suarasurabaya.net – Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Timur pastikan korban lumpur lapindo yang tak masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), tetap bisa memilih dalam Pemilihan Gubernur, Agustus mendatang.
Tag: pemilihan gubernur
-
Lingkungan Hidup, Lumpur Lapindo, Siapa Berani?
Dua tahun sudah semburan lumpur Lapindo Brantas Inc meluluhlantakkan harta benda, emosi, dan kehidupan sosial masyarakat Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Dampak semburan lumpur bukan hanya berupa kekacauan infrastruktur, tetapi juga korban jiwa. Lumpur itu juga memberikan efek bagi Provinsi Jatim.
Data yang dipaparkan pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Kresnayana Yahya, menunjukkan, pertumbuhan ekonomi Jatim, yang biasanya selalu setengah persen di atas pertumbuhan ekonomi nasional, kini setengah persen di bawah pertumbuhan ekonomi nasional. Biangnya, semburan lumpur di wilayah eksplorasi Lapindo Brantas Inc.
Seretnya pertumbuhan ekonomi itu antara lain akibat matinya sejumlah industri dan hotel, serta tingginya biaya transportasi yang harus dikeluarkan pengusaha untuk distribusi produk. Seperti Rabu (18/6) lalu, antrean panjang kendaraan berat pengangkut barang memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan Porong, Sidoarjo, dengan Gempol, Pasuruan. Jalan tol Surabaya-Porong, yang semestinya bisa menyedot kendaraan dari ruas jalan raya dan menghemat waktu tempuh, tak bisa diandalkan lagi karena ikut menerima dampak terjangan lumpur. Antrean di jalan raya tak terelakkan. Jarak Surabaya-Malang, yang dalam kondisi normal dapat ditempuh dalam waktu dua jam, kini butuh hingga tiga jam.
Dampak sosial juga tak kalah parah. Warga Desa Renokenongo yang rumahnya terkena semburan lumpur panas masih banyak tinggal di pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Sekitar 500 keluarga tinggal di bangunan kios pasar. Pertumbuhan kejiwaan dan sosial anak-anak yang tinggal di penampungan itu dikhawatirkan terganggu. Mereka, 900-an warga Desa Renokenongo, hanya menanti tanggung jawab Lapindo Brantas Inc.
Tak kurang upaya dilakukan beberapa pihak untuk menggugat keadilan masyarakat atas semburan lumpur ini. Seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang mengajukan gugatan secara terpisah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan untuk menuntut pertanggungjawaban semburan lumpur yang masih berlangsung hingga kini itu. Namun, semua upaya itu kandas.
Bahkan, upaya hukum yang sudah dilakukan Polda Jatim, dengan menetapkan beberapa orang sebagai tersangka yang bertanggung jawab dalam semburan lumpur itu, tak juga berujung. Pasalnya, kejaksaan masih kukuh membutuhkan bukti yang menunjukkan korelasi antara pengeboran yang dilakukan Lapindo Brantas Inc dan semburan lumpur. Akibatnya, berkas perkara itu berkali-kali bolak-balik dari kejaksaan ke kepolisian.
Padahal, ilmuwan Inggris, Richard Davies, awal Juni lalu, menyebutkan, semburan lumpur di Sidoarjo bukan bencana alam, melainkan dipicu pengeboran di sumur Banjar Panji I. Sedangkan Lapindo Brantas Inc menyebutkan, lumpur itu menyembur ke permukaan bumi akibat dipicu gempa di Yogyakarta, beberapa hari sebelumnya.
Yang paling parah dari semua itu, pemerintah sepertinya bergeming. Tak mau menolehkan sejenak ke Porong untuk lebih menyalurkan empati dan bentuk tanggung jawab atas warganya yang kehilangan tanah, rumah, kehidupan sosial, dan ikatan dengan leluhur.
Sengaja mendiamkan
Airlangga Pribadi Kusman, pengajar ilmu politik dari Universitas Airlangga, Surabaya, yakin, elite politik di Jatim dan Jakarta sengaja mendiamkan persoalan lumpur yang menyembur pertama kali pada 29 Mei 2006 ini.
Tak ada tekanan politik dari Gubernur Jatim Imam Utomo, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso, maupun DPRD Jatim dan DPRD Sidoarjo. Dugaan Airlangga, semburan lumpur ini akibat kesalahan kolektif yang melibatkan banyak pihak sehingga semua pihak akan menutup persoalan ini.
