Author: catur

  • Berjibaku Melawan Lumpur

    Area semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, terancam menjadi kawah atau ambles. Di Texas pernah terjadi, tanah seluas 16 hektare ambles 25 meter.

    LELAKI-LELAKI itu menuang lumpur ke dalam botol dengan ketelitian ilmuwan. Di bawah siraman matahari yang menyengat, empat pria itu setengah membungkuk di tepi jalan tol Surabaya-Gempol Km 38. Warna seragam mereka oranye, menyilaukan mata, memang. Itu adalah seragam khusus untuk bekerja di zona bahaya seperti di kawasan lumpur panas di Sidoarjo.

    Tak jauh dari keempat orang itu, mesin pengeruk menderum-derum. ”Tangan-tangan” mesin pengeruk itu beradu dengan tanah sawah. Mereka sedang beradu cepat dengan waktu, mengubah sawah menjadi waduk yang bisa menampung 240 ribu meter kubik lumpur. Dan itu tak bisa dilakukan dalam semalam seperti kisah Bandung Bondowoso membangun 1.000 candi. Kalau rencana itu terhambat, petaka lumpur panas di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, akan makin melebar ke mana-mana.

    Petaka itu bermula 29 Mei lalu, ketika tiba-tiba di tengah sawah menyembur lumpur panas dengan semburan gas setinggi delapan meter. Semburan itu terjadi hanya beberapa puluh meter dari ladang pengeboran gas PT Lapindo Brantas. Lumpur pun meluber ke mana-mana.

    Petaka itulah yang membuat sejumlah ilmuwan berseragam oranye datang ke Porong. Mereka adalah para ahli dari Institut Teknologi Surabaya, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Alert Disaster Control (Asia) Pte. Ltd. Kanada, dan Abel Engineering/Well Control, Texas. Mereka berjibaku meredam teror lumpur yang panasnya sekitar 50 derajat Celsius.

    ”Mereka akan menggunakan snubbing unit dan membuat sumur baru,” kata Imam Agustino, General Manager PT Lapindo. Snubbing unit adalah alat untuk mendeteksi adanya kebocoran di luar pipa selubung pengeboran (casing). Jika lokasi kebocoran diketahui, mereka akan menutup lubang itu.

    Untuk menutup kebocoran itu, pakar pengeboran minyak dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Rudi Rubiandini R.S., mengusulkan dua cara. Pertama dengan cara menyuntikkan lumpur berat ke dalam sumur pengeboran yang diduga bocor. Lumpur itu, tutur doktor ITB itu, akan menutup rembesan sehingga semburan lumpur di permukiman penduduk akan mati dengan sendirinya. ”Baru setelah itu disemen semuanya,” ujarnya. Cara ini hanya butuh waktu sebulan.

    Alternatif lainnya, menurut Rudi, membuat sumur bor seperti yang diusulkan tim ahli Lapindo. Sumur itu digali bersebelahan dan menembus lubang pengeboran yang diduga bocor. Dari sumur itu lalu disuntikkan lumpur dan semen. Cara kedua ini diperkirakan memakan waktu lebih lama, sampai tiga bulan.

    Selain urusan menyumbat lumpur, perkara gawat yang juga harus dirampungkan adalah menangani lumpur yang sudah tersembur. ”Ini soal yang paling mendesak,” kata Rektor Institut Teknologi Surabaya (ITS), Mohammad Nuh. Ihwal racun lumpur, tim ITS sudah melakukan penelitian. Hasilnya, cukup gawat: kadar merkurinya 2,5 ppm (satu bagian per sejuta). Lumpur itu juga memiliki nilai BOD, COD—dua indikator pencemaran air—serta minyak yang cukup tinggi. Jika langsung dibuang ke sungai akan mengganggu ekologi. Untuk mengatasi masalah itu, pemerintah setempat dan ITS sepakat akan mengendapkan lumpur ke waduk-waduk buatan. Setelah air terpisah dari lumpur, racun-racunnya akan dinetralkan. Hasilnya baru dibuang ke Kali Porong.

    Lumpur panas bukan satu-satunya ancaman di kawasan Porong. Warga di sana kini khawatir daerah mereka akan ambles karena lumpur yang terkuras akan menghasilkan rongga di bawah tanah. Kondisi itu bisa menyebabkan tanah ambles seperti yang terjadi di Texas pada 1991. Saat itu akibat luapan lumpur tanah seluas 16 hektare ambles hingga kedalaman 25 meter.

    Kemungkinan lain, Porong bisa menjadi ladang kawah seperti di Desa Kuwu, wilayah timur Kabupaten Purwodadi. Di desa ini muncul letupan-letupan lumpur yang airnya mengandung garam, padahal lokasinya jauh dari laut. Tanahnya yang sangat labil mengisap siapa saja yang berada di atas Bleduk Kuwu. Pernah seekor sapi terisap.

    Saat para peneliti sibuk menutup sumber semburan lumpur, polisi juga melakukan penyelidikan. Kepala Polri Jenderal Sutanto mengakui anak buahnya sudah mengundang ahli yang mengetahui soal pengeboran. Mereka juga memeriksa pekerja dan manajemen anak perusahaan Grup Bakrie itu. ”Kami selidiki, ternyata tidak ada casing (baja penutup) dalam kedalaman sekian meter. Kalau tidak dibangun, itu salah,” katanya di Jakarta, Jumat lalu.

    Persoalan casing atau pipa selubung lubang pengeboran memang mencuat ke permukaan setelah beredar dokumen dari salah satu rekanan proyek Lapindo. Dalam surat itu disebutkan, Lapindo, operator proyek pengeboran, tidak memasang casing berdiameter 9-5/8 inci pada sumur di kedalaman 8.500 kaki (2,5 kilometer). Padahal, pemasangan pipa ini merupakan salah satu rambu keselamatan pengeboran yang harus dipatuhi.

    Pada rapat teknis 18 Mei, rekanan Lapindo mengingatkan bahwa pipa selubung harus dipasang sebelum pengeboran mencapai sasaran, yaitu formasi Kujung di kedalaman sekitar 9.200 kaki (2,7 kilometer). Rupanya peringatan itu tidak diindahkan sehingga 11 hari kemudian muncratlah lumpur panas.

    Manajemen PT Energi Mega Persada Tbk (perusahaan induk dari PT Lapindo) mengakui bahwa casing itu memang belum dipasang. ”Casing itu sebenarnya akan kami pasang. Sebelum itu dipasang, kondisi sumur masih stabil. Kami sudah melakukan sesuai prosedur,” ujar Faiz Shahab, salah seorang bos Lapindo.

    Biang semburan lumpur ini memang sempat menjadi perdebatan di kalangan ahli geologi dan pengeboran. Lapindo sebelumnya menyatakan semburan itu terjadi akibat gempa. Mulyo Guntoro, peneliti yang pernah terlibat dalam survei beberapa sumur Lapindo menilai, petaka akibat itu pengeboran dilakukan tegak lurus dan bukan miring. Saat bor patah, lumpur bertekanan tinggi menyembur. Kesalahan lain, menurut Mulyo, karena tidak adanya pemadatan tanah.

    Rudi Rubiandini menilai kesalahan yang dilakukan Lapindo Brantas bukan dari cara pengeborannya. Tapi, perusahaan itu salah memilih titik pengeboran. Soal pengeboran yang tegak lurus, dia menduga perusahaan itu berniat mengurangi biaya. ”Ditambah lagi ketika lumpur keluar, tindakannya lambat,” katanya. Kini, dampak negatif dirasakan ribuan warga Jawa Timur.

    Untung Widyanto, Sunudyantoro, Adi Mawardi, Rohman Taufik, Rana Akbari Fitriawan, Ahmad Fikri

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Bakrie Terkait Lapindo

    NAMA Lapindo Brantas Incorporated tiba-tiba menjadi menu tetap media massa dalam tiga pekan terakhir. Sayangnya, bukan hal baik yang membuat nama perusahaan itu mencuat setiap hari. Lapindo dituding menjadi penyebab semburan lumpur panas di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang terjadi mulai 29 Mei 2006.

