Korban di Luar Peta Makin Terabai

Dewi dengan ayah dan ibu

Dewi, seorang anak berumur 3,5 tahun nampak terbaring dengan menahan gatal di sekujur tubuhnya. Bintik-bintik merah sudah hampir merata di setiap inci badan mungilnya. Sesekali terlihat tangannya ingin menggaruk bagian tubuhnya yang terasa gatal, namun niatan itu dihalang-halangi oleh ibunya, Suliyani, 37 tahun.

Dewi dengan ayah dan ibu

Dewi adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Anggota keluarganya yang lain juga mengalami gatal-gatal, namun tidak sampai separah Dewi. “Yang lain gatalnya di bagian selangkangan, Mas. Di sekitar kemaluan,” tutur Djuari, 45 tahun, ayah Dewi.

Telah lebih dari satu minggu Dewi merasakan keadaan yang sangat tidak menyenangkan itu. Hari-hari yang dilewatinya kini tidak seceria sebelum-sebelumnya. Wajahnya pun tidak lagi terlihat ceria sebagaimana biasanya wajah anak seumurannya yang lain. Rumahnya yang sederhana di RT 10 Kelurahan Mindi berjarak sangat dekat dengan tanggul penahan lumpur Lapindo. Di sekitar pekarangannya ada ratusan semburan gas liar.

“Yang di sekitar tanggul lebih banyak lagi, kalau kita bakar bisa menyemburkan api,” tutur Pak Casiyono, 58 tahun, Ketua RT 10 Kelurahan Mindi, tempat Dewi tinggal. Semburan gas tersebut mengeluarkan bau menyengat, dan ketika malam akan lebih menyengat lagi. Tidak jarang juga menyebabkan sesak napas.

Djuari, ayah Dewi, sehari-harinya bekerja sebagai pedagang sayur keliling. Penghasilannya hanya sekitar 50 ribu rupiah setiap harinya. Dan dengan penghasilannya itu ia harus menghidupi 3 orang anak dan 1 orang istrinya. Anak pertamanya baru saja menyelesaikan sekolah dan sekarang telah bekerja. “Itu belum bisa membantu keuangan keluarga, lagi pula kebutuhannya juga banyak. Maklum, Mas, anak sekarang,” ujar Djuari. Sedangkan anak kedua mereka masih sekolan kelas 6 SD.

Selama sakit Dewi belum pernah dibawa ke dokter. “Gak ada duitnya, Mas. Buat makan sehari-hari saja kadang kurang,” ujar Djuari kembali. Dewi baru mendapatkan perawatan dari tim kesehatan Mer-C yang kemarin (26-29/11) mengadakan pengobatan gratis di desanya.

Djuari mengaku terpaksa harus tetap tinggal di rumahnya tersebut karena tidak punya tempat tinggal yang lain lagi. Meskipun dengan ancaman kematian yang sangat besar. Tingkat polutan yang ada akibat semburan lumpur Lapindo sudah sangat tinggi. Kandungan senyawa berbahayanya sudah mencapai ribuan kali di atas ambang batas. Dan semuanya dapat menyebabkan kanker jika terjadi kontaminasi dengan manusia.

Kondisi  rumah tetangga di sekitarnya juga tidak kalah buruknya. Air sumur mereka sekarang berubah menjadi kotor dan berbau. Di permukaan airnya terlihat seperti berminyak. Baunya bau gas pula. Semburan gas juga banyak di pekarangan mereka. Bahkan ada yang memanfaatkannya dengan membuatkan tungku dan digunakan untuk memasak. “Kalau gak dibakar bisa bau sekali. Baunya jadi menyebar,” tutur Pak Casiyono kembali.

Warga biasanya mendapatkan air bersih dari tandon yang di berikan oleh BPLS. Tapi itu pun dinilai warga tidak cukup. Air bersih mereka gunakan untuk masak dan minum. Sedangkan untuk keperluan lain mereka masih menggunakan air dari sumur mereka. “Kadang-kadang kita cuman dapat 1 jerigen air, Mas. Biasanya beli air juga. Sejerigennya seribu dua ratus rupiah, Mas,” ujar Djuari kembali. Air yang dibeli Djuari digunakan untuk memandikan Dewi, soalnya kata dokter yang telah memeriksanya Dewi tidak boleh dimandikan pakai air sumur.

Djuari juga menyatakan belum pernah ada survei langsung di lokasi tempat tinggalnya oleh lembaga terkait. Baik dari Dinas Kesehatan, BPLS maupun dari Lapindo. “Belum pernah ada perhatian sama sekali, Mas. Apalagi bantuan,” keluh Djuari. Rumahnya yang juga mengalami kerusakan sama sekali belum mendapatkan perhatian apalagi penanganan. “Dulu pernah ada dari ITS yang melihat kerusakan rumah saya, tapi itu pun tidak ada kelanjutannya,” ungkap Djuari kembali.

Pak Arif, 58 tahun, tetangga sebelah rumah Djuari juga mengeluhkan hal yang sama. Bagian kakinya gatal-gatal seperti gigitan nyamuk. Air sumurnya pun sudah tidak layak pakai tapi tetap digunakan. “Sekitar kaki dan selangkangan ini loh, Mas. Gatalnya kayak digigit nyamuk gitu,” keluh Pak Arif.

Djuari sekarang hanya bisa berharap kondisinya dan warga sekitarnya bisa mendapat perhatian dari Pemerintah dan Lapindo. Jarak tempat tinggalnya yang sangat dekat dengan tanggul penahan lumpur membuatnya seringkali dihinggapi rasa was-was. “Dulu pernah air dari tanggul sampai ke depan rumah kami. Tapi untungnya tidak sampai masuk,” jelas Djuari. “ Saya sudah tidak tahu mau tinggal di mana lagi. Rumahnya ya cuman satu ini. Tempat yang paling dekat dengan tanggul tapi paling tidak diperhatikan. Kalau tahu gini, saya dulu tidak pindah dari kampung halaman saya di Jombang,” tandas Djuari kembali. (mas)


Translate »