Tag: sertifikat tanah

  • Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Korban Lumpur Lapindo Belum Terima Sertifikat Tanah

    Sidoarjo, Tempo.co – Sejumlah korban lumpur Lapindo yang mendapatkan ganti rugi sebuah rumah di perumahan yang dibuat Lapindo di Kahuripan Nirwana Village (KNV), Sidoarjo, mengaku hingga kini belum mendapatkan sertifikat tanah. “Dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli pun belum. Padahal tetangga dan saudara-saudara saya sudah menerima,” kata Bakrie, 40 tahun, warga Desa Kedengbendo, Porong, Rabu, 24 Juni 2015.

    Hal senada diungkapkan Wartik. Sejak mendapatkan rumah pada 2010, dia juga belum mendapatkan sertifikat. “Sertifikat untuk mendapatkan kunci rumah pun baru dikasih setahun kemudian.”

    Suaidi, 59 tahun, warga korban lumpur lainnya, juga bernasib sama. Namun Suaidi lebih beruntung. Ia sudah dipanggil untuk menandatangani akta jual-beli empat bulan lalu. “Tinggal tunggu waktu keluar sertifikatnya.”

    Bakrie, Watik, dan Suaidi menempati rumah tipe 70 di KNV. Selain rumah tipe 70, korban lumpur Lapindo juga menempati rumah tipe 32 dan 54. Selain belum menerima sertifikat tanah, mereka juga mengaku belum mendapatkan sisa ganti rugi. Menurut Bakrie, Lapindo masih harus membayar Rp 76 juta. Sedangkan Watik dan Suaidi masing-masing kurang Rp 600 juta dan Rp 1,3 miliar.

    Mereka adalah tiga dari ribuan warga korban semburan lumpur Lapindo yang mengikuti skema ganti rugi sistem cash and resettlement. Skema itu berupa pemberian uang muka 20 persen, dan sisanya 80 persen berupa sebuah rumah di KNV.

    Sampai berita ini ditulis, pihak KNV belum bisa diminta keterangan penyebab warga korban lumpur belum menerima sertifikat serta jumlah persis warga yang belum menerima sertifikat. Perwakilan PT Minarak Lapindo Jaya juga tidak tahu-menahu saat menghadiri sosialisasi pembayaran ganti rugi di Pendapa Delta Wibawa, Kabupaten Sidoarjo, Rabu, 24 Juni 2015. “Bukan bagian saya,” ujarnya.

    NUR HADI

    http://nasional.tempo.co/read/news/2015/06/24/173678019/korban-lumpur-lapindo-belum-terima-sertifikat-tanah

  • Lapindo Diminta Serahkan Sertifikat Aset

    Keraguan korban lumpur Lapindo atas kelancaran proses ganti rugi dari pemerintah dimaklumi Panitia Khusus (Pansus) Lumpur DPRD Sidoarjo.

    Proses pencairan dana Rp781 miliar dari pemerintah tersebut membutuhkan waktu panjang. “Proses pencairan dana hingga bisa diterima oleh korban lumpur memang membutuhkan waktu panjang. Kami meminta semua pihak terutama PT Minarak Lapindo Jaya kooperatif dengan menyerahkan semua persyaratan yang diminta oleh pemerintah,” ujar Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo Mahmud, kemarin.

    Dia mengatakan salah syarat dana talangan adalah adanya jaminan aset dari PT Minarak Lapindo yang diserahkan kepada pemerintah. Aset-aset ini secara otomatis akan dikuasai oleh pemerintah jika dalam jangka waktu empat tahun kedepan perusahaan milik Keluarga Bakrie tersebut tidak mampu mengembalikan dana talangan Rp781 miliar. “Semoga Lapindo mau memberi sertifikat asetnya sebagai jaminan atas dana talangan Rp 781 miliar itu,” tegas Mahmud.

    Selain persoalan penyerahan aset dari Lapindo, proses pencairan ganti rugi ini juga membutuhkan perubahan peraturan presiden (Perpres) 14/- 2007 tentang penanganan lumpur. Perubahan ini penting karena bakal menjadi payung hukum atas pengunaan anggaran negara untuk menalangi ganti rugi yang harusnya menjadi tanggung jawab PT Minarak Lapindo.

    Termasuk mekanisme pelunasan ganti rugi korban lumpur, apakah akan dibayarkan oleh Lapindo atau langsung pemerintah. “Hal-hal itu sebelumnya diatur dalam Pepres 14/2007, maka jika ada perubahan maka harus terlebih dahulu ada revisi sehingga payung hukumnya jelas,” ujar Mahmud.

    Tak kalah pentingnya, lanjut Mahmud, dana talangan tersebut juga harus mendapat persetujuan dari Komisi V DPR RI. Sebab, jika DPR tidak sepakat terkait dana talangan bagi korban lumpur akan menjadi percuma. ”Pansus Lumpur juga akan menemui Komisi V terkait dana talangan itu,” tegasnya.

