Tag: resiko kesehatan

  • Walhi: Lapindo Belum Layak Jadi Geopark

    KBR, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menolak rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan banjir lumpur panas  Lapindo sebagai kawasan geopark.

    Geopark dikenal sebagai kawasan terpadu dengan warisan geologi guna mempromosikan pembangunan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur, kawasan Lapindo belum layak untuk dijadikan geopark karena masih perlu kajian lebih lanjut. Lokasi itu, kata dia, berbahaya bagi manusia.

    “Penelitian terakhir menyebutkan kandungan logam berat di ikan di sekitar Lapindo cukup tinggi, misalkan kandungan timah hingga 100 kali lipat. Ini berkorelasi dengan data kesehatan 2005-2009, warga dengan gangguan kesehatan saluran pernafasan cukup tinggi dari 23 ribu jadi 52 ribu, naik dua kali lipat selama 4 tahun,” jelas Bambang Catur dalam perbincangan dalam Sarapan Pagi KBR, Selasa (30/12).

    Karenanya, ia berharap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) membuat kajian tersendiri soal ini guna memastikan keamanan lingkungan di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.

    “Saya tidak membaca BPLS melakukan kajian-kajian. Penetapaan apa pun yang penting landasan-landasannya. Kalau nyatanya kawasan itu berbahaya bagi manusia, bagaimana mungkin kita mengundang anak-anak dalam kandungan lumpur yang berbahaya itu,” ujar Bambang.

    Soal rencana pembuatan geopark di kawasan lapindo sebelumnya diungkap Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Menurut Basuki, rencana itu bagian dari edukasi bagi masyarakat. Terlebih lagi di dalam lumpur terkandung mineral yang mungkin dapat dimanfaatkan.

    Anto Sidharta

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3375674_4262.html

  • Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    korbanlumpur.info – Desa Siring bagian barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo adalah sedikit wilayah dari 12 desa lainnya yang menjadi korban lumpur Lapindo. Akibat luapan lumpur Lapindo, Desa Siring barat mengalami kerusakan lingkungan sangat parah. Rumah-rumah warga mengalami keretakan pada dindingnya.

    Kondisi dinding yang retak itu sangat rawan ambruk, dan sangat mungkin menimbun penghuni rumah. Selain dinding, lantai rumah rumah warga juga mengalami kerusakan. Bahkan di tengah-tengah lantai rumah warga, keluar bau gas yang mudah terbakar. Bau gasnya mirip sekali dengan gas elpiji, bahkan cenderung menyengat.

    Semburan semburan berskala kecil dan besar juga tersebar luas di wilayah ini, mulai dari Siring barat, Jatirejo barat, Mindi, dan desa-desa lainnya di sekeliling tanggul lumpur Lapindo. Hingga kini, jumlahnya mencapai 94 titik semburan baru di desa-desa tersebut. Khusus Desa Siring barat, korban telah berjatuhan akibat gangguan kesehatan, karena kondisi lingkungan yang rusak.

    Sejak empat bulan yang lalu, kondisi Siring barat semakin hari semakin parah. Di antaranya sepasang suami isteri yang telah meninggal akibat sesak nafas. Sesak nafas itu menghinggapi sepasang suami-isteri itu karena tekanan gas yang sangat tinggi di lingkungan rumahnya. Suami isteri itu bernama Yakup dan Ny Yakup.

    Ny. Yakup meninggal tanggal 28 April 2008. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak nafas akibat kandungan gas. Sebelumnya, telah warga ada warga Jatirejo barat yang bernama Sutrisno juga meninggal dunia pada 14 Maret 2008 akibat sesak nafas karena tingginya kadar gas beracun di lingkungan rumahnya.

    Selain sepasang suami isteri di atas, ada korban lainnya dari warga Siring barat. Ia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter tanggal 28 April 2008 menyatakan, di dalam saluran pernafasan Unin Qoriatul terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kondisi ini membuat kesehatan Unin Qoriatul drop.

    Selain di Siring, warga Jatirejo barat juga mengalami nasib yang sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada 26 Maret 2008 meninggal dunia. Akibat kematiannya sama, yakni mengalami sesak nafas akibat tekanan gas yang begitu tinggi di lingkungan rumahnya.

