Tag: sanksi hukum

  • Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo

    Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    Saat ini pemerintah Jokowi telah membayarkan ganti rugi sebesar Rp. 781 milyar kepada korban semburan lumpur lapindo. Keputusan tersebut diambil setelah PT. Minarak Lapindo Jaya sepakat menjaminkan aset tanah korban yang sudah diganti sebesar Rp 3,03 triliun kepada pemerintah karena seharusnya perusahaan tersebut memberikan ganti rugi sebesar Rp 3,8 M. Pemerintah memberikan waktu 4 (empat) tahun bagi PT. Minarak Lapindo Jaya untuk mengganti dana talangan tersebut bila tidak sanggup melunasi talangan tersebut maka aset tanah korban yang sudah dimiliki perusahaan sebesar Rp 3,03 triliun diserahkan kepada pemerintah.

    Banyak pihak memandang bahwa rencana ini akan membawa terobosan penting dalam penuntasan kasus lumpur Lapindo. Namun demikian, KontraS menilai bahwa rencana ini tidak lebih dari sekadar transaksi ekonomi melalui pengambilalihan aset, tanpa diikuti dengan skema rencana pemulihan komprehensif atas praktik pelanggaran HAM yang dialami oleh warga Sidoarjo.

    Komnas HAM dalam laporan penyelidikannya berjudul “Laporan Tim Komnas HAM Lumpur Lapindo” yang diselesaikan pada 25 Oktober 2012 telah menemukan adanya praktik pelanggaran HAM yang terjadi secara sistematis dan meluas. Namun hasil paripurna lembaga tersebut menyimpulkan dengan tidak bulat atas adanya praktik pelanggaran HAM pada kasus lumpur lapindo. Padahal kuat adanya kejahatan kemanusian dengan cakupan korban dari berbagai kelas sosial, gender, umur, dan kelompok profesi.

    UU No. 39/1999 tentang HAM menjadi acuan utama dalam menemukan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) pelanggaran terhadap HAM dari korban lumpur Lapindo: hak atas hidup, hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak atas pengungsi, serta hak kelompok rentan (penyandang cacat, orang berusia lanjut, anak dan perempuan)

    Kunci temuan Komnas HAM pada kasus pelanggaran HAM berdimensi Ekosob dan Sipil-Politik ini memang tidak diindahkan oleh pemerintahan SBY yang sarat dengan kepentingan politik transaksional. Tapi kunci ini juga tidak disentuh oleh pemerintahan Jokowi untuk menghadirkan ruang pertanggungjawaban negara.

    Kegegabahan negara untuk menempuh pengambilalihan aset PT Minarak Lapindo Jaya, sesungguhnya telah menghilangkan aspek rasa keadilan dan kepastian hukum bagi korban. Berdasarkan beberapa temuan dari hasil penyelidikan Komnas HAM seharusnya negara segera menindaklanjuti dengan penegakan hukum melalui mekanisme perdata, pidana maupun administrasi diantaranya :

    • Adanya tindakan hukum ingkar janji (wansprestasi) sesuai pasal 1243 KUHPerdata yang dilakukan oleh pihak perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar Lapindo. Faktanya pelunasan pembayaran ganti rugi yang dilakukan sejak Juli 2007 kembali dijanjikan pada bulan Desember 2012 namun hingga saat ini tidak ada kejelasan pembayarannya.
    • Adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana yang diatur dalam pasal 1366 KUHPerdata terkait perbuatan yang dilakukan oleh PT. Lapindo Brantas Inc selaku operator dilapangan. Faktanya berdasarkan hasil riset Neal Adams Service dan dikuatkan laporan BPK disebutkan adanya ketidakmampuan teknis pelaksanaan pengeboran di lapangan. Sehingga korban bisa menuntut ganti rugi baik materiil/immaterial karena kelalaian yang mengakibatkan timbulnya korban dan kerugian.
    • Penyalahgunaan penggunaan tata ruang dalam kegiatan eksplorasi tambang, sebagaimana Pasal 69 Undang-Undang Penataan Ruang (UUPR) No. 26 Tahun 2007. Berdasarkan Perda Provinsi Jawa Timur No. 2 Tahun 2006 tentang RTRW 2006-2020 ditetapkan bahwa Kabupaten Sidoarjo difokuskan untuk pengembangan kawasan pemukiman dan perindustrian. Kemudian dikuatkan dengan Perda Kabupaten Sidoarjo No. 16 Tahun 2003 tentang RTRW Sidoarjo 2003-2013 menjelaskan wilayah kecamatan Porong, Sidoarjo sebagai kawasan pertanian, pemukiman dan perindustrian
    • Tindakan perusahaan PT Lapindo Brantas Inc yang melakukan pengeboran dan berdampak pada perusakan lingkungan, Negara wajib mengaudit aspek lingkungan hidup secara menyeluruh sebagai bentuk pertanggungjawaban bisnis sebagaimana dimandatkan dalam pasal 48 UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

     