Dari sisi politik, kondisi ini akan mendorong proses delegitimasi terhadap proses politik yang berlangsung di Jatim. Juga, delegitimasi masyarakat terhadap negara dan pemerintah. ”Masyarakat merasa kepentingan mereka tidak diperjuangkan wakil rakyat maupun eksekutif yang dipilihnya,” ujar Airlangga.
Pemimpin daerah juga terkesan tak bergerak untuk mengantisipasi kian buruknya kondisi di sekitar Porong akibat semburan lumpur yang terus terjadi. Padahal, banyak contoh bencana ikutan yang muncul akibat semburan lumpur yang terus bertumpuk di sekitar sumbernya. Terakhir, tiga pekerja di Desa Siring Barat, Kecamatan Porong, luka akibat ledakan gas.
Dengan perhitungan kerugian akibat semburan lumpur yang masih bertumpuk, tentu pemimpin Jatim akan berpikir, betapa lebih efektifnya jika menggunakan daya tawarnya terhadap pemerintah pusat untuk segera bertindak tegas menangani dampak lumpur itu. Bayangkan, kemajuan yang dicapai dalam pembangunan oleh Gubernur Jatim terpilih nanti akan dipotong dengan kerugian akibat semburan lumpur yang masih terjadi sampai kini.
Amien Widodo, geolog yang mendalami manajemen bencana dari ITS, menyarankan, Pemerintah Provinsi Jatim membuat peta risiko di sekitar semburan lumpur. “Peta itu dapat menunjukkan daerah dengan risiko rendah, sedang, dan tinggi sehingga setiap individu yang ada di daerah itu dapat mewaspadai segala kemungkinan yang terjadi. Buat peta yang menggambarkan, di sini daerah aman untuk tinggal dan tidak. Lalu, buat juga daerah rawan amblesan, di sini daerah rawan semburan gas, dan sebagainya. Peta ini mesti diperbarui setiap saat, selama lumpur masih menyembur,” kata Amien.
Jika langkah seperti itu tak dilakukan, niscaya semburan lumpur Lapindo hanya dianggap angin lalu. Apakah nyawa jadi tidak ada artinya?
Dewi indriastuti dan Nina Susilo
© Kompas
-
Pilkada Jatim, Lumpur Lapindo dan Kemandekan Ekonomi
Lumpur Lapindo merupakan salah satu penentu pertumbuhan ekonomi Jatim. Dampak lumpur, Jatim kehilangan potensi tumbuh sekitar 1 persen dari 20.000-30.000 kendaraan yang biasa melewati jalur antara Surabaya dan Malang serta kota-kota lain. Potensi kehilangan selama setahun sebesar Rp 170 triliun sepanjang 2007-2008.
Dengan sikap dan motivasi yang realistis, mengatasi permasalahan itu adalah keberanian menaruh kepemimpinan yang berani, peduli, dan bisa menaklukkan arogansi pusat. Pembagian kewenangan timpang, tetapi pembagian penderitaan selalu ada di Jatim. Pajak yang ditarik seharusnya bisa dialokasikan untuk rehabilitasi akses dan infrastruktur ekonomi yang rusak dan mandek akibat lumpur Lapindo.
Ada lima hal utama yang harus segera dipulihkan, yakni jalan akses (tol dan jalan negara) sepanjang 20-30 km antara Porong-Gempol, relokasi jalur pipa gas, jalur pipa air minum, jembatan Kali Porong, dan jalur kereta api.
Namun, beda pandangan tentang kewenangan menjadikan ketidakjelasan siapa sebenarnya yang punya wewenang menyelesaikan problem itu. Korban dari pemimpin yang ragu dan tidak kompeten itu menyebabkan proses pengambilan keputusan selalu mengambang.
Kalau dilakukan polling, tentu semua minta segera saja Pemerintah Provinsi Jatim menindaklanjuti masalah tersebut sebagai program emergency. Kalau perlu dengan meyakinkan pebisnis dan masyarakat mencari dana Rp 2 triliun-Rp 3 triliun untuk mengatasi persoalan itu karena dua tahun berlalu, kita telah kehilangan kesempatan ratusan kali lipat.
Tingginya angka pengangguran dan sekaligus potensi makin banyak industri yang gagal tumbuh seharusnya menjadi pertimbangan utama. Ada penambahan biaya dan kehilangan waktu yang sangat berarti untuk jalur transportasi antara Surabaya dan wilayah selatan dan timur Jatim, membuat 30 persen ekonomi Jatim stagnan.
