Potret Runtuhnya Keadilan Sosial


Dua tahun lebih luapan lumpur Lapindo telah menghancurkan rumah Ibu Jumik di Desa Renokenongo. Menurut penuturan Sugiyat, anak tunggal Ibu Jumik, seperti yang ditulis di web korban Lapindo, rumah keluarganya terendam lumpur setelah muncul ledakan pipa gas Pertamina. Namun, air yang telah menggenangi rumahnya sejak hari pertama munculnya semburan lumpur memaksa keluarga tersebut meninggalkan rumahnya untuk menjadi pengungsi. Mungkin Tuhan tidak rela Ibu Jumik mengalami penderitaan yang terlalu panjang. Pada Minggu, 30 November 2008, Ibu Jumik menghembuskan napas terakhir.

Kematian adalah takdir Tuhan. Namun, kematian Ibu Jumik adalah potret dari runtuhnya rasa keadilan di negeri ini. Institusi negara, dari pusat hingga daerah, tidak merespons secara baik derita yang dialami warganya. Kelompok korporasi yang terkait dengan persoalan semburan lumpur pun membiarkan Ibu Jumik meregang nyawa dengan masih menyandang status sebagai korban lumpur. Ibu Jumik dan keluarganya dapat dipastikan tidak memiliki kesalahan kepada Lapindo. Namun, tanpa permisi, semburan lumpur telah menghancurkan bukan hanya tanah dan rumahnya namun juga harapannya.

Derita yang dialami Ibu Jumik sebagai korban Lapindo hingga akhir hayatnya itu adalah sebuah fenomena gunung es. Banyak korban Lapindo yang mengalami penderitaan yang sama atau bahkan lebih menyedihkan, meskipun tidak harus diakhiri dengan mengembuskan napas terakhir seperti yang dialami Ibu Jumik. Uang hasil ganti rugi, yang seharusnya dapat segera diterima korban Lapindo begitu semburan lumpur menenggelamkan rumahnya, pun hingga kini masih menyisakan persoalan. Berbagai kebijakan pemerintah, baik secara tertulis maupun lisan, justru tidak menjamin kehidupan warga korban menjadi lebih layak atau minimal sama seperti sebelum semburan lumpur menerjang kampungnya.

Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yang semula diharapkan mampu menjadi payung hukum bagi dilindunginya hak-hak korban Lapindo, pun justru mereduksi persoalan ganti rugi menjadi sekadar jual-beli aset fisik. Artinya, tercemarnya air tanah, udara, dan potensi meningkatnya biaya kesehatan yang diakibatkan oleh semburan lumpur tidak diperhitungkan dalam skema jual-beli aset fisik korban. Meskipun payung hukum yang berupa peraturan presiden itu mereduksi hak-hak korban Lapindo atas lingkungan hidup yang sehat, para korban Lapindo dengan berbesar hati menerimanya. Perpres No. 14/2007 itu diharapkan mampu menjamin kepastian kehidupannya di masa depan dan mengakhiri statusnya sebagai korban lumpur.

Namun, kebesaran hati warga korban Lapindo belum cukup. Pada awal Desember 2008 ini pemerintah justru tidak berdaya menolak keinginan Lapindo untuk kembali mengangsur pembayaran jual-beli aset korban. Krisis keuangan global menjadi alasan Lapindo menunda pelunasan pembayaran yang menjadi kewajibannya itu. Padahal penundaan itu semakin memperpanjang status korban Lapindo sebagai pengungsi di kampungnya sendiri.

Andai saja para pemegang kebijakan di negeri ini masih memegang teguh mandatnya untuk melindungi keselamatan warganya, skema baru yang justru memperpanjang derita korban Lapindo tidak perlu terjadi. Seharusnya alasan kesulitan keuangan yang dialami Lapindo tidak perlu terlalu dipercaya oleh pemerintah. Terlebih lagi PT Asuransi Tugu Pratama Indonesia (TPI) telah membayar klaim Lapindo atas sumur Banjar Panji 1 (BJP-1).

Menurut sumber BP Migas yang dikutip oleh Ali Azhar Akbar dalam The Brantas Block Chronology, PT TPI telah membayarkan klaim asuransi kepada PT Lapindo Brantas Indonesia (LBI) atas well control sumur BJP-1 sebesar US$ 9.635.615. Pembayaran itu dilakukan pada November dan Desember 2006.

Namun itu semua telah berlalu. Pemerintah telah telanjur memberi keringanan bagi Lapindo untuk tidak melaksanakan ketentuan Perpres No. 14/2007 dan di sisi lain Ibu Jumik pun telah meninggalkan kita semua dengan tetap memegang status sebagai korban lumpur. Derita panjang Ibu Jumik hingga akhir hayatnya tidak akan mungkin mengubah kebijakan negara untuk lebih berpihak pada korban Lapindo. Kematian Ibu Jumik seakan membuka tabir bahwa keadilan sosial di negeri ini sebenarnya telah runtuh dan menjadi bangkai. *

Firdaus Cahyadi, Knowledge Sharing Officer for Sustainable Development, OneWorld-Indonesia

Artikel ini dimuat Koran Tempo, 8 Januari 2009


Translate »