    Kelimabelas hak yang terlanggar dan terbukanya celah keperdataan serta kepidanaan, sesungguhnya membuka ruang tanggung jawab negara dalam mendorong mekanisme pemulihan efektif (effective remedies) sesuai dengan komitmen Indonesia sebagai pelaku negara pihak dalam 2 instrumen utama hukum HAM internasional: Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik serta Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pemulihan efektif  harus dapat menyentuh 3 (tiga) pondasi utama sebagaimana yang juga tercantum di dalam konsep Guiding Principles on Business and Human Rights (2011): (1) negara harus mengambil langkah-langkah progresif untuk memastikan, baik melalui mekanisme judisial, administratif, atau cara-cara yang sesuai dengan otoritas jurisdiksinya untuk memberikan pemulihan kepada para korban, (2) negara harus memastikan tidak ada upaya yang bisa mengurangi hak dari para korban untuk mendapatkan pemulihan, (3) negara harus menyediakan upaya non-judisial sebagai mekanisme komplementer dari sistem judisial yang bisa menjamin pemenuhan pemulihan. Ketiga hal ini harus dijalankan dalam atmosfer legitimasi, ketersediaan akses, transparansi, kesetaraan, pemenuhan hak komprehensif, dan sumber pembelajaran agar kasus serupa tidak terjadi di masa depan.

    KontraS memandang penyelidikan yang telah dilakukan Komnas HAM, harus diikuti dengan upaya advokasi yang melibatkan seluruh lembaga-lembaga negara dalam upaya pemulihan hak-hak korban lumpur Lapindo. Termasuk kapasitas kepala negara, dalam hal ini Presiden Joko Widodo melalui jajaran pemerintahan untuk:

    1. Kementerian Keuangan menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis untuk melakukan pembelian aset PT Minarak Lapindo.
    2. Kapolri menginstruksikan kepada seluruh jajaran aparatnya untuk melakukan penyelidikan berdasarkan hasil laporan Komnas HAM dan membuka perkara pidana yang telah di-SP3 oleh Polda Jatim.
    3. Jaksa Agung harus menempuh proses hukum secara perdata terkait adanya tindakan wansprestasi dan perbuatan melawan hukum atas tindakan PT Lapindo Brantas Inc yang melalaikan kewajiban hukum dan berdampak kerugian pada korban.
    4. Membentuk Tim Percepatan Pemulihan melalui mekanisme non judisial yang terdiri dari Kemensos, Kemenkes, Kemenakertrans, Kemendikbud yang berkoordinasi dengan LPSK, guna mendorong kemampuan warga Sidoarjo untuk hidup normal kembali.
    5. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melalui Dirjen Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum bekerja sama dengan POLRI untuk mengusut kejahatan pidana pada penyalahgunaan tata ruang yang mencederai UU No 26 Tahun 2007 dan RTRW Sidoarjo 2003-2013.
    6. Menkoinfo dan Komisi Informasi Publik membuka akses informasi atas kejahatan yang sesungguhnya terjadi pada kasus lumpur Lapindo melalui mekanisme yang tersedia dengan melibatkan pemerintah daerah secara transparan dan akuntabel.
    7. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan audit lingkungan hidup secara menyeluruh atas tindakan perusahaan yang merugikan korban lumpur lapindo
    8. BPK segera melakukan koordinasi kepada kementrian terkait, utamanya Kementerian ESDM atas temuan adanya penyalahgunaan tindakan non procedural pengeboran di Sidoarjo yang berakibat pada timbulnya korban dan kerugian.

     

    Jakarta, 9 Januari 2015

    Badan Pekerja  

    Haris Azhar, MA

    Koordinator KontraS

    Sumber: http://www.kontras.org/index.php?hal=siaran_pers&id=1986

    Versi PDF [unduh]

  • Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    Versi PDF [unduh]

