Kesepakatan SBY-Lapindo dan Tim 16 Perumtas Menyisakan Persoalan


Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  kecewa terhadap SBY, yang seolah tidak berdaya menghadapi Lapindo Brantas. Sikap marah yang ditunjukkan SBY tidak bisa diartikan sebagai keseriusan SBY menuntaskan kasus ini. Sebab, dengan kewenangan yang dimilikinya, harusnya Presiden dapat mengambil tindakan  jauh lebih tegas, dibanding saat ini yang kerap melindungi pemilik PT Lapindo Brantas. seperti yang selama ini terjadi. Kompromi yang dilakukan SBY,  memperlihatkan kelemahan SBY sebagai pimpinan Republik ini. Lagi-lagi,  korbanlah yang terus dirugikan.

Pasal 15 ayat (2) Perpres No. 14 Tahun 2007 tentang Badan PenanggulanganLumpur Sidoarjo menyatakan, dana jual beli bertahap untuk area peta terdampak versi 4 Desember 2006, sebanyak 20% dibayarkan dimuka, sisanya paling lambat sebulan sebelum belum masa kontrak rumah dua tahun habis. Celakanya, ketentuan tersebut hanya  di atas kertas. Prakteknya, berbagai janji dan kesepakatan tersebut disendat-sendat. Sampai kontrak warga korban Lumpur, termasuk warga Tim 16 Perumtas habis, sisa uang mereka tak dilunasi. Bahkan masih banyak pembayaran 20%  yang belum dilunasi. 

Langkah-langkah SBY-JK menangani semburan lumpur panas Lapindo, cenderung menguntungkan keluarga Bakrie – pemilik Lapindo dan mengalahkan warga. Diantaranya,  Pertama. Perpres No. 14 Tahun 2007, yang salah satunya mengatur pembayaran dan membagi warga dalam kelompok di dalam peta terdampak dan diluar peta. Status warga korban berubah menjadi mitra jual beli. Ini belum selesai, pengelompokan di dalam dan di luar peta, proses pembayaran yang ditunda-tunda dan bentuknya kerap berubah, membuat warga korban  terpecah belah satu sama lain.

Kedua. Diskriminasi juga dilakukan PT Lapindo Brantas terhadap warga korban yang memiliki tanah dengan status letter C, petok D atau belum bersertifikat. Meskipun Pemerintah dan Badan Pertanahan Nasional telah menjamin bahwa para korban ini berhak atas jual beli menurut Perpres 14 tahun 2007, tapi perusahaan ngotot tak mau membayar.  Ketiga.  Penegakan hukum yang seolah mandek ditempat. Kinerja para penegak hukum sangatlah buruk, terkesan tak berdaya mengurus kasus ini, Penyidikan polisi juga tidak transparan dan tak mengalami kemajuan.

Keempat. Penanganan semburan lumpur dan perusakan lingkungan sekitarnya. Di lapang, warga berhadapan  dengan  konflik, ketidakpastian dan tinggal di lingkungan yang tidak sehat, akibat semburan lumpur dan gas serta jatuhmiskin.

Ketidakadilan diatas terus berlangsung. Kesepakatan terakhir warga korban Tim 16 Perumtas, yang baru ditandatangani SBY, disaksikan para menterinya, membuat nasib warga makin tidak pasti dan justru menyisakan berbagai persoalan. Mengapa begitu?

Pertama. Kesepakatan serupa telah dilakukan satu setengah tahun lalu – bersama SBY, dan sekarang berulang lagi tanpa kepastian. Dari tuntutan jual beli tunai 100%, pemerintah dan Lapindo memaksakannya menjadi  tunai 20% : 80%. Dan kini, angka 80% untuk warga tim 16 Perimtas berubah menjadi cicilan sebulan Rp 30 juta,dan uang kontrak 2,5 juta. Artinya,  Presiden melanggar Perpresnya sendiri.

Kedua. Perubahan kesepakatan ini menjadi alat efektif memecah belah warga, karena pemerintah menutup mata terhadap fakta beragamnya kelompok warga korban Lapindo di lapang. yag menuntut , akibat penanganan selama ini. Tak hanya kelompok yang tergabung dalam Tim 16, yang jumlahnya 4 ribuan orang. Ada kelompok-kelompok lain  yang masih menuntut pembayaran tunai cash and carry sesuai Perpres No. 14 Tahun 2007. Oleh karenanya, kesepakatan yang dibuat delegasi Tim 16 dengan PT Lapindo – SBY sebenarnya hanya mengikat  pihak-pihak yang bernegosiasi saja, bukan seluruh korban.

Ketiga. Tidak ada jaminan bahwa persoalan yang diahadapi warga korban lainnya seperti yang tidak bersertifikat dan berada di luar peta are terdampak akan dapat diselesaikan dengan baik pasca kesepakatan ini. Merujuk kepada pengalaman yang sudah-sudah, persoalan di lapangan selalu saja menempatkan korban pada posisi yang tidak menguntungkan.

Mencermati situasi ini, Gerakan  Menuntut Keadilan Korban Lumpur Lapindo  menyampaikan:

  1. Logika “Bantu yang Kaya Lebih Dulu, Yang miskin Belakangan”, yang ditunjukkan pemerintah RI dalam menanggapi aksi korban lumpu Lapindo kali ini menunjukkan kembali politik anti-rakyat dari pemerintahan SBY. Dalam keadaan sebelum krisis keuangan, apalagi sekarang, Pemerintah harus mendahulukan kepentingan korban lumpur Lapindo daripada kepentingan PT Lapindo, yang beralasan tak mampu membayar sesuai kesepakatan. Pemerintah justru harus mempercepat pembayaran, bukan memperpanjang masa pencicilanpembayaran. Ironis, Menteri Keuangan bisa mengantisipasi penyuntikan dana ke lembaga-lermbaga keuangan, tetapi melayani warga negaraIndonesia yang serba lemah tidak ada tanggapan sama sekali, justru menunda penuntasan hak.
  2. Menyerukan warga korban Lapindo terus bersatu dan menuntut hak-haknya termasuk membayaran  tunai 80%. Terus menyuarakan tuntutannya, termasuk kebutuhan dasar dan layanan kesehatan.
  3. Menyerukan media membantu korban Lapindo, dengan tak mengaburkan kesepakatan Tim 16 dengan PT lapindo Brantas – SBY, sebagai kesepakatan seluruh korban Lapindo.
  4. Pemerintah melakukan sosialisasi dengan benar kepada masyarakat tentang negosiasi yang telah dilakukan, mencakup siapa yang melakukan negosiasi, hasil negosiasi, impilikasi dari hasil negosiasi tersebut. Termasuk menjelaskan kepada publik dan korban bahwa negosiasi hanya dilakukan antara PT Lapindo dengan Tim 16, bukan dengan keseluruhan korban.
  5. Mendesak aparat keamanan menghentikan pendekatan represif dalam menangani aksi-aksi dan protes warga korban Lapindo, baik di dalam peta maupun luar peta terdampak.

Kontak Media:
Wardah Hafidz (UPC), 08161161830 – Bambang Sulistomo(GMLL)0818103674 – Berry Nahdian Forqan (WALHI) 08125110979 – Chalid Muhammad (aktivis lingkungan) 0811847163 – Firdaus Cahyadi (Satu Dunia) 0081513275698 – Siti Maimunah (Jatam) 0811920462 – Taufik Basari (LBHM) 081586477616 – Usman Hamid (Kontras), 0811812149

Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo:
Jatam, Kontras, Walhi, Satu Dunia, LBH Masyarakat, GMLL, UPC, Uplink, Imparsial,  YLBHI, LBH Jakarta, ICEL, Lapis Budaya, Elsam, Yappika, HRWG, Air Putih, TIFA

Translate »