Di sektor transportasi, misalnya, lebih dari 50 persen perusahaan bus berhenti operasi, lebih dari 30 persen angkutan barang tidak berjalan, dan lebih dari 25 persen angkutan kereta api berkurang. Sebab, setiap kontainer harus menambah Rp 1 juta untuk melewati Porong-Gempol karena mata rantai hambatan dan pungutan, serta akibat terlambatnya masuk ke pelabuhan.
Untuk itu, Jatim perlu menaikkan daya negosiasinya. Posisi tawar yang win-win solution seharusnya memberikan kewenangan untuk segera mengatasi infrastruktur bisnis.
Operasionalisasi jalur penerbangan Surabaya-Malang harus segera dibuka, begitu juga pembenahan kereta api. Harus ada jaminan aman agar transportasi barang dan penumpang lancar. Jalan tol juga harus segera dimulai, termasuk pula jalur pipa gas. Mengaktifkan kembali angkutan laut dari dan ke Pasuruan, Probolinggo, Surabaya akan menjadi pilihan sementara.
Memulihkan hak ekonomi sosial budaya dari 30.000 warga korban lumpur ditambah hak ekonomi dari 500.000 orang lainnya menjadi begitu berarti untuk mengurangi tekanan ekonomi.
KRESNAYANA YAHYA Pengamat Statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
-
Lapindo vs Rakyat vs Negara
Kini lumpur Lapindo memasuki babakan baru. Nasib rakyat dipertaruhkan. Juga uang negara. Jika kasus itu dikategorikan bencana alam, triliunan rupiah uang rakyat yang dikutip negara akan dikorbankan. Nuansa itu yang semakin kental dalam penanganan perkara ‘Kota Neraka’ Sidoarjo. Benarkah begitu?
Hari-hari ini rakyat korban lumpur Lapindo keleleran di berbagai tempat di Jakarta. Mereka menderita dan terus berjuang menuntut haknya. Sisi lain, kasus pidananya masih menggantung. Berita Acara Pemeriksaan (BAP) kasus ini bolak-balik dari Polda Jatim ke Kejaksaan Tinggi dan kembali lagi ke Polda. Itu, katanya, karena kurang alat bukti.
Dua tahun sudah kasus ini mengambang. Musibah itu terjadi semula diindikasikan karena efisiensi yang dilakukan Lapindo Brantas Inc. Pengeboran yang dilakukan tanpa cassing. Lapisan bumi penutup lumpur terkuak, tekanannya merekahkan tanah, menyemburkan lumpur yang belum diketahui berapa juta atau miliar meter kubik kandungannya.
Namun indikator itu akhir-akhir ini dimentahkan. 12 pakar yang dilibatkan pendapatnya terpecah. Tiga pakar menyebut lumpur itu akibat human error. Sedang sisanya mengatakan meluapnya lumpur itu adalah bencana alam. Alam yang salah. Mengirim lumpur mencelakakan manusia.
Itu yang menjadi alasan pihak Kejaksaan akan mempelajari ‘Black Box’. Kesaksian warga yang terkena musibah, serta ahli pengeboran. Namun yang perlu dikritisi, pendapat warga yang mana. Dan juga para ahli pengeboran yang berafiliasi kemana. Sebab perkara ini dalam proses waktu sudah ‘terkonversikan’ dengan uang. Nuansa kasusnya menjadi sangat ekonomis dan politis. Jika pihak Kejaksaan tidak jeli, maka kasus Lapindo ini bisa kian memperburuk citra institusi ini.
Mengapa musibah dipertalikan dengan uang? Itu tak terhindarkan dalam perkara lumpur Lapindo ini. Contoh sederhana yang sudah bisa dirasakan semuanya, lihatlah media yang memberitakan miring kasus ini selalu happy ending dengan iklan. Simak musibah bulan kemarin ketika tiga orang terbakar gara-gara merokok di daerah yang udaranya sudah dipenuhi gas itu, tidak satu pun media memberitakan. Masuklah Pilkada Jawa Timur, maka ada aroma Lapindo di sana. Serta tanyalah dinding resto Shangrilla Hotel di Jl Mayjen Soengkono, mereka akan banyak cerita nego soal-soal yang berbau lumpur. Jadi jangan kaget jika kecurigaan sejenis juga ditujukan pada polisi dan kejaksaan.
Mengapa lumpur Lapindo dicurigai kental dengan aliran uang? Itu tidak sulit diraba. Musibah ini bagi sebuah perusahaan ibarat pembuatan water treatment. Wajib dibangun dengan dana besar, tapi kurang produktif bagi pandangan dunia usaha. Akibatnya banyak yang mensiasati dengan menyuap pejabat korup. Itu pula kenapa pencemaran akut tidak terelakkan.
