Tag: peran pemerintah

  • Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    [Siaran Pers] Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    • Rapat Kabinet, Jumat (19/12) lalu, memutus pemberian “dana talangan” sebesar Rp 781 milyar pada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dana talangan bisa jadi adalah langkah solutif bagi sebagian korban, namun kita melihat keputusan itu bukan satu-satunya langkah penyelesaian kasus Lapindo yang multidimensi ini. Untuk itu, kita menuntut elegansi negara hadir dan memahami kompleksitas kasus Lapindo.
    • Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu “dimensi korban”. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka. Bagi korban tersebut, dana itu adalah solusi mendesak yang tak bisa ditolak untuk segera dilakukan Pemerintah. Akan tetapi, solusi itu tidak menyentuh “dimensi pelaku”. Oleh karena itu, kita berpendapat bahwa dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir.
    • Persoalan terutama dalam bencana lumpur panas Lapindo adalah ketiadaan data akurat tentang korban. Selama ini, data korban hanya merujuk pada jumlah aset (tanah dan bangunan) dan tidak pernah memperhitungkan aspek manusia. Manusia (korban bencana) telah direduksi menjadi materi (uang “ganti-rugi”). Sampai saat ini, tidak ada yang pernah tahu berapakah jumlah riil korban Lapindo? Siapa sajakah mereka? Pindah kemana sajakah orang-orang itu? Bagaimana pula mereka mengatasi ketegangan antara terputus dari hunian lama dan beradaptasi di hunian baru?
    • Pemerintah juga perlu menyentuh aspek sosial-ekologis. Kini, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo. Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat. Bukannya menindaklanjuti secara lebih serius, pemerintah justru meragukan dan mengabaikan temuan-temuan tersebut. Pemerintah mengingkari fakta tersebut dengan menyatakan lumpur tidak mengandung zat berbahaya. Hal ini tentunya ironi mengingat degradasi ekologi berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas setempat menunjukkan persoalan kesehatan di sekitar semburan meningkat serius.
    • Sampai kini belum terlihat keseriusan pemerintah memulihkan kehidupan sosial-ekologis para korban Lapindo. Tidak ada kabar tentang rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam dalam lumpur. Tidak ada perhatian khusus bagi pemulihan krisis sosial-psikologis bagi korban Lapindo, khususnya anak-anak dan perempuan, dua kelompok paling rentan dalam setiap bencana. Tidak ada kabar tentang rencana normalisasi Kali Porong. Pemerintah tidak bisa mengandaikan bahwa begitu korban mendapatkan uang “ganti-rugi” kehidupan ekonomi korban akan pulih secara sendirinya. Yang dibutuhkan warga-korban bukan hanya ikan, melainkan juga kail. Mereka memang butuhkan uang segar untuk bertahan hidup sementara, akan tetapi mereka lebih membutuhkan jaminan atas kehidupan yang layak, pekerjaan yang layak, hunian yang layak.
    • “Dalam kasus [Lapindo] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat,” begitu pernyataan yang dilontarkan Joko Widodo di hadapan korban Lapindo pada 29 Mei 2014 lalu. Makna “negara hadir” jangan dikerdilkan sebatas memberikan dana talangan sebagai solusi akhir bagi kasus Lapindo. Negara juga harus hadir menjatuhkan sanksi yang setimpal bagi para pelaku kasus Lapindo.
    • Kita sangat menyayangkan bahwa sampai kini tidak ada sanksi hukum pada Lapindo yang telah secara jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 karena kegagalannya membayar sisa 80 persen “paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis” (Pasal 15 Ayat 2) pada para korban. Belajar dari pengalaman pemberian dana talangan pada korporasi, pemerintah harus mengoptimalkan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, untuk melakukan audit keuangan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan uang rakyat untuk menalangi Lapindo. Pemerintah harus memaksa Lapindo untuk mengembalikan seluruh dana yang diambilkan dari uang rakyat, karena termasuk dalam rakyat adalah para korban Lapindo!
    • Apabila penyelesaian kasus Lapindo oleh pemerintah mandeg pada urusan ganti-rugi semata (dengan mekanisme dana talangan), kita dapat menilai betapa amatir dan naifnya pemerintah kita. Hal semacam ini tentunya hanya akan menambah deretan praktik busuk korporasi dalam menyelesaikan masalah finansial internal mereka dengan menggunakan uang rakyat. Kedaulatan rakyat akan kembali disalahgunakan bila penegakkan hukum atas kasus Lapindo diabaikan, apalagi sampai para pelakunya dibebaskan dari segala tanggung jawab.
    • Kita menuntut elegansi negara hadir dalam kasus Lapindo. Untuk itu, kita mengajak pemerintah untuk memperluas horizon dalam melihat multidimensionalitas kasus Lapindo, bahwa lansekap-bencana lumpur Lapindo telah melampaui sebidang tanah yang sudah menjadi lautan lumpur di sekeliling semburan utama di Porong, Sidoarjo. Hanya dengan demikian, kita dapat menyaksikan penyelesaian kasus Lapindo secara runut dan menyeluruh.

