Tag: tanggul jebol

  • Lapindo mud wall falls, residents’ sorrows spiral

    Lapindo mud wall falls, residents’ sorrows spiral

    The Jakarta Post, Sidoarjo – The embankment of the Lapindo mud retaining pool in Sidoarjo, East Java burst on Wednesday evening because of high rainfall in the area, forcing residents, most of whom have not received compensation, to take shelter.

    “The burst embankment will be rebuilt 5 meters high. However, residents often blockaded the project, so the embankment, which is still only 3.5 meters high, collapsed and caused water to engulf residents’ homes and flow into the river,” Sidoarjo Mudflow Mitigation Agency (BPLS) spokesman Dwinanto Prasetyo said on Thursday.

    Dwinanto said the government had provided a shelter for affected residents at the Gempolsari village hall, which could accommodate around 100 people, or 20 families, from the village.

    “We have set up a kitchen and provided blankets, clothing and other supplies at the shelter. However, residents prefer to remain in their swamped homes,” he said.

    He added the BPLS had operated two pumps to channel mud to the main retaining pool, from where two dredges would dump the mud into the Porong River.

    One of the residents, Sri Asih, 41, said her family refused to stay at the shelter provided by the local administration, since staying at home was far more comfortable.

    “Each heavy rain, we are always wary of the condition of the mud embankment, because it has collapsed before and water mixed with mud engulfed my home and damaged the furniture,” Sri told The Jakarta Post on Thursday.

    “We prefer moving our belongings, such as furniture, to the shelter at the village hall. If the water level rise further, we will obviously evacuate to the village hall,” she added.

    Sri hoped the government would soon fulfill its promises to pay compensation for her house and land, which were included on the map of areas affected by the Lapindo hot mudflow disaster.

    The government earlier announced it would pay compensation of Rp 781.7 billion (US$60.2 million).

    Many criticized the government’s decision over the compensation as it is actually the responsibility of PT Lapindo Brantas, a company controlled by the family of Aburuzal Bakrie, who is also chairman of the Golkar Party.

    PT Lapindo partly owns PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), which conducted gas exploration activities in the affected area leading to a blowout at one of Lapindo’s natural gas wells in 2006.

    Lapindo has persistently denied its exploration activity was the cause of the mud flow, instead blaming an earthquake in Yogyakarta, hundreds of kilometers to the west.

    Another victim, Ahmadi, 54, expressed hope President Joko “Jokowi” Widodo would not break his promise to immediately resolve the issue.

    “We are actually tired of the promises. If the government is still concerned with the fate of the hot mudflow victims, the payment process should not have been complicated,” said Ahmadi.

    Commenting on the planned compensation, Dwinanto Prasetyo said that although the government had provided the bailout funds, it must still wait for the completion of auditing by the Development Finance Comptroller (BPKP) before they could be disbursed.

    Meanwhile, East Java Governor Soekarwo said the disbursement of the funds for mudflow victims should go through several stages.

    Indra Harsaputra

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2015/03/20/lapindo-mud-wall-falls-residents-sorrows-spiral.html

  • Lumpur Lapindo Meluber Lagi, Puluhan Rumah Warga Tergenang

    Lumpur Lapindo Meluber Lagi, Puluhan Rumah Warga Tergenang

    SURABAYA, KOMPAS.com – Lumpur Lapindo meluber di titik 74 tanggul penahan menyusul tingginya curah hujan yang terjadi di kawasan tersebut. Akibatnya, lumpur menggenangi puluhan rumah warga.

    Humas Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, Dwinanto P, mengatakan curah hujan yang cukup tinggi selama beberapa hari terakhir membuat tanggul penahan yang ada di titik 74 tidak kuat menahan lumpur dari dalam kolam penampungan.

    “Puncaknya pada Kamis (19/3/2015) dini hari tadi, lumpur dengan cepat meluber keluar sehingga puluhan rumah yang ada di Desa Gempolsari tenggelam akibat luberan lumpur yang mengalir tersebut,” katanya.

    Ia mengemukakan, saat ini sekitar seratus orang warga yang rumahnya terendam lumpur terpaksa mengungsi di balai desa setempat.

    “Kami juga sudah melakukan koordinasi dengan warga termasuk memberikan kepada mereka kebutuhan makanan selama mereka di lokasi pengungsian tersebut,” katanya.