    [Siaran Pers] Menuntut Negara Hadir secara Elegan dalam Kasus Lapindo

    • Rapat Kabinet, Jumat (19/12) lalu, memutus pemberian “dana talangan” sebesar Rp 781 milyar pada Lapindo Brantas Inc. (Lapindo). Dana talangan bisa jadi adalah langkah solutif bagi sebagian korban, namun kita melihat keputusan itu bukan satu-satunya langkah penyelesaian kasus Lapindo yang multidimensi ini. Untuk itu, kita menuntut elegansi negara hadir dan memahami kompleksitas kasus Lapindo.
    • Keputusan dana talangan baru menyentuh satu dimensi saja dari kasus Lapindo, yaitu “dimensi korban”. Keputusan itu hanya berlaku pada kelompok korban cash and carry yang sudah lama menanti terpenuhinya hak mereka. Bagi korban tersebut, dana itu adalah solusi mendesak yang tak bisa ditolak untuk segera dilakukan Pemerintah. Akan tetapi, solusi itu tidak menyentuh “dimensi pelaku”. Oleh karena itu, kita berpendapat bahwa dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir.
    • Persoalan terutama dalam bencana lumpur panas Lapindo adalah ketiadaan data akurat tentang korban. Selama ini, data korban hanya merujuk pada jumlah aset (tanah dan bangunan) dan tidak pernah memperhitungkan aspek manusia. Manusia (korban bencana) telah direduksi menjadi materi (uang “ganti-rugi”). Sampai saat ini, tidak ada yang pernah tahu berapakah jumlah riil korban Lapindo? Siapa sajakah mereka? Pindah kemana sajakah orang-orang itu? Bagaimana pula mereka mengatasi ketegangan antara terputus dari hunian lama dan beradaptasi di hunian baru?
    • Pemerintah juga perlu menyentuh aspek sosial-ekologis. Kini, kualitas air bawah tanah di sekeliling tanggul lumpur menurun drastis membuat wilayah di sekitar semburan tidak lagi bisa masuk dalam kategori layak huni. Pembuangan lumpur ke Kali/Kanal Porong dan juga saluran air lainnya telah memperluas degradasi lingkungan sampai ke Selat Madura. Padahal, pelbagai riset ilmiah independen menemukan tingginya kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo. Penelitian WALHI, misalnya, menemukan kandungan senyawa Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) yang berbahaya karena bersifat karsinogenik (memicu kanker) yang tidak bisa dideteksi dalam waktu dekat. Bukannya menindaklanjuti secara lebih serius, pemerintah justru meragukan dan mengabaikan temuan-temuan tersebut. Pemerintah mengingkari fakta tersebut dengan menyatakan lumpur tidak mengandung zat berbahaya. Hal ini tentunya ironi mengingat degradasi ekologi berdampak pada penurunan kualitas kesehatan masyarakat. Data puskesmas setempat menunjukkan persoalan kesehatan di sekitar semburan meningkat serius.
    • Sampai kini belum terlihat keseriusan pemerintah memulihkan kehidupan sosial-ekologis para korban Lapindo. Tidak ada kabar tentang rencana relokasi puluhan bangunan sekolah yang tenggelam dalam lumpur. Tidak ada perhatian khusus bagi pemulihan krisis sosial-psikologis bagi korban Lapindo, khususnya anak-anak dan perempuan, dua kelompok paling rentan dalam setiap bencana. Tidak ada kabar tentang rencana normalisasi Kali Porong. Pemerintah tidak bisa mengandaikan bahwa begitu korban mendapatkan uang “ganti-rugi” kehidupan ekonomi korban akan pulih secara sendirinya. Yang dibutuhkan warga-korban bukan hanya ikan, melainkan juga kail. Mereka memang butuhkan uang segar untuk bertahan hidup sementara, akan tetapi mereka lebih membutuhkan jaminan atas kehidupan yang layak, pekerjaan yang layak, hunian yang layak.
    • “Dalam kasus [Lapindo] ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi dari kedaulatan rakyat,” begitu pernyataan yang dilontarkan Joko Widodo di hadapan korban Lapindo pada 29 Mei 2014 lalu. Makna “negara hadir” jangan dikerdilkan sebatas memberikan dana talangan sebagai solusi akhir bagi kasus Lapindo. Negara juga harus hadir menjatuhkan sanksi yang setimpal bagi para pelaku kasus Lapindo.
    • Kita sangat menyayangkan bahwa sampai kini tidak ada sanksi hukum pada Lapindo yang telah secara jelas-jelas melanggar Perpres 14/2007 karena kegagalannya membayar sisa 80 persen “paling lambat sebulan sebelum masa 2 (dua) tahun habis” (Pasal 15 Ayat 2) pada para korban. Belajar dari pengalaman pemberian dana talangan pada korporasi, pemerintah harus mengoptimalkan instrumen negara, seperti BPK dan KPK, untuk melakukan audit keuangan yang ketat agar tidak terjadi penyalahgunaan uang rakyat untuk menalangi Lapindo. Pemerintah harus memaksa Lapindo untuk mengembalikan seluruh dana yang diambilkan dari uang rakyat, karena termasuk dalam rakyat adalah para korban Lapindo!
    • Apabila penyelesaian kasus Lapindo oleh pemerintah mandeg pada urusan ganti-rugi semata (dengan mekanisme dana talangan), kita dapat menilai betapa amatir dan naifnya pemerintah kita. Hal semacam ini tentunya hanya akan menambah deretan praktik busuk korporasi dalam menyelesaikan masalah finansial internal mereka dengan menggunakan uang rakyat. Kedaulatan rakyat akan kembali disalahgunakan bila penegakkan hukum atas kasus Lapindo diabaikan, apalagi sampai para pelakunya dibebaskan dari segala tanggung jawab.
    • Kita menuntut elegansi negara hadir dalam kasus Lapindo. Untuk itu, kita mengajak pemerintah untuk memperluas horizon dalam melihat multidimensionalitas kasus Lapindo, bahwa lansekap-bencana lumpur Lapindo telah melampaui sebidang tanah yang sudah menjadi lautan lumpur di sekeliling semburan utama di Porong, Sidoarjo. Hanya dengan demikian, kita dapat menyaksikan penyelesaian kasus Lapindo secara runut dan menyeluruh.

    Porong, 29 Desember 2014

    Kanal (korbanlumpur.info) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jatim – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)

    Kontak: Catur (+62 81 336 607 872); Beggy (+62 85 269 133 520)

    Versi PDF [unduh]