    Porong, 29 Desember 2014

    Kanal (korbanlumpur.info) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    Kontak: Catur (+62 81 336 607 872); Beggy (+62 85 269 133 520)

    Versi PDF [unduh]

  • Bersama (Siapa) Kita (Supaya) Bisa(?)

    “Bersama Kita Bisa” adalah semboyan yang dikumandangkan duet SBY-JK dalam kampanye pilpres 2004. Semboyan itu berperan dalam membawa duet itu ke kursi kepresidenan. Pidato kenegaraan (15/8/2008) diakhiri dengan: ”Harus Bisa! Apa pun masalahnya, kapan pun masanya, seberapa pun keterbatasannya, kalau kita bermental bisa, kita semua bisa dan Indonesia pasti bisa.”

    Akan tetapi, ternyata pada 11 September 2008, pemerintah mengeluarkan pernyataan mengejutkan: ”Tidak bisa menutup lumpur Lapindo”. Mengapa pemerintah mudah menyatakan tidak bisa menutup lumpur yang sudah dua tahun lebih menyengsarakan puluhan ribu warga Porong dan merugikan jutaan warga Jawa Timur? Apa yang terjadi hingga pemerintah menyerah dan terpaksa mengingkari semboyan ”Bersama Kita Bisa”?

    Keputusan pemerintah untuk menyerah didasarkan informasi tenaga ahli, terutama ahli geologi, yang menyatakan, bencana lumpur Lapindo adalah akibat gempa bumi dan aliran lumpur tidak dapat dihentikan.

    Padahal, ada pendapat bertentangan yang muncul dari tenaga ahli, khususnya ahli pengeboran (drilling engineer). Juga datang dari sejumlah ahli luar negeri, dari institusi terhormat dengan kredibilitas tinggi. Pemerintah seharusnya mengetahui adanya para ahli yang berpendapat berbeda, tetapi tidak pernah dimintai pendapat mereka.

    Merasa tak mampu

    Pemerintah tak bisa menutup lumpur karena memilih bersama para ahli yang tidak yakin bahwa aliran lumpur itu dapat dihentikan, merasa tidak mampu untuk dapat menutup atau mematikan sumber lumpur. Namun, jika bersama para insinyur pengeboran itu, pemerintah akan yakin sumur itu bisa dihentikan. Jadi, semboyan kampanye SBY-JK tahun 2004 perlu disesuaikan menjadi: ”Bersama (ahli pengeboran yang percaya diri) Kita Bisa (mematikan sumber lumpur)”.

