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi para korban.

    “Jangan membiarkan warga berhadap-hadapan langsung dengan Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya dalam penyelesaian ganti rugi. Pemerintah yang harus berhadapan dengan kedua perusahaan itu untuk membantu warga korban semburan lumpur,” katanya menandaskan.

    Terkait kehadirannya mengikuti shalat Ied bersama warga korban semburan lumpur, Syafruddin mengaku sudah merencanakan datang menemui korban lumpur bersamaan dengan kegiatan mudik lebaran ke Pandaan, Pasuruan.

    “Sekalian saya ingin memantau hasil kesepakatan pemerintah dengan warga korban lumpur yang sudah dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2008. Sejauh ini, belum ada tindak lanjut dari kesepakatan itu,” katanya.

    Kesepakatan itu di antaranya menyebutkan bahwa akan dilakukan pengikatan jual-beli yang di dalamnya terkandung pelepasan atas hak kepemilikan tanah bagi warga yang hanya memegang bukti berupa Petok D, Letter C dan SK Gogol.

    Tanah warga yang dilepaskan itu selanjutnya menjadi milik negara dan segera dilakukan pembayaran ganti rugi 20 persen bagi korban yang berkasnya sudah lengkap.

    Bagi warga korban lumpur yang berada di luar peta terdampak, pemerintah akan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan warga, seperti sarana air bersih, saluran pengairan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.

    Hanya saja, kesepakatan itu tidak menyebutkan batas waktu yang harus dipatuhi PT Minarak Lapindo Jaya dan Lapindo Brantas untuk memenuhi tuntutan warga korban Lapindo.

    “Karena itu kami secara intensif terus memantau di lapangan, untuk mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pemerintah,” ujar Syafruddin.(*)

    © Antara

  • Bersama (Siapa) Kita (Supaya) Bisa(?)

    “Bersama Kita Bisa” adalah semboyan yang dikumandangkan duet SBY-JK dalam kampanye pilpres 2004. Semboyan itu berperan dalam membawa duet itu ke kursi kepresidenan. Pidato kenegaraan (15/8/2008) diakhiri dengan: ”Harus Bisa! Apa pun masalahnya, kapan pun masanya, seberapa pun keterbatasannya, kalau kita bermental bisa, kita semua bisa dan Indonesia pasti bisa.”

    Akan tetapi, ternyata pada 11 September 2008, pemerintah mengeluarkan pernyataan mengejutkan: ”Tidak bisa menutup lumpur Lapindo”. Mengapa pemerintah mudah menyatakan tidak bisa menutup lumpur yang sudah dua tahun lebih menyengsarakan puluhan ribu warga Porong dan merugikan jutaan warga Jawa Timur? Apa yang terjadi hingga pemerintah menyerah dan terpaksa mengingkari semboyan ”Bersama Kita Bisa”?

    Keputusan pemerintah untuk menyerah didasarkan informasi tenaga ahli, terutama ahli geologi, yang menyatakan, bencana lumpur Lapindo adalah akibat gempa bumi dan aliran lumpur tidak dapat dihentikan.

    Padahal, ada pendapat bertentangan yang muncul dari tenaga ahli, khususnya ahli pengeboran (drilling engineer). Juga datang dari sejumlah ahli luar negeri, dari institusi terhormat dengan kredibilitas tinggi. Pemerintah seharusnya mengetahui adanya para ahli yang berpendapat berbeda, tetapi tidak pernah dimintai pendapat mereka.

    Merasa tak mampu

    Pemerintah tak bisa menutup lumpur karena memilih bersama para ahli yang tidak yakin bahwa aliran lumpur itu dapat dihentikan, merasa tidak mampu untuk dapat menutup atau mematikan sumber lumpur. Namun, jika bersama para insinyur pengeboran itu, pemerintah akan yakin sumur itu bisa dihentikan. Jadi, semboyan kampanye SBY-JK tahun 2004 perlu disesuaikan menjadi: ”Bersama (ahli pengeboran yang percaya diri) Kita Bisa (mematikan sumber lumpur)”.

    Pertanyaannya, mengapa pemerintah memilih bersama tenaga ahli yang tidak percaya bahwa sumber lumpur itu bisa ditutup? Mengapa pemerintah tidak memilih bersama tenaga ahli berpengalaman dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan keahlian untuk menutup sumber lumpur? Apakah pemerintah dirugikan jika memercayai kemampuan anak bangsa yang juga memiliki kepercayaan diri?