    Sampai Jumat lalu, semburan lumpur panas itu belum juga bisa disetop. Sudah puluhan ribu kubik lumpur panas muncrat dan merendam tiga desa di Porong, yakni Renokenongo, Jatirejo, dan Siring. Puluhan hektare sawah puso, belasan pabrik tutup, dan ribuan penduduk terpaksa mengungsi. ”Tanah kami tiba-tiba jadi kolam,” kata Faqih, warga Renokenongo.

    Warga selama ini tak peduli dengan keberadaan Lapindo. Padahal perusahaan ini sudah beroperasi di daerah itu sejak 1996. Lapindo menjadi operator dan pemilik 50 persen kuasa pertambangan di blok seluas sekitar 300 hektare. Wilayah operasinya mencakup lapangan gas Wunut dan Carat, di Sidoarjo. Kapasitas produksi gas pada 2005 di blok ini mencapai 59 juta kaki kubik per hari.

    Namun, sejak peristiwa itu terjadi, warga hampir setiap hari membicarakan Lapindo. Meskipun awalnya mereka tak tahu siapa pemilik perusahaan yang membuat mereka terpaksa meninggalkan rumah dan sawahnya, belakangan mereka mendengar kelompok usaha Bakrie ada di belakang perusahaan tersebut.

    Lapindo pada mulanya dimiliki Kalila Energy Ltd (84,24 persen) dan Pan Asia Enterprise (15,76 persen). Tapi pada Maret 2004 kedua perusahaan itu diakuisisi oleh PT Energi Mega Persada. Di perusahaan yang sudah masuk bursa inilah kelompok usaha Bakrie dikaitkan.

    Hubungan Energi Mega dengan Grup Bakrie diakui oleh Yuniwati Teryana, Vice President Human Resources and Relations Lapindo. Hanya, dia menolak memerinci berapa persen dan atas nama siapa kepemilikan saham Bakrie di Energi Mega Persada. Namun sumber Tempo menyebutkan bahwa Bakrie ada di Energi Mega melalui Kondur Indonesia.

    Dalam laporan keuangan Energi Mega disebutkan, Kondur merupakan pemegang saham terbesar perusahaan itu dengan menguasai 30,41 persen saham. Selain Kondur ada PT Brantas Indonesia (19,95 persen), UBS AG Singapura (8,44 persen), Rennier Abdu Rachman Latief (4,71 persen), Julianto Benhayudi (3,31 persen), dan publik 33,18 persen.

    Seolah tak terpengaruh kasus tersebut, pada Rabu pekan lalu Energi Mega dan Bumi Resources—juga anggota Grup Bakrie—mengumumkan rencana merger mereka. Jika disetujui rapat umum pemegang saham luar biasa pada 28 Juli mendatang, kelak Bumi akan menjadi perusahaan baru hasil merger, dengan modal dasar Rp 30 triliun.

    YA, Sunudyantoro, Kukuh S. Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Lebur dalam Genangan Lumpur

    Kubangan lumpur panas di Sidoarjo meluas. Kerugian diperkirakan miliaran rupiah

    DWI Cahyani tak habis-habisnya merenungi nasibnya. Tiba-tiba saja usahanya yang beromzet sekitar US$ 250 ribu (Rp 2,45 miliar) per bulan ludes dalam sekejap. Penyebabnya pun tak pernah terpikir olehnya. Senin tiga pekan lalu, lumpur panas tiba-tiba menggenangi pabriknya sampai setinggi lutut.

    Tak ada lagi yang tersisa di perusahaan yang terletak di Jatirejo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur itu. Mesin-mesin pabriknya lumpuh tak bisa digunakan. Bahan baku rotan senilai Rp 1 miliar amblas. Pabrik mebel rotan miliknya, PT Victory Rottanindo, pun terpaksa merumahkan 250 karyawannya. Kebangkrutan sudah membayang di pelupuk mata Dwi.

    Padahal, sebelum bencana ini terjadi, setiap bulannya Victory biasa mengirim sampai 25 kontainer mebel rotan ke berbagai negara. Setiap kontainer nilainya sekitar US$ 10 ribu. Pas kejadian, Victory sebetulnya sudah siap mengapalkan empat kontainer ke Inggris. ”Tapi truk kontainer tak bisa masuk,” kata Dwi.

    Victory Rottanindo tak sendirian. Delapan pabrik lainnya di Jatirejo juga terpaksa berhenti operasi sejak dua pekan lalu. ”Setidaknya 683 tenaga kerja yang dirumahkan,” kata Cipto Budiono, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur.

    Jumlah itu masih bisa membengkak karena luapan lumpur yang mengandung hidrogen sulfida (H2S) itu sudah merendam 18 pabrik lain. Masalah kerusakan mesin, distribusi barang, dan pembatalan pesanan menguras pikiran pemilik pabrik. Persoalan ini kian pelik karena hingga akhir pekan lalu banjir lumpur belum juga bisa diatasi.

    Petaka lumpur ini bermula ketika pada 29 Mei lalu sebidang sawah di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo, menyemburkan lumpur panas setinggi delapan meter. Hanya berselang empat hari, warga Renokenongo kembali dikejutkan oleh suara berdebum. Tanah merekah, lumpur panas pun terus mengalir.

    Karena lokasi semburan tak jauh dari sumur Banjar Panji 1, tudingan pun mengarah ke Lapindo Brantas Incorporated. Perusahaan yang selama ini melakukan pengeboran di sumur Banjar Panji itu dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Lapindo langsung membangun kolam penampungan dan tanggul untuk mencegah lumpur panas meluas. Tapi upaya itu tak membuahkan hasil.

    Ibarat kubangan raksasa, lumpur panas itu kini sudah menggenangi tiga desa: Renokenongo, Siring, dan Jatirejo. Ini membuat 2.700 warga diungsikan ke pasar Porong, Sidoarjo. Derasnya aliran lumpur yang mencapai 5.000 meter kubik—setara dengan 1.250 truk ukuran sedang—per hari juga merendam 64,8 hektare sawah yang belum sebulan ditanami.

    Akibatnya, nilai padi yang puso diperkirakan mencapai Rp 389 juta. Kerugian itu, kata Faqih, warga Renokenongo, belum termasuk biaya menanam padi yang berkisar Rp 500 ribu per petak. Bila satu hektare sawah dibagi menjadi tujuh petak, kerugian biaya tanam akibat lumpur panas mencapai Rp 226 juta.

    Lumpur panas juga luber sampai ke jalan tol Gempol-Surabaya. Semula Jasa Marga hanya menutup separuh badan jalan tol dari arah Gempol menuju Porong. Aliran lumpur juga sudah tidak merangsek sampai jal tol setelah Lapindo membuat tanggul. Tapi tanggul itu justru membuat lumpur mengarah ke perkampungan.

    Penduduk pun marah dan menjebol tanggul. Akibatnya, lumpur kembali membanjiri tol. Sejak Jumat lalu, perusahaan penyelenggara jalan tol itu terpaksa menutup jal tol itu di kilometer 38, karena tinggi lumpur sudah 20 sentimeter. Gara-gara penutupan ini, Jasa Marga diperkirakan merugi Rp 180 juta sampai 380 juta per hari.

    Kepala cabang tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menjelaskan, selain pemasukan berkurang, sarana pelengkapan jalan tol yang ada di sana juga rusak. Kerusakan ini diperkirakan merugikan Jasa Marga Rp 200 juta. Beban tersebut masih harus ditambah dengan retaknya jalan akibat tergerus lumpur panas. Tapi besar kerugian konstruksi masih dihitung.