    Pertanyaannya, mengapa pemerintah memilih bersama tenaga ahli yang tidak percaya bahwa sumber lumpur itu bisa ditutup? Mengapa pemerintah tidak memilih bersama tenaga ahli berpengalaman dan percaya bahwa mereka memiliki kemampuan dan keahlian untuk menutup sumber lumpur? Apakah pemerintah dirugikan jika memercayai kemampuan anak bangsa yang juga memiliki kepercayaan diri?

    Pemerintah sama sekali tidak dirugikan, baik secara ekonomi maupun politik. Sesuai Perpres No 14/2007, pemerintah menanggung biaya penanggulangan dampak dan biaya hidup untuk korban yang tinggal di daerah di luar peta lampiran perpres itu.

    Tahun 2007, biaya yang dikeluarkan pemerintah mencapai Rp 700 miliar. Tahun 2008 bertambah, bisa di atas Rp 1 triliun. Juga tahun 2009 dan seterusnya, sedangkan biaya untuk menutup sumber lumpur diperkirakan sekitar 80 juta-120 juta dollar AS.

    Memang belum pasti 100 persen sumber lumpur dapat ditutup. Tetapi, melihat pengalaman para insinyur pengeboran yang lebih dari 30 tahun dengan prestasi sejenis yang meyakinkan, peluang berhasil amat besar. Insinyur pengeboran yang lain, saat berpengalaman baru beberapa tahun, berani menyatakan, dia bisa menutup semburan gas yang luar biasa besar, yang semula akan ditutup Red Adair dari AS. Ahli lain, dengan kemampuannya, telah berhasil membuat perangkat lunak simulasi cara mematikan semburan dan telah diverifikasi oleh hasil perangkat lunak luar negeri.

    Apakah mereka terlalu percaya diri dan mendahului keputusan Tuhan? Tidak! Mereka memiliki kepercayaan diri berkat pengalaman selama 30 tahun lebih didukung kemampuan yang dimiliki. Mereka adalah anak bangsa yang cerdas dan berkemampuan yang merasa berutang pada bangsa dan ingin membayarnya dengan keahliannya. Mereka adalah anak bangsa yang bermartabat, yang percaya pada kemampuan dan pengalaman mereka.

    Percaya diri

    Jika sikap itu dianggap takabur, Bung Karno, Bung Hatta, serta para pendiri bangsa tentu akan kita anggap takabur saat mendirikan bangsa Indonesia. Bahwa kondisi negara kita amburadul, bukanlah karena rasa percaya diri para pendiri bangsa, tetapi karena sikap kebanyakan pemimpin bangsa kita yang tidak benar, termasuk sikap pesimistis dan tidak percaya diri saat mengatakan, kita tidak bisa menutup sumber lumpur Lapindo.

    Mengapa pemerintah memilih bersama para ahli yang pesimistis, yang notabene tidak mempunyai banyak pengalaman lapangan, daripada bersama para ahli yang optimistis dan berpengalaman? Untuk apa Presiden berpidato berkali-kali memompakan optimisme jika pemerintah sendiri lebih percaya kepada tenaga ahli yang pesimistis? Hal itu jelas merupakan kerugian imaterial yang amat besar.

    Bersama para ahli yang merasa tidak mampu, kurang pengalaman, kurang percaya diri, dan pesimistis kita tidak bisa menutup sumber lumpur itu. Bersama para ahli yang mampu, berpengalaman, percaya diri, dan optimistis, kita bisa menutup sumber lumpur. Lalu bersama siapa?

    Uraian itu jelas menggambarkan bersama siapa seharusnya kita, yaitu bersama para ahli pengeboran yang berpengalaman, percaya diri, bemartabat, punya integritas dan niat baik. Jika dianggap belum jelas keterangannya dan karena itu pemerintah belum yakin, mereka bisa dipanggil untuk menjelaskan.

    Jika perlu, dilakukan dialog dengan para ahli yang tidak yakin sumber lumpur dapat ditutup, yang dihadiri pihak ketiga, yaitu tenaga ahli, berpengalaman dari institusi luar negeri yang terhormat dengan kredibilitas tinggi.