    Pemerintah sama sekali tidak dirugikan, baik secara ekonomi maupun politik. Sesuai Perpres No 14/2007, pemerintah menanggung biaya penanggulangan dampak dan biaya hidup untuk korban yang tinggal di daerah di luar peta lampiran perpres itu.

    Tahun 2007, biaya yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 700 miliar. Tahun 2008 bertambah, bisa di atas Rp 1 triliun. Juga tahun 2009 dan seterusnya, sedangkan biaya untuk menutup sumber lumpur diperkirakan sekitar 80 juta-120 juta dollar AS.

    Memang belum pasti 100 persen sumber lumpur dapat ditutup. Tetapi, melihat pengalaman para insinyur pengeboran yang lebih dari 30 tahun dengan prestasi sejenis yang meyakinkan, peluang berhasil amat besar. Insinyur pengeboran yang lain, saat berpengalaman baru beberapa tahun, berani menyatakan, dia bisa menutup semburan gas yang luar biasa besar, yang semula akan ditutup Red Adair dari AS. Ahli lain, dengan kemampuannya, telah berhasil membuat perangkat lunak simulasi cara mematikan semburan dan telah diverifikasi oleh hasil perangkat lunak luar negeri.

    Apakah mereka terlalu percaya diri dan mendahului keputusan Tuhan? Tidak! Mereka memiliki kepercayaan diri berkat pengalaman selama 30 tahun lebih didukung kemampuan yang dimiliki. Mereka adalah anak bangsa yang cerdas dan berkemampuan yang merasa berutang pada bangsa dan ingin membayarnya dengan keahliannya. Mereka adalah anak bangsa yang bermartabat, yang percaya pada kemampuan dan pengalaman mereka.

    Percaya diri

    Jika sikap itu dianggap takabur, Bung Karno, Bung Hatta, serta para pendiri bangsa tentu akan kita anggap takabur saat mendirikan bangsa Indonesia. Bahwa kondisi negara kita amburadul, bukanlah karena rasa percaya diri para pendiri bangsa, tetapi karena sikap kebanyakan pemimpin bangsa kita yang tidak benar, termasuk sikap pesimistis dan tidak percaya diri saat mengatakan, kita tidak bisa menutup sumber lumpur Lapindo.

    Mengapa pemerintah memilih bersama para ahli yang pesimistis, yang notabene tidak mempunyai banyak pengalaman lapangan, daripada bersama para ahli yang optimistis dan berpengalaman? Untuk apa Presiden berpidato berkali-kali memompakan optimisme jika pemerintah sendiri lebih percaya kepada tenaga ahli yang pesimistis? Hal itu jelas merupakan kerugian imaterial yang amat besar.

    Bersama para ahli yang merasa tidak mampu, kurang pengalaman, kurang percaya diri, dan pesimistis kita tidak bisa menutup sumber lumpur itu. Bersama para ahli yang mampu, berpengalaman, percaya diri, dan optimistis, kita bisa menutup sumber lumpur. Lalu bersama siapa?

    Uraian itu jelas menggambarkan bersama siapa seharusnya kita, yaitu bersama para ahli pengeboran yang berpengalaman, percaya diri, bemartabat, punya integritas dan niat baik. Jika dianggap belum jelas keterangannya dan karena itu pemerintah belum yakin, mereka bisa dipanggil untuk menjelaskan.

    Jika perlu, dilakukan dialog dengan para ahli yang tidak yakin sumber lumpur dapat ditutup, yang dihadiri pihak ketiga, yaitu tenaga ahli, berpengalaman dari institusi luar negeri yang terhormat dengan kredibilitas tinggi.

    Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/20/00343277/bersama.siapa.kita.supaya.bisa

  • Hidup di Atas Garis Lumpur

    Di bawah Porong, Sidoarjo, membentang garis lumpur. Inilah penyebab lumpur terus menyembur deras dan menggenangi empat desa.

    PERBURUAN itu hampir mencapai klimaksnya. Sudah dua hari mesin pengeruk itu menderu-deru menggaruk lumpur. Akhirnya, keran merah yang dicari-cari itu menyembul. Ukurannya cukup besar, diameternya setengah meter. Tapi, karena terpendam lumpur sedalam tiga meter, keran itu sulit dicari.

