Pemerintah Jangan Pasrah Soal Lumpur Lapindo


Sidoarjo, (ANTARA News) – Pemerintah tidak boleh menyerah dan bersikap pasrah tanpa mengambil tindakan untuk menghentikan semburan lumpur Lapindo yang terjadi sejak tahun 2005.

Pernyataan itu disampaikan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Syafruddin Ngulma Simeulue kepada ANTARA, usai mengikuti salat Idulfitri bersama ratusan warga korban semburan lumpur di atas tanggul di Desa Ketapang, Porong, Sidoarjo, Rabu (1/10).

Dia mengusulkan agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang para ahli pengeboran ntuk membahas langkah-langkah yang bisa diambil guna menghentikan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

“Presiden bisa memanggil ahli-ahli “drilling” terbaik untuk membahas segala kemungkinan yang bisa diambil guna menutup semburan lumpur. Saya yakin para ahli pengeboran itu mengetahui langkah apa yang harus dilakukan,” katanya.

Syafruddin menegaskan, Presiden memiliki kewenangan tertinggi untuk mengambil langkah-langkah terbaik untuk mengatasi semburan lumpur akibat pengeboran Migas Lapindo Brantas Inc.

Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur itu meminta pemerintah berada di garis depan dalam menyelesaikan persoalan yang dihadapi para korban.

“Jangan membiarkan warga berhadap-hadapan langsung dengan Lapindo Brantas atau PT Minarak Lapindo Jaya dalam penyelesaian ganti rugi. Pemerintah yang harus berhadapan dengan kedua perusahaan itu untuk membantu warga korban semburan lumpur,” katanya menandaskan.

Terkait kehadirannya mengikuti shalat Ied bersama warga korban semburan lumpur, Syafruddin mengaku sudah merencanakan datang menemui korban lumpur bersamaan dengan kegiatan mudik lebaran ke Pandaan, Pasuruan.

“Sekalian saya ingin memantau hasil kesepakatan pemerintah dengan warga korban lumpur yang sudah dilakukan pada tanggal 29 Agustus 2008. Sejauh ini, belum ada tindak lanjut dari kesepakatan itu,” katanya.

Kesepakatan itu di antaranya menyebutkan bahwa akan dilakukan pengikatan jual-beli yang di dalamnya terkandung pelepasan atas hak kepemilikan tanah bagi warga yang hanya memegang bukti berupa Petok D, Letter C dan SK Gogol.

Tanah warga yang dilepaskan itu selanjutnya menjadi milik negara dan segera dilakukan pembayaran ganti rugi 20 persen bagi korban yang berkasnya sudah lengkap.

Bagi warga korban lumpur yang berada di luar peta terdampak, pemerintah akan menyediakan fasilitas yang dibutuhkan warga, seperti sarana air bersih, saluran pengairan, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan.

Hanya saja, kesepakatan itu tidak menyebutkan batas waktu yang harus dipatuhi PT Minarak Lapindo Jaya dan Lapindo Brantas untuk memenuhi tuntutan warga korban Lapindo.

“Karena itu kami secara intensif terus memantau di lapangan, untuk mengetahui tindak lanjut yang dilakukan pemerintah,” ujar Syafruddin.(*)

© Antara

Translate »