    Walau telah ada korban korban berjatuhan, pemerintah dan PT Lapindo Brantas tak kunjung bertanggung jawab secara maksimal. Hampir tiap hari petugas dari PT Vergaco melakukan inspeksi untuk mendeteksi kondisi lingkungan di desa-desa di atas. Namun, hasil inspeksi itu tak pernah disosialisasikan ke warga.

    Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab untuk memberikan peringatan dini atas bahaya lingkungan ini, nyatanya hal itu tidak dilakukan. Sampai-sampai korban pada berjatuhan. Akankah negara membiarkan rakyatnya terenggut kematian terus menerus? Padahal negara sangat memiliki kapasitas untuk membuat proteksi atas keselamatan rakyatnya.

    Dunia harus tahu, bahwa ada pengabaian yang dilakukan pemerintah atas warga korban lumpur Lapindo yang berada di luar peta area terdampak. [ring]

  • Skandal Ekosida Lumpur Lapindo

    Ekosida merupakan istilah yang digunakan dalam bidang lingkungan hidup. Jika genosida diartikan sebagai pembasmian seluruh atau sebagian bangsa, ras, kelompok etnik ataupun kelompok agama, maka ekosida diartikan sebagai pembasmian atau perusakan sistem ekologi normal, yang tentu berakibat pada nasib buruk manusia.

    Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global (akibat globalisasi), penerapan faham ultra-utilitarianisme serta eksploitasi dari cara-cara produksi mutakhir yang dilakukan kaum kapitalis.

    Ekosida sebenarnya tak jauh dari model genosida, misalnya terjadinya ‘pembasmian penduduk’ akibat toksinasi atau kehancuran fungsi lingkungan hidup seperti yang terjadi pada komunitas penduduk sekitar tambang emas Newmont di Buyat dan lain-lain, serta kematian massal dalam banjir besar atau longsor akibat perusakan fungsi lingkungan hidup. Dalam kasus lumpur Lapindo, ekosida telah terjadi sebagai fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi, sebab telah menjadi pengetahuan umum).

    Zat beracun

    PBB melalui United Nations Disaster Assessment and Coordination sejak Juli 2006 telah merekomendasikan untuk adanya penelitian dan monitoring secara reguler terhadap soal lingkungan dalam kasus lumpur Lapindo. Tetapi tampaknya pemerintah Indonesia tidak terlalu memperhatikan hal yang berkaitan kesehatan masyarakat dalam jangka pendek dan panjang akibat semburan lumpur tersebut. Contohnya, gas semburan lumpur Lapindo itu sudah menewaskan dua warga Siring Barat (Sutrisno, meninggal 14/3/2008 dan Luluk, meninggal 26/3/2008) serta puluhan orang serta anak-anak dirawat di rumah sakit.

    Guna mendeteksi bahaya akibat pencemaran dan perusakan ekologi karena semburan lumpur Lapindo itu, September 2007 sampai dengan Januari 2008, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bekerjasama dengan beberapa ahli dan laboratorium melakukan penelitian lumpur Lapindo di Sidoarjo di berbagai titik hingga ke wilayah terluar akibat semburan lumpur Lapindo. Penelitian yang dilakukan Walhi tersebut juga dalam rangka untuk ‘meneguhkan keyakinan’, apa benar hasil penelitian beberapa laboratorium kampus di dalam negeri yang menyatakan tak ada masalah dengan kandungan lumpur Lapindo, dibandingkan dengan hasil penelitian sementara (awal) pemerintah RI dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan adanya kemungkinan fatal akibat gas semburan lumpur Lapindo.

