Tag: uji materi UU apbn

  • 5 Kekalahan Pemerintah atas Lapindo Brantas

    TEMPO.CO, Jakarta – Mahkamah Konstitusi mengabulkan uji materi korban lumpur Lapindo di lokasi peta terdampak, Rabu, 26 Maret 2014. Mahkamah membatalkan Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013 karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi itu sama saja menguntungkan masyarakat yang masuk peta terdampak dan pihak Minarak Lapindo Jaya.

    Bagi pemerintah, menurut kuasa termohon, Mursid Mudiantoro, putusan itu berarti negara harus menalangi kewajiban PT Lapindo Brantas yang belum terbayar sekitar Rp 1,5 triliun sejak pembayaran macet pada 2008. “Kami selalu kalah melawan Lapindo. Kami berharap, dengan tangan negara melalui MK, hak kami bisa kembali,” ujarnya.

    Sejak tahun 2007, sedikitnya setiap tahun negara mengeluarkan minimal Rp 500 miliar untuk mengatasi lumpur Lapindo. Dengan kekalahan terakhir maka bakal ditambah Rp 1,5 triliun. Berikut ini sederet “kemenangan” PT Lapindo atas lumpur yang menenggelamkan 19 desa di Sidoarjo.

    1. Bencana Alam sebagai Penyebab

    Sampai enam tahun semburan lumpur Lapindo, tidak ada satu pun pihak Lapindo Brantas yang bisa disalahkan, kecuali karena bencana alam. Para tersangka yang berjumlah 13 dari pihak pengelola tidak bisa dipidanakan karena Polda Jawa Timur menghentikan penyidikan pada Agustus 2009.

    Sedangkan Paripurna DPR pada September 2009 pun menetapkan penyebab semburan Lapindo adalah bencana alam, bukan kesalahan manusia. Menurut Aburizal Bakrie, semburan Lapindo merupakan fenomena alam yang tidak pernah berhenti selama 30 tahun. “Bisa dibayangkan, tragedi muncrat lumpur ke permukaan mungkin dalam 30 tahun tak akan terselesaikan,” kata Ical, sapaan Aburizal, pada 14 Maret 2012 kepada Tempo.

    2. Dana APBN

    Presiden meneken Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (selanjutnya disebut BPLS). Dengan dibentuknya BPLS maka seluruh penanganan dampak semburan diambil dari dana APBN. Lapindo Brantas hanya mengurusi ganti rugi pada peta terdampak.

    Padahal kerugian di luar ganti rugi bagi korban sangatlah besar. Seperti laporan BPK, kerugian Biaya Ekonomi Langsung sampai Rp 19,8 triliun. Alokasi APBN untuk menangani Lapindo dari 2007 sampai 2012 mencapai Rp 6,4 triliun. Sedangkan Aburizal Bakrie mengaku sampai April 2012 sudah mengeluarkan Rp 9 triliun. “Sebenarnya berat karena setiap bulan kami harus mengeluarkan dana Rp 100 miliar,” kata Ical pada 14 Maret 2012.

    3. Gagal di Ranah Hukum

    Berbagai cara dilakukan untuk menggugat Lapindo Brantas. Pada April 2009, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) terkait dengan penanganan perkara lumpur Lapindo.

    Sebelumnya, pada November 2007, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan menolak gugatan perdata yang diajukan YLBHI dalam perkara penanganan korban lumpur Lapindo. YLBHI menggugat Presiden RI, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, BP Migas, Gubernur Jawa Timur, Bupati Sidoarjo, serta Lapindo Brantas Inc (Lapindo) sebagai turut tergugat. Majelis hakim menilai pemerintah dan Lapindo dianggap sudah melakukan upaya yang optimal. Atas putusan itu, YLBHI mengajukan banding. Setelah permohonan banding ditolak, mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

    Walhi pada Juni 2006 juga mengajukan gugatan class action terhadap PT Lapindo Brantas, pemerintah, dan BP Migas ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sayang, lagi-lagi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 27 Desember 2007 menolak gugatan Walhi.

    4. Ganti Rugi Belum Lunas

    Menurut data BPLS sampai April 2012, dari seluruh nilai kewajiban PT Minarak Lapindo Jaya sebesar Rp 3,831 triliun, baru dibayar Rp 2,910 triliun. Sisanya sebesar Rp 920,5 miliar masih belum jelas.

    Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam berjanji akan melunasi ganti rugi bagi korban pada akhir 2012. Namun kepastian itu bisa sirna karena Nirwan Bakrie pada Mei 2012 menyatakan Minarak Lapindo hanya sanggup membayar Rp 400 miliar. Sisa Rp 500 miliar ganti rugi yang masuk peta terdampak belum ada kepastian kapan akan dilunasi. Setidaknya, sampai Maret 2013, tanggungan ganti rugi Minarak Lapindo masih Rp 680 miliar.