    Salahuddin Wahid, Pengasuh Pesantren Tebuireng

    http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/20/00343277/bersama.siapa.kita.supaya.bisa

  • NGOs slam govt over mudflow

    Nongovernmental organizations on Thursday threw their support behind mudflow victims from Sidoarjo, East Java, by urging the government to compensate them before the post-Ramadan holiday of Idul Fitri at the latest.

    As many as 24 Jakarta-based NGOs, grouped under the Coalition of Justice for Lapindo Mudflow Victims, criticized the government for “neglecting” the fate of those displaced by the sludge that has devastated the area since May 2006.

    Some 25 representatives of the victims met with the coalition at the Commission for Missing Persons and Victims of Violence (Kontras) headquarters in Jakarta to seek the NGOs’ backing for their demands.

    “We ask President Susilo Bambang Yudhoyono to take stern measures to resolve the fate of Sidoarjo mudflow victims,” coalition coordinator Usman Hamid told the meeting.

    “The President must also be brave and ask all relevant parties, including his minister responsible for this matter, to complete payment of compensation before Idul Fitri.”

    The representatives, from 10 villages in Sidoarjo, arrived in Jakarta on Friday to push for a clear response over compensation payments, which have yet to be completed two years after the disaster struck.

    During their stay in Jakarta, they met with Public Works Minister Djoko Kirmanto and representatives from the Social Services Ministry and the National Land Agency.

    The representatives also met with politicians and legislators from several parties, including the National Awakening Party (PKB), the Indonesian Democratic Party for Struggle (PDI-P) and the Prosperous Justice Party (PKS).

    “The Democratic Party and the Golkar Party rejected our request for separate meetings,” said Sep Muhammad, one of the representatives.

    The mudflow victims will return to Sidoarjo on Friday after the President turned down their appeal for a dialog.

    © Jakarta Post

  • Mudflow victims urge govt to complete payment

    Victims of the Sidoarjo mudflow disaster urged the government to speed up compensation payments to them, following a new agreement between them and government representatives last week.

    On Tuesday, the victims’ lawyer, Paring Waluyo Utomo, said they were demanding concrete actions to realize the agreement, despite government assurances that the disbursement would be expedited.

    Some 25 representatives from 10 villages in Sidoarjo, East Java, came to Jakarta on Friday to seek certainty about the compensation, which has yet to be completed two years after the disaster struck.

    The representatives are staying at the National Commission of Human Rights (Komnas HAM) headquarters in Menteng, Central Jakarta.

    On Friday, they met with Public Works Minister Djoko Kirmanto and representatives from the Social Services Ministry, National Land Agency, PT Lapindo Brantas and PT Minarak Lapindo Jaya, in which the parties drew up a new agreement.

    One of the main points in the agreement obliges Lapindo to immediately complete the payment of 20 percent of the required compensation to the victims, whose lands were engulfed by the mudflow.

    It also stipulated the remaining 80 percent should be paid before the end of a two-year house leasing arrangement.

    “The victims are not satisfied with the promises in the agreement. They want it to be truly realized. Many victims have not received the 20 percent installment, let alone the 80 percent,” Paring said after a press conference at Komnas HAM headquarters.

    “We are seeking more support to force the government and Lapindo to finalize this, including from Komnas HAM and the House of Representatives.” He said the victims no longer wanted to deal with PT Lapindo Brantas and PT Minarak Lapindo Jaya and would leave the government to deal with them.

    “We can’t force Lapindo (to pay), so we will leave it to the government, which has the power,” he said. He said the victims would monitor the implementation of the agreement at the site.

    “We will sue if they fail to comply with it,” Paring said.

    The agreement also stipulates the government will provide a clean water facility and build drainage for villagers whose lands were not included in the map of affected zones.

    Paring said the villagers also demanded the government immediately issue a revised 2007 presidential instruction that includes all victims in the map, thus entitling them to compensation.

