Rujak Cingur Yuk Tun


Mardiyatun (50) adalah seorang janda dari Dusun Ginonjo, Desa Besuki. Perempuan yang kerap disapa Yuk Tun ini dulu terkenal dengan rujak cingurnya. Gara-gara lumpur Lapindo, Yuk Tun bersama dengan anak perempuan dan seorang cucunya sekarang pindah ke Desa Wonoayu, Kecamatan Gempol.

Yuk Tun bisa sedikit bangga dengan rumah barunya. Namun, itu semua tidak berarti ketika tangannya tidak lagi bergoyang mengiris cingur untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. “Masak mau menjilati pintu rumah,” tutur Yuk Tun. Yuk Tun tidak mungkin berjualan rujak cingur di tempat barunya. Di situ sudah ada warga yang menjual rujak cingur, sama seperti Yuk Tun.

Yuk Tun terpaksa merintis usaha jualan rujak cingur dan es degan di bawah jembatan eks-tol Surabaya-Gempol. Yuk Tun sekarang berharap ada orang yang mampir di warungnya yang tidak beratap dan berdinding itu. Kondisi seperti ini sangat jauh berbeda sebelum semburan lumpur Lapindo. Saat warga Desa Besuki masih utuh orang rela antri demi sebungkus rujak cingur buatan Yuk Tun.

Yuk Tun mendapat informasi dari seorang yang tak dikenal tentang tanah di daerah Wonoayu, Gempol. Tanpa pikir panjang Yuk Tun langsung membeli tanah tersebut. Menurut Yuk Tun, akibat lumpur Lapindo orang-orang memang kelihatannya dapat uang banyak, tapi kenyataannya tidak ada perubahan menuju kondisi yang lebih baik. Yang dirasakannya adalah justru berantakan. Sumber ekonomi jangka panjang pun tidak pernah jelas. Sanak saudara pecah dan tetangga juga terpencar-pencar.

Yuk Tun heran, tanah sawahnya dibeli dengan harga Rp 120.000 per-meter persegi. Namun, membeli sawah baru harganya sekarang mencapai Rp 250-300 ribu rupiah. Pemerintah juga tidak peduli dengan nasib korban Lapindo. Sampai saat ini Yuk Tun belum bisa mengurus status kepindahannya karena dia belum punya uang untuk mengurus surat kepindahan tersebut.

2013 © korbanlumpur.info


Translate »