    5. Penanganan Pusat Semburan

    Menurut BPLS, pusat semburan sudah bergeser sejauh 300 meter. Jumlah material semburan berupa air dan lumpur memang semakin berkurang. Pada awal letusan, semburan material mencapai 180 ribu meter kubik per hari. Sampai April 2012, semburan semakin berkurang menjadi 10-15 ribu meter kubik per hari.

    Meskipun begitu, sulit diketahui sampai kapan semburan lumpur akan berhenti. Awalnya, pada Agustus 2009, pemerintah mengambil alih penutupan pusat semburan. Namun, Juli 2010, pemerintah menyerah dan menetapkan untuk menyetop penghentian semburan Lapindo. Alternatif yang dipilih akhirnya mengalirkan lumpur melalui Sungai Porong.

    Analisis Journal of the Geological Society edisi Maret yang ditulis Tempo menyebutkan lumpur baru akan berhenti menyembur pada tahun 2037. Bayangkan, kolam penampungan lumpur sekarang sudah melebihi 6,6 juta meter persegi dengan panjang tanggul yang mengitari kolam mencapai 22,14 kilometer. Adapun tinggi tanggul berkisar 9-11 meter.

    EVAN | PDAT (Sumber Diolah Tempo, BPLS)

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/03/27/206565846/5-Kekalahan-Pemerintah-Atas-Lapindo-Brantas/1/0

  • MK Kabulkan Gugatan Warga Sidoarjo Soal Ganti Rugi Lumpur Lapindo

    Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 9 ayat (1) UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN 2013. MK juga menghapus tanggung jawab perbedaan ganti rugi antara Peta Area Terdampak (PAT) dan di luar PAT.

    “Mengabulkan permohonan para pemohon,” kata Ketua Majelis Konstitusi Hamdan Zoelva dalam persidangan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (26/3/2014).

    Enam warga Sidoarjo, Jawa Timur, sebelumnya menguji materi pasal tersebut karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Pasal tersebut berisi pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar PAT pada tiga desa. Ada pun bunyinya sebagai berikut:

    “APBN Tahun 2013 menyatakan, untuk untuk kelancaran Upaya Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun anggaran 2013 dapat digunakan untuk:

    a. Pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring dan Desa Pejarakan); dan sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo dan Kelurahan Mindi)”

    Para pemohon yakni Siti Askabul Maimanah, Rini Arti, Sungkono, Dwi Cahyani, Tan Lanny Setyawati, dan Marcus Johny Ranny adalah warga Sidoarjo yang sebelumnya tinggal di dalam PAT. Mereka mengaku dirugikan hak konstitusionalnya dan diperlakukan tidak adil dengan adanya UU tersebut.

    Warga di dalam PAT mengaku belum mendapatkan ganti rugi, padahal warga di luar PAT telah mendapatkan ganti rugi. Tuntutan mereka, korban lumpur Lapindo di dalam PAT mendapatkan hak yang sama dengan warga di luar PAT. Perbedaan ini yang membuat MK mengabulkan permohonan enam warga Sidoarjo tersebut.

    “Pasal 9 ayat (1) huruf a UU No 15 Tahun 2013 tentang perubahan atas UU No 19 Tahun 2012 tentang APBN TA 2013 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar Hamdan.

    “Sepanjang UU tersebut tidak dimaknai sebagai negara dengan kekuasaan yang ada harus dapat menjamin dan memastikan pelunasan ganti kerugian sebagaimana mestinya terhadap masyarakat di dalam wilayah PAT oleh perusahaan yang bertanggungjawab untuk itu,” sambungnya.

    Hal ini menunjukkan Pasal 9 dalam UU APBN TA 2013 bertentangan dengan UUD 1945. Terutama Pasal 23 ayat (1) UUD 1945 yang intinya mengenai penggunaan APBN untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya. (vid/mad)

    Sumber: http://news.detik.com/read/2014/03/26/193846/2537837/10/mk-kabulkan-gugatan-warga-sidoarjo-soal-ganti-rugi-lumpur-lapindo

    [Putusan lengkap Mahkamah Konstitusi dapat dilihat di sini]

  • Korban Lumpur Lapindo Gugat UU APBN 2013

    Korban Lumpur Lapindo Gugat UU APBN 2013

    Metrotvnews.com, Jakarta: Merasa haknya belum dipenuhi oleh PT Lapindo Brantas, korban luapan lumpur lapindo gugat Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2013 (UU APBN 2013) ke Mahkamah Konstitusi.

