Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji


korbanlumpur.info – BPLS kembali tebar janji, dalam pertemuan dengan perwakilan 3 desa (desa Besuki, Pejarakan, dan Kedung Cangkring) menanggapi permasalahan setelah dikeluarkannya Pepres 48/2008 tentang revisi Perpres 14/2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

Bapak Sarjono dari desa Pejarakan yang dimintai konfirmasi menyatakan bahwa BPLS menyatakan akan segera mengadakan sosialisasi untuk memusyawarahkan penentuan harga ganti rugi lahan warga di 3 desa. Sosialisasi itu sendiri akan dilakukan per RT.

Sarjono yang datang pada pertemuan itu menyesalkan langkah ini, dia menilai bahwa itu akan memperlambat proses pembayaran, semestinya sosialisasi itu bisa dilakukan bersamaan beberapa RT, sehingga tidak mengulur waktu. Dia mengkhawatirkan waktunya tidak cukup untuk masa anggaran 2008 ini. Untuk diketahui bahwa pembayaran DP 20% guna membeli lahan warga di 3 desa diambilkan dari APBN-P 2008, sehingga harus segera direalisasi sebelum masa anggaran yakni bulan Desember 2008.

Pihak BPLS sendiri menyatakan bahwa harga pembayaran akan mengacu pada harga seperti yang sudah dilakukan di dalam peta area terdampak sebelumnya yakni: 120 ribu untuk tanah sawah, satu juta untuk tanah pekarangan dan 1,5 juta untuk bangunan. Namun untuk penentuan harga sendiri rupanya masih harus melewati proses musyawarah, meskipun patokannya tetap harga-harga seperti tertulis sebelumnya itu.

Selain tentang sosialisasi musyawarah penentuan harga, BPLS melalui Kepala Pokja Perlindungan Sosial BPLS, Bajuri Edy Cahyono, menjanjikan bahwa sisa pembayaran warga yang 80% akan diselesaikan dalam 1 tahun. ”katanya … sudahlah pak percayalah dengan saya, jadi kalau anggaran (untuk membayar sisa) 80%-nya itu (diambilkan dari) APBN 2009, jadi yang tadinya itu kalau (mekanisme pembayaran seperti) di lapindo (menunggu masa) kontrak 2 tahun yang dalam peta, yang disini (3 desa) kontrak 1 tahun, dan 1 bulan sebelum masa kontrak habis 80%-nya sudah diturunkan” begitu ungkap Sarjono menirukan pernyataan staf BPLS.

Ini berbeda dengan bunyi dalam Perpres 48/2008 yang menyatakan bahwa pembayaran pada 3 desa yang dimasukkan melalui Perpres 48/2008 untuk sisa 80% dibayarkan setelah pembayaran pada peta area terdampak sebelumnya selesai. Mengenai ini, staf Humas BPLS seperti dikutip pada kapanlagi.com (31/07/2008 BPLS siapkan posko verifikasi ganti rugi) menyatakan Untuk korban lumpur versi Perpres No.14/2007 mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas dengan skema pencairan dana 20% dan pelunasan 80%-nya harus menunggu dua tahun. Berbeda dengan versi Perpres No.48/2008. Skema pencairan sama, yakni 20%, selanjutnya, pelunasan 80%.Namun, untuk pelunasan 80% warga tidak harus menunggu lama. Maksimal akhir Desember 2008 sudah cair.

Entah versi mana yang benar? Sebelum Desember 2008, 1 bulan sebelum masa kontrak yang 1 tahun selesai, atau menunggu Lapindo menyelesaikan pembayaran dalam peta area terdampak sebelumnya?

Selain permasalahan penentuan harga dan kepastian pembayaran sisa 80%, Sarjono juga menyatakan kegelisahannya akan status pengontrak, khususnya yang ada diwilayah desa Pejarakan. Menurutnya ada beberapa pengontrak yang mayoritas bekerja di industri-industri kecil di Pejarakan, selama ini tidak terperhatikan. padahal mereka selama ini juga sudah dianggap seperti penduduk asli. Tetapi rekomendasi yang diberikan oleh Kepala Desa Pejarakan hanya mengusulkan 384 KK yang tidak termasuk pengontrak yang tinggal di desa Pejarakan. Ini juga yang hendak diperjuangkan oleh Sarjono untuk para pengontrak mendapatkan haknya juga.

Secara keseluruhan, Sarjono menginginkan ini bukan lagi sekedar janji-janji seperti yang sudah-sudah, karena masyarakat sudah bosan dengan segala janji yang tidak juga kunjung terbukti, bahkan seringkali diingkari. Tapi sekali ini, masyarakat tidak lagi mau dibohongi.

Translate »