    Ia mengatakan, untuk penanganan lumpur itu sendiri saat ini sudah digunakan dua unit pompa air untuk mengalirkan lumpur menuju ke dalam kolam utama dan selanjutnya menggunakan dua kapal keruk untuk mengalirkan lumpur menuju ke Kali Porong.

    “Selain itu, kamu tetap menggunakan alur yang ada di sisi selatan rumah warga dan juga mengalirkan lumpur ke sungai terdekat supaya volume lumpur bisa segera diselesaikan,” katanya.

    Ia mengatakan, saat ini, pihaknya masih berkonsentrasi untuk menurunkan volume lumpur di dalam kolam penampungan baru kemudian melakukan melakukan perbaikan tanggul lumpur.

    “Pengaliran lumpur ke Kali Porong saat ini yang menjadi konsentrasi kami supaya luberan lumpur bisa segera berkurang dan kami bisa melakukan perbaikan tanggul lumpur yang sempat terkena luberan,” katanya.

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2015/03/19/12212591/Lumpur.Lapindo.Meluber.Lagi.Puluhan.Rumah.Warga.Tergenang

  • Ketinggian Lumpur Mencapai 50 Cm

    Dua Lansia Menolak Dievakuasi

    SIDOARJO – Puluhan rumah di RT 10, RW 2, Desa Gempolsari, Kecamatan Tanggulangin, tampak melompong Rabu (17/12). Desa di sisi selatan Sungai Ketapang itu ditinggal penghuninya mulai Selasa malam (16/12).

    Penyebabnya, tingginya curah hujan membuat tanggul lumpur di titik 73B Desa Kedungbendo jebol. Akibatnya, aliran lumpur masuk ke rumah-rumah warga hingga ketinggian 50 sentimeter.

    Jebolnya tanggul lumpur di titik 73B itu tidak hanya menenggelamkan Desa Gempolsari. Dua desa lain, yakni Kalitengah dan Kedungbendo, juga terendam.  

    Semua warga diminta mengungsi ke balai desa. Namun, tidak semua warga mau dievakuasi. Suwadi, 80, dan Suniakah, 85, menolak meninggalkan rumah mereka. Hingga kemarin, pasangan lansia itu bertahan di rumah yang terendam lumpur setinggi lutut orang dewasa.

    ’’Kulo teng mriki mawon. Tunggu omah (Saya di sini saja. Menjaga rumah, Red),’’ kata Suniakah saat diminta mengungsi oleh tim tagana kemarin sore.

    Suwadi mengatakan, dirinya dan istri sudah beberapa kali tinggal di pengungsian. Namun, selama di sana dia merasa tidak nyaman. Suwadi tidak bisa melakukan aktivitas seperti mencari rumput untuk kambing-kambingnya.

    Selain itu, Suwadi takut rumahnya benar-benar ditenggelamkan lumpur saat ditinggal. Sebab, selama ini setiap lumpur masuk ke rumah, dia dan istri mengeluarkannya dengan sapu dan alat pel.

    ’’Saya keluarkan sedikit-sedikit. Kalau didiamkan, nanti rumahnya bisa amblas,’’ ujar Suwadi.

    Saat ini rumah Suwadi dan Suniakah menjadi satu-satunya rumah di RT 5, RW 6, Desa Kalitengah, yang masih ada. Kiri-kanan hunian mereka merupakan lahan kosong bekas rumah dirobohkan yang sudah lama ditinggal pemiliknya.

    Akses masuk ke rumah Suwadi juga terbilang sulit. Jalan setapak berupa galengan menjadi satu-satunya akses menuju rumah itu.

    Karena rumah terendam lumpur, mereka sulit ke mana-mana. Sepanjang hari, Suniakah lebih banyak menghabiskan waktu di ranjang. Sesekali dia pergi ke teras untuk mengeluarkan lumpur dari dalam rumah.

    Sementara itu, Suwadi juga sulit beraktivitas seperti biasa. Selain menemani sang istri, sesekali Suwadi memberi makan kambing-kambingnya.

    Suwadi mengatakan, selama dua hari terakhir banyak orang yang berkunjung ke rumahnya. Sebagian besar datang untuk membujuk Suwadi dan Suniakah agar mau mengungsi. Namun, semua tawaran itu ditolak.