    Menurut kuasa hukum penggugat, Mursid Mudiantoro bencana akibat pengeboran minyak di Sidoarjo, Jawa Timur bukan hanya tanggung jawab Lapindo. Pemerintah pun seharusnya ikut bertanggung jawab

    “Kalau pengeboran itu berhasil, negara akan diuntungkan sangat besar, jadi negara sebenarnya harus ikut bertanggung jawab,” kata Mursid usai sidang lanjutan uji materi UU APBN 2013 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (28/11).

    Selama ini, ganti rugi yang dibebankan pada Lapindo terhadap warga di wilayah Peta Area Terdampak (PAT) belum juga dilunasi. Sejauh ini, Lapindo baru membayar ganti rugi sebesar Rp 3 triliun. Padahal, Rp 4,5 triliun masih harus dibayarkan oleh perusahaan milik Abu Rizal Bakrie ini.

    Ketimbang menunggu ketidakjelasan Lapindo, kata Mursid, sisa utang lebih baik dibayar pemerintah melalui APBN. Sebab selama ini korban yang ada diluar wilayah PAT diganti dengan dana APBN dan sudah lunas.

    “Untuk itu kami menggugat UU APBN agar wilayah dalam PAT ikut ditanggung APBN. Lagi pula kalau pemerintah membayar itu, maka tanah warga bisa menjadi milik negara,” imbuhnya.

    Kerugian lainnya, dialami oleh sejumlah pengusaha yang menjadi korban lumpur Lapindo. Menurut Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GBKLL) SH Ritonga, seluruh pengusaha korban luapan lumpur Lapindo sudah masuk daftar hitam perbankan. Imbasnya, mereka kesulitan mengajukan pinjaman untuk berusaha.

    “Seluruh pengusaha korban lumpur Lapindo di-blacklist. Kami tidak lagi dipercaya untuk mengajukan pinjaman,” keluhnya.

    Ritonga menyebutkan secara pribadi ia baru menerima uang ganti rugi 30% atau sejumlah Rp7,5 miliar. “Sebanyak Rp4 miliar itu saya gunakan untuk membayar pesangon pegawai saya yang berjumlah 900 orang,” imbuhnya.

    Atas dasar tersebut, para korban menggugat UU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2012 tentang APBN. Pasalnya, UU itu menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo Brantas.

    Mereka pun ingin ganti rugi terhadap warga di wilayah PAT juga menjadi tanggungan negara. Pasalnya janji Lapindo untuk segera melunasi utangnya tak kunjung direalisasikan.

    Menanggapi tuntutan penggugat, Bantuan Langsung Pemberdayaan Sosial, Kementerian Sosial yang diwakili Hardi Prasetyo sebagai pihak pemerintah mengakui adanya keterlamatan pelunasan ganti rugi dari PT Lapindo. “Ini juga merupakan masalah BLPS. Tapi sesuai arahan presiden kita melakukan pengawasan dan membentuk tim independen agar ada percepatan,” kata Hardi dalam persidangan.

    Sebelumnya, dalam upaya pemenuhan hak atas tanah dan bangunan serta perlindungan hukum warga korban lumpur Lapindo, Pemerintah menerapkan dua pola penanganan, yaitu penanganan daerah PAT yang menjadi tanggung jawab  PT Lapindo Brantas dan daerah di luar PAT menjadi tanggung jawab pemerintah.

    Ketentuan tersebut ditindaklanjuti PT Lapindo dengan menunjuk PT Minarak Lapindo Jaya sebagai subyek hukum yang melakukan proses ganti rugi tanah dan bangunan di wilayah PAT dengan menggunakan perjanjian ikatan jual beli.

    Namun terdapat perbedaan nilai harga tanah dan bangunan antar korban. Padahal mereka sama-sama merupakan korban bencana lumpur.

    Bukan hanya itu, sejak 2009 PT Lapindo dinilai abai atas kewajiban pembayaran ganti rugi dan pelunasan tanah dan bangunan korban lumpur di Sidoarjo. Oleh sebab itu, penggugat yang merupakan korban lumpur meminta MK menyatakan Pasal 9 UU APBN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak menyertakan dan memasukan wilayah PAT yang terdiri dari Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Ketapang dan Renokenongo.

    Mereka juga meminta MK memerintahkan Pemerintah dan DPR untuk memasukan wilayah tersebut dalam UU APBN/APBN-P tahun berikutnya sebagai tanggung jawab Pemerintah. (Lulu Hanifah)

    Sumber: http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/11/28/1/197796/Korban-Lumpur-Lapindo-Gugat-UU-APBN-2013

  • Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masuk Daftar Hitam Perbankan

    Pengusaha Korban Lumpur Lapindo Masuk Daftar Hitam Perbankan

    Massa dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, Jakarta, Senin (29/4/2013). Menjelang 7 tahun musibah lumpur Lapindo Jatam menilai anak-anak korban lumpur Lapindo terancam masa depannya karena tersendatnya penyelesaian maslah tersebut. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA
    Massa dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) berunjuk rasa di depan Istana Negara menuntut penyelesaian kasus lumpur Lapindo, Jakarta, Senin (29/4/2013). Menjelang 7 tahun musibah lumpur Lapindo Jatam menilai anak-anak korban lumpur Lapindo terancam masa depannya karena tersendatnya penyelesaian maslah tersebut. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

    TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Gabungan Pengusaha di Sidoarjo Jawa Timur yang menjadi Korban lumpur PT Lapindo Brantas Inc mengaku kesulitan dalam berusaha karena mereka masuk dalam daftar hitam (black list) perbankan.