    Sudibyo, salah satu korban lumpur asal Renokenongo, Kecamatan Porong mengatakan pihaknya masih menunggu bukti tertulis dana talangan dari pemerintah. Selama ini korban lumpur sudah sering diberi janji-janji terkait pelunasan ganti rugi, namun sampai sekarang belum direalisasikan.

    Korban lumpur berharap agar dana talangan tersebut bisa segera direalisasikan dan dibayarkan dalam waktu dekat. ”Paling tidak bisa dianggarkan dalam APBN 2015 agar bisa segea dibayarkan kepada korban lumpur,” tandas Sudibyo.

    Secara umum, korban lumpur menyambut baik keputusan Presiden Joko Widodo yang memberikan dana talangan pembayaran ganti rugi lumpur. Namun, keputusan tersebut harus segera ditindaklanjuti oleh pihak-pihak terkait terutama untuk mekanisme pembayaran.

    Berbeda dengan korban lumpur yang menyambut baik dana talangan. Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL) kecewa karena belum dimasukkannya anggaran ganti rugi untuk pengusaha korban lumpur. Sebab, mereka juga sama-sama menjadi korban lumpur. ”Perusahaan kami sudah tebenam lumpur. Samasama menjadi korban lumpur tapi dianaktirikan,” keluhnya.

    GPKLL mengaku juga kecewa terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah dan Gubernur Jatim Soekarwo. Sebab, keduanya terkesan mengesampingkan untuk memperjuangkan pembayaran ganti rugi pengusaha korban lumpur.

    Sementara itu pengamat Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES) Suroto meminta pemerintah terlebih dahulu mempailitkan PT Minarak Lapindo Jaya sebelum memberikan dana talangan.

    ”Kalau disebut sebagai uang ganti rugi untuk korban lumpur seharusnya PT Minarak Lapindo Jaya dipailitkan terlebih dahulu dan baru asetnya disita untuk menyelesaikan ganti rugi. Kalau kurang barulah diselesaikan langsung oleh pemerintah sebagai bantuan sosial,” kata Suroto di Jakarta, Minggu.

    Dia menilai kebijakan pemerintah menalangi ganti rugi korban Lapindo bisa menjadi menjadi preseden buruk bagi sistem hukum dan juga bisnis di Indonesia. Menurut dia akibat kebijakan itu kini setiap orang yang melakukan spekulasi bisnis dan bangkrut pada akhirnya dapat menuntut dana talangan pada pemerintah.

    ”Seharusnya perusahaan justru dihukum akibat kelalaian dan merugikan banyak orang secara kemanusiaan. Ini janggal dan terkesan sangat kolutif,” katanya. Suroto meminta pemerintah untuk berperilaku adil pada semua pelaku bisnis dan tidak membawa ”deal” politik ke dalam ranah hukum dan bisnis.

    Ia berpendapat kebijakan pemberian dana talangan itu bisa memacu dilakukannya kegiatan ekploitatif dari korporasi lainya. ”Mereka akan lebih mudah membuat kesalahan dan menanggungkan bebannya pada pemerintah yang sumbernya adalah pajak yang dibayar rakyat,” katanya.

    Suroto justru mempertanyakan kenapa pemerintah tidak mempedulikan UKM yang bangkrut padahal secara riil UKM menjadi penopang bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. ”Demi rasa keadilan dan juga kepentingan hukum dan bisnis maka pemerintah harus batalkan kebijakan tersebut,” katanya.

    Sebelumnya, pemerintah memutuskan untuk menalangi ganti rugi pembelian lahan atas kasus lumpur Lapindo dimana total ganti rugi tanah yang harus dibayarkan di area terdampak sekitar Rp3,8 triliun dengan Rp3,03 triliun di antaranya sudah dibayar Lapindo, sehingga masih kurang Rp781 miliar. Dana Rp781 miliar tersebut akan diambil dari APBNP 2015.

    Konsekuensinya, Lapindo harus menyerahkan keseluruhan tanah yang ada di peta terdampak dan perusahaan itu diberi waktu empat tahun untuk melunasi dana talangan dan memperoleh kembali tanah tersebut.

    Abdul Rouf

    Sumber: http://www.koran-sindo.com/read/940462/151/lapindo-diminta-serahkan-sertifikat-aset-1419219863

  • Lapindo Serahkan 9.900 Sertifikat Tanah

    JAKARTA – Keputusan pemerintah untuk menalangi pembayaran sisa ganti rugi korban semburan lumpur panas di Sidoarjo, Jawa Timur, disambut positif manajemen PT Minarak Lapindo Jaya, anak usaha Lapindo Brantas Inc. Mereka siap menyerahkan sertifikat tanah sebagai jaminan kepada pemerintah atas sisa kewajiban ganti rugi yang tak kunjung dibayar.

    Direktur PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusala mengatakan, pihaknya mengapresiasi langkah pemerintah untuk segera menuntaskan proses ganti rugi bagi masyarakat di peta terdampak. ”Kami akan patuh dengan pemerintah,” ujarnya kepada Jawa Pos, Jumat (19/12).