    Menurut Suwadi, dirinya dan istri mau angkat kaki setelah mendapat ganti rugi atas rumah yang terendam lumpur. Dia menyatakan selama ini baru mendapat ganti rugi sebesar 20 persen.

    ’’Kalau sudah punya rumah baru, ya mau pindah. Kalau sekarang tidak punya rumah, mau pindah ke mana?’’ katanya.

    Meski bertahan di rumah, Suwadi dan Suniakah tidak pernah luput dari perhatian. Mereka tetap mendapat fasilitas layaknya warga yang mengungsi di Balai Desa Gempolsari. Misalnya, selimut, matras, dan logistik. ’’Kalau makan, ada yang mengantar tadi,’’ kata Suwadi.

    Sementara itu, kondisi Kantor Balai Desa Gempolsari tampak ramai kemarin. Kantor pemerintah desa tersebut dipadati para pengungsi dari RT 10, RW 2, Desa Gempolsari. Total ada 99 orang dari 24 kepala keluarga yang tinggal di 21 rumah.

    Semua perlengkapan evakuasi memang sudah lama disiapkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sidoarjo. Setiap keluarga diberi satu matras. Setiap pengungsi juga mendapat selimut dan logistik.

    Meski demikian, suasana pengungsian tetap tidak senyaman rumah sendiri. Anggi Maulana mengatakan sudah tidak betah tinggal di pengungsian. Menurut siswa kelas V SDN Gempolsari itu, suasana di kantor balai desa terlalu ramai sehingga dirinya sulit belajar. ’’Berisik. Jadi tidak konsentrasi,’’ ucapnya.

    Sebagaimana diberitakan, lumpur menggenangi Desa Gempolsari dan Desa Kalitengah setelah tanggul titik 73B Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, jebol pada 31 November 2014. Tanggul tersebut jebol sepanjang empat meter.    

    BPLS berencana membangun tanggul baru yang menghubungkan tanggul titik 67 Desa Gempolsari dan titik 73 di Desa Kedungbendo.

    Tanggul baru itu nanti sepanjang 1,7 kilometer dengan ketinggian 5 meter. Sedangkan lebar tanggul 15 meter.

    Selama pengerjaan tanggul baru, BPLS telah menanggul sementara di titik 73 B. Tanggul tersebut juga dilengkapi sandbag dan sesek (anyaman bambu) untuk menghalau lumpur agar tidak mengalir ke timur (Desa Gempolsari).

    Sayangnya, hujan deras yang mengguyur Kota Delta Selasa malam (15/12) mengakibatkan tanggul sementara itu ambles. Akibatnya, aliran lumpur mengalir deras ke Desa Gempolsari. (rst/c7/c4/ib)

    Sumber: http://www.jawapos.com/baca/artikel/10431/Ketinggian-Lumpur-Mencapai-50-Cm

  • Tanggul Lumpur Lapindo Jebol Lagi, Puncak Hujan Mengancam

    SIDOARJO, KOMPAS.com — Untuk kedua kali, dalam pekan ini, tanggul penahan lumpur Lapindo di titik 73B Desa Kedungbendo, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, jebol akibat diguyur hujan deras. Apabila hal ini tidak segera ditanggulangi, puncak musim hujan yang akan mulai awal Januari hingga Februari 2015 akan mengancam puluhan ribu warga.

    Pemantauan Kompas, Rabu (17/12/2014), menunjukkan, banjir lumpur semakin parah, mengalir ke permukiman warga di dua desa terdampak. Warga kembali mengungsi demi keselamatan dan kenyamanan mereka.

    ”Saya tak tahu persis kapan tanggul jebol lagi. Yang jelas hari Rabu ini, sewaktu melihat tanggul, kondisinya sudah berantakan. Mungkin karena diguyur hujan Selasa siang hingga petang kemarin,” ujar Warsito (45), warga Desa Kedungbendo, di Sidoarjo, Rabu.

    Lokasi tanggul yang bobol kali ini berada di sebelah selatan jebolan pada Minggu lalu. Lebar jebolan baru itu sekitar 3 meter dan menambah panjang yang lama, yang untuk sementara ditutup sesek (anyaman bambu) dan karung pasir. Material perbaikan darurat itu pun porak poranda tersapu aliran lumpur yang keluar dari tanggul yang jebol.

