Sudah Ditetapkan DPR Bencana Alam, Lapindo Tak Bisa Dipidana


Jakarta, CNN Indonesia — Sembilan tahun berlalu sejak semburan lumpur pertama kali muncul di posisi 200 meter barat daya sumur Banjarpanji-1 milik Lapindo Brantas Inc. pada 29 Mei 2006. Semburan lumpur terus meluas dan menenggelamkan puluhan ribu rumah, sekolah, kantor pemerintahan, masjid, pabrik, serta sawah penduduk.

Namun tak ada satu pun korporasi atau pengelola dari PT Lapindo Brantas Inc. yang terkena jeratan hukum. Mahkamah Agung menyatakan kasus lumpur Lapindo sebagai dampak bencana alam. Pendapat serupa juga dipegang Dewan Perwakilan Rakyat RI.

Putusan bahwa kasus Lapindo terjadi akibat bencana alam itu, menurut Deputi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup Karliansyah, membuat tindak pindana tak bisa dijeratkan atasnya.

“Kami punya UU yang mengatur tentang kejahatan korporasi di bidang lingkungan, baik sengaja atau tidak sengaja. Namun jika sebuah kasus sudah ditetapkan pemerintah sebagai bencana alam, aturan pidana menjadi gugur,” kata Karliansyah kepada CNN Indonesia, Jumat (29/5).

Dalam kasus tragedi lumpur Lapindo, Kepolisian Daerah Jawa Timur pernah menetapkan 13 tersangka, yakni dari pihak PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medici Citra Nusa, PT Tiga Musim Mas Jaya, dan Lapindo Brantas. Namun penyidikan tersebut dihentikan pada Agustus 2009.

Sebulan kemudian, September 2009, Sidang Paripurna DPR mengukuhkan penyebab semburan Lapindo ialah faktor bencana alam. Dengan demikian, tak ada satupun individu atau institusi dalam Lapindo yang bisa dipidanakan.

Muhammad Yunus, Asisten Deputi Penegakan Hukum Pidana Kementerian Kehutanan dan LH, menyatakan jika sebuah kasus sudah ditetapkan sebagai bencana alam, maka tugas institusinya ada pada sektor pembinaan. “Kami mencari tahu harus diapakan agar dampak lingkungannya tidak makin besar. Misalnya dengan dipasang tanggul atau upaya perbaikan lingkungan lainnya,” kata dia.

Jika sebuah kasus tidak diputuskan sebagai bencana alam, barulah institusinya bisa memidanakan korporasi dan individu yang terlibat dalam kasus pencemaran lingkungan, baik sengaja maupun tak disengaja. “Aturan itu tercantum dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 116 ayat 1,” ujar Yunus.

Yunus mengutip bunyi UU tersebut, yakni “Apabila tindak pidana dilakukan oleh, untuk, atau, atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada a. badan usaha dan/atau b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut, atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut.”

“Misalnya kasus kebakaran hutan. Tidak ada pernyataan itu bencana alam, maka bisa dijatuhkan pidana dengan UU ini,” ujar Yunus.

Menurut Yunus, setiap perusahaan pertambangan sebenarnya sudah mendapat informasi mengenai dampak risiko dan langkah pengeboran setiap hendak memulai kegiatan pertambangan. “Maka kejadian seperti lumpur Lapindo ini sebenarnya bisa diminimalisasi dampaknya jika perusahaan tidak mengabaikan klausul dalam izin tersebut,” kata dia.

Misalnya mengenai kapasitas pipa penyaluran yang memuat maksimal 100 meter kubik per jam, Kementerian akan memberikan izin hanya pada angka 75 atau 80 meter kubik per jam. “Itu untuk menjaga dari risiko. Tapi apakah perusahaan menaati klausul itu? Makanya bisa terjadi gesekan di pipa yang menyebabkan kebocoran berlanjut-lanjut,” kata dia.

Utami Diah Kusumawati

Sumber: http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150529134709-20-56529/sudah-ditetapkan-dpr-bencana-alam-lapindo-tak-bisa-dipidana/


Translate »