Tag: ar-rohma

  • “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    “Warga tetap berdaya, meski negara alpa”

    Judul tulisan ini mengutip kalimat dalam komik Muasal Lumpur Lapindo karya Rahman Seblat. Kalimat singkat itu hendak menyampaikan pesan sederhana, namun tegas menegasikan anggapan umum tentang posisi warga terdampak lumpur Lapindo yang selama ini dianggap “tak berdaya.”

    Faktanya, di tengah pelbagai resiko dan bahaya ekologis yang menimpanya, warga menyimpan potensi kekuatan besar untuk bertahan hidup dan yang tak kalah pentingnya mereka adalah faktor pendorong bagi arah kebijakan mitigasi bencana lumpur Lapindo. Selama ini, terdapat pra-anggapan bahwa warga itu selalu tak berdaya menghadapi tekanan politik-ekonomi koalisi negara dan korporasi. Pra-anggapan itu dimanifestasikan dengan melekatkan identitas baru pada mereka: “korban.”

    Dalam situasi bencana, posisi sebagai “korban” didapatkan bukan karena pilihan mandiri melainkan akibat tekanan dari luar (bahaya dan resiko ekologis) yang biasanya di luar kendali mereka. Pada saat yang bersamaan, identitas “korban” adalah juga suatu politik budaya yang strategis untuk menekankan bahwa mereka ini membutuhkan “bantuan” dari pihak lain agar dapat kembali ke situasi “normal” dan mengejar pelbagai “ketertinggalan”-nya. Dan, negara merupakan lembaga politik yang paling masuk akal untuk memainkan peran normalisasi bagi kehidupan mereka.

    Peran sebagai “korban” muncul dari suatu relasi sosial yang melibatkan keberadaan aktor lain, “pelaku.” Relasi antara “korban” dan “pelaku” selalu dibayangkan sebagai relasi yang timpang, bahwa “aktor-pelaku” selalu memerdayai “aktor-korban,” dan untuk mengembalikan ketimpangan itu dibutuhkan “aktor-mediator” yang memediasi keduanya.

    Dalam kasus Lapindo, situasi menjadi rumit ketika publik, khususnya warga terdampak, meyakini bahwa semburan lumpur panas itu tidak lahir secara “alamiah” tetapi muncul akibat ulah operator Sumur Banjar Panji 1, Lapindo Brantas, yang lalai dan sengaja mengabaikan prosedur pengeboran yang baik dan benar. Keyakinan semacam ini menghadirkan operator pengeboran sebagai “aktor-pelaku” dalam kasus ini.

    Dalam situasi semacam ini, negara diharapkan hadir sebagai “aktor-mediator” yang bertugas secara adil mengembalikan ketimpangan relasi antara korban dan pelaku dengan membela korban dan menghukum pelaku. Sayangnya, temuan demi temuan menunjukkan bahwa ternyata kelalaian dan pengabaian prosedur itu juga dilakukan oleh negara sebagai pemberi izin pengeboran. Hal ini tentu saja menambahkan negara sebagai salah satu “aktor-pelaku” dalam kasus Lapindo.

    Dan, begitulah konstruksi pemahaman publik tentang relasi kuasa dalam kasus Lapindo: warga adalah “korban” yang berhadap-hadapan dengan kolusi negara dan Lapindo sebagai “pelaku.” Dengan pemahaman semacam ini, kasus Lapindo bukanlah sekadar bencana ekologis akibat semburan lumpur panas, melainkan sebuah tragedi politik-ekonomi/ekologi di sektor industri migas di republik ini.

    Hal penting yang patut kita catat, kesadaran tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi ini justru muncul dan dipertahankan oleh para warga terdampak lumpur Lapindo. Sudah menjadi rahasia umum bahwa selama aparatus negara dan petinggi perusahaan terus berjuang keras memaksakan logika “bencana alam” atas lumpur Lapindo dengan memanipulasi fakta sedemikian rupa. Akan tetapi, semakin kuat manipulasi itu dilancarkan, semakin kuat pula resistensi yang muncul dan berujung pada terus menguatnya kesadaran bahwa kasus Lapindo adalah tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Sayangnya, pemberitaan media arusutama cenderung membingkai perjuangan warga terdampak lumpur Lapindo sebagai tindakan yang kontraproduktif dengan kebutuhan publik luas. Tidak hanya itu, warga selalu dibingkai dalam posisi yang tak berdaya, “korban” yang hanya pasif menunggu para pemegang otoritas dan kewenangan untuk turun tangan mengentaskan permasalahan yang mereka hadapi. Padahal, warga terdampak lumpur Lapindo itu, dengan caranya masing-masing, telah dan tetap berdaya menghadapi pelbagai krisis sosial dan ekologis yang mendera mereka.

    Di antara kelompok warga yang ada, dua yang patut dicatat. Pertama, komunitas Sanggar Alfaz dan kedua, kelompok belajar Ar-RohmahSanggar Alfaz adalah ruang belajar bersama yang didirikan oleh beberapa warga Desa Besuki Timur dari keprihatinan atas kehidupan anak-anak di desa itu. Ketika para orangtua sibuk berjuang untuk mendapatkan “kompensasi” atas kerugian yang diderita, kebutuhan psikologis anak-anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan itu terabaikan.

    Anak-anak ini tidak hanya kehilangan ruang, tapi juga waktu untuk bermain dan belajar. Mereka harus menghadapi dan mengatasi krisis psikologis sesuai usia mereka dalam kondisi yang penuh kepanikan, kecemasan, dan ketidakpastian akibat lumpur Lapindo. Pada 2012, anak-anak itu merilis kumpulan cerita dan puisi karya mereka berjudul Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita. Membaca narasi anak-anak ini, mata kita akan semakin terbuka tentang tragedi politik-ekonomi/ekologi di republik ini.

    Buku "Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita"
    Sampul buku “Lumpur masih menggila, dengarkan anak-anak bercerita”

    Kelompok belajar Ar-Rohmah didirikan oleh para perempuan tangguh yang merasa tidak mendapatkan jaminan dari para pengurus negara. Berawal dari meningkatnya permasalahan kesehatan warga terdampak lumpur Lapindo yang tidak pernah diperhatikan para pengurus negara, para perempuan tangguh itu pun bergerak. Mereka tidak hanya menuntut jaminan kesehatan, tapi juga jaminan bagi pendidikan anak-anak mereka yang telah diabaikan negara.

    Bersama dengan sanitasi, kesehatan dan pendidikan adalah kebutuhan dasar bagi pembangunan sumber daya manusia. Kandungan logam berat dalam lumpur Lapindo dan gas hidrokarbon yang keluar bersamanya berdampak pada degradasi lingkungan hidup, khususnya kualitas air tanah dan udara di sekitar semburan. Ditambahkan dengan goncangan psikologis akibat krisis sosial dan ekologis, degradasi itu berujung pada menurunnya tingkat kesehatan masyarakat yang jelas mengganggu proses belajar-mengajar anak-anak, yang lagi-lagi diabaikan oleh aparatus negara.

    Melalui Sanggar Alfaz dan kelompok Ar-Rohmah, warga tetap berdaya meski negara alpa untuk memperhatikan kebutuhan mereka yang luput dari pemberitaan media arusutama yang seolah-olah gagal “move on” dari liputan tentang persoalan “pelunasan ganti rugi.”

    Persoalan materiil memang penting untuk dituntaskan, namun itu baru lapisan terluar dari tragedi ini. Masih ada inti problem yang tak pernah