    Yang pasti, kata Bachriansyah, seluruh kerugian akan dibebankan kepada Lapindo. Kerugian dihitung per hari sejak 6 Juni lalu. ”Besarnya berapa, masih diperinci,” katanya.

    Bak terkena efek domino, lumpur panas ini juga menyebabkan kerugian di tempat lain. Kemacetan yang terjadi di jalan tol Gempol-Surabaya membuat para eksportir harus merogoh kocek tambahan.

    Direktur PT Lintas Utama Sejahtera, Isdarmawan Asrikan, mengungkapkan akibat kopi dan cengkeh miliknya terlambat tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, dia mesti menambah Rp 1 juta per kontainer. Biaya tambahan itu antara lain untuk transportasi, relokasi, transportasi bahan baku ekspor-impor, dan keterlambatan (closing time).

    Padahal, setiap hari ada seribu peti kemas dari Pasuruan, Probolinggo, Malang, Jember, dan Banyuwangi yang melintasi jalan tol Gempol-Surabaya. ”Kemacetan itu membuat ekspotir rugi Rp 1 miliar per hari,” kata Isdarmawan, yang juga Ketua Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Jawa Timur.

    Rangkaian peristiwa itu pun akhirnya menyedot perhatian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia meminta Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral segera menginvestigasi kasus tersebut. ”Lapindo juga harus memberikan ganti rugi kepada masyarakat di sekitar lokasi pengeboran,” katanya.

    Tapi, menurut Faiz Shahab, Direktur Operasional PT Energi Mega Persada, perusahaan induk Lapindo Brantas, besarnya dana kompensasi akan dipastikan setelah penyebab semburan diketahui. Soalnya, sumber semburan bukan berasal titik pengeboran, tapi dari tiga titik yang berjarak 150-500 meter dari lokasi pengeboran.

    Selain itu, Energi Mega masih menunggu hasil pendataan yang dilakuan tim terpadu yang dipimpin Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Tim ini, kata Faiz, tengah mendata jenis kerusakan dan luas dampak kerusakan. ”Jadi kami tak bisa menyebut berapa angka ganti ruginya,” katanya seusai rapat umum pemegang saham Energi Mega, Rabu lalu.

    Repotnya, penyelesaian masalah lumpur panas ini memakan waktu lama. Faiz memperkirakan, soal ini baru beres pada akhir Oktober nanti. Bila ini benar terjadi, sudah bisa dibayangkan berapa kerugian yang bakal diderita oleh masyarakat setempat, juga para pengusaha dan eksportir.

    Karena itu, Gubernur Jawa Timur Imam Utomo meminta Lapindo pada tahap awal ini segera memberikan uang muka ganti rugi kepada semua perusahaan yang terkena dampak luapan lumpur. ”Ini tidak bisa dibiarkan,” katanya. Paling tidak, pengusaha-pengusaha yang pabriknya tutup seperti Dwi bisa menggaji karyawannya.

    Yandhrie Arvian, Zed Abidien, Kukuh S. Wibowo, Rohman Taufiq, Sunudyantoro

    Sumber: Majalah Tempo No. 17/XXXV/19-25 Juni 2006

  • Memburu Gas, Memanen Lumpur

    Kampung-kampung di Porong, Sidoarjo, diterjang lumpur panas. Ada dugaan, semburan lumpur itu akibat salah prosedur pengeboran.

    TEROR itu datang pada awal pagi. Ketika itu Renokenongo, desa tak terkenal di Sidoarjo, Jawa Timur, baru saja menggeliat. Orang-orang kampung menyeruput kopi, menghisap rokok sisa kemarin, menyapu halaman. Haji Soleh juga sedang menikmati hawa pagi saat tiba-tiba terdengar, “Bum…!” Lantai rumahnya meledak. Dari balik retakannya, mengalirlah lumpur panas. Baunya menyengat, bikin mual.

    Lelaki itu kaget. Juga puluhan penduduk di Renokenongo. Hari itu ada sepuluh rumah yang meleduk di Renokenongo. Semuanya di dekat kediaman Soleh. “Keluarga langsung saya ungsikan,” ujarnya.

    Ledakan pada Jumat pagi dua pekan lalu itu membuat warga ketar-ketir. Maklum, empat hari sebelumnya, ledakan serupa terjadi di sawah milik Probosutejo. Di tengah persawahan yang adem ayem itu tiba-tiba menyembur lumpur panas setinggi delapan meter. Hawa panas–suhunya sekitar 50 derajat Celsius, cukup untuk merebus telur–ikut menyebar cepat. Lumpur dan udara panas ini merendam 15 rumah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo.

    Warga Renokenongo terkesiap. Mereka tak menduga lumpur panas bisa seluas itu. Bahkan kini sudah 12 hektare sawah yang tenggelam dalam lumpur. Sekitar seribu orang mengungsi ke gedung olahraga dan markas kepolisian sektor setempat. Pabrik-pabrik di desa itu terpaksa juga tutup. “Kami terpaksa membatalkan produksi kursi rotan senilai US$ 10 ribu yang akan diekspor ke Belanda,” kata Dwi Cahyani, Direktur PT Victory Rotanindo.

    Jalan tol Gempol-Surabaya pun ikut kena getahnya, karena aliran tanah cair itu sampai ke sana. Pengelola jalan tol pun kelabakan membangun tanggul darurat dengan bertruk-truk tanah. Sampai Sabtu lalu, muncratan lumpur dan gas itu belum ada tanda-tanda berhenti.

    Lumpur petaka itu bermula dari sawah Probosutejo. Ledakan itu terjadi setelah PT Lapindo Brantas mengebor sumur minyak Banjar Panji di Porong. Entah mengapa, seperti adegan di film horor, tanah di sawah itu tiba-tiba merekah. Bum! Gas putih membubung. Lumpur mengalir kencang, bergumpal-gumpal seperti air yang muncrat dari pipa air minum. Hujan tuduhan pun jatuh ke Lapindo. Perusahaan ini dituding biang lahirnya “mata lumpur”.

    General Manager PT Lapindo Brantas, Imam Agustino, menolak tuduhan itu. Imam yakin, luapan lumpur bukan berasal dari pipa pengeboran yang saat ini mencapai kedalaman hampir 3 kilometer. “Itu dari retakan tanah akibat gempa Yogyakarta yang terjadi beberapa waktu lalu,” katanya. “Pengeboran Lapindo sudah dilakukan sesuai dengan standar baku industri migas.”

    Lumpur menyembur akibat gempa? Mulyo Guntoro tak sepakat dengan dalih itu. Lelaki ini justru percaya, petaka di Renokenongo itu akibat kesembronoan Lapindo. “Pengeboran di kedalaman lebih dari 2 kilometer seharusnya dilakukan miring, bukan lurus seperti yang dilakukan Lapindo saat ini,” kata ahli geologi dari Pusat Studi Bencana Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Surabaya.

    Guntoro mengaku pernah diajak Lapindo melakukan pemetaan gas di Sidoarjo. Dia menduga perusahaan ini melakukan kesalahan prosedur saat mata bor mencapai lapisan gas. Karena terlambat menyumbat, lumpur yang berada di lapisan atas ikut tersedot keluar bersama dengan gas. “Akibatnya, mereka tidak lagi bisa menyuntikkan lumpur untuk menyumbat, karena tekanan di dalam lubang pengeboran pasti sudah sangat besar,” kata dosen UPN itu.

    Lapindo dalam catatan Guntoro telah melakukan beberapa kesalahan dalam pengeboran di Renokenongo. Menurut dia, salah satu keteledoran Lapindo adalah tidak pernah melakukan pemadatan tanah di lokasi yang bakal dieksplorasi. Akibatnya, saat ada kebocoran, lumpur segera menyembur keluar. Selain itu, perusahaan itu tidak pernah berusaha menyumbat aliran-aliran kecil patahan tanah yang berada di sekitar lokasi pengeboran. “Tekanan gas dari dalam tanah pasti akan tinggi naik jika terjadi pengeboran di sekitarnya,” tutur Guntoro.