    Akibatnya, rumah warga di Desa Gempolsari dan Kalitengah kembali terendam banjir. Ketinggian air meningkat dibandingkan dengan banjir lumpur pada Selasa malam lalu. Material lumpur yang terbawa air juga semakin pekat.

    ”Sekarang ketinggian air bercampur lumpur sudah 1 meter lebih di dalam rumah. Padahal, sebelumnya tinggi banjir hanya 40 sentimeter hingga 80 sentimeter di dalam rumah dan 1 meter di luar rumah,” ujar Solihin (40), warga Gempolsari, saat ditemui di rumahnya.

    Lumpur yang keluar dari tanggul yang jebol tersebut juga mengalir ke Sungai Ketapang karena sempadan sungai ambrol di beberapa titik. Volume air di sungai pun terus bertambah hingga menyentuh permukaan dan meluber di beberapa tempat.

    Melihat banjir yang kian tinggi, warga Gempolsari dan Kalitengah memutuskan kembali mengungsi di Balai Desa Gempolsari. Mereka mengkhawatirkan keselamatan jiwanya.

    ”Sampai kapan kami harus hidup dikejar-kejar lumpur seperti ini. Harta benda habis dan rumah juga makin lapuk, temboknya terendam banjir,” kata Askanah (65), warga yang mengungsi.

    Bertahan

    Kepala Desa Gempolsari Abdul Haris mengatakan, jumlah pengungsi mencapai 100 orang yang didominasi kaum ibu, warga lanjut usia, dan anak-anak. Malam hari mereka berkumpul di pengungsian dan pada siang hari beraktivitas biasa seperti bekerja atau membersihkan rumah.

    ”Kendati begitu, masih ada yang nekat bertahan di rumahnya yang sudah terkepung banjir lumpur. Alasannya, mereka menunggu rumah, takut barangnya hilang,” kata Haris.

    Pasangan Suwadi (85) dan Saniakah (65), misalnya, meminta pembayaran ganti rugi dilunasi terlebih dahulu agar mereka bisa pindah ke tempat yang lebih layak huni.

    Bupati Sidoarjo Saiful Illah berencana menemui Presiden Joko Widodo bersama Gubernur Jawa Timur Soekarwo. Dia akan menunjukkan foto kondisi warga korban lumpur yang menderita dan tanggul yang kritis.

    ”Saya akan ke Jakarta dipanggil Presiden Jokowi. Akan saya sampaikan semua keluhan warga agar pelunasan ganti rugi segera terselesaikan,” ujar Saiful.

    Puncak hujan Januari

    Kepala Kelompok Analisis dan Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Juanda, Surabaya, Taufik Hermawan mengatakan, rata-rata hujan di Sidoarjo terjadi pada siang atau malam hari. Intensitasnya termasuk ringan hingga sedang. Curah hujan ringan rata-rata 1-5 milimeter (mm) per jam atau 5-20 mm per hari.

    ”Curah hujan masuk dalam kategori sedang apabila 5-10 mm per jam atau 20-50 mm per hari. Lama hujan rata-rata 20-60 menit. Kecuali beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Pulau Bawean, lama hujan bisa 3-4 jam,” tutur Taufik.

    Puncak musim hujan yang ditandai dengan hujan lebat dan sangat lebat akan terjadi mulai awal Januari hingga Februari 2015. Saat itu, rata-rata curah hujan mencapai 20 mm per jam atau 100 mm per hari.

    Taufik mengingatkan, hujan lebat berpotensi terjadi karena ada pengaruh tidak langsung dari siklon tropik Hagupit di Filipina yang mengakibatkan terjadi konvergensi awan di langit Jawa Timur. Konvergensi akan memicu pertumbuhan awan hujan yang sangat banyak.

    Hujan yang terus turun bisa menyengsarakan korban lumpur Lapindo di Sidoarjo. Ada sekitar 40.000 warga yang terancam banjir dari kolam lumpur Lapindo, terutama saat puncak musim hujan.