    Menurut Andi, saat ini Lapindo sudah memenuhi kewajiban ganti rugi tanah warga di peta terdampak sebesar Rp 3,03 triliun untuk 9.900 berkas. Sebagian besar berupa sertifikat tanah. Ada juga yang berupa girik. Namun, masih ada kekurangan Rp 781 miliar untuk 3.337 berkas yang belum bisa diselesaikan Lapindo. Kekurangan itulah yang akan ditalangi oleh pemerintah. ”Kami siap menyerahkan sertifikat sebagai jaminan,” katanya.

    Dalam skema yang diajukan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono, pemerintah akan menalangi ganti rugi Rp 781 miliar. Lapindo diberi kesempatan untuk melunasi dana talangan tersebut selama empat tahun. Jika tidak bisa membayar, pemerintah akan mengambil seluruh tanah di peta terdampak yang saat ini sudah di tangan Lapindo.

    Andi mengakui, saat ini Lapindo memang mengalami kesulitan finansial. Namun, dia menyatakan bahwa Lapindo siap membayar Rp 781 miliar kepada pemerintah dalam jangka waktu empat tahun ke depan. ”Tentu kami akan berusaha bayar daripada aset kami hilang (diambil alih pemerintah, Red),” ucapnya. Untuk diketahui, Rp 781 miliar itu belum termasuk klaim kerugian dari pengusaha akibat semburan lumpur.

    Menurut Andi, Lapindo sebenarnya memang sudah lama mengajukan proposal kepada pemerintah untuk menalangi dulu kekurangan pembayaran ganti rugi. Pihaknya juga terus berkomunikasi dengan pemerintah pusat maupun pemerintah daerah agar hak-hak warga korban lumpur bisa segera terpenuhi. ”Sekarang kami menunggu perpres (peraturan presiden yang terkait dengan keputusan menalangi Rp 781 miliar). Semoga bisa cepat,” ujarnya.

    Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menambahkan, keputusan pemerintah itu sudah tepat. ”Negara tidak sekadar keluar uang, tapi juga membantu rakyat dengan jaminan (aset) Lapindo,” katanya.

    JK memastikan bahwa kebijakan tersebut tidak akan merugikan negara. Bahkan, negara bisa saja diuntungkan jika semburan lumpur berhenti dalam beberapa tahun mendatang. Meskipun, ada kemungkinan semburan lumpur baru berhenti 10 atau 20 tahun lagi. ”Kalau berhenti, negara untung. Kalau tidak, ya tunggu sampai berhenti,” ucapnya.

    Lapindo Brantas Inc merupakan operator blok Brantas. Sekadar mengingatkan, semburan lumpur panas yang meluap pada 29 Mei 2006 terjadi setelah pada 8 Maret Lapindo Brantas Inc mulai mengebor sumur Banjar Panji I.

    Sementara itu, keputusan pemerintah menalangi pembayaran ganti rugi untuk korban yang menjadi tanggung jawab Lapindo dipastikan tidak mengganggu penyelesaian ganti rugi yang menjadi tanggung jawab pemerintah. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto memastikan bahwa pemerintah tidak akan melupakan kewajiban membayar ganti rugi senilai Rp 380 miliar.

    ”Pemerintah tetap siap Rp 380 miliar yang menjadi kewajiban,” tegas Andi di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Penyelesaian nilai yang menjadi tanggung jawab pemerintah itu masuk di APBN 2015.

    Pada kesempatan tersebut, Andi menegaskan, pemerintah memberikan dana talangan bukan untuk membantu Lapindo. Namun, lebih pada pertimbangan karena masyarakat sudah menunggu penyelesaian. ”Fokus kami, bagaimana caranya supaya harapan yang tertunda ini bisa segera dipenuhi. Itu saja fokusnya. Hal-hal lain kami pikirkan kemudian,” imbuh Andi.

    Putusan MK yang mengabulkan judicial review terhadap pasal 9 ayat 1 huruf (a) UU No 19 Tahun 2012 tentang APBNP 2012 pada awal 2014 telah menjadi payung hukum langkah pengambilalihan pembayaran ganti rugi oleh pemerintah. Khususnya untuk para korban di peta area terdampak (PAT). Secara garis besar, putusan tersebut mengamanatkan kepada pemerintah untuk tidak lepas tanggung jawab terhadap penanganan korban di PAT.

    Sebelum putusan MK, pasal 9 ayat 1 tersebut menetapkan bahwa kerugian warga di PAT menjadi tanggung jawab Lapindo Brantas Inc. Sedangkan kerugian di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah. Pembagian tanggung jawab tersebut dianggap menyebabkan dikotomi ketentuan hukum dan ketidakadilan bagi warga di PAT dan luar PAT.

    Di bagian lain, Golkar yang merupakan partai pimpinan Aburizal Bakrie, pemilik Lapindo, memberikan klarifikasi soal dana talangan dari pemerintah kepada PT Minarak Lapindo Jaya. Bendahara Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, pemerintah dalam hal ini tidak mengambil alih tanggung jawab yang harus dipikul Lapindo.