    Faktor gempa yang dijadikan dalih Lapindo juga dibantah Guntoro. Menurut dia, retakan tanah baru bisa terjadi jika ada gempa dengan kekuatan lebih dari 5 pada skala Richter. Padahal gempa yang terjadi di Yogyakarta dan dirasakan di Sidoarjo hanya berkekuatan 2 pada skala Richter. “Jadi, lucu jika mereka beralasan ada gempa,” ujarnya.

    Apa pun alasan Lapindo, kawasan Renokenongo kini merana. Pohon-pohon meranggas seperti terbakar. Saban hari sekitar 5.000 meter kubik lumpur menyembur. Dalam dua pekan, berarti volume lumpur yang mengubur desa itu setara dengan 14 ribu truk kecil. Kendati begitu, Imam menjamin lumpur dan gas yang keluar masih aman bagi kesehatan manusia. “Dari hasil penelitian, lumpur ini tidak mengandung racun seperti yang ditakutkan,” katanya.

    Namun klaim itu ditolak Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Timur. Dari hasil investigasi, organisasi pencinta lingkungan itu menemukan sumur-sumur warga yang hanya berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi pengeboran dalam kondisi tercemar.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Ridho Syaiful, selama tiga bulan beroperasi, anak perusahaan PT Energi Mega Persada itu tidak pernah melakukan sosialisasi atau pengumuman terhadap warga terdekat. Padahal, dalam surat edaran Menteri Pertambangan dan Energi, disebutkan kegiatan eksplorasi atau eksploitasi harus diumumkan untuk melindungi kepentingan sosial rakyat.

    “Kami tak pernah diajak rembukan, tahu-tahu terkena getahnya,” ujar Imam Sudarti, yang tinggal tak jauh dari lokasi Lapindo.

    Walhi mendesak pemerintah daerah dan Polri melakukan tindakan hukum kepada Lapindo Brantas untuk menyelamatkan lingkungan dan menghindari kerugian masyarakat. Menurut Ridho, pemerintah harus segera mencabut kontrak Lapindo Brantas sebagai bentuk pertanggungjawaban dan menjamin kesehatan serta perbaikan lingkungan.

    Soal kerusakan lingkungan, Made Sutarsa, Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Jawa Timur, menjelaskan bahwa pengeboran yang dilakukan Lapindo sesuai dengan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang ada. “Kebocoran itu murni karena gejala alam, gempa,” katanya yakin. Amdal perusahaan itu dikeluarkan Kantor Menteri Lingkungan Hidup pada 1990.

    Menurut Manajer Umum Lapindo, Rewindra, dengan analisis dampak lingkungan itu, pihaknya tidak perlu lagi meminta izin warga ketika mau melakukan eksplorasi. “Yang penting kan sudah sesuai dengan amdal,” katanya. Perusahaan ini diizinkan melakukan eksploitasi dan eksplorasi di Sidoarjo hingga tahun 2020.

    Untuk mengatasi banjir lumpur, sejak awal musibah, Lapindo sebenarnya telah menginjeksikan lumpur padat ke retakan tanah. Namun upaya itu gagal sehingga genangan lumpur terus meluas, bahkan sampai ke jalan tol Surabaya-Gempol kilometer 38. Mereka kini hanya membuat tanggul agar laju lumpur tidak semakin luas.

    Lapindo juga berencana membawa lumpur untuk dibuang ke kali mati, bekas aliran Sungai Brantas di daerah perbatasan Sidoarjo-Pasuruan yang saat ini tidak lagi dialiri air. Upaya ini tinggal menunggu negosiasi antara Lapindo dan pemerintah Sidoarjo dan Pasuruan.

    “Kami angkat tangan, tidak bisa menghentikan semburan lumpur,” kata Bupati Sidoarjo Win Hendarso. Menurut dia, pemerintah daerah dan Lapindo telah mengirim surat permohonan bantuan kepada Wakil Presiden, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Negara Lingkungan Hidup, dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional.

    Sucahyono, Kepala Divisi Operasional Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas) menjelaskan bahwa diperlukan waktu minimal 30 hari untuk menghentikan muncratan lumpur. Kasus di Porong ini, ujarnya, pernah terjadi di Riau, dan aliran lumpur baru bisa dihentikan setelah dibuat pengeboran sumur terarah secara miring dari tempat lain. “Tujuannya mencari titik pusat aliran lumpur dan memompakan bahan penyumbat,” katanya.

    Untung Widyanto, Rohman Taufiq, Kukuh S Wibowo

    Sumber: Majalah Tempo No. 16/XXXV/12-18 Juni 2006

  • Menghirup Gas, 138 Warga Dirawat

    Semburan Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas dan gas alam di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, hingga Senin (5/6) atau hari kedelapan masih terus berlangsung dan bahkan area cakupannya semakin meluas. Sementara itu, 138 warga yang menghirup gas dibawa ke rumah sakit karena sesak napas.

    Gas putih yang baunya menyengat mirip amonia itu menyebabkan sejumlah warga pusing, sesak napas, dan tenggorokan terasa panas. Perumahan warga sekitar 150 meter dari titik semburan gas. Warga yang kesulitan bernapas dan mual-mual dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Pusat Pendidikan (Pusdik) Tugas Umum (Gasum) Porong yang dirujuk PT Lapindo Brantas—perusahaan penambang minyak dan gas di lokasi tersebut.

    Berdasarkan catatan Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum, sebagian besar pasien adalah perempuan dan anak-anak. Hasil diagnosa menyebutkan, pasien rata-rata sakit pernapasan. Sebanyak 10 orang di antaranya rawat inap, sedangkan lainnya rawat jalan. Biaya perawatan ditanggung PT Lapindo Brantas.

    Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum Komisaris Pancama Putra Hadi Wahyana mengatakan, “Ambulans kami siap 24 jam di permukiman warga.”

    Terus menyembur

    Kemarin lumpur panas dengan suhu sekitar 60 derajat Celsius dan gas terus menyembur. Intensitas dan volumenya pada siang hingga sore hari meningkat dengan tinggi sekitar 10 meter.

    Dari hamparan sawah Desa Siring sekitar 12 hektar, 95 persen di antaranya dibanjiri lumpur. Sisanya diperkirakan tak lama lagi akan terendam lumpur. Senin sore lumpur panas yang ditahan tanggul darurat tumpukan pasir sudah di atas permukaan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Ditemui di lapangan, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan volume semburan lumpur mencapai 5.000 meter kubik per hari. Imam mengatakan telah menurunkan tim mengkaji penanganan lumpur. Tim ini merupakan tim gabungan empat disiplin ilmu, yakni geoteknik, geohidrologi, teknik sipil, dan teknik lingkungan.

    Dr Adi Susilo, Kepala Laboratorium Geosains Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam (MIPA) Universitas Brawijaya, mengatakan, muncratnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji, Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola PT Lapindo Brantas diduga karena faktor ketidakberuntungan.

    Pada saat penggalian, lubang galian yang belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing keburu menganga karena gempa bumi di Yogyakarta. Akibatnya terjadinya rekahan pada galian sehingga lumpur hidrokarbon muncrat.

    “Prosedurnya memang lubang galian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun, penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pengeboran selesai dan minyak mentahnya telah ditemukan,” katanya.

    Munculnya semburan lumpur di rumah warga, menurut Adi, merupakan gejala adanya rekahan tanah tidak hanya pada lokasi pengeboran, melainkan juga antara lokasi pengeboran dan rumah warga.