Dalam kasus lumpur Lapindo hampir sama. Di dalamnya ‘teronggok’ uang bertriliun-triliunan rupiah. Celakanya uang itu masuk kategori tidak produktif, karena untuk dibayarkan pada korban lumpur. Baik untuk ganti rugi lahan persawahan, pemukiman penduduk, serta berbagai pabrik yang terendam lumpur.
Uang itu darimana? Bisa dari kocek Lapindo Brantas Inc atau dari pemerintah. Lapindo harus mengeluarkan uang itu jika kelak divonis salah dalam pengeboran. Atau pemerintah yang harus mengkafer itu kalau kasus lumpur ini dinyatakan sebagai bencana alam. Tidak mengherankan kalau berbagai aksi dan mungkin juga kesaksian yang mengarahkan kasus itu sebagai bencana alam selalu dituding sebagai langkah menuju ‘pengalihan’ tanggungjawab Lapindo.
Jika kondisinya seperti itu, bisa dimaklumi jika berbagai pihak sekarang asyik ‘bermain’. Perkara yang semula terang itu jadi mentah. Itu karena skenario besar sedang menggelinding. Padahal pengeboran tanpa dicassing jelas-jelas sebuah kesalahan. Penahan lapisan lumpur itu terkuak, dan tekanannya melesak kemana-mana. Kendati semburan itu tidak persis di pengeboran yang dilakukan Lapindo.
Namun sebelum semuanya terjadi, yakinlah, rakyat dan negara akan ‘dikorbankan’. Lumpur yang sudah menyembur dua tahun itu bakal divonis sebagai bencana alam. Dengan begitu rakyat yang terkena musibah akan ditangani negara. Uang negara yang dipungut dari rakyat itu akan dijadikan ‘pampasan perang’ untuk mengatasi itu.
Tanda-tanda menuju ke sana sudah semakin benderang. Tiga gelintir pakar yang tidak kompromi itu naga-naganya ke depan bakal ikut mengamini suara mayoritas. Adakah Kejaksaan dan polisi bisa dijadikan pegangan untuk secara adil menangani kasus ini? Harapan rakyat dan negara memang tinggal itu.
Djoko Su’ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.
© DetikNews
-
Gubernur, Lapindo, dan Reformasi Birokrasi
Di luar soal kebutuhan dasar hidup (pangan, sandang, dan papan), pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan kesehatan, isu lain yang menonjol di Jawa Timur adalah masalah lingkungan (lumpur Lapindo) dan reformasi birokrasi.
Tema terakhir inilah yang begitu diharapkan oleh publik saat mendengarkan program dan janji-janji yang diucapkan oleh calon gubernur/calon wakil gubernur Jatim. Sayang, tidak satu pun cagub/cawagub yang menjawab secara eksplisit terhadap dua hal itu sehingga konstituen umumnya tidak puas terhadap program yang ditawarkan.
Memang ada satu cagub/cawagub yang relatif memiliki keberpihakan terhadap persoalan Lapindo ini, namun program itu tidak disebarkan secara ekstensif pada masa kampanye, tetapi baru diuraikan dalam debat publik terakhir (19/7/2008) yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi nasional. Dari segi substansi, sebetulnya faktor apa yang membuat dua soal itu begitu penting di Jatim?
Perangkap Lapindo
Pada 2006, Bank Dunia memublikasikan kekayaan seluruh negara di dunia dengan memasukkan tiga variabel, yakni modal alam, modal tak berwujud (intangible), dan modal ciptaan. Hasilnya, umumnya negara-negara yang memiliki modal alam besar justru total kekayaannya sangat rendah.
Indonesia, yang memiliki karakteristik seperti itu, total kekayannya (per kapita) jauh di bawah Singapura, Korea, Thailand, Malaysia, dan Filipina (Bank Dunia, 2006). Dalam hal ini, Indonesia hanya sedikit lebih baik ketimbang China. Di internal Indonesia sendiri, kasusnya juga mirip, di mana wilayah (provinsi) yang memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) justru terperosok menjadi provinsi miskin.
Jawa Timur juga tidak terlepas dari kisah itu, di mana kekayaan SDA yang dipunyai justru membuat wilayah ini terbelakang dari banyak aspek. Misalnya, pendapatan/kapita Jatim di bawah pendapatan/kapita nasional dan persentase penduduk miskinnya jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional.