    Penelitian Walhi tentang logam berat akibat lumpur Lapindo menunjukkan hasil sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kep. MenKes No. 907/2002
    Hasil Analisa Logam Pada Materi
    Lumpur Lapindo
    Air Lumpur Lapindo
    Sedimen Sungai Porong
    Air Sungai Porong
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    nd
    nd
    nd
    nd
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,003
    0,3063
    0,0314
    0,2571
    0,0271
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    0,4379
    0,008
    0,4919
    0,0144
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    7,2876
    0,8776
    3,1018
    0,6949

    Perbandingan parameter ambang batas logam berat sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kadar maksimal yang diperbolehkan
    Per. MenKes No. 416/1990
    Kep.MenKes No. 907/2002
    WHO 1992
    Uni Eropa
    Kanada
    USA
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,005
    0,05
    0,05
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,005
    0,003
    0,005
    0,005
    0,005
    0,005
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    1
    1
    0,1
    1
    1
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05

    Selain logam berat, Walhi juga meneliti kandungan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Karena mahalnya biaya, Walhi hanya menguji kandungan Benz(a)anthracene dan Chrysene yang hasilnya mencapai ribuan kali lipat dari ambang batas. Beberapa senyawa lain yang tergolong dalam PAH adalah acenaphthene, acenaphtylene, anthtracene, benz(a)antracene, benz(a)pyrene, benz(b)fluoranthene, chrysene, dibenz(a,h)anthracene, fluoranthene, fluorene, indeno(1,2,3cd)pyrene, naphthalene, phenanthrene dan pyrene (Liguori et al, 2006), dan masih terdapat ribuan senyawa lainnya.

    Sebagai perbandingan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan baku mutu PAH dalam air laut untuk wisata bahari sebesar 0,003 mg/liter. Sedangkan baku mutu Hidrokarbon dalam udara yang diizinkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 adalah 160 ug/Nm3. Namun dalam temuan Walhi, kadar Benz(a)anthracene di titik tertentu ada yang mencapai 0,5174 mg/kg (sampel terendah 0,4214 mg/kg). Sedangkan kadar Chrysene ada yang mencapai 806,31 μg/kg lumpur kering (sampel terendah 203,41 μg/kg).

    Dalam jangka pendek, akibatnya hanya tampak adanya penduduk yang keracunan gas dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Namun dalam jangka panjang, lumpur Lapindo tak hanya menjadi nasib buruk masa depan para korban langsung, tapi juga masyarakat yang setiap hari melintasi sekitar semburan lumpur Lapindo yang terancam oleh penyakit kanker akibat senyawa PAH yang bersifat karsiogenik. Pasalnya, zat beracun yang termasuk PAH bersifat bebas tempat, bisa bercampur udara, air, tanah dan seluruh media yang ada.

    Dahulu, Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk., Faiz Shahab menyatakan pihaknya serius membangun pabrik batu bata skala besar di lokasi bencana. Namun, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Ir Amien Widodo mengatakan bahwa lumpur Lapindo itu bisa memicu kanker. Sifat-sifat karsinogenik ini terutama dipicu oleh kandungan logam berat yang terdapat dalam lumpur (Kompas, 14/7/2006). Itulah mengapa pabrik batu bata yang direncanakan itu tidak ada kabarnya lagi, sebab bisa jadi mereka takut dengan sifat bahaya lumpur Lapindo.

    Logam berat juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif (kelainan fisik) dan menimbulkan keturunan penderita slow learner (lambat berpikir), sedangkan zat-zat beracun PAH mengakibatkan kanker, permasalahan reproduksi, membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan baru akan tampak akibatnya.

    Peran negara dan korporasi

    Artikel ini tidak bermaksud ‘meneror’ masyarakat, tetapi didasari hasil penelitian laboratorium. Para ahli yang turut dalam penelitian Walhi tersebut berpesan agar Walhi ‘merahasiakan’ identitasnya sebab kampus tempat mengajarnya rupanya sudah tidak bisa independen. Ini semakin menunjukkan bahwa hegemoni korporasi telah menyerang kemerdekaan intelektual.

    Terlepas dari semua itu, setidak-tidaknya pemerintah RI seharusnya lebih serius dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari akibat buruk lumpur Lapindo yang dalam banyak hal selalu ditutup-tutupi. Jika tidak, sama halnya pemerintah terlibat dalam skandal ekosida, sebagaimana banyak laboratorium domestik yang membuat kesimpulan berdasarkan ‘pesanan’ sehingga tidak lagi obyektif. Inilah fenomena kekuasaan kapitalis yang menerapkan faham ultra-utilitarianisme, tidak peduli dengan nasib sosial.