    “Jalan keluarnya memang Lapindo harus mengerahkan tenaga ahli yang lebih mampu, dan sangat mungkin hal itu harus didatangkan dari luar negeri, untuk menutup lokasi muncratan sumur. Tentang kerugian warga, mestinya itu ditutup dengan biaya asuransi yang sudah dibayar Lapindo,” ungkapnya. (LAS/ODY)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sawah Rusak, Lantai Retak, dan Pohon Mengering
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Warga Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, semakin resah akibat semburan lumpur panas yang semakin meluas. Lumpur berwarna abu-abu itu kini telah menutupi hamparan sawah seluas lebih 12 hektar dan pohon-pohon di sekitarnya mengering.

    Sawah yang terendam lumpur panas tersebut tanamannya mati, sedangkan tanahnya butuh waktu lama untuk bisa ditanami kembali. Adapun tanaman pisang dan pohon kayu keras yang terkena lumpur panas daunnya berguguran dan batangnya mengering.

    Keresahan warga Desa Siring semakin menjadi akibat munculnya semburan gas dari areal persawahan pada Minggu (4/6) dan Senin (5/6) kemarin. Titik semburan baru ini jaraknya hanya sekitar 15 meter dari rumah paling pinggir.

    Menurut Darti (37), pemilik rumah paling pinggir tersebut, gas menyembur Minggu malam sekitar pukul 23.00. Volume semburan tidak sebesar semburan di tengah areal sawah.

    “Senin pagi, semburan gas yang tidak disertai lumpur itu telah berhenti,” ucap Darti. Namun, warga sangat cemas sewaktu-waktu semburan muncul di areal permukiman warga.

    Sebuah rumah di RT 07 RW 02 Desa Siring lantainya ditemukan terangkat sekitar 10 sentimeter. Menurut Sulaikah (50), pemilik rumah, dari retakan lantai keramiknya t selalu keluar air bening bercampur pasir setiap semburan di tengah areal sawah aktif.

    Mendekati jalan tol

    Sementara itu, ketinggian lumpur semakin bertambah. Bahkan di sisi utara ketinggiannya sedikit lebih tinggi dari badan jalan Tol Surabaya-Gempol Kilometer 38.

    Tanggul dari pasir dan batu yang dibangun memanjang di bahu jalan tol menjadi satu-satunya penahan laju lumpur. Lumpur yang tertahan tanggul darurat tersebut terus meninggi hingga lebih tinggi dari permukaan jalan tol. Persoalannya, ketika hujan turun akan mengakibatkan tanggul jebol dan lumpur menutupi jalan tol.

    General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan, semburan lumpur mencapai sekitar 5.000 meter kubik per hari. Untuk menanganinya, pihaknya telah membuat tanggul untuk melokalisasi pergerakan lumpur.

    “Kami juga sudah membentuk tim untuk mengkaji penanganan lumpur serta dampaknya. Hal ini dilakukan sebagai usaha menangani persoalan secara komprehensif,” tutur Imam.

    Pada kesempatan yang sama Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Inspektur Jenderal Herman Suryadi Sumawiredja menyatakan tidak menjumpai adanya indikasi kelalaian oleh PT Lapidno Brantas. “Semburan lumpur ini lebih karena faktor alam,” katanya.

    Sementara itu, Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan telah membuat tim terpadu untuk penanganan lumpur. Konkretnya, Satlak Kabupaten Sidoarjo bekerja bersama dengan PT Lapindo. “Leading sectornya PT Lapindo Brantas,” ujarnya.

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas: Ada Kesalahan Teknis dan Amdal

    Surabaya, Kompas – Semburan gas dan lumpur panas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, terjadi karena beberapa hal. Tiga kemungkinan penyebab insiden itu di antaranya adalah kesalahan teknis, pelanggaran terhadap analisis mengenai dampak lingkungan, dan pengaruh pengeboran dilakukan di daratan (on shore).

    Hal ini dikemukakan tim inti Dewan Lingkungan Jawa Timur Antoro Hendra Sanjaya seusai Sarasehan Lingkungan untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia (5/6) di Surabaya.

    Perbedaan kondisi pada setiap titik dalam tanah, menurut Antoro, menyebabkan sistem pengeboran tidak dapat disamakan antara satu titik dan titik yang lain.

    “Akibat kesalahan dalam pengeboran yang dilakukan PT Lapindo Brantas ini terjadi semburan lumpur panas,” kata Antoro.

    Amdal yang telah dibuat untuk PT Lapindo Brantas, lanjut Antoro, sudah mencakup arahan teknis untuk memantau dan mengelola bila terjadi masalah-masalah yang mungkin terjadi. Bila sampai terjadi insiden seperti luapan lumpur panas, berarti terdapat kelalaian dalam pelaksanaan amdal.

    “PT Lapindo pun seharusnya melaporkan secara berkala pantauan berdasarkan rencana pemantauan lingkungan yang ada dalam amdal. Dari laporan itu, dapat dikaji apa yang menyebabkan semburan itu,” tutur Antoro yang juga mantan Kepala Badan Pengendali Dampak Lingkungan (Bapedal) Jatim.

    Pengeboran daratan

    Pengeboran yang dilakukan di daratan (on shore), menurut Antoro, juga berpengaruh. Berbeda halnya dengan pengeboran lepas pantai. “Kebocoran dalam pengeboran di daratan sangat terasa dampaknya,” katanya.

    Antoro memberi solusi agar PT Lapindo mengurangi tekanan sumur dengan membuat terobosan pembuangan ke arah yang aman.

    Selain itu, PT Lapindo harus menjelaskan langkah yang akan dilakukan kepada masyarakat serta menyediakan dana community development.

    Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jatim dalam siaran persnya yang ditandatangani Manajer Kebijakan Publik Choirul Anwar mendesak agar Pemerintah Kabupaten Sidoarjo mencabut kontrak dan mengusut tuntas berbagai pelanggaran yang dilakukan PT Lapindo Brantas.

    Wakil Kepala Bapedal Jatim Dewi J Putriatni mengatakan, Bapedal Jatim tidak mempunyai wewenang untuk menilai PT Lapindo Brantas karena amdal-nya dikeluarkan oleh Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. “Kalau Bapedal diminta untuk ikut dalam tim yang memeriksa kandungan lumpur dan gas, bisa saja,” kata Dewi. (INA)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Dekati Tol Surabaya-Gempol

    Semburan Gas di Areal Persawahan Desa Siring Kembali Naik

    Sidoarjo, Kompas – Lumpur panas dari perut Bumi selama tujuh hari berturut-turut di areal persawahan Desa Siring, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jatim, hingga Minggu (4/6), bertambah. Semburan lumpur pekat mirip lahar berwarna abu-abu itu bahkan sudah mendekati badan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Berdasarkan pemantauan, jalan tol yang terancam terputus akibat lumpur itu adalah kilometer 38 dari arah Kota Surabaya. Di beberapa bagian lumpur bahkan sudah menjangkau tepi bahu jalan.

    Dalam kaitan itu, PT Lapindo Brantas selaku perusahaan eksploitasi dan eksplorasi minyak dan gas di lokasi tersebut membuat tanggul dengan menggunakan sejumlah alat berat. Ratusan kubik tanah didatangkan dengan dump truck ke lokasi itu untuk dijadikan tanggul darurat.

    Akibat kesibukan membuat tanggul tersebut, lalu lintas dari arah Gempol ke Surabaya menjadi lambat. Kecepatan mobil saat melalui lokasi rata-rata 5-10 kilometer per jam. Antrean kendaraan pun akhirnya tak terhindarkan.

    Kepala Cabang Jalan Tol Surabaya-Gempol Bachriansyah menyatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak PT Lapindo Brantas. “Prinsipnya, kami meminta PT Lapindo Brantas mengupayakan lumpur tidak sampai mengalir ke jalan tol,” ujarnya.

    Skenario terburuk, apabila lumpur akhirnya masuk ke badan jalan tol, pintu gerbang tol masuk Gempol akan ditutup. Selanjutnya, lalu lintas ke arah Surabaya dialihkan ke Porong.

