Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo


Versi PDF [unduh]

[Siaran Pers] Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

  • Rapat Kabinet, Jumat (19/12) lalu, memutus pemberian “dana talangan” sebesar Rp 781 milyar pada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dana talangan bisa jadi adalah langkah solutif bagi sebagian korban, namun kita melihat keputusan itu bukan satu-satunya langkah penyelesaian kasus Lapindo yang multidimensi ini. Untuk itu, kita menuntut elegansi negara hadir dan memahami kompleksitas kasus Lapindo.
  • Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu “dimensi korban”. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka. Bagi korban tersebut, dana itu adalah solusi mendesak yang tak bisa ditolak untuk segera dilakukan Pemerintah. Akan tetapi, solusi itu tidak menyentuh “dimensi pelaku”. Oleh karena itu, kita berpendapat bahwa dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir.
  • Persoalan terutama dalam bencana lumpur panas Lapindo adalah ketiadaan data akurat tentang korban. Selama ini, data korban hanya merujuk pada jumlah aset (tanah dan bangunan) dan tidak pernah memperhitungkan aspek manusia. Manusia (korban bencana) telah direduksi menjadi materi (uang “ganti-rugi”). Sampai saat ini, tidak ada yang pernah tahu berapakah jumlah riil korban Lapindo? Siapa sajakah mereka? Pindah kemana sajakah orang-orang itu? Bagaimana pula mereka mengatasi ketegangan antara terputus dari hunian lama dan beradaptasi di hunian baru?
  • Pemerintah juga perlu menyentuh aspek sosial-ekologis. Kini, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo. Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat. Bukannya menindaklanjuti secara lebih serius, pemerintah justru meragukan dan mengabaikan temuan-temuan tersebut. Pemerintah mengingkari fakta tersebut dengan menyatakan lumpur tidak mengandung zat berbahaya. Hal ini tentunya ironi mengingat degradasi ekologi berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas setempat menunjukkan persoalan kesehatan di sekitar semburan meningkat serius.
  • Sampai kini belum terlihat keseriusan pemerintah memulihkan kehidupan sosial-ekologis para korban Lapindo. Tidak ada kabar tentang rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam dalam lumpur. Tidak ada perhatian khusus bagi pemulihan krisis sosial-psikologis bagi korban Lapindo, khususnya anak-anak dan perempuan, dua kelompok paling rentan dalam setiap bencana. Tidak ada kabar tentang rencana normalisasi Kali Porong. Pemerintah tidak bisa mengandaikan bahwa begitu korban mendapatkan uang “ganti-rugi” kehidupan ekonomi korban akan pulih secara sendirinya. Yang dibutuhkan warga-korban bukan hanya ikan, melainkan juga kail. Mereka memang butuhkan uang segar untuk bertahan hidup sementara, akan tetapi mereka lebih membutuhkan jaminan atas kehidupan yang layak, pekerjaan yang layak, hunian yang layak.
  • “Dalam kasus [Lapindo] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat,” begitu pernyataan yang dilontarkan Joko Widodo di hadapan korban Lapindo pada 29 Mei 2014 lalu. Makna “negara hadir” jangan dikerdilkan sebatas memberikan dana talangan sebagai solusi akhir bagi kasus Lapindo. Negara juga harus hadir menjatuhkan sanksi yang setimpal bagi para pelaku kasus Lapindo.
  • Kita sangat menyayangkan bahwa sampai kini tidak ada sanksi hukum pada Lapindo yang telah secara jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 karena kegagalannya membayar sisa 80 persen “paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis” (Pasal 15 Ayat 2) pada para korban. Belajar dari pengalaman pemberian dana talangan pada korporasi, pemerintah harus mengoptimalkan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, untuk melakukan audit keuangan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan uang rakyat untuk menalangi Lapindo. Pemerintah harus memaksa Lapindo untuk mengembalikan seluruh dana yang diambilkan dari uang rakyat, karena termasuk dalam rakyat adalah para korban Lapindo!
  • Apabila penyelesaian kasus Lapindo oleh pemerintah mandeg pada urusan ganti-rugi semata (dengan mekanisme dana talangan), kita dapat menilai betapa amatir dan naifnya pemerintah kita. Hal semacam ini tentunya hanya akan menambah deretan praktik busuk korporasi dalam menyelesaikan masalah finansial internal mereka dengan menggunakan uang rakyat. Kedaulatan rakyat akan kembali disalahgunakan bila penegakkan hukum atas kasus Lapindo diabaikan, apalagi sampai para pelakunya dibebaskan dari segala tanggung jawab.
  • Kita menuntut elegansi negara hadir dalam kasus Lapindo. Untuk itu, kita mengajak pemerintah untuk memperluas horizon dalam melihat multidimensionalitas kasus Lapindo, bahwa lansekap-bencana lumpur Lapindo telah melampaui sebidang tanah yang sudah menjadi lautan lumpur di sekeliling semburan utama di Porong, Sidoarjo. Hanya dengan demikian, kita dapat menyaksikan penyelesaian kasus Lapindo secara runut dan menyeluruh.

Porong, 29 Desember 2014

Kanal (korbanlumpur.info) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

Kontak: Catur (+62 81 336 607 872); Beggy (+62 85 269 133 520)

Versi PDF [unduh]