    Puluhan orang berseragam hitam segera membersihkan keran itu dengan kecekatan seorang geolog. Mereka sisihkan lumpur dengan teliti. “Kini kami tinggal memasang snubbing unit ke sumur ini,” ujar seorang petugas berseragam. Snubbing unit atau peralatan pengebor yang mudah dipindahkan itu diangkut delapan truk trailer. “Ini untuk mendeteksi dan menyumbat sumber retakan yang menyemburkan lumpur,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo, menimpali.

    Perburuan selanjutnya adalah mencari sumber aliran lumpur. Inilah salah satu pekerjaan tersulit. Sudah hampir sebulan ledakan lumpur di Kecamatan Porong, Sidoarjo, terjadi, tapi lumpur terus saja menyembur. Menurut hitungan Lapindo, saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur dimuntahkan dari perut bumi.

    Menurut Imam, jika pusat semburan sudah ditemukan, baru dilakukan penyuntikan materi penyumbat rekahan. Menurut perhitungannya, paling cepat penyuntikan selesai pertengahan Juli. Namun, perkiraan ini terlalu ambisius karena sampai akhir pekan lalu tim ahli belum menemukan di mana pusat semburan. Inilah repotnya.

    Padahal, semakin lama petaka ini dibiarkan, akan semakin luas dan tinggi genangan lumpur. Tim ahli geologi dari Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS) punya taksiran lain soal volume lumpur yang sudah menenggelamkan empat desa di Sidoarjo. Menurut lembaga ini, volume semburan per hari mencapai 50 ribu meter kubik, 10 kali lipat dari taksiran Lapindo. Luas genangannya dalam petaka yang sudah berumur hampir sebulan ini mencapai 110 hektare lebih. Jadi, sampai pekan lalu diperkirakan sudah 1,1 juta meter kubik lumpur yang dimuntahkan.

    Temuan itu didapat setelah mereka meneliti ketinggian lumpur di 16 lokasi. Di dekat sumber lumpur, kedalaman lumpur mencapai 6 meter. Semakin menyamping kian rendah mencapai 3 meter dan paling pinggir 1,5 meter. “Anggota tim sempat terperanjat karena semula volume yang ditaksir tak setinggi itu,” kata Makky Sandra Jaya, sekretaris tim yang dibentuk oleh Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BP Migas) dan Lapindo.

    Dari mana datangnya lumpur yang tak berhenti mengalir itu? Menurut penyelidikan tim ahli geologi ITS, mereka menemukan dua patahan kulit bumi di bawah permukaan jalan tol dan di Desa Renokenongo. Retakan itu ada di kedalaman 6.000 meter, lebih dalam dari sumur Lapindo yang baru mencapai kedalaman 3.000 meter.

    Menurut Seno Puji Sarjono, anggota tim tersebut, lumpur panas yang menyembur dan merendam empat desa di Kecamatan Porong naik dari patahan yang retak tersebut. Tim itu kini masih meneliti retakan ini memiliki hubungan dengan pengeboran. “Juga apakah retakan itu menyambung ke lubang bor,” ujarnya.

    Untuk mengetahui lokasi patahan, tim menggunakan pemancar gelombang radio buatan Australia. Tim ini telah mengendus kemungkinan adanya retakan lain seperti di Desa Jatirejo dan Jalan Raya Porong. Hasil penelitian retakan ini akan menentukan pemasangan snubbing unit. “Sebab, jangan-jangan nanti satu ditutup, muncul retakan yang lain,” kata Seno.

    Adanya retakan bumi di bawah tambang Lapindo ini juga diungkap Rovicky Dwi Putrohari, geolog Indonesia yang kini bekerja di Malaysia. Menurut dia, patahan di daerah Porong itu membujur dari timur laut ke barat daya. Pendapat Rovicky ini mengutip penelitian Arse Kusumastuti, yang menemukan bahwa pernah terjadi runtuhan (collapse) di daerah itu pada masa lampau.

    Geolog yang rajin mengulas soal gempa dan pergeseran kulit bumi di berbagai milis ini menuturkan, dalam pengeboran, ujung mata bor itu sampai pada lapisan lempung. Lapisan ini menjadi tak stabil karena tercampur dengan air bawah tanah, sehingga menjadi seperti bubur.