    Lumpur panas itu terus keluar ketika PT Lapindo Brantas membuat sumur untuk penambangan gas. Lumpur cair itu suhunya di atas 57 derajat Celcius. Jika lumpur itu diinjak dengan kaki telanjang, kaki akan berwarna kemerah-merahan kepanasan.

    Selain membuat tanggul darurat dengan menggunakan pasir, PT Lapindo Brantas juga sudah mengantisipasi meluasnya lumpur ke jalan tol dengan memasang gedek (anyaman bambu) di antara areal persawahan yang telah tergenang lumpur dengan badan jalan tol.

    Akan tetapi, kemarin permukaan lumpur semakin tinggi. Akibatnya, gedek tak sanggup menahan laju lumpur yang akhirnya semakin merangsek ke badan jalan tol.

    Kembali naik

    Hari Minggu kemarin, sekitar pukul 11.00 hingga 15.00, volume semburan lumpur panas dan gas di areal persawahan Desa Siring kembali naik. Tinggi semburan mencapai sekitar enam meter.

    Sementara itu, gas putih berbau menyengat semacam amoniak pun kembali tercium. Gas yang mengandung hidrogen sulfida tersebut baunya tercium hingga radius 500 meter, mengikuti arah angin. Padahal kawasan permukiman warga Desa Siring jaraknya hanya sekitar 200 meter dari titik semburan.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto mengatakan, telah meminta bantuan Alert Disaster Control untuk menganalisis penyebab semburan sekaligus memberikan kajian teknis penanggulangannya. Alert Disaster Control adalah sebuah perusahaan di Amerika Serikat dengan spesifikasi penanganan sumur penambangan.

    Sejauh ini PT Lapino Brantas menyatakan, keluarnya gas tersebut diperkirakan akibat gempa bumi yang membentuk retakan dalam lapisan tanah. Dampaknya, gas bertekanan tinggi mencari celah-celah itu untuk keluar ke permukaan tanah.

    Syahdun, mekanik pengeboran subkontrak PT Lapindo Brantas, menyatakan, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran hari Senin pekan lalu sekitar pukul 04.30. “Akibatnya, gas menekan ke samping dan mencari retakan dalam lapisan tanah untuk keluar ke permukaan,” ujarnya. (las)

    Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2006.

  • Lumpur Panas Timbulkan Ketakutan Warga

    Khawatir Rumah Mereka Ambles
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, membuat sejumlah warga ketakutan. Mereka tidak berani kembali ke rumah karena khawatir sewaktu-waktu rumah mereka ambles.

    “Kalau lumpur yang keluar dari dalam tanah sebanyak itu, pastilah tanah di bawah rumah saya berongga besar. Jadi saya takut kalau sewaktu-waktu rumah ambles ke dalam tanah,” tutur Muchtar, salah seorang warga Dusun Balongkenongo, Minggu (4/6), yang menolak kembali ke rumahnya. Empat warga lainnya juga menolak menempati rumah mereka yang sudah rusak terkena lumpur. Mereka adalah Anwar, Soleh, Husein, dan Madekur.

    Oleh sebab itu, Mochtar dan keempat warga lainnya meminta PT Lapindo Brantas untuk membeli tanah dan rumah mereka. Selanjutnya mereka lebih memilih pindah dari rumah lama. “Walau bagaimanapun, saya lebih memilih untuk pindah rumah,” ucap Madekur.

    Adapun warga lainnya menyatakan bersedia kembali. Akan tetapi, mereka meminta kompensasi yang wajar atas kerusakan dan gangguan yang dialami.

    Di tenda pengungsian

    Sekitar 20 pekarangan warga dibanjiri lumpur. Tingginya antara 5 sentimeter hingga 20 sentimeter. Selain itu, sekitar 100 warga masih tinggal di tenda pengungsian di halaman Kepolisian Sektor Porong. Sebagian lagi tinggal di rumah sanak saudara mereka. Rata-rata pengungsi adalah anak-anak dan perempuan.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto menyatakan, belum bisa memberikan jawaban atas tuntutan warga. Pasalnya, saat ini PT Lapindo Brantas masih berkonsentrasi menghentikan semburan gas dan lumpur panas.

    Sekadar catatan, sejak Senin (29/5), semburan lumpur dan gas di areal persawahan Desa Siring tidak kunjung berhenti.

    Budi melanjutkan, segala sesuatu yang berkaitan dengan kompensasi sebaiknya disalurkan melalui tim dari Desa Renokenongo. Selanjutnya, tim tersebut akan berdialog dengan tim dari PT Lapindo Brantas untuk mencapai sebuah kesepakatan. “Ada baiknya tim beranggotakan salah satu di antara kelima warga tersebut,” kata Budi.

    Sementara itu, hingga kemarin sore, lumpur telah membanjiri areal persawahan seluas sekitar 10 hektar. Sawah yang terendam lumpur tersebut sebagian besar milik warga Desa Siring, sedangkan sisanya milik warga Desa Renokenongo.

    Darto (57), salah seorang anggota tim musyawarah Desa Siring menyatakan, belum ada kesepakatan soal kompensasi sawah. Adapun soal polusi yang ditimbulkan gas, disepakati kompensasi sebesar Rp 200.000 per keluarga.

    Kemarin, tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas dijumpai tengah mengambil sampel lumpur. Tepatnya di sekitar semburan di kamar mandi rumah Soleh.

    Koordinator tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas Munajad Cholil mengatakan, akan mengirim sampel tersebut ke empat laboratorium. Laboratorium tersebut adalah laboratorium milik Institut Teknologi Surabaya, Institut Perkebunan Bogor, Universitas Brawijaya, dan Sucofindo. Adapun yang dites adalah kandungan racun dan kesuburan dalam lumpur, serta baku mutu air.

    Sumber: Harian Kompas, 5 Juni 2006.

  • Sudah Sepekan Gas Ganggu Warga

    Pemerintah Janji Akan Tangani Segera

    Sidoarjo, Kompas – Gas dan lumpur panas dari perut bumi menyembur di kawasan permukiman warga Dusun Balongkenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (2/6). Karena itu, sekitar 300 warga terpaksa diungsikan. Peristiwa ini merupakan puncak dari semburan gas yang sudah berlangsung sepekan terakhir.

    Sehari sebelumnya, Kamis sekitar pukul 19.00, warga dikejutkan semburan gas dan lumpur yang muncul di areal persawahan Desa Renokenongo. Senin lalu pun, dari tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, terjadi hal serupa.

    Hingga kemarin lumpur panas dengan suhu lebih dari 57 derajat Celsius dan gas masih keluar dari sejumlah titik semburan, baik di areal persawahan maupun rawa.

    Berdasarkan pantauan kemarin, gas berbau menyengat dan lumpur panas menyembur tepat pada bagian lantai kamar mandi rumah Soleh (40), warga Dusun Balongkenongo RT 19 RW 05. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut.

    Hingga Jumat pukul 17.00 lumpur pekat berwarna abu-abu terus mengalir keluar berikut gas. Akibatnya, sekitar 10 rumah warga kemasukan lumpur, sekitar satu hektar sawah diterjang lumpur, dan kamar mandi serta dapur milik Soleh rusak juga akibat lumpur.

    Ditemukan pula lantai keramik di rumah seorang warga terangkat ke atas. Menurut keterangan pemilik rumah, hal itu terjadi tidak lama setelah gas dan lumpur menyembur di rumah Soleh.

    Akibat peristiwa tersebut, sekitar 300 warga Desa Renokenongo diungsikan ke Balai Desa dan Kantor Poliklinik Pedesaan Kedungbendo, serta Kantor Kecamatan Porong. Meski demikian, sebagian besar warga lebih memilih mengungsi ke rumah sanak saudara mereka.

    Untuk sementara, gas dan lumpur berbau menyengat tersebut diduga kuat berasal dari sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas yang berada di sebelah selatannya. Jarak sumur dengan titik semburan di Dusun Balongkenongo sekitar 450 meter.