    Mahmuda, a victim from Renokenongo village, said the representatives would stay in Jakarta until they had secured the government’s promise to undertake its responsibility toward them.

    She also said they wished to meet with President Susilo Bambang Yudhoyono to demand their rights be upheld.

    “We don’t know how long we will stay here, but we really expect to meet the President. He is our only hope because he is the one who issued the policy,” she said.

    “We want to know how much attention he pays in ensuring our rights are upheld.”

    Desy Nurhayati, The Jakarta Post, Jakarta

  • Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Korban Lapindo Menagih Janji

    Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.

    Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).

    Pasal 15 Perpres itu menentukan:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1).

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.

    Bapak Presiden, mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris/pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.

    Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).

    Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.

    Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.

    Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.

    Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu/m2, sedangkan tanah pemukiman/pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta/m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta/m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?

    Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo?

    Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?

    Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.

    Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.

    Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).

    Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14/2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4).

    Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).

    Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.

    Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.

    Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.

    Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo.

    Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo.

    Subagyo, 081615461567

  • Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    korbanlumpur.info – Desa Siring bagian barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo adalah sedikit wilayah dari 12 desa lainnya yang menjadi korban lumpur Lapindo. Akibat luapan lumpur Lapindo, Desa Siring barat mengalami kerusakan lingkungan sangat parah. Rumah-rumah warga mengalami keretakan pada dindingnya.

    Kondisi dinding yang retak itu sangat rawan ambruk, dan sangat mungkin menimbun penghuni rumah. Selain dinding, lantai rumah rumah warga juga mengalami kerusakan. Bahkan di tengah-tengah lantai rumah warga, keluar bau gas yang mudah terbakar. Bau gasnya mirip sekali dengan gas elpiji, bahkan cenderung menyengat.

    Semburan semburan berskala kecil dan besar juga tersebar luas di wilayah ini, mulai dari Siring barat, Jatirejo barat, Mindi, dan desa-desa lainnya di sekeliling tanggul lumpur Lapindo. Hingga kini, jumlahnya mencapai 94 titik semburan baru di desa-desa tersebut. Khusus Desa Siring barat, korban telah berjatuhan akibat gangguan kesehatan, karena kondisi lingkungan yang rusak.

    Sejak empat bulan yang lalu, kondisi Siring barat semakin hari semakin parah. Di antaranya sepasang suami isteri yang telah meninggal akibat sesak nafas. Sesak nafas itu menghinggapi sepasang suami-isteri itu karena tekanan gas yang sangat tinggi di lingkungan rumahnya. Suami isteri itu bernama Yakup dan Ny Yakup.

    Ny. Yakup meninggal tanggal 28 April 2008. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak nafas akibat kandungan gas. Sebelumnya, telah warga ada warga Jatirejo barat yang bernama Sutrisno juga meninggal dunia pada 14 Maret 2008 akibat sesak nafas karena tingginya kadar gas beracun di lingkungan rumahnya.

    Selain sepasang suami isteri di atas, ada korban lainnya dari warga Siring barat. Ia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter tanggal 28 April 2008 menyatakan, di dalam saluran pernafasan Unin Qoriatul terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kondisi ini membuat kesehatan Unin Qoriatul drop.

    Selain di Siring, warga Jatirejo barat juga mengalami nasib yang sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada 26 Maret 2008 meninggal dunia. Akibat kematiannya sama, yakni mengalami sesak nafas akibat tekanan gas yang begitu tinggi di lingkungan rumahnya.

    Walau telah ada korban korban berjatuhan, pemerintah dan PT Lapindo Brantas tak kunjung bertanggung jawab secara maksimal. Hampir tiap hari petugas dari PT Vergaco melakukan inspeksi untuk mendeteksi kondisi lingkungan di desa-desa di atas. Namun, hasil inspeksi itu tak pernah disosialisasikan ke warga.

    Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab untuk memberikan peringatan dini atas bahaya lingkungan ini, nyatanya hal itu tidak dilakukan. Sampai-sampai korban pada berjatuhan. Akankah negara membiarkan rakyatnya terenggut kematian terus menerus? Padahal negara sangat memiliki kapasitas untuk membuat proteksi atas keselamatan rakyatnya.

    Dunia harus tahu, bahwa ada pengabaian yang dilakukan pemerintah atas warga korban lumpur Lapindo yang berada di luar peta area terdampak. [ring]

  • Interpelasi Kasus Lapindo

    Oleh: Toto Sugiarto

    Berita baik terkirim dari Senayan. Sebanyak 129 anggota DPR mengajukan hak interpelasi lumpur Lapindo. Mereka mempertanyakan keseriusan pemerintah menangani kasus ini.

    Namun, apakah berita baik ini akan berakhir menyenangkan? Seriuskan DPR menggulirkan interpelasi ini?

    Urgensi interpelasi

    Mengapa interpelasi Lapindo penting? Ada tiga hal yang mendasari interpelasi ini penting bagi rakyat dan negara.

    Pertama, pemerintah tidak serius membela rakyat dan terkesan membiarkan rakyat tenggelam dalam penderitaan. Dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, pemerintah melegitimasi ketidakadilan dari kuasa kapital. Rakyat korban Lapindo dipaksa menerima 20 persen pembayaran transaksi jual-beli harta. Sisanya dibayarkan dua tahun kemudian tanpa bunga. Yang paling menyedihkan, transaksi yang merugikan ini dipayungi produk hukum buatan pemerintah. Ini pemihakan nyata pemerintahan kepada kuasa kapital.

    Kedua, kerugian negara. Luapan lumpur telah merusak dan menenggelamkan infrastruktur dan mengganggu perekonomian Jawa Timur dan nasional.

    Kerugian juga ditimbulkan oleh isi Perpres 14/2007 yang membebankan sebagian besar biaya penanggulangan kepada negara. Negara, antara lain, dibebani keharusan membiayai pengalihan infrastruktur, kanalisasi lumpur dari kali porong sampai ke laut, dan biaya sosial kemasyarakatan di luar peta 22 Maret 2007.

    Ketiga, kasus Lapindo menegaskan pemerintah tidak serius menegakkan hukum. Amat mengherankan jika pemerintah tidak menyeret pihak-pihak yang jelas merugikan rakyat dan negara ke pengadilan.

    Berdasar tiga hal itu, pemerintah terlihat mengesampingkan kepentingan rakyat dan negara serta lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital. Karena itu, pengajuan hak interpelasi menjadi urgen, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No 22/2003, yaitu hak untuk meminta keterangan pemerintah tentang kebijakan penting dan strategis serta berdampak (negatif yang) luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara.

    Hak dan kewajiban

    Dengan pertimbangan bahwa penderitaan rakyat akan kian berat dan panjang serta kerugian negara kian besar jika kasus Lapindo dibiarkan, maka hak interpelasi DPR menjadi kewajiban. DPR wajib mempertanyakan sikap pemerintah yang terasa lebih mengutamakan kepentingan kuasa kapital dan mengorbankan rakyat dan negara.

    DPR juga wajib menyuarakan nurani rakyat, saat mereka berteriak menuntut keadilan.

    Selain mempertanyakan, DPR perlu melakukan tekanan agar pemerintah mengakhiri konflik kepentingan dalam dirinya sekarang ini. DPR perlu menekan pemerintah agar membuang faktor-faktor yang menyumbat penyelesaian dampak sosial lumpur Lapindo. Setelah konflik kepentingan teratasi, diharapkan pemerintah akan berhenti berlaku tidak adil terhadap rakyat.

    Tujuannya, rakyat harus diselamatkan. Hak milik rakyat yang terenggut dan harus dikembalikan. Adalah tugas pemerintah yang merupakan pemegang otoritas negara untuk menjamin hak-hak dasar warga negara.