    Melihat adanya patahan itu, Rovicky memperkirakan empat kemungkinan sumber kebocoran. Pertama, keluar dari pinggir lubang lama yang sudah diberi pipa selubung oleh Lapindo. Kedua, berasal dari lubang yang belum diselimuti casing, lalu lumpur keluar melalui patahan yang terpotong lubang sumur. Ketiga, sumber lumpur tidak ada hubungannya dengan sumur Banjar Panji-1.

    Jika sudah diketahui sumber kebocoran, maka ada dua skenario penyumbatan. Pertama menyuntikkan lumpur dan semen lewat lubang sumur Banjar Panji-1. Kedua, membuat sumur baru di samping sumur lama, lalu dari samping diinjeksi lumpur dan semen ke pusat kebocoran. Kita berharap sumber kebocoran itu bisa segera disumbat sebelum lumpur pelan-pelan menenggelamkan Sidoarjo.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Adi Mawardi, Sunudyantoro, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Berjibaku Melawan Lumpur

    Area semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, terancam menjadi kawah atau ambles. Di Texas pernah terjadi, tanah seluas 16 hektare ambles 25 meter.

    LELAKI-LELAKI itu menuang lumpur ke dalam botol dengan ketelitian ilmuwan. Di bawah siraman matahari yang menyengat, empat pria itu setengah membungkuk di tepi jalan tol Surabaya-Gempol Km 38. Warna seragam mereka oranye, menyilaukan mata, memang. Itu adalah seragam khusus untuk bekerja di zona bahaya seperti di kawasan lumpur panas di Sidoarjo.

    Tak jauh dari keempat orang itu, mesin pengeruk menderum-derum. ”Tangan-tangan” mesin pengeruk itu beradu dengan tanah sawah. Mereka sedang beradu cepat dengan waktu, mengubah sawah menjadi waduk yang bisa menampung 240 ribu meter kubik lumpur. Dan itu tak bisa dilakukan dalam semalam seperti kisah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kalau rencana itu terhambat, petaka lumpur panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akan makin melebar ke mana-mana.

    Petaka itu bermula 29 Mei lalu, ketika tiba-tiba di tengah sawah menyembur lumpur panas dengan semburan gas setinggi delapan meter. Semburan itu terjadi hanya beberapa puluh meter dari ladang pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Lumpur pun meluber ke mana-mana.

    Petaka itulah yang membuat sejumlah ilmuwan berseragam oranye datang ke Porong. Mereka adalah para ahli dari Institut Teknologi Surabaya, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Alert Disaster Control (Asia) Pte. Ltd. Kanada, dan Abel Engineering/Well Control, Texas. Mereka berjibaku meredam teror lumpur yang panasnya sekitar 50 derajat Celsius.

    ”Mereka akan menggunakan snubbing unit dan membuat sumur baru,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo. Snubbing unit adalah alat untuk mendeteksi adanya kebocoran di luar pipa selubung pengeboran (casing). Jika lokasi kebocoran diketahui, mereka akan menutup lubang itu.

    Untuk menutup kebocoran itu, pakar pengeboran minyak dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini R.S., mengusulkan dua cara. Pertama dengan cara menyuntikkan lumpur berat ke dalam sumur pengeboran yang diduga bocor. Lumpur itu, tutur doktor ITB itu, akan menutup rembesan sehingga semburan lumpur di permukiman penduduk akan mati dengan sendirinya. ”Baru setelah itu disemen semuanya,” ujarnya. Cara ini hanya butuh waktu sebulan.

    Alternatif lainnya, menurut Rudi, membuat sumur bor seperti yang diusulkan tim ahli Lapindo. Sumur itu digali bersebelahan dan menembus lubang pengeboran yang diduga bocor. Dari sumur itu lalu disuntikkan lumpur dan semen. Cara kedua ini diperkirakan memakan waktu lebih lama, sampai tiga bulan.