    Apalagi, sejumlah titik tanggul kini rawan jebol, sementara antisipasi bencana masih minim. (NIK/ANG/DIA)

    Sumber: http://regional.kompas.com/read/2014/12/18/16064201/Tanggul.Lumpur.Lapindo.Jebol.Lagi.Puncak.Hujan.Mengancam

  • Lumpur Lapindo Meluap, Balai Desa Dipindah

    Lumpur Lapindo Meluap, Balai Desa Dipindah

    SIDOARJO – Jebolnya tanggul di titik 73 tidak hanya membuat lumpur masuk ke rumah warga di dua desa, Kedungbendo dan Gempolsari. Air lumpur tersebut juga menenggelamkan balai desa di Kalitengah Selatan. Akibatnya, balai desa itu dipindah ke rumah Juwadi, warga setempat.

    ’’Pemindahan dilakukan untuk menyelamatkan arsip desa,’’ kata Camat Tanggulangin Sentot Kun Mardianto.

    Pemindahan balai desa di Kedungbendo dimulai pukul 08.00 hingga pukul 14.30 Selasa (9/12). Upaya itu dipimpin Sekretaris Camat Tanggulangin Yani Setiawan. Lokasi balai desa berjarak sekitar 1 kilometer dari tanggul titik 73 yang jebol.

    Kondisi balai Desa Kedungbendo cukup memprihatinkan. Bagian dalamnya sudah tergenang lumpur hingga 20 sentimeter. Demikian pula halaman depan.

    Sejak pagi, lima pekerja membantu pegawai kecamatan mengangkati perabot dari dalam. Antara lain, mebel, lemari, dan komputer inventaris desa. Saat evakuasi, tidak semua perabot bisa diangkut ke balai desa yang baru. Perabot yang tidak bisa diselamatkan ditinggal di tempat. Misalnya, meja dan arsip lainnya.

    ’’Sejauh ini, tidak ada dokumen yang rusak,’’ kata Yani.

    Namun, dia belum yakin seratus persen dengan hal tersebut. Sebab, pihaknya belum memeriksa secara mendetail dokumen-dokumen tersebut. Termasuk, database warga yang tersimpan dalam komputer.

    Selain sudah dipenuhi lumpur, balai desa tersebut dipindah karena letaknya jauh dari jalan besar. Akses menuju tempat pelayanan publik itu sangat sulit. Untuk mencapai balai desa, selama ini warga harus menyeberangi jembatan bambu. Padahal, kondisi jembatan bambu itu kini mulai rusak.

    Ini bukan kali pertama Balai Desa Kedungbendo dipindah karena genangan lumpur. Saat awal lumpur meluber, balai desa dipindahkan ke rumah mantan Kepala Desa Kedungbendo Hasan. Dua tahun lalu, Hasan meninggal. Namun, rumah tersebut masih difungsikan sebagai balai desa.

    Saat tanggul jebol pada 30 November lalu, balai desa sempat terendam aliran lumpur. Endapan lumpur semakin parah karena hujan deras yang mengguyur kawasan tanggul beberapa hari terakhir. Akhirnya, balai desa dipindahkan ke rumah lama Juwadi.

    Sementara itu, sejak Sabtu (6/12), tim siaga bencana membentuk pos evakuasi di ruang pertemuan Balai Desa Gempolsari. Tim itu merupakan gabungan tim BPLS, forpimda, dan relawan dari Puskesmas Tanggulangin. Ruangan tersebut berukuran sekitar 10 x 20 meter.

    ’’Pos evakuasi digunakan menampung warga di RT 9 dan RT 10,’’ kata Suwito, relawan Kampung Siaga Bencana (KSB). Berdasar data yang dihimpun tim siaga bencana, terdapat 96 warga yang dievakuasi di Balai Desa Gempolsari.

    Hingga kemarin, belum ada seorang pun warga yang mengungsi ke pos tersebut. Warga beranggapan rumah mereka masih bisa ditempati, meski sesekali lumpur masuk ke dalam rumah. Namun, kata Suwito, warga beberapa kali mendatangi pos untuk meminta air bersih. (laz/c5/end)

  • Tanggul Jebol, Risen Tenggelam

    tanggul_jebolBencana yang ditakutkan warga dusun Risen, Desa Glagaharum, akhirnya benar-benar terjadi. Selasa (18/11), puluhan pria dan wanita, tua dan muda, warga Risen RT 01 sampai RT 05, tampak panik sambil sesekali menggigil kedinginan. Jalanan yang biasanya terasa lengang itu tiba-tiba berubah menjadi arena ketangkasan: secepat mungkin mereka membawa barang-barang dan harta yang masih tersisa untuk dibawa mengungsi.