    ”Bukan mengambil alih tanggung jawab. Keliru itu. Tapi, memberikan pinjaman dengan tenor empat tahun dengan jaminan senilai Rp 3,7 triliun lebih,” ujar Bambang kemarin (19/12).

    Menurut Bambang, Partai Golkar memberikan apresiasi atas keputusan pemerintah tersebut. Dia menilai, pemerintah telah mengambil langkah cepat agar kasus Lapindo bisa segera diselesaikan. Bambang secara tidak langsung mengakui bahwa saat ini PT Minarak Lapindo Jaya memang mengalami kesulitan keuangan untuk melunasi sisa pembayaran ganti rugi.

    ”Kami memberikan apresiasi kepada pemerintah yang telah mengambil keputusan itu sehingga para korban terdampak tidak terkatung-katung terlalu lama,” ujar sekretaris Fraksi Partai Golkar kubu musyawarah nasional Bali tersebut.

    Sementara itu, Agus Gumiwang Kartasasmita, ketua Fraksi Partai Golkar hasil munas Jakarta, menilai, tenggang pelunasan yang diberikan pemerintah itu berpotensi merugikan negara. Menurut dia, pemerintah terlalu berbaik hati dengan memberikan skema pelunasan tersebut. Alasannya, kewajiban bayar Lapindo tertunggak sejak lama. ”Jika kebijakan itu bertujuan agar korban tidak berlama-lama menderita, saya kira itu keputusan positif,” katanya.

    Agus berharap pemerintahan Joko Widodo bisa bersikap tegas menuntut pengembalian dana negara kepada Lapindo. ”Untuk menghindari kerugian negara, pemerintah sebaiknya mengaudit kembali nilai aset para korban,” tandasnya. (owi/dyn/bay/c11/sof/jpc)

    Sumber: http://www.kaltimpost.co.id/berita/detail/119354-lapindo-serahkan-9.900-sertifikat-tanah.html

  • Korban Lumpur Lapindo Geram Pengembang Kahuripan Nirwana Tak Hadir

    Korban Lumpur Lapindo Geram Pengembang Kahuripan Nirwana Tak Hadir

    Sidoarjo – Sebanyak 20 warga korban lumpur Lapindo yang tinggal di Perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) melakukan hearing, membahas sertifikat tempat tinggalnya yang belum ada di tangan hingga sekarang.

    Dalam hearing di gedung DPRD Sidoarjo, mereka ditemui Ketua Pansus lumpur Lapindo Nur Achmad Syaifudin, wakilnya Emil Firdaus, Badan Pertanahan Negara (BPN) wilayah Sidoarjo dan perangkat wilayah desa dari Desa Sumput, Ental Sewu, Jati dan Cemengkalang. Sementara pihak pengembang PT Mutiara Mashur Sejahtera (MMS) tidak hadir. Warga pun geram.

    “PT MMS jelas melecehkan Pansus lumpur Lapindo. Karena, selalu tidak hadir dan menghiraukan panggilan dilakukan Pansus lumpur Lapindo,” teriak seorang warga Hardono, di tengah-tengah hearing di gedung DPRD Sidoarjo, Rabu (23/10/2013).

    Ketua Pansus sendiri mengaku jika pada pokok permasalahan itu terlihat jelas di pihak PT MMS. Sebab warga belum menerima sertifikat rumah di KNV. Pihaknya berencana memanggil pihak PT MMS untuk mempertanggungjawabkan tanah tukar guling.

    “Dari pembahasan semua itu. Sudah jelas, bahwa PT MMS belum menyelesaikan masalah tanah tukar guling. Kita akan melakukan pemanggilan, jika tidak hadir lagi akan dilakukan pemanggilan paksa dengan minta bantuan polisi,” kata Ketua Pansus lumpur Lapindo, Nur Achmad Syaifudin.

    Secara terpisah, pihak BPN menyatakan jika masalah pokok karena tanah yang ada di Desa Sumput hingga kini masih bersengketa.

    “Tanah di wilayah Desa Sumput (KNV), pihak PT MMS belum menuntaskan persoalan tukar guling. Diperkirakan tanah itu sekitar 3,4 hektar,” kata Kamdani, di sela-sela hearing. (fat)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/10/23/144240/2393470/475/korban-lumpur-lapindo-geram-pengembang-kahuripan-nirwana-tak-hadir

  • Korban Lumpur Lapindo Tagih Sertifikat Rumah di Kahuripan Nirwana

    Korban Lumpur Lapindo Tagih Sertifikat Rumah di Kahuripan Nirwana

    Sidoarjo – Warga korban lumpur Lapindo yang kini tinggal di komplek Perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) Sidoarjo, menagih janji sertifikat rumahnya. Pasalnya, hingga kini warga yang tinggal sejak tahun 2007, belum mempunyai sertifikat.

