81% Korban Alami Gangguan Paru


SIDOARJO– Ini fakta baru tentang derita korban semburan Lumpur Lapindo. Sedikitnya 81% warga korban lumpur yang tinggal di Desa Besuki Timur, Mindi, Jatirejo Barat mengalami gangguan paru-paru sehingga sesak napas.

”Pemerintah memiliki data ini. Tapi mereka hanya menyebutnya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) saja.Padahal,gangguan ini sangat dirasakan warga korban lumpur,” kata Yuliani, pendamping korban semburan Lumpur Lapindo dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, yang dihubungi tadi malam.

Menurut Yuliani,jika dipersentasekan, 81% warga korban mengalami restriksi paru-paru, 9,4% mengalami obstruksi paru-paru,dan sisanya normal. Selain sesak napas,warga korban Lumpur juga mengalami kesemutan dan penurunan kekebalan tubuh.”Pada 2005 yang diderita korban lumpur masih ISPA, tapi kini sudah bertambah parah,” tandas Yuliani.

Korban lumpur Lapindo yang mengalami gangguan pernapasan, kesemutan, dan penurunan kekebalan tubuh ini tersebar di empat desa. Data SINDO menyebutkan, di Desa Besuki Timur terdapat 315 keluarga, Desa Mindi 289 keluarga, Jatirejo Barat 295 keluarga, dan Siring Barat 330 keluarga. Jumlah penderita gangguan kesehatan ini bisa bertambah. Hasil penelitian terbaru menunjukkan, kandungan logam berat dan timbal juga naik puluhan kali lipat.Jika kondisi ini dibiarkan, warga korban lumpur bisa terserang kanker.

” Daya tahan tubuh korban lumpur turun. Saya pernah mencoba bertahan sebulan di sana, dan hasilnya, saya langsung drop,masuk rumah sakit,” tandasYuliani. Sementara itu Ketua Fraksi PKB DPR Marwan Ja’far meminta PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ) segera menyelesaikan hak-hak korban lumpur Lapindo Sidoarjo yang belum mendapat pelunasan ganti rugi.Menurut dia penanganan korban Lapindo harus diperhatikan secara serius karena telah berdampak pada masalah sosial dan kesehatan.

“Yang penting sekarang bagaimana masyarakat yang terkena semburan Lapindo hakhaknya terpenuhi semua. Harus diperhatikan dalam bentuk nyata, bukan sekadar retorika saja,”kata Marwan. Menurut Marwan, penanganan korban lumpur Lapindo berjalan sangat lambat.Padahal masyarakat sudah menderita cukup lama menanti penyelesaian dari pihak perusahaan. “Kita butuh penyelesaian segera karena dampaknya signifikan sekali.

Baik itu dampak sosial, ekonomi maupun pendidikan. Memang ada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang anggarannya dari APBN.Tapi sekarang kan lagi ada gugatan ke MK, jadi kita tunggu saja hasilnya,” kata dia. Direktur Pusat Studi Sosial Politik (Puspol) Indonesia Ubedilah Badrun meminta penanganan korban lumpur Lapindo Sidoarjo yang dibebankan ke pemerintah melalui APBN-P 2012 sama dengan merampok uang negara.Itu artinya perusahaan Bakrie menyalahgunakan uang rakyat untuk kepentingan perusahaan.

“Menggunakan uang APBNP 2012 untuk membiayai korban Lapindo sama dengan merampok uang negara dan itu artinya juga merampok uang rakyat,”katanya. Menurut dia, penanganan korban lumpur Lapindo yang dibebankan kepada pemerintah melalui APBNP tahun 2012 juga merupakan bukti politik transaksional elite politik. Ubed menjelaskan, meluapnya lumpur Lapindo sebenarnya murni kesalahan manusia (human error) dari pihak pengebor.

Itu sebabnya seluruh pembiayaan meluapnya lumpur yang menenggelamkan ribuan rumah menjadi tanggung jawab perusahaan Bakrie. Menurut dia, kesepakatan melalui politik transaksional antara Partai Golkar dengan Partai Demokrat yang menghasilkan penanganan pembiayaan korban Lapindo masuk APBN-P 2012 menunjukkan bahwa pemerintahan SBY-Boediono lemah.“Fenomena tersebut juga menunjukkan pemerintahan SBY lemah dan mudah ditekan oleh pengusaha,” katanya.

Anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR Yudi Widiana Adia mengatakan, pasal tambahan dalam APBN-P tersebut tidak dibahas mendetail di Banggar DPR dan tiba-tiba muncul untuk kemudian disahkan. “Dalam pembahasan RUU APBN-P 2012, Banggar DPR memang tidak sempat menyoroti Pasal 18. Pasal tersebut muncul begitu saja.

Tidak ada pembahasan mendalam di Banggar. Anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) di postur tidak terlihat,tapi muncul saat perumusan RUU APBN-P 2012,”ungkapnya. Menurut dia, pembahasan pasal anggaran tersebut lebih banyak dilakukan oleh tim perumus di Banggar. Pihaknya sendiri menyayangkan hal tersebut karena seharusnya keputusan BPLS terkait dengan rekomendasi Komisi V DPR yang membidangi infrastruktur.

Sementara itu,skema pembayaran ganti rugi korban lumpur Lapindo oleh PT Minarak Lapindo Jaya yang dilakukan mulai 16 Juni lalu dinilai tidak jelas. Pasalnya masih banyak korban lumpur yang belum mendapat pelunasan ganti rugi meski nilainya di bawah Rp40 juta.Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam melalui pesan singkatnya menyatakan tidak berkenan untuk diwawancarai. “Biarkan Minarak bekerja melakukan pembayaran ganti rugi sesuai dengan kewajibannya,” jelas Andi. (abdul rouf/ edi purwanto /nurul huda)

(c) seputar-indonesia.com


Translate »