    Para pejabat pemerintah dan seluruh pengambil keputusan korporasi kasus semburan lumpur Lapindo, termasuk ‘laboratorium palsu’ mungkin bisa mengelak dan bersembunyi pada hari ini dalam kejahatan ekosida itu. Tetapi kelak kasus ini akan membawa mereka ke pengadilan hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam forum hukum internasional, jika mereka tidak mau bertanggung jawab mulai hari ini untuk tunduk pada hukum internasional dan nasional dalam rangka memenuhi hak-hak para korban lumpur Lapindo yang sudah lama menderita dan terancam menjadi korban ekosida.

    Sebagai pihak yang telah mengambil ‘manfaat’ (utilitas) dari negara ini, berlakulah adil dan santun kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini! Jangan hanya mau enaknya, lalu lari dari tanggung jawab!

    Percepatan penyelesaian sosial hendaknya segera dilakukan agar warga korban lumpur semakin bisa diselamatkan dari kejahatan ekosida tersebut. Alangkah malang nasib warga korban lumpur yang diombang-ambingkan oleh pihak Lapindo. Dahulu Lapindo bersuara lantang akan patuh kepada model penyelesaian menurut pasal 15 Perpres No. 14/2007, tapi kini malah membangkangnya dengan memaksakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa tanah-tanah Petok D, letter C dan gogol tak dapat dibuatkan akte jual beli. Padahal sudah ada pedoman berupa Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo.

    Jika Lapindo si anak korporasi Grup Bakrie itu bisa ‘mempermainkan’ diskresi hukum yang dibuat pemerintah, lalu Presiden yang membuat diskresi hukum itu diam saja, maka kepala negara ini telah diinjak-injak. Jika begitu, bagaimana kewajiban pemerintah untuk melindungi korban lumpur Lapindo dan menegakkan hukum?

    SUBAGYO, S.H. 

  • PT Lapindo Brantas Makes Things Clear as Mud in Indonesia

    On May 29, 2006, PT Lapindo Brantas, an Indonesian energy company, was drilling a wildcat well, the Banjar-Panji-1.

    The driller had struggled through 2,500 feet of clays, underlain by gritty sands and volcaniclastics, and decided to drill ahead into porous limestone below 9,000 feet without stopping to set casing. That was a mistake. At about 5 a.m., a fissure opened about 600 feet from the wellhead, and steam, water, hydrogen sulphide, and methane began to escape. Shortly afterwards, hot viscous mud began to flow rapidly from the fissure. It has been flowing ever since, taking with it homes, factories, livelihoods, crops, roads, railways, and reputations, and creating a huge industrial scandal that will have serious repercussions.

    The Banjar well is one of the most environmentally destructive oil and gas wells ever drilled. The toxic mud has been flowing for 18 months now – and could flow for decades to come – at rates of up to 150,000 cubic meters per day. To date it covers at least 2.5 square miles with a billion cubic feet of mud that is quickly turning into mudstone.

    Lapindo Brantas was operating the well on behalf of its two partners: Santos, Australia’s third-largest oil and gas company, and Medco Energi of Indonesia. The well’s target was natural gas deposits in the Sidoarjo area of eastern Java, an area characterized by mud volcanoes. And the fact that Java is the most densely populated island on earth is what makes the Banjar well’s toxic mud volcano so destructive.

    The already horrific catalogue of damage continues to grow. The mud has displaced 13,000 people from their homes. It has inundated 11 towns, 30 schools, 25 factories, a national toll road, and the state-owned Sidoarjo-Pasuruan railway line. It has buried rice paddies and shrimp farms. (Sidoarjo was the second largest shrimp-producing town in the country.) It has also shut down one of east Java’s key industrial hubs with a slow-moving tsunami of hot, sticky, smelly mud that hardens to rock as it dehydrates and cools. It caused a Pertamina-owned gas pipeline to rupture and explode, killing 11. Environmental damage is estimated at between $5 billion and $10 billion.