    Dari pantauan detikcom, di tiap rumah komplek perumahan banyak terpasang spanduk. Spanduk itu berisi keinginan warga memiliki sertifikat seperti yang dijanjikan PT Mutiara Mashur Sejahtera (MMS).

    sertifikat knv

    “Wasiat seorang ibu ibarat sebuah janji. Tolong selesaikan masalah sertifikat di Kahuripan Nirwana”. Tak hanya itu, warga juga menyindir Aburizal Bakrie. “2014 menuju RI-1. Muluskan Jalan Presiden. Tuntaskan…!!! Permasalahan sertifikat”.

    Salah satu korban lumpur Lapindo, Sanusi, aksi itu dilakukan warga untuk menagih janji. “Kita memasang spanduk di rumah maupun di sudut perumahan hanya ingin menagih janji pada PT MMS. Sebab sampai sekarang kita belum menerimanya,” kata Sanusi (40) kepada detikcom, Jumat (13/9/2013).

    Dia menjelaskan, bahwa sertifikat yang belum diterima warga cukup banyak. Dari total 1.600 sertifikat, hanya sebagian warga korban lumpur Lapindo saja yang menerima sertifikat.

    “Kemungkinan sekitar 300 sertifikat yang sudah diberikan dari total 1.600 sertifikat. Sebenarnya itu progres PT MMS untuk memberikan sertifikat tiap bulan. Tapi pemberian itu ditunda-tunda hingga 6 tahun lebih,” tambahnya.

    Sanusi mengaku korban lumpur Lapindo menyesalkan sikap PT MMS, padahal pemberian sertifikat itu salah satu program yang harus direalisasikan. Apalagi, korban lumpur Lapindo yang tinggal sejak tahun 2007 itu membelinya secara kontan.

    “Mereka juga berjanji, korban lumpur Lapindo yang membeli secara cash tahun 2007, setahun kemudian akan diberikan sertifikat, tapi itu hanya janji,” tegasnya. (fat)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/09/13/171947/2358392/475/korban-lumpur-lapindo-tagih-sertifikat-rumah-di-kahuripan-nirwana

  • Sepenggal Kisah dari Suatu Sudut KNV

    Ibu Eli (41) dan Pak Indar (43) merupakan sebagian korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Selain mereka, juga ada sekitar 15 keluarga Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di KNV.

    Salah satu permasalahan yang masih tersisa dari kedua warga Jatirejo ini adalah masalah sertifikat tanah dan bangunan di KNV. Pihak Lapindo pernah menjanjikan bahwa sertifikat akan diberikan pada warga paling lambat Oktober 2012. Akan tetapi, sampai Februari 2013, Lapindo belum memberikan sertifikat tanah dan bangunan pada Eli dan Indar. (more…)

  • Komnas HAM Siapkan Rekomendasi

    Jakarta, Kompas – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sedang menyiapkan rekomendasi terkait korban semburan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Kini, hasil investigasi itu dalam analisa tim.

    ”Pengumuman resmi setelah pembahasan di rapat paripurna Komnas HAM,” kata anggota Komnas HAM Bidang Submediasi, Kabul Supriyadhie, seusai jumpa pers bersama perwakilan warga korban lumpur yang telah lima hari menginap di Kantor Komnas HAM, Selasa (2/9).

    Menurut Kabul, rekomendasi Komnas HAM tak jauh dari persoalan kemanusiaan akibat semburan lumpur dan penanganannya. Namun, ia enggan merinci lebih jauh.

    Lima hari lalu, atas permintaan warga, Komnas HAM juga memediasi pertemuan warga dengan pemerintah (Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Sosial, dan Badan Pertanahan Nasional).

    Beberapa kesepakatan, di antaranya, mendukung penyelesaian pembayaran 20 persen dan 80 persen, serta adanya pengikatan jual beli bagi warga pemegang bukti kepemilikan tanah berupa petok D, letter C, dan SK Gogol. Tak hanya bagi warga pemegang sertifikat hak atas tanah (SHM).

    “”Dalam kondisi seperti di Porong, saya kira hukum-hukum teknis jual beli pertanahan tidak dapat diberlakukan seperti keadaan normal,”” kata Kabul. Hal itu pula yang diserukan warga.

    Kesepakatan pemerintah dengan warga juga menyangkut nasib warga di luar peta terdampak, yakni menyediakan fasilitas air bersih, perhatian kesehatan, dan pendidikan.

    Kepada wartawan, perwakilan korban, M Ilyas, menyatakan ketidakpuasan mereka terhadap penanganan pascasemburan lumpur.

    Sesuai Perpres No 14/2007, pembayaran uang muka 20 persen bagi korban lumpur mestinya sudah tuntas. Demikian pula sisa 80 persen yang dijadwalkan tuntas satu bulan sebelum dua tahun masa kontrak habis. Namun, masalah ini belum selesai. (GSA)

    © Kompas

  • Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Surat Terbuka Kepada Presiden RI

    Korban Lapindo Menagih Janji

    Yang terhormat Presiden Republik Indonesia selaku pelayan rakyat Indonesia. Saya bertindak untuk dan atas nama korban lumpur Lapindo dengan kuasa kemanusiaan, bermateraikan lembaran kristal air mata korban Lapindo yang telah kering, yang sebentar lagi dapat berubah mencair mendidih, melebihi panas lumpur Lapindo.

