Relokasi Tol Abaikan Nasib Warga


SIDOARJO – Relokasi jalur transportasi yang rusak akibat lumpur Lapindo masih menyisakan persoalan. Belakangan, seperti sering diberitakan, tingkat kerusakan Jalan Raya Porong dan jalur rel kereta api makih parah. Adapun ruas tol Porong-Gempol sudah putus sejak ledakan pipa gas pada 22 November 2006. Namun, banyak warga merasa diabaikan dalam proses pembebasan tanah untuk relokasi jalur transportasi. Warga juga menjadi sasaran aksi intimidasi dan penyerobotan tanah oleh pihak aparat pemerintah dan perusahaan.

Warga menilai, Panitia Pembebasan Tanah (P2T) Kabupaten Sidoarjo dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) tidak pernah melibatkan masyarakat setempat dalam menentukan harga tanah. Pada awalnya, harga tanah warga langsung ditawar oleh pihak P2T dan BPLS dengan harga Rp 80 ribu per meter persegi untuk tanah sawah, sedangkan Rp 120 ribu per meter persegi untuk tanah kering. “P2T dan BPLS seharusnya melibatkan kami pemilik lahan untuk menentukan harga tanah yang akan dibuat untuk relokasi tol,” kata Purwo Edi, warga Desa Wunut.

Pemerintah sendiri, melalui BPLS, menganggarkan Rp 1,5 triliun untuk relokasi ruas tol Porong-Gempol. Diperkirakan, relokasi tol, jalur arteri, dan rel kereta yang dirancang secara terpadu akan membutuhkan lahan 132,26 hektar. Ada beberapa desa di tiga kecamatan (Kecamatan Tanggulangin, Kecamatan Porong, dan Kecamatan Jabon) yang akan dilewati, di antaranya Desa Kalisampurno, Desa Wunut, Desa Pamotan, Desa Kesambi, Kelurahan Porong, Desa Kebonagung dan Desa Kedungcangkring.

Intimidasi

Menurut warga, pada Mei 2008, pihak P2T dan BPLS melakukan pelaksanaan penawaran harga sembari mengancam warga. “Pada waktu itu pihak P2T dan BPLS melakukan tawaran ke warga dengan mengancam. Masyarakat yang tidak mau dengan harga Rp 80 ribu untuk tanah sawah dan Rp 120 ribu untuk tanah kering akan dilakukan konsinyasi (dikirim ke pengadilan) oleh pihak P2T dan BPLS,” tutur Edi.

Akhirnya tidak ada kata sepakat antara warga dengan P2T dan BPLS soal harga tanah. Lalu pada bulan September 2008, pihak P2T dan BPLS melakukan penawaran kembali. Kali ini dengan harga Rp 90 ribu sampai Rp 105 ribu per meter persegi untuk tanah sawah. Lagi-lagi, warga merasa kecewa. “Penetapan harga tanpa mengajak warga berunding terlebih dahulu,” ungkap Edi.

Tak lelah, pada November 2008, pihak P2T dan BPLS melakukan pertemuan dengan warga di Kecamatan Porong dan Kecamatan Tanggulangin dan langsung memutuskan sendiri harga tanah. Tanah sawah dihargai Rp 120 ribu per meter persegi. Tawaran ini dinilai final, dan warga yang tidak setuju mendapat ancaman.

Kastawi, warga Desa Simo, Kecamatan Porong, menuturkan, pihak perngkat desa melakukan intimidasi terhadap warga. Warga yang tidak setuju dengan harga Rp 120 ribu per meter persegi akan diperkarakan di pengadilan dan tanah akan diuruk tanpa mempedulikan pemilik tanah. “Warga yang tidak setuju dengan kesepakatan harga ditakut-takuti oleh aparat desa,” ungkap pak Tawi,  panggilan akrab Kastawi.

Penyerobotan

Selain tidak trasparannya penetapan harga tanah, masalah lain timbul. Warga Desa Wunut, Kecamatan Porong, merasa memegang kepemilikan atas tanah sanggar, tanah ganjaran, tanah tersier, dan tanah tangkis. Namun, aparat melakukan pembebasan tanah begitu saja, tanpa memberitahu warga pemilik. Alasannya, tanah-tanah tersebut sudah merupakan tanah kas desa, hak kepemilikan berada pada pemerintahan desa.

“Perangkat desa menganggap tanah ganjaran, sanggar, tanah tersier, dan tanah tangkis sebagai tanah kas desa, dan diklaim sebagai tanah mereka. Padahal tanah tersebut kepemilikannya atas nama warga Desa Wunut,” tutur Purwo Edi

Di samping itu, warga juga mengalami masalah penyerobotan tanah. Ada sedikitnya empat warga yang telah melaporkan perusakan dan penyerobotan tanah ke Polres Sidoarjo pada 1 Maret 2010. Pasalnya, tanah warga yang belum menyepakati skema pembebasan tanah diuruk sirtu begitu saja oleh PT. Waskita Nusantara I, kontaktor perusahaan yang menggarap relokasi tol.

Ripai, warga Desa Wunut, misalnya, mendadak menemui tanaman padi yang digarapnya rusak oleh urukan sirtu. Ripai menyewa tanah sawah milik Sampurno, yang proses pembebasan lahan belum menemukan kata sepakat antara pihaknya dan pihak P2T dan BPLS.

Tanah milik Sudiro dan Purwo Edi mengalami nasib nyaris serupa. Tanah mereka disewa PT. Waskita Nusantara I tanggal 30 November 2009 dengan luas sewa 275 meter persegi, yang digunakan untuk jalan alat berat. Kenyataannya, tanah tersebut diuruk melebih luas ukuran sewa. Tanah milik Sudiro diuruk seluas 325 meter persegi, sedangkan tanah Purwo Edi seluas 100 meter persegi. Akibatnya, Sudiro dan Edi tidak bisa menanami lahan mereka.

“Ini sudah menyalahi aturan sewa PT. Waskita Nusantara I. Dulu mereka menyewa tanah saya seluas  125 meter persegi. Ternyata yang diuruk sirtu luasnya mencapai 450 meter. Jadi yang diserobot PT. Waskita Nusantara I luasnya mencapai 325 meter,” kata Sudiro dengan nada kesal.

Mereka sempat melayangkan somasi kepada PT. Waskita Nusantara I untuk memberhentikan kegiatan, namun tak digubris. Kemudian mereka melaporkan ke Polres Sidoarjo atas kasus penyerobotan tanah, perusakan lahan sawah, dan kebohongan publik. Sejauh ini, pihak kepolisian dikabarkan masih melakukan penyelidikan. (vik)

(c) Kanal News Room


Translate »