Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela


Presiden Harus Berpihak Pada Keselamatan Rakyat

Jakarta, 8 Mei 2015 – Tepat pada 29 Mei 2014, dalam agenda Kampanye Pilpres, Jokowi mengatakan dengan lantang di depan warga korban semburan lumpur Lapindo, “Dalam kasus seperti ini, negara seharusnya hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat.” Jelas dalam komitmen yang diucapkan Jokowi dalam kampanye tersebut, Pemerintahan yang dia pimpin akan hadir berpihak pada rakyat dalam kasus kejahatan korporasi, khususnya korporasi pertambangan.

Namun kenyataannya, dalam tujuh bulan kepemimpinan Jokowi–JK, berbagai harapan publik seolah berputar balik. Baru sebulan dilantik, Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT APEC (10/11/2014) malah secara vulgar mengobral berbagai proyek demi mengundang investasi besar-besaran di sektor ekstraktif dan infrastruktur. Tentu saja penggenjotan dua sektor ini akan semakin meningkatkan pengerukan sumber daya alam dan perusakan ruang hidup masyarakat. Bagaimana tidak, pengerukan sumber daya secara massif tersebut semakin diakselerasi dengan pengadaan infrastruktur yang semakin memuluskan rantai pasokan komoditas dari wilayah ekstraksi ke kawasan industri.

Relasi kuasa politik dan modal makin kentara, tak ubah dengan rezim pemerintahan sebelumnya. Lingkaran kuasa modal terbungkus dalam struktur partai, utamanya di pemerintahan, menggerogoti kebijakan makin menjauhkan kedaulatan negara terhadap sumber daya alam tambang dan energi. Penetapan harga BBM dilepaskan ke mekanisme pasar, walaupun pemerintah masih malu-malu mengakuinya. Tentu saja ketidak-pastian harga BBM ini akan segera diikuti oleh kenaikan tarif dasar listrik dan LPG.

Kuasa modal ini terang benderang dalam target elektrifikasi Jokowi–JK. Hitungan bisnis dikedepankan untuk memprioritaskan energi fosil yang berbahaya terhadap keselamatan rakyat ketimbang mengutamakan energi terbarukan dan ramah lingkungan. Target 35 gigawat yang akan dibangun hingga 2019 nanti, 94% bersumber dari energi fosil; Batubara: 20.000 MW, Gas: 13.000 MW. Menjauhkan harapan Indonesia akan lepas dari ketergantungan energi fosil.

© 2015, Rahman Seblat
© 2015, Rahman Seblat

Apalagi dalam upaya penegakan hukum lingkungan, masih jauh dari kata, “negara hadir sebagai representasi kedaulatan rakyat.” Dalam kasus Lapindo yang hampir genap berusia Sembilan tahun, bukannya menghukum para pelakunya, pemerintah Jokowi–JK malah memberikan bantuan dana talangan bagi Lapindo sebesar Rp 781 milyar. Ada faktor kemendesakan yang memang harus dipenuhi atas nasib korban, namun tidak cukup menyelesaikan persoalan sesungguhnya yang dihadirkan PT Lapindo Brantas Inc. Dalam kasus-kasus pertambangan dan migas lain, belum ada tanda-tanda pemerintahan Jokowi–JK akan menyelesaikan, seperti kasus Freeport, Sape, Mandailing, dan anak-anak yang menjadi korban lobang tambang.

Akankah Rezim Jokowi–JK menjadi “Rezim Neo-Ekstraktivisme” dan melanjutkan tradisi “keruk habis, jual cepat-cepat”? Sejauh manakah Jokowi–JK mampu membawa negara ini lepas dari ketergantungan energi fosil? Mampukah Jokowi–JK memenuhi komitmennya untuk menghadirkan negara sebagai representasi kedaulatan rakyat ketika kejahatan korporasi tambang semakin merajalela?

Karena itu Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dan seluruh jaringannya di daerah, menjelang Hari Anti Tambang 29 Mei 2015, mengajak seluruh elemen bangsa yang peduli pada keselamatan dan ruang hidup rakyat, untuk mendedikasikan waktu, pikiran dan dukungannya untuk melakukan aksi dan bentuk kegiatan lainnya pada Hari Anti Tambang 29 Mei 2015 sebagai bentuk perlawanan terhadap daya rusak industri pertambangan dan solidaritas perjuangan warga yang selama ini menjadi korban serta dibungkam.

“Negara absen ketika kejahatan tambang merajalela, Presiden harus berpihak pada keselamatan rakyat.” Inilah tema yang diusung pada HATAM 2015. Tentu saja hal ini tidak terlepas dari kondisi bahwa hingga saat ini negara masih absen ketika kejahatan tambang semakin merajalela. Untuk itu, presiden harus menunjukkan komitmen dan keberpihakannya pada keselamatan rakyat.

Apa itu HATAM?

Hari Anti Tambang, atau disingkat HATAM, adalah mandat dari Pertemuan Nasional JATAM 2010. Tercatat sejak 2011, tanggal 29 Mei diapresiasi sebagai Hari Anti Tambang, bertepatan dengan semburan pertama lumpur Lapindo pada 29 Mei sembilan tahun yang lalu, sebuah tragedi kemanusiaan akibat daya rusak pertambangan.

Pencanangan HATAM didasari atas kenyataan bahwa sudah saatnya pertambangan dijadikan sebagai sejarah dalam perjalanan bangsa ini ke depan. Terbukti, pertambangan di Indonesia yang sudah berlangsung ratusan tahun ini malah semakin menjerumuskan bangsa ini sebagai bangsa yang miskin dan terjajah. Tidak hanya itu saja, industri pertambangan telah berhasil menghapus mimpi dan cita-cita Anak Bangsa, bahkan telah merenggut ratusan nyawa.

Siapa dan di mana saja yang melakukan HATAM?

JATAM dan segenap simpul jaringannya pada bulan Mei 2015 ini akan melakukan rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan perlawanan terhadap daya rusak pertambangan. Puncaknya pada HATAM, 29 Mei 2015 nanti, puluhan simpul jaringan JATAM akan melakukan aksi sebagai bentuk upaya penyelamatan ruang hidup dan keselamatan Rakyat, khususnya solidaritas kepada korban Lapindo.

Dukungan dan solidaritas dari masyarakat luas juga bisa dilakukan dengan melakukan berbagai aksi, dialog publik maupun bentuk kegiatan lainnya sebagai dukungan terhadap HATAM dan desakan kepada negara untuk memihak kepada keselamatan dan ruang hidup rakyat.

Sumber: http://www.jatam.org/seruan-aksi-hatam-2015-negara-absen-ketika-kejahatan-tambang-merajalela-presiden-harus-berpihak-pada-keselamatan-rakyat/

Unduh versi pdf di sini.

Translate »