    Syahdun, mekanik pengeboran subkontrak PT Lapindo Brantas, menyatakan, semburan gas dan lumpur disebabkan pecahnya formasi sumur hasil pengeboran, Senin lalu sekitar pukul 04.30.

    “Akibatnya, gas menekan ke samping dan mencari retakan dalam lapisan tanah untuk keluar ke permukaan,” ujarnya.

    Sebelum formasi pecah, lanjut Syahdun, bor macet (stuck) dan oil bismart hilang.

    Bupati Sidoarjo Win Hendrarso menyatakan akan mengerahkan seluruh potensi bersama PT Lapindo Brantas untuk mengatasi persoalan tersebut. Konkretnya, Pemerintah Kabupaten Sidoarjo akan mendatangkan empat backhoe—ditambah dua unit milik PT Lapindo Brantas—untuk melokalisasi lumpur di areal persawahan.

    “Satu-satunya solusi agar lumpur tidak meluas, sawah seluas 8-10 hektar terpaksa dikorbankan untuk dijadikan dam penampungan,” kata Win.

    Secara terpisah, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan, peristiwa tersebut tidak ada kaitannya dengan sumur hasil pengeboran perusahaan penambang gas hidrokarbon itu. “Tidak ada yang salah dengan sumur pengeboran kami,” ujarnya. Meski demikian, pihaknya siap membantu penanganan persoalan itu. (LAS)

    Sumber: Harian Kompas, 3 Juni 2006.

  • Pekerja Tambang Bergelut Tanah dan Lumpur Rawa

    Oleh Laksana Agung Saputra

    Terik matahari tepat di atas ubun-ubun. Di area pertambangan gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, sejumlah pekerja mengempaskan badan di atas tanah, memperpanjang mimpi akan bonus yang mandek empat hari belakangan.

    Pekerja yang berjumlah 15 orang itu bukanlah karyawan PT Lapindo Brantas. Mereka adalah warga desa setempat yang direkrut perusahaan tersebut untuk membantu membersihkan lumpur dan tanah hasil galian. Paritan, demikian mereka menyebut profesi mereka yang akrab dengan lumpur dan tanah itu.

    Sejak Senin (29/5) pagi kegiatan penambangan dihentikan. Pasalnya sejak gas dengan kandungan hidrogen sulfida bercampur lumpur menyembur keluar di tengah rawa, pihak perusahaan menghentikan kegiatan penambangan. Tujuannya agar lebih fokus dalam menangani persoalan tersebut sekaligus sebagai standard safety procedure (prosedur pengamanan standar).

    Jadi, empat hari belakangan tidak ada lumpur dan tanah hasil penambangan. Artinya, tidak ada bonus untuk para paritan yang mayoritas telah berkeluarga itu.

    “Kalau lagi tidak ada penambangan, kami tidak mendapat bonus. Padahal, besarnya bonus lumayan untuk tambah-tambah beli makanan buat anak dan istri,” ujar Jauri (40), seorang paritan.

    Bonus yang dimaksud adalah ongkos tambahan yang diberikan PT Lapindo Brantas untuk setiap zak tanah dan drum lumpur yang dikumpulkan para paritan. Bonus untuk satu zak tanah adalah Rp 1.000 dan bonus untuk satu drum lumpur adalah Rp 5.000. Khusus untuk lumpur, perhitungan bonus dimulai di atas 200 drum.

    Sebagai gambaran, apabila kegiatan penambangan normal, para paritan secara bersama-sama bisa mengumpulkan 15 drum – 20 drum lumpur dalam sehari. Hasilnya lalu dibagi rata. Jadi bila ada 20 drum, per orang bisa mendapat sekitar Rp 6.500. Bila ditambah dengan bonus zak tanah, bonus terkumpul bisa mencapai sekitar Rp 10.000 per hari. “Lumayan untuk tambahan penghasilan,” kata Tamiadi (40), paritan yang sudah bekerja selama 6 bulan.

    Warga Desa Renokenongo

    Para paritan menerima upah per 10 hari sekali. Adapun upahnya Rp 45.000 per hari. Makan sekali disediakan perusahaan.

    Seluruh paritan yang berjumlah 45 orang merupakan warga Desa Renokenongo. Jumlah tersebut dibagi dalam tiga kelompok, masing- masing berjumlah 15 orang. Jadwal kerja setiap kelompok adalah dua hari masuk dan satu hari libur.

    Para pekerja rata-rata merupakan mantan pekerja pabrik yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Semisal Edi Tamsil (20) yang terkena PHK dari pabrik panci karena alasan efisiensi.

    Sekadar catatan, setiap penambangan selalu memerlukan oil bismart atau synthetic bismart. Bahan kimia ini merupakan syarat mutlak untuk memperlancar mata pasak dalam mengebor lapisan tanah. Oil bismart atau synthetic bismart itu dialirkan ke dalam rangkaian pipa bor lalu disedot ke atas. Saat ke atas, oil bismart atau synthetic bismart selalu bercampur lumpur dan tanah.

    Campuran tersebut kemudian diolah kembali dalam sebuah instalasi. Oli yang bersih kembali dialirkan ke bawah, sedangkan lumpur dan tanah dibuang. Sisa tanah dan lumpur inilah yang dibersihkan para paritan. Dengan sekop, mereka memasukkan tanah ke dalam sak dan lumpur ke dalam drum.

    Selain itu, para paritan membersihan oil bismart atau synthetic bismart yang tercecer di tanah area pertambangan. “Hal yang jelas, pekerjaan kami tidak jauh dari bersih-bersih,” kata Tamiadi (40) yang mempunyai dua anak itu. Hari-hari ini para paritan hanya bisa menunggu dan berharap agar persoalan gas dan lumpur itu bisa cepat teratasi. Dengan demikian, mereka bisa berpeluh payah untuk mendapatkan bonus.

    Tidak seperti karyawan teknis PT Lapindo Brantas yang mempunyai pengetahuan mendalam tentang penambangan, mereka rata-rata hanya lulusan pendidikan dasar. Kemauan bekerja keras meski disengat teriknya matahari dan dipagut dinginnya fajar adalah modal utama mencari nafkah untuk keluarga.

    Sumber: Harian Kompas, 2 Juni 2006.

  • Lumpur Merusak Areal Sawah

    Pipa Bocor Cemari Irigasi
    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Lumpur yang terus keluar dari dalam perut bumi melalui rekahan tanah di tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, meluber ke saluran irigasi. Padahal, areal sawah yang dilaluinya rata-rata sudah mulai musim tanam.

    Berdasarkan pantauan pada Rabu (31/5), lumpur tersebut berwarna hitam keabu-abuan dan mengandung semacam minyak. Tanaman yang terkena lumpur tersebut diperkirakan tidak akan bisa tumbuh dengan subur.

    Lumpur yang mencemari sawah tersebut sebagai kelanjutan dari gas bocor yang terjadi Senin (29/5) lalu sekitar pukul 04.30. Saat itu dari tengah rawa Desa Siring, Kecamatan Porong, menyembur gas berwarna putih yang mengandung hidrogen sulfida berikut lumpur bersuhu tinggi.

    Gas tersebut berasal dari dalam sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas yang jaraknya sekitar 40 meter dari lokasi semburan. Hingga kemarin, gas dan lumpur masih menyembur keluar, meski volumenya naik turun.

    Akibat luberan lumpur, sampai dengan Rabu kemarin pukul 16.00, air dalam saluran irigasi hingga radius sekitar 400 meter arah barat rawa sudah tercemar. Padahal dalam radius tersebut sudah ada beberapa petak sawah yang memanfaatkan air dari saluran irigasi itu.

    Dua desa

    Saluran irigasi yang memanjang di tepi jalan kabupaten tersebut menghubungkan Desa Siring dan Desa Permisan, Kecamatan Jabon. Saluran irigasi itu untuk mengairi puluhan hektar sawah di dua desa tersebut.