    Bapak Presiden, korban Lapindo selama ini bernasib tidak sebaik yang diiklankan di media massa. Saya hanya mengingatkan bahwa Lapindo Brantas Inc telah membuat kesepakatan penyelesaian dengan pemerintah sehingga terbit Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14 / 2007).

    Pasal 15 Perpres itu menentukan:

    Dalam rangka penanganan masalah sosial kemasyarakatan, PT Lapindo Brantas membeli tanah dan bangunan masyarakat yang terkena luapan lumpur Sidoarjo dengan pembayaran secara bertahap, sesuai dengan peta area terdampak tanggal 22 Maret 2007 dengan akta jual-beli bukti kepemilikan tanah yang mencantumkan luas tanah dan lokasi yang disahkan oleh Pemerintah (ayat 1).

    Pembayaran bertahap yang dimaksud, seperti yang telah disetujui dan dilaksanakan pada daerah yang termasuk dalam peta area terdampak 4 Desember 2006, 20% (dua puluh perseratus) dibayarkan di muka dan sisanya dibayarkan paling lambat sebulan sebelum masa kontrak rumah 2 (dua) tahun habis (ayat 2).

    Dahulu, untuk memperoleh pembayaran 20 persen jual-beli tanah dan rumah korban Lapindo tersebut harus melalui aksi massa. Sekarang, ketika dua tahun kontrak rumah korban Lapindo berlalu, PT. Minarak Lapindo Jaya (yang ditunjuk Lapindo Brantas Inc) tidak bersedia membayar 80 persen terhadap tanah-tanah yang belum bersertifikat (petok D, leter C, gogol dan yasan). Perlu saya tekankan lagi, cara penyelesaian sosial korban Lapindo adalah “jual-beli” tanah dan rumah korban yang kini telah berubah menjadi kekayaan danau lumpur itu.

    Bapak Presiden, mengapa PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar untuk melunasi sisa pembayaran 80 persen kepada korban Lapindo yang tanahnya belum bersertifikat? Padahal diantara mereka telah menandatangani Ikatan Perjanjian Jual Beli (IPJB)? Hal itu disebabkan PT. Minarak Lapindo Jaya menuruti pendapat notaris/pejabat pembuat akte tanah (PPAT) yang digunakannya.

    Saya mengingatkan kilas balik perjalanan kesepakatan segitiga antara pemerintah, Lapindo Brantas Inc dengan korban Lapindo. Pada 24 April 2007 korban Lapindo dari Perumahan Tanggung Angin Sejahtera (Perumtas) I Sidoarjo menghadap Wakil Presiden RI yang mewakili Bapak Presiden. Dalam pertemuan itu hadir Menkokesra, Menteri Pekerjaan Umum, Gubernur DKI Jakarta dan Direktur Utama Bank Tabungan Negara (BTN).

    Risalah Rapat 24 April 2004 yang dipimpin Bapak M. Jusuf Kalla itu menyepakati sisa pembayaran sebesar 80 persen dilakukan bersama dengan pembayaran kepada masyarakat di empat desa (menurut Peta Wilayah Terdampak 22 Maret 2007) pada bulan April 2008. Pak Presiden, sekarang ini sudah bulan Agustus 2008, bulan kemerdekaan, tapi korban Lapindo masih jauh dari merdeka.

    Soal tanah-tanah yang belum bersertifikat, pada tanggal 2 Mei 2007 telah disepakati oleh perwakilan korban Lapindo, Menteri Sosial, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Kabupaten Sidoarjo dan PT. Minarak Lapindo Jaya, yang intinya menentukan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, SK gogol diperlakukan sama dengan tanah-tanah bersertifikat. Pak Presiden, mayoritas tanah korban Lapindo belum bersertifikat.

    Selepas dari penandatanganan Risalah Kesepakatan pertemuan tersebut, PT. Minarak Lapindo Jaya kembali ingkar. Setelah mulai jatuh tempo pembayaran 80 persen (bertahap, mulai April 2008), lagu lamanya dinyanyikan lagi: PT. Minarak Lapindo Jaya tidak mau membayar. PT. Minarak Lapindo hanya mau membayar rumah yang telah tenggelam, sedangkan tanahnya akan diganti dengan tanah kaplingan (bekas sawah) yang disediakan oleh perusahaan lain di bawah Grup Bakrie. Sedangkan uang muka 20 persen tadi dianggap hibah kepada warga korban Lapindo.

    Kelihatannya menguntungkan korban Lapindo, tapi kenyatannya tidak sebab tanah kaplingan penggantinya itu masih belum jelas, penyerahannya 8 bulan hingga setahun, dan harga asalnya hanya sekitar Rp. 200 ribu/m2, sedangkan tanah pemukiman/pekarangan korban Lapindo telah disepakati Rp. 1 juta/m2. Meskipun ada janji bahwa nantinya korban Lapindo boleh menjual tanah pengganti itu seharga Rp. 1 juta/m2 tetapi itu sudah menyimpang dari pasal 15 Perpres No. 14/2007.

    Tak ada kepastian bahwa PT. Minarak Lapindo Jaya akan patuh dengan perjanjian yang baru itu, sebab PT. Minarak Lapindo Jaya sudah ingkar dengan beberapa kesepakatan yang telah dibuat dan tidak patuh dengan pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu. Dengan pasal 15 Peraturan Presiden No. 14 / 2007 (yang sudah dikuatkan putusan MA No. 24 P/HUM/2007) saja ingkar, apalagi dengan kesepakatan yang tak ada dasar hukumnya?

    Pak Presiden, dalam pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS dan BPN Kabupaten Sidoarjo pada 5 Agustus 2008 yang lalu PT. Minarak Lapindo Jaya tidak hadir. BPN sendiri menyatakan bahwa tanah-tanah petok D, leter C, gogol dan yasan bisa dibuatkan akte jual beli (AJB). BPN sudah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan tanggal 24 Maret 2008. Jadi, secara hukum administrasi negara sudah tidak ada kendala. Jika PT. Minarak Lapindo tidak patuh kepada Perpres No. 14/2007 itu, apakah Bapak Presiden hanya akan diam saja menonton penderitaan korban Lapindo?

    Apakah pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu masih berlaku?

    Kalau ada yang mengatakan bahwa dengan dibayarkannya 20 persen tanah pertama dua tahun lalu itu warga korban Lapindo sudah makmur, itu kebohongan besar. Mayoritas mereka kehilangan pekerjaan dan mulai mencari pekerjaan baru dan banyak yang menanggung utang.

    Dalam pertemuan dengan Komnas HAM tanggal 1 Mei 2008 di Pendopo Kecamatan Tanggulangin Sidoarjo, wakil korban lumpur lapindo dari Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang telah memberikan mandat kepada Emha Ainun Nadjib mengatakan bahwa apabila PT. Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar sisa 80 persen itu maka di Sidoarjo akan terjadi banyak gelandangan sebab rata-rata korban Lapindo terlanjur menanggung utang sebab berharap dari pembayaran 80 persen itu.

    Perlu Bapak Presiden ketahui, akibat PT. Minarak Lapindo Jaya yang membangkang jatuh tempo pembayaran sesuai pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14/2007, kini masyarakat korban Lapindo terpecah-belah, saling bermusuhan akibat munculnya cara-cara baru di luar cara menurut pasal 15 Perpres No. 14 / 2007. GKLL itu pecah, muncul organisasi baru bernama Gerakan Pendukung Perpres No. 14/2007 (GEPPRES).

    Munculnya cara-cara penyelesaian di luar pasal 15 Perpres No. 14 / 2007 itu akibat pemerintah yang tidak tegas kepada PT. Minarak Lapindo Jaya yang mempersulit penyelesaian sosial itu padahal dasar hukumnya sudah jelas. Sekali lagi, pemerintah tidak tegas untuk memaksa pihak Lapindo. Tetapi bagaimana nasib korban Lapindo yang membuat kesepakatan di luar pasal 15 Perpres No. 14/2007 jika kelak PT. Minarak Lapindo Jaya atau perusahaan pengembang yang menyediakan tanah pengganti itu ingkar? Padahal cara penyelesaian masalah sosial yang sudah ditentukan itu tidak murni bersifat perdata, tetapi terkandung kewajiban pemerintah memenuhi hak asasi manusia berdasarkan pasal 28 I ayat (4).

    Pak Presiden. Bahkan ada ratusan kepala keluarga korban Lapindo yang belum menerima pembayaran 20 persen dengan berbagai alasan, tanpa penyelesaian. PT. Minarak Lapindo juga mengingkari kesepakatannya dengan ratusan kepala keluarga korban Lapindo pengontrak rumah (yang tak punya tanah dan rumah sendiri).

    Jika diurai, masih ada banyak masalah lainnya, termasuk masalah kesehatan masyarakat sebab menurut temuan Tim Kajian Pemerintah Provinsi Jawa Timur, konsentrasi gas hidrokarbon di daerah sekitar semburan lumpur Lapindo mencapai 55.000 ppm, padahal ambang batas toleransinya adalah 0,24 ppm. Kasihan para penduduk korban, terutama anak-anak mereka yang masih mempunyai masa depan, jangan sampai masa depan mereka rusak gara-gara pemerintah tidak cepat dan tepat untuk menyelesaian persoalan korban Lapindo itu.

    Masyarakat korban Lapindo telah begitu sabar. Meski menderita kerugian materiil dan imateriil yang tak terkira besarnya, mereka cukup patuh dengan Perpres No. 14/2007 yang hanya mengharuskan jual-beli tanah dan rumah korban lumpur yang tenggelam. Bahkan mereka telah diikat oleh PT. Minarak Lapindo Jaya dalam perjanjian dan pernyataan agar mengakui bahwa semburan lumpur itu bencana alam dan mereka tidak boleh menuntut Lapindo secara perdata dan pidana. Meski tidak tahu arti semua itu, mereka mau menandatangani pernyataan dan perjanjian seperti itu.