    Luput (50) warga Desa Renokenongo RT 07 yang menyaksikan kejadian menuturkan, sejak pukul empat sore sesudah hujan deras mengguyur, air semakin tidak tertampung oleh tanggul baru itu. “Lebih lima tempat yang jebol,” ujar Luput. Sementara Samsul (45) warga Glagaharum mengatakan bahwa air sudah masuk ke rumah sampai setinggi lutut. “Yang di timur lebih parah lagi,” sambung Samsul.

    Sebenarnya sudah sejak beberapa hari setelah hujan mulai rutin mengguyur wilayah Porong dan sekitarnya, warga sudah was-was akan keselamatan mereka.

    “Semalam sudah siap-siap. Kita memang khawatir kalau-kalau tanggul jebol,” tutur Samsul. Tapi apa daya, mereka sama sekali tidak dapat informasi apapun dari BPLS tentang ketahanan tanggul, jadi mereka harus berjaga-jaga sendiri untuk keselamatan hidupnya. “Tiap malam selalu jaga-jaga, apalagi hujan deras begini,” ucap Samsul lebih lanjut.

    Dengan melubernya air ke rumah mereka, sekitar 400-an keluarga dipaksa untuk mengungsikan harta bendanya ke tempat yang lebih aman. Sebagian warga menitipkan harta benda mereka di rumah kerabatnya. Sebagian masih membawanya ke eks-jalan tol Gempol (Desa Besuki). Banyak juga yang masih belum tahu benar akan menyelamatkan barangnya ke mana, semua diangkut asal luput dari air yang menggenangi rumah. [re]

  • Tanggul Cincin Lapindo Jebol

    Tanggul Cincin Lapindo Jebol

    korbanlumpur.info – Sidoarjo: Tiga bego, eskavator, berlomba menjulurkan lengan pengeruknya di sekitar pusat semburan lumpur Lapindo. Satu bego mengeruk lumpur dari pusat semburan dan membuangnya di sisi timur tanggul sementara dua bego lainnya mengeruk tanah dan meninggikan tanggul. Pusat semburan ini biasa disebut lokasi tanggul cincin karena bentuk tanggulnya yang melingkar. Sisi timur tanggul ini jebol pada malam tadi.

    Awalnya cuman air di permukaan lumpur yang meluber di sisi timur tanggul lalu disusul dengan lumpur yang volumenya semakin meningkat karena operasi penanggulan sehari kemarin dihentikan oleh para korban Lapindo dari berbagai desa.

    “Lumpur mulai meluber jam 8 malam kemarin dan ini yang merusak tanggul,” tutur Ahmad Zulkarnain, corong Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo atau BPLS.

    Warga menuntut supaya Lapindo segera melunasi hutang 80% dari harga pekarangan, rumah, dan sawah mereka yang tenggelam dalam lumpur. Harusnya Lapindo membayar bulan lalu namun ternyata mangkir dan warga menutup penanggulan karena merasa tanah yang ditanggul masih miliknya.

    “Lapindo baru membayar dua puluh persen,” tutur Dumadi, warga Reno Kenongo yang turut dalam aksi penutupan tanggul kemarin. Tak hanya itu warga Reno Kenongo yang tergabung dalam Pagar Rekontrak bahkan belum mendapat bayaran tanah dan bangunannya sepeserpun.

    “Bayar dulu baru tanggul,” demikian bunyi tuntutan di spanduk-spanduk warga. Zulkarnain menghargai tuntutan warga ini dan membikin pernyataan tertulis yang berisi akan menghormati tuntutan warga dan tidak melakukan penanggulan hingga ada kepastian tuntutan tersebut dibayar oleh lapindo.

    Namun operasi penanggulan dilakukan lagi pada hari berikutnya.

    Selain jebol di sisi timur, cincin tanggul di sebelah timur cincin juga mulai retak. Retakannya lebih dari 10 meter dan lumpur mulai meluber dari dua retakan kecil. Retakan ini terdapat di tanggul tepat di tengah antara dukuh Wangkal, Sengon (desa Renokenongo) dengan perumtas Kedung Bendo.

    Retakan ini jelas membahayakan warga-warga desa di sebelah timur tanggul. “Bukan tidak mungkin ada desa baru yang akan terdampak lumpur,” jelas Zulkarnain.