    Selain urusan menyumbat lumpur, perkara gawat yang juga harus dirampungkan adalah menangani lumpur yang sudah tersembur. ”Ini soal yang paling mendesak,” kata Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS), Mohammad Nuh. Ihwal racun lumpur, tim ITS sudah melakukan penelitian. Hasilnya, cukup gawat: kadar merkurinya 2,5 ppm (satu bagian per sejuta). Lumpur itu juga memiliki nilai BOD, COD—dua indikator pencemaran air—serta minyak yang cukup tinggi. Jika langsung dibuang ke sungai akan mengganggu ekologi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah setempat dan ITS sepakat akan mengendapkan lumpur ke waduk-waduk buatan. Setelah air terpisah dari lumpur, racun-racunnya akan dinetralkan. Hasilnya baru dibuang ke Kali Porong.

    Lumpur panas bukan satu-satunya ancaman di kawasan Porong. Warga di sana kini khawatir daerah mereka akan ambles karena lumpur yang terkuras akan menghasilkan rongga di bawah tanah. Kondisi itu bisa menyebabkan tanah ambles seperti yang terjadi di Texas pada 1991. Saat itu akibat luapan lumpur tanah seluas 16 hektare ambles hingga kedalaman 25 meter.

    Kemungkinan lain, Porong bisa menjadi ladang kawah seperti di Desa Kuwu, wilayah timur Kabupaten Purwodadi. Di desa ini muncul letupan-letupan lumpur yang airnya mengandung garam, padahal lokasinya jauh dari laut. Tanahnya yang sangat labil mengisap siapa saja yang berada di atas Bleduk Kuwu. Pernah seekor sapi terisap.

    Saat para peneliti sibuk menutup sumber semburan lumpur, polisi juga melakukan penyelidikan. Kepala Polri Jenderal Sutanto mengakui anak buahnya sudah mengundang ahli yang mengetahui soal pengeboran. Mereka juga memeriksa pekerja dan manajemen anak perusahaan Grup Bakrie itu. ”Kami selidiki, ternyata tidak ada casing (baja penutup) dalam kedalaman sekian meter. Kalau tidak dibangun, itu salah,” katanya di Jakarta, Jumat lalu.

    Persoalan casing atau pipa selubung lubang pengeboran memang mencuat ke permukaan setelah beredar dokumen dari salah satu rekanan proyek Lapindo. Dalam surat itu disebutkan, Lapindo, operator proyek pengeboran, tidak memasang casing berdiameter 9-5/8 inci pada sumur di kedalaman 8.500 kaki (2,5 kilometer). Padahal, pemasangan pipa ini merupakan salah satu rambu keselamatan pengeboran yang harus dipatuhi.

    Pada rapat teknis 18 Mei, rekanan Lapindo mengingatkan bahwa pipa selubung harus dipasang sebelum pengeboran mencapai sasaran, yaitu formasi Kujung di kedalaman sekitar 9.200 kaki (2,7 kilometer). Rupanya peringatan itu tidak diindahkan sehingga 11 hari kemudian muncratlah lumpur panas.

    Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (perusahaan induk dari PT Lapindo) mengakui bahwa casing itu memang belum dipasang. ”Casing itu sebenarnya akan kami pasang. Sebelum itu dipasang, kondisi sumur masih stabil. Kami sudah melakukan sesuai prosedur,” ujar Faiz Shahab, salah seorang bos Lapindo.

    Biang semburan lumpur ini memang sempat menjadi perdebatan di kalangan ahli geologi dan pengeboran. Lapindo sebelumnya menyatakan semburan itu terjadi akibat gempa. Mulyo Guntoro, peneliti yang pernah terlibat dalam survei beberapa sumur Lapindo menilai, petaka akibat itu pengeboran dilakukan tegak lurus dan bukan miring. Saat bor patah, lumpur bertekanan tinggi menyembur. Kesalahan lain, menurut Mulyo, karena tidak adanya pemadatan tanah.

    Rudi Rubiandini menilai kesalahan yang dilakukan Lapindo Brantas bukan dari cara pengeborannya. Tapi, perusahaan itu salah memilih titik pengeboran. Soal pengeboran yang tegak lurus, dia menduga perusahaan itu berniat mengurangi biaya. ”Ditambah lagi ketika lumpur keluar, tindakannya lambat,” katanya. Kini, dampak negatif dirasakan ribuan warga Jawa Timur.

    Untung Widyanto, Sunudyantoro, Adi Mawardi, Rohman Taufik, Rana Akbari Fitriawan, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006