    Catatan akhir

    Dalam kasus lumpur Lapindo ini, pemerintah tampak telah terkooptasi oleh kekuatan kapital. Adalah tidak mungkin mengharap langkah radikal pemerintah dalam menolong para korban tanpa tekanan dari DPR.

    Karena itu, DPR perlu serius menggulirkan interpelasi ini. Langkah ini harus diselesaikan hingga korban lumpur Lapindo terselamatkan dan perekonomian Jawa Timur dan nasional kembali berjalan normal.

    Jika perlu, berakhir dengan pemakzulan (impeachment). Pemerintah yang tidak lagi bisa menjamin hak-hak dasar warga negara, pemerintah yang “menggadaikan” atau bahkan “menjual” nasib rakyatnya kepada suatu kuasa karena merasa berutang budi atau demi mendapat keuntungan, harus diberhentikan.

    Meski prinsip demokrasi amat mengagungkan keteraturan rotasi kepemimpinan melalui pemilu ke pemilu, namun prinsip demokrasi jugalah yang menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas segala-galanya.

    Pemerintahan yang tidak lagi memikirkan kepentingan rakyat dan negara di atas segalanya, perlu dipertanyakan kelanjutan legitimasi kekuasaannya. Di titik ini, DPR perlu mempertanyakan kepada otoritas hukum, apakah legitimasi rakyat masih layak dipegang pemerintahan sekarang.

    Di sisi lain, DPR perlu membuktikan, dirinya tidak melupakan “ibu yang mengandungnya”. Dengan serius memperjuangkan nasib rakyat yang teraniaya, seperti korban lumpur Lapindo, DPR membuktikan dirinya bukan “anak durhaka”. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 18 Juni 2007

  • Lapindo dan Absennya Pemerintah

    Oleh: Tata Mustasya

    Jika tak ada perubahan kebijakan mendasar, sejarah bakal mencatat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah mangkir dari salah satu kewajiban pentingnya. Akan tertulis, pemerintah absen, dengan tidak melindungi sepenuhnya hak-hak masyarakat Sidoarjo dari semburan lumpur panas.

    Padahal, buku-buku teks kebijakan publik—misalnya Economics of the Public Sector oleh Joseph E Stiglitz—menegaskan perlunya peran pemerintah (government role) mengoreksi eksternalitas negatif akibat aktivitas ekonomi, misalnya ada pajak terhadap pencemaran oleh pabrik. Dengan demikian, biaya sosial polusi tidak ditanggung masyarakat yang “tidak bersalah”, juga pengusaha mempunyai insentif untuk meminimalisasi polusi.

    Jika keberadaan eksternalitas negatif menuntut intervensi pengambil kebijakan, amat ganjil jika perampasan aneka hak masyarakat di Sidoarjo tak mampu menghadirkan pemerintah secara penuh. Yang paling nyata, timbulnya ketidakjelasan ganti rugi. Ada apa dengan Lapindo dan absennya pemerintah?

    Bukan perilaku pasar

    Perlu dicatat, sikap Lapindo—dengan tidak bertanggung jawab terhadap kerugian masyarakat—bukan perilaku “ekonomi pasar”. Sebaliknya, ekonomi pasar menuntut pertanggungjawaban dan penghormatan hak milik (property rights).

    Kasus bangkrutnya perusahaan energi raksasa, Enron, di Amerika Serikat (AS) tahun 2001 merupakan contoh. Terbukti melakukan penipuan keuangan, Chief Executive Officer (CEO) Enron Jeffrey Skilling—salah satu lulusan terbaik Harvard Business School—divonis hukuman penjara 24 tahun 4 bulan. Skilling dan beberapa petinggi Enron lain telah menyembunyikan prospek buruk Enron untuk mendongkrak harga saham dan nilai pasar perusahaan itu. Dengan manipulasi mereka, Enron berkembang menjadi perusahaan ketujuh terbesar di AS dan mendapat predikat America’s Most Innovative Company dari majalah Fortune pada tahun 1996-2001.