    “Seluruh pengusaha korban lumpur Lapindo di-‘blacklist’ perbankan. Kami tidak lagi dipercaya untuk mengajukan pinjaman,” kata Ketua Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GBKLL), SH Ritonga, saat menjadi saksi uji materi Undang-Undang APBN di MK, Jakarta, Kamis (28/11/2013).

    Ritonga menuturkan, pihaknya sangat kesulitan untuk berusaha karena sisa ganti rugi belum dilunasi PT Lapindo Brantas Inc. Untuk itu, mereka meminta pemerintah ikut memikirkan kesusahan para pengusaha tersebut.

    “Kami menginginkan, sebagai pengusaha yang menampung tenaga kerja dan turut menjadi tonggak perekonomian di Sidoarjo, dipikirkan juga oleh pemerintah,” kata dia.

    GBKLL menurut kini beranggotakan 26 perusahaan dari berbagai macam jenis usaha dan memiliki 15 ribu pegawai.

    Ritonga sendiri tidak menyebutkan total ganti rugi yang belum dibayarkan PT Lapindo. Dia hanya mengaku telah menerima ganti rugi sebesar 30 persen atau berjumlah Rp7,5 miliar.

    Sebanyak Rp 4 miliar, kata Ritonga, dihabiskan untuk membayar gaji dan pesangon pegawainya.

    Sekedar informasi, Mahkamah kembali melanjutkan uji materi Pasal 9 ayat (1) huruf a Undang-Undang APBN.

    Uji materi UU APBN diajukan oleh para pemohon yang merupakan warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT). Menurut pemohon, UU APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo Brantas.

    Pemohon uji materi tersebut adalah warga dan pengusaha korban lumpur lapindo, yang termasuk di dalam wilayah Peta Area Terdampak (PAT).

    Menurut pemohon, Undang-Undang APBN menjelaskan bahwa pemerintah hanya mengganti kerugian korban yang berada di luar wilayah PAT, sedangkan bagi korban di dalam wilayah PAT ditanggung kerugiannya oleh PT Lapindo.

    Penulis: Eri Komar Sinaga; Editor: Johnson Simanjuntak

  • Sidang Perdana Korban Lapindo Digelar Pekan Depan

    Sidang Perdana Korban Lapindo Digelar Pekan Depan

    suarasurabaya.net – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjadwalkan sidang perdana uji materi korban Lumpur Lapindo. Laman Mahkamah Konstitusi di http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ menyebutkan sidang perdana uji materi korban lumpur ini akan digelar pada Senin 28 Oktober 2013 pukul 13.30 siang.

    Di laman tersebut, uji materi korban lumpur, bernomor perkara : 83/PUU-XI/2013, dengan pokok perkara pengujian UU Nomor 15 tahun 2013 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 tahun 2012 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2013.

    Pemohon uji materi ini enam orang diantaranya adalah Siti Askabul Maimanah, dan Rini Arti, keduanya warga Renokenongo, Sidoarjo; serta empat orang direktur perusahaan korban lumpur. Dalam perkara ini, pemohon menguasakan ke Mursid Mudiantoro.

    “Untuk sidang awal ini adalah pemeriksaan pendahuluan,” kata Mursid pada suarasurabaya.net, Rabu (23/10/2013). Sidang pendahuluan sendiri berisi pemeriksaan pokok-pokok perkara yang diajukan untuk menyesuaikan dengan standar uji materi di MK.

    Sekadar diketahui, uji materi ini berkaitan dengan proses pemberian ganti rugi. Dalam UU APBN 2013, hanya menganggarkan pemberian ganti rugi bagi korban lumpur di luar peta terdampak. Sedangkan untuk warga dan perusahaan di dalam peta terdampak, maka ganti rugi dibayar oleh Lapindo Brantas Inc.

    “Jika kami memang, pemberian seluruh ganti rugi nantinya diambil alih sepenuhnya oleh negara, tidak ada lagi Lapindo,” kata Mursid. (fik/rst)

    Sumber: http://kelanakota.suarasurabaya.net/news/2013/126113-Sidang-Perdana-Korban-Lapindo-Digelar-Pekan-Depan