Dalam bingkai seperti itulah persoalan lingkungan menjadi penting dalam konteks pembangunan ekonomi. Di Jatim, soal lingkungan yang terbesar sebetulnya bukanlah kasus Lapindo, melainkan kian habisnya hutan dan jumlah lahan kritis yang terus membesar.
Tercatat, sekarang hutan lindung di Jatim lebih dari 50% kawasannya dalam kondisi kritis, misalnya Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Meru Betiri, Kawah Ijen, Pegunungan Hyang-Argopuro, Taman Nasional Baluran, Kawaswan Gunung Tarub, dan Bromo Tengger Semeru. Sedangkan total lahan kritis di Jatim tidak kurang dari 1 juta ha, di mana jumlah ini setara dengan luas lahan sawah di Jatim.
Masalah inilah yang sebetulnya menjadi pemicu bencana banjir dan kekeringan di Jatim. Namun, eskalasi masalah ini berada di bawah kasus Lapindo akibat letaknya yang tidak berada di pusat kegiatan ekonomi dan “tidak terdapat” korporasi besar di balik kerusakan lingkungan itu.
Pada titik inilah kemudian kasus Lapindo menjadi “seksi” karena mempertemukan banyak kepentingan. Tawaran program yang dibutuhkan dari soal ini sebetulnya hanya dua hal. Pertama, kejelasan dari cagub/cawagub untuk menempatkan kasus itu sebagai masalah bencana (alam) atau malpraktik korporasi. Pemilihan sikap terhadap penyebab masalah tersebut akan berimplikasi luas terhadap kepentingan yang lebih besar.
Kedua, bagaimanakah mendudukkan posisi korban (penduduk) yang secara langsung terkena dampak lumpur Lapindo. Tentu saja ekspektasi korban bukan hanya “ganti rugi” yang diharapkan, tetapi “ganti untung” (materi dan non-materi) karena implikasi kasus itu sangat besar.
Sayang, memang tidak mudah mengambil sikap dalam kasus ini karena sebagian kewenangan bukan di tangan provinsi, sehingga bisa dipahami bila cagub/cawagub tidak bersikap eksplisit. Namun, setidaknya untuk poin yang kedua sikap itu seharusnya dapat ditunjukkan.
Pembelahan Birokrasi
Hampir bisa disepakati bahwa sebagian besar kegagalan implementasi pembangunan bukan akibat kelangkaan konsep kebijakan, melainkan kegagapan birokrasi untuk mengawal kebijakan tersebut. Di luar masalah sistem rekruitmen yang kacau dan political interest yang tinggi, di tubuh birokrasi juga tersembul patologi model patron yang sangat kuat.
Implikasinya, setiap kebijakan yang disorong oleh satu kelompok tertentu dapat dipastikan akan dijegal oleh kelompok yang lain. Tidak bisa dihindari, hal yang sama juga terjadi dalam birokrasi di Jatim, bahkan dapat disaksikan secara kasat mata.
Pembelahan kepentingan antarkelompok birokrasi tersebut sudah sangat menyedihkan sehingga kebutuhan reformasi bukan sekadar mendesain ulang sistemnya, tetapi juga mendisiplinkan perilaku aktor-aktor yang berada di dalamnya. Tentu saja ini bukan hanya membutuhkan komitmen dari pemimpinnya, tetapi memastikan pemimpin itu bukan bagian dari kelompok kepentingan.
Keberhasilan reformasi birokrasi, seperti di Lamongan (Provinsi Jatim), Sragen dan Kebumen (Provinsi Jateng), Jembrana (Provinsi Bali), dan Provinsi Gorontalo, merupakan contoh telanjang yang menerangkan bahwa reformasi birokrasi juga butuh jarak antara pemimpin dan masalahnya (bukan sekadar sistem), sehingga sensitivitas dan kredibilitas terus terjaga.
Poin-poin itu yang mestinya dapat dieksplorasi secara mendalam dalam debat cagub/cawagub, sekaligus diusung dalam platform tertulis, sehingga memudahkan pemilih (khususnya pemilih terdidik) dalam menentukan sikap dukungan terhadap cagub/cawagub. Tetapi, lepas dari itu semua, ajang pilgub langsung pertama di Jatim telah memberikan banyak pembelajaran bagi khalayak, termasuk jenis kampanye yang membodohi publik.
Selamat memilih, Jatim!
Ahmad Erani Yustika PhD, ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi, Pascasarjana Fakultas Ekonomi – Universitas Brawijaya