    Hukuman berat itu menunjukkan pentingnya sebuah perekonomian pasar yang melindungi hak- hak pelakunya dan publik. Dalam kasus Enron, yang dilindungi adalah investor dan 21.000 pegawai. Para petinggi Enron bahkan harus menyerahkan aset-aset pribadi untuk ganti rugi.

    Yang menarik, penegak hukum di AS melakukan yurisprudensi dalam vonis petinggi Enron dan kantor akuntan Arthur Andersen sebagai auditor. Kejahatan Enron dan Arthur Andersen sebagai perusahaan harus dibebankan kepada individu para eksekutif puncak meski kesalahan mereka sekadar “tidak mau tahu” terhadap praktik bisnis kotor.

    Dalam satu aspek, perilaku Lapindo lebih destruktif dibandingkan dengan Enron. Lapindo merugikan orang-orang yang sama sekali tidak mempunyai akad ekonomi dengan perusahaan itu. Mereka bukan investor atau pegawai.

    Lapindo juga terindikasi mencari celah untuk “efisiensi” ganti rugi. Relokasi—bukan penggantian uang— menghilangkan pilihan warga terhadap tempat tinggal baru. Lebih jauh, kerugian warga disimplifikasi menjadi hilangnya hak milik (properties) dan menafikan kerugian karena hilangnya pekerjaan dan tekanan psikologis.

    Peran pemerintah

    Presiden Yudhoyono—atas nama warga—harus memaksa Lapindo membayar ganti rugi dalam bentuk uang, bukan cuma komitmen. Urgensi peran pemerintah mutlak. Hal ini disebabkan pertama, kerugian dan hilangnya hak milik telanjur terjadi dan begitu nyata; kedua, kekuatan tawar Lapindo dan warga yang amat asimetris. Dalam kondisi ini, “negosiasi” bipartit antara Lapindo mustahil berlangsung adil. Langkah konkretnya, bentuk sebuah auditor independen untuk menghitung kerugian. Valuasi kerugian jangan dikendalikan Lapindo.

    Ketiga, kerugian warga bukan disebabkan wanprestasi dari sebuah perjanjian ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak tertentu.

    Selanjutnya, Presiden harus melakukan terobosan sehingga kesalahan Lapindo dapat ditarik dan dibebankan ke pundak petinggi perusahaan ini, bukan melulu operator lapangan. Langkah ini mencegah skenario—yang mulai dilontarkan beberapa politisi—untuk membebankan biaya kerugian kepada negara dengan dalih bencana nasional. Di sinilah ada hambatan ekonomi-politik yang kuat.

    Pemilik saham terbesar PT Energi Mega Persada—sebagai pemegang terbesar saham Lapindo saat lumpur panas pertama kali terjadi—merupakan pemain penting di pasar politik. Konsekuensi, ketegasan Yudhoyono mungkin bisa mengubah keseimbangan politik yang merepotkan.

    Persoalannya, di sisi lain, publik mulai curiga pemerintah juga melibatkan diri dalam “skandal” ini. Teori strukturalis menemukan faktanya di mana elite politik bermain mata dengan pebisnis besar bukan melulu soal kepentingan, tetapi juga kedekatan alami dari banyak aktivitas, seperti golf dan makan malam. Tidak heran baik Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla maupun Bupati Sidoarjo kerap terlihat berbicara atas nama Lapindo, bukan masyarakat yang dirugikan.

    Menyikapi mangkirnya pemerintah, ada pihak-pihak yang memiliki kewajiban moral untuk bertindak. Pertama, aktivis (misalnya di bidang lingkungan dan hak asasi manusia), tokoh agama, dan cendekiawan; Kedua, partai politik, terutama partai yang memiliki basis kuat di Jawa Timur, seperti Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 22 Maret 2007