    Kepala Seksi Produksi Palawija dan Hortikultura Dinas Pertanian Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Sidoarjo Heksa Widagdo mengatakan, padi pada usia tersebut membutuhkan cukup air.

    “Meski tidak butuh air melimpah, padi usia muda butuh lahan basah,” ujarnya. Oleh sebab itu, ia mengimbau agar air yang telah tercemar dengan lumpur tidak dialirkan ke dalam sawah.

    Saat ditemui di lapangan, Koordinator Tim Health Safety and Environment PT Lapindo Brantas Munajad Cholil mengatakan akan menyedot lumpur agar tidak terus meluber ke sawah dan saluran irigasi. Caranya dengan menyedot lumpur yang akan ditampung ke dalam kolam. Kolam berukuran 20 m x 10 m dengan kedalaman 4 m ini tengah dibuat di dalam area pertambangan.

    Selain itu, pada Kamis ini akan dipasang instalasi pengolahan air limbah (IPAL) portabel di tepi rawa. “Lumpur akan disedot ke dalam IPAL, lalu airnya yang telah bebas polutan akan dialirkan saluran irigasi,” katanya.

    Sumber: Harian Kompas, 1 Juni 2006.

  • PT Lapindo dan Warga Belum Capai Titik Temu

    Oleh Laksana Agung Saputra

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur dari rekahan tanah rawa di samping sumur pengeboran gas PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, semakin meluas. Hingga Selasa (30/5) sore, lumpur berbau belerang itu menggenangi sawah warga dan rawa seluas sekitar 2 hektar.

    Berdasarkan pantauan, meski volumenya menurun, lumpur berwarna hitam keabu-abuan itu masih keluar dari rekahan tanah di tengah rawa. Bila pada dua hari sebelumnya semburan lumpur kadang-kadang bisa mencapai sekitar 3 meter, kemarin semburannya hanya setinggi 0,5 meter.

    Akibat lumpur yang terus menyembur sejak Senin (29/5) pagi, seluruh permukaan rawa dan sebagian sawah warga Desa Siring tertutup lumpur. Bahkan, ikan dan bekicot di lokasi rawa mati mengambang. Baunya yang seperti amoniak masih tercium hingga radius 500 meter.

    Pencemaran ini sangat meresahkan warga sekitar, khususnya Desa Siring. Walaupun sejauh ini belum ada penelitian mengenai dampak pencemaran tersebut, warga khawatir hal tersebut akan berdampak buruk terhadap kesehatan mereka. Adapun lumpur yang mencemari sawah diprediksi akan merusak tanaman dan struktur tanah.

    External Relations Coordinator PT Lapindo Brantas Arief Setyo Widodo mengatakan, pihaknya akan membuat tanggul di sekitar rawa. Tujuannya untuk mencegah lumpur meluas ke areal sawah warga.

    Menurut Syahdun, mekanik pengeboran PT Tiga Musim Mas Jaya, semburan gas itu disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. Hal itu terjadi sekitar pukul 04.30 setelah bor macet saat akan diangkat ke atas untuk mengganti rangkaian.

    Akibat gas tidak bisa keluar ke atas melalui saluran fire pit dalam rangkain pipa bor, lanjut Syahdun, gas menekan ke samping dan akhirnya keluar ke permukaan melalui rawa.

    Sementara itu, pada Senin malam, PT Lapindo Brantas dan warga Desa Siring mengadakan pertemuan. Salah satu agenda yang dibicarakan adalah soal kompensasi untuk warga Desa Siring. Desa tersebut merupakan desa terdekat dari lokasi semburan. Jaraknya sekitar 150 meter.

    Akan tetapi, belum ada titik temu pada pertemuan tersebut. Menurut Arief Setyo Widodo, warga menghendaki uang kompensasi Rp 500.000 per keluarga. Namun, PT Lapindo menawarkan paket sembako senilai Rp 50.000.

    “Pembicaraan tentang kompensasi akan diteruskan setelah semburan gas dan lumpur tertangani. Saat ini kami fokus menghentikan gas dan lumpur dulu,” ujar Arief.

    Kepala Sub Dinas Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sidoarjo Yohanes Siswojo menyatakan, ada kemungkinan air, udara, dan tanah tercemar. Namun, kepastiannya harus menunggu uji laboratorium.

    Kemarin, sekitar pukul 11.00, tim Health Safety dan Environment PT Lapindo Brantas mengambil sampel lumpur. Sampel itu dimasukkan dalam jeriken dengan kapasitas sekitar 5 liter. Setelah itu Laboratoium Forensik Kepolisian Daerah Jatim juga mengambil sampel.

    Sumber: Harian Kompas, 31 Mei 2006.

  • Sumur Gas Bocor, Penduduk Diungsikan

    Sidoarjo, Kompas – Sumur pengeboran milik PT Lapindo Brantas di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/5) kemarin bocor. Gas dari sumur tersebut keluar ke permukaan tanah melalui rawa yang ada di sampingnya.

    PT Lapindo Brantas adalah perusahaan eksplorasi dan eksploitasi gas alam yang merupakan kontraktor kontrak kerja sama dengan pemerintah pusat. Produk akhirnya adalah gas hidrokarbon yang didistribusikan Perusahaan Gas Negara.

    Berdasarkan pemantauan, gas berwarna putih itu terembus sampai ke kawasan permukiman warga Desa Siring, Kecamatan Porong, yang berjarak sekitar 150 meter dari rawa tersebut. Bau menyengat seperti amoniak tercium hingga radius 500 meter dari lokasi.

    Menurut keterangan warga Desa Siring, gas menyembul dari rawa sekitar pukul 06.00. Selanjutnya volume gas tersebut berangsur-angsur membesar.

    Dua warga kemarin ditemukan sesak napas. Hal itu diperkirakan akibat menghirup gas tersebut. Setelah dibawa ke Puskesmas Porong, Senin sore kondisi kesehatan keduanya sudah pulih.

    Mengkhawatirkan

    Meski tidak sampai mengakibatkan warga keracunan, bocornya gas tersebut cukup mengkhawatirkan. Kemarin anak-anak yang tinggal di sekitar sumur gas yang bocor itu terpaksa diungsikan. Sementara itu, siswa SD Negeri Siring I dan II—yang lokasinya sekitar 350 meter dari rawa—dipulangkan lebih awal. “Murid-murid diliburkan dua hari,” kata Kepala SD Negeri Siring I Nur Rahayu.

    PT Lapindo Brantas untuk sementara waktu juga meliburkan pekerja pengeboran. Pasalnya, menurut External Relations Coordinator PT Lapindo Brantas Arief Setyo Widodo, perusahaan sedang fokus menghentikan kebocoran gas tersebut.

    Relations and Security Manager PT Lapindo Brantas Budi Susanto menyatakan, ditemukan kandungan 3 part per million (ppm) hidrogen sulfida pada semburan gas itu. “Namun, hidrogen sulfida sudah terurai dalam radius 50 meter sehingga tidak akan sampai ke permukiman warga,” katanya. Hidrogen sulfida merupakan gas beracun yang bisa membahayakan kesehatan.

    Untuk menghentikan semburan gas itu, kata Budi lagi, tim perusahaan tengah menginjeksi lumpur berat ke dalam sumur.

    Secara terpisah, Syahdun, mekanik pengeboran PT Tiga Musim Mas Jaya, menyatakan, semburan gas disebabkan pecahnya formasi sumur pengeboran. PT Tiga Musim Mas Jaya adalah perusahaan subkontrak untuk pengeboran. “Diperkirakan dinding sumur bagian dalam runtuh,” kata Syahdun. Adapun kedalaman sumur terakhir adalah 9.297 kaki. (LAS)

    Sumber: Harian Kompas, 30 Mei 2006.