    Surat ini saya sampaikan secara terbuka, agar dapat sampai dan dibaca Pak Presiden dan banyak orang, bahwa itulah yang terjadi, tidak seindah yang diiklankan di media massa.

    Demikian surat ini, mohon agar negara ini tetap berdiri dalam kemerdekaan, tidak tenggelam menjadi Republik Lumpur Lapindo.

    Hormat saya, pesuruh sebagian korban Lapindo.

    Subagyo, 081615461567

  • Harapan Baru untuk “Cash and Carry”

    korbanlumpur.info – Sorak sorai langsung terdengar ketika Suwito, perwakilan warga yang masuk dan ditemui bupati keluar dan menyampaikan hasil pertemuan di pendopo Kabupaten Sidoarjo. Korban lapindo sudah beberapa kali harus berdemo ke Bupati untuk mempertanyakan nasibnya, juga beberapa kali sudah sujud syukur ketika tuntutan mereka seolah terpenuhi, dan mereka sudah lelah ditipu, lalu, apalagi yang baru sekarang?

    Siang itu (05/08/2008), matahari sudah bergeser dan warga yang menunggu di luar pendopo kabupaten masih bertanya-tanya dalam hati, apakah betul asset tanah warga yang Petok D dan Letter C bisa di-AJB-kan, yang artinya bisa mendapatkan ganti rugi secara cash and carry? Sementara di dalam, Perwakilan warga yang ditemui Bupati menyampaikan segala harapan dan tuntutannya.

    Dengan membawa sebendel bukti berisi peraturan-peraturan dan risalah rapat serta komitmen pihak-pihak terkait, warga mengadu dan meminta Bupati merespon tuntutan warga untuk segera dibayar ganti rugi asset mereka secara cash and carry. Sudah lama mereka diombang-ambingkan dan digoyang isu-isu dan informasi yang tidak jelas. Pihak Minarak lapindo Jaya setelah melaukan pertemuan dengan GKLL menyatakan tidak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun (tempointeraktif, 26 Juni 2008).

    Pasca pernyataan itu, tentu saja korban lumpur yang mayoritas memiliki bukti asset berupa Petok D dan Letter C resah, tidak ada angin tidak ada hujan mereka yang sudah berharap segera menerima sisa ganti rugi 80% karena masa kontrakannya habis kembali menelan pil pahit. Jika sebelumnya mereka melalui GKLL giat menuntut cash and carry, namun akhirnya cash and resettlement yang didapat.

    Pihak Minarak lapindo Jaya berkilah bahwa pemilik asset dengan bukti kepemilikan Petok D dan Letter C tidak bisa di-AJB-kan. Padahal Badan Pertanahan Nasional sudah mengeluarkan surat pada tanggal 24 Maret 2008 mengenai mekanisme AJB untuk semua bukti kepemilikan (Sertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol, Yasan serta tanah asset Pemda dan yang berstatus HGB). Belum lagi jika merujuk pada banyak risalah rapat dan komitmen yang bukan hanya ditanda tangani Andi Darusalam selaku Vice President PT Minarak lapindo jaya tetapi juga pejabat negara baik daerah maupun pusat, yang jelas menyatakan bahwa Petok D, Letter C dsb diperlakukan sama dengan sertifikat dan berhak mendapat ganti rugi yang sama.

    Namun semua itu seolah menguap, dan komitmen yang ditanda tangani seolah tidak ada. Lalu, pada tanggal 25 Juni 2008, keluarlah pernyataan itu: ʽPT MLJ tak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapunʼ Perih dan menyakitkan!’

    Namun, sorak-sorai pada 5 Agustus 2008 di depan Pendopo Kabupaten kemarin seolah memberikan titik cahaya kepada mereka yang memilih untuk tetap menuntut hak mereka secara cash and carry. Bupati Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan bahwa semua asset warga dengan bukti kepemilikan Petok D, Letter C, SK Gogol bisa di-AJB-kan dan Pihak lapindo harus menunaikan kewajibannya membayar sisa ganti rugi 80% secara cash and carry.

    Bukan akhir dari segalanya memang, masih butuh perjuangan untuk tetap menuntut tanggung jawab Lapindo dalam mengganti rugi asset warga yang telah tenggelam. Mereka mengepalkan tangan dan berteriak mengungkapkan kegembiraannya. Bapak-bapak dan kaum muda meloncat-loncat mengekspresikan kelegaannya, beberapa ibu terlihat menangis terharu mendengar berita itu. Harapan itu masih ada dan terjaga, harapan untuk mendapatkan lagi kehidupan mereka yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo baik dengan lumpur maupun dengan tindakan-tindakan mereka yang mengingkari hak-hak warga.

    Sorak sorai itu terdengar optimis, kelegaan yang menyeruak setelah kegundahan akan terbayarnya aset mereka terjawab. Tapi perjuangan tidak boleh hanya berhenti pada kelegaan.