    If this had happened on the edges of a city, the political response would have been immediate. But these are rural Indonesians, and since they have no money, and therefore no political voice or leverage in post-Suharto Indonesia, they stay displaced, uncompensated, and, until recently, ignored.

    A network of levees and dams has been erected to contain the mud, but have not been successful. Some sludge is pumped into the Porong River, but this has not been successful either; much of the sludge is insoluble and sits in the river in blocks. The rest is rapidly silting up the river and its delta and affecting its flow, causing flooding.

    The mud, containing a dangerous cocktail of benzene, toluene, xylene, heavy metals, ammonia, and sulphur dioxide, is rendering the river lifeless and its estuary barren. The government has proposed channelling the mud to the sea by canal, but this has some obvious drawbacks and has not been tried (yet).

    Other methods to contain the flow have been tried. The national government’s response team air-dropped 1,500 large concrete balls connected by steel chains into the fissure. But that only made the mud flow faster. Japanese contractors proposed building a high-pressure pipeline to divert the mud to the coast for land reclamation. Local authorities brought together 50 mystics to use their supernatural powers to stop the mudflow, for an $11,000 prize. In another bizarre twist, Lapindo Brantas funded production costs for a 13-episode television soap opera called “Digging a Hole, Filling a Hole” to highlight and dramatize stories of the company’s heroism. Needless to say it was not a big hit.

    More recently, the Japan Bank for International Cooperation offered loans of $110 million to build a 130-foot high containment dam around the mudflow, on the theory that the weight of dammed mud would eventually cut off the flow.

    The technical post mortem appears straightforward: Lapindo Brantas’s drill bit penetrated an overpressured reservoir, causing hydrofractures to propagate outwards from the uncased hole and upwards into the overlying seal, rapidly entraining mud, gas, and water to the surface under high pressure. Unfortunately for the victims, the technical explanation is the only thing about this disaster that is straightforward. The rest would give Kafka nightmares.

    Perhaps the drama’s most surreal aspects concern Lapindo Brantas and its owner Aburizal Bakrie, one of Asia’s richest men who also happens to be a senior executive of Golkar (the ruling party) and the former minister for economics. He’s also currently the ironically titled Minister for the People’s Welfare, a financial backer of President Susilo Bambang Yudhoyono’s 2004 election campaign, and one of the vice president’s closest friends. (Bakrie was closely tied to the former Indonesian dictator, Suharto. In the 1990s, those ties helped him to obtain a substantial ownership stake in Freeport-McMoRan Copper & Gold, the U.S. mining outfit that operates the massive Grasberg mine in West Papua. Bakrie sold the Freeport stake in 1997.) Rather than resign his portfolio, Bakrie has tried to convince the government that Lapindo Brantas was just in the wrong place at the wrong time, an innocent witness to a natural disaster. On two occasions he has tried to sell Lapindo Brantas to escape liability, but has been blocked by the financial regulator. The first proposed sale was for $2 to an unnamed offshore company. The second, for $1 million, was to a U.S.-based outfit run by American friends of the family.

    Recently, partner Medco Energi accused Lapindo Brantas of gross negligence in the operation of the Banjar-Panji-1 well. Shortly after that bombshell, the police opened a criminal investigation into the actions of 13 senior managers and engineers at Lapindo Brantas.

    Until recently, Lapindo Brantas was allowed to choose, on a purely voluntary basis, how, why, and whether to compensate those people and businesses affected by the mudflow. It offered some families payments of up to $540 to cover two years’ displacement rental, $60 in moving costs, and $35 per month for food, if they agreed to free Lapindo Brantas from any further liability.

    Most residents rejected the offer, preferring to keep their options open. The company also claimed it was spending $2.4 million per day on efforts to stop or divert the mud, but this was subsequently found to actually be just under $300 per day. Recently, Indonesia’s President Yudhoyono issued a decree ordering the company “to bear all costs and repercussions” of the disaster, and pay compensation to those displaced. But since the decree has no legal consequence, it became apparent that this was another Kafka-esque way to avoid paying anything to anyone. The government has tried to minimize the political damage by setting aside $127 million from the state budget for compensation payments. But the applications are to be screened by a 50-person committee!

    Politicians are outraged because it appears that the government is bankrolling Lapindo Brantas and the Bakries. Citizens are skeptical that they will ever see any of the money.

    Many analysts predict that the Bakrie Group will simply resort to bankruptcy rather than foot any of the multi-billion dollar clean-up and compensation costs. They are money men, not oil men, and won’t lose any sleep if this forces them out of the oil and gas business for good. It is the prudent operators in Indonesia, trying to conduct their activities safely and with a commitment to the country, who will have to live with the aftermath.

    All of which is music to the ears of law firms that specialize in class-action suits. There are legal precedents for hearing offshore class actions in Australia when Australian companies are involved. So look out, Santos. Although it is only an 18 percent non-operating partner in the project, Santos is the only solid target in this whole sorry saga. The company has set aside about $60 million in its current budget to cover liability arising from the mudflow. But litigation experts in Australia believe that amount could underestimate Santos’s liability by as much as two orders of magnitude.

    Bret Mattes

    Sumber: http://www.energytribune.com/articles.cfm?aid=651

  • Lumpur Lapindo Berpotensi Timbulkan Kanker

    SURABAYA – Lumpur Lapindo yang menyembur di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ternyata mengandung gas berbahaya, yaitu policyclic aromatic hydrocarbons (PAH).

    Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengatakan hasil penelitian Walhi mengungkapkan PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo melebihi 8.000 kali lipat di atas ambang batas normal.

    “Batas normal PAH hanya 0,05 miugram per kilogramnya, tapi ini mencapai 8.000 kali lipatnya,” kata Catur. Padahal, kata dia, tingginya PAH membuat siapa pun yang menghirupnya akan terkena berbagai penyakit.

    Bambang menyatakan, meskipun senyawa kimia ini tidak langsung menyebabkan tumor dan kanker, senyawa ini yang terhirup akan mengubah metabolisme tubuh menjadi senyawa tertentu yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, kanker kulit, dan kanker kandung kemih.

    PAH, kata Bambang, terbentuk akibat proses pembakaran fosil di dalam tanah yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang membuat PAH berbahaya. Selain melalui pernapasan, PAH bisa masuk ke tubuh melalui makanan.

    Hanya, efek PAH ini, menurut Bambang, baru bisa dirasakan sekitar 10 tahun setelah si korban mengkonsumsi makanan yang mengandung PAH.

    Penelitian lumpur Lapindo yang dilakukan Walhi memakan waktu hampir dua tahun, yaitu sejak November 2006 dan baru selesai pertengahan Mei lalu. “Hasilnya mengejutkan karena lumpur Lapindo mengandung unsur PAH yang cukup tinggi,” kata Bambang.

    Selain mengandung PAH, lumpur Lapindo mengandung logam berat berupa timbal yang mencapai 2.000 kali lipat dari ambang batas wajar. Karena itu, Walhi mendesak pemerintah segera mengambil langkah darurat untuk mengungsikan seluruh warga yang berada di sekitar kawasan lumpur. Pemerintah juga didesak secara berkala memeriksa kondisi kesehatan warga, apalagi akibat dari PAH ini baru dirasakan 10 tahun mendatang.

    Walhi, kata Bambang, dua pekan lalu mengirimkan hasil penelitian tersebut ke Menteri Lingkungan Hidup. “Tapi tidak ditanggapi, kami akan melapor ke Komisi Nasional HAM,” kata Bambang.

    Koordinator warga Desa Siring Barat, Bambang Kuswanto, juga meminta pemerintah segera merelokasi semua warga korban lumpur Lapindo. “Saat ini hampir (di) seluruh rumah warga keluar gas. Kalau benar mengandung PAH, berarti kami tiap hari menghirupnya, jadi pemerintah harus segera merelokasi kami,” kata Kuswanto.

    Hingga saat ini, pemerintah belum membuat keputusan merelokasi dan memberi ganti rugi kepada warga tiga Desa di Desa Siring barat, Jatirejo Barat, dan Mindi. Padahal kondisi warga di tiga desa ini sangat memprihatinkan akibat bermunculannya semburan gas liar yang disertai mulai retaknya bangunan rumah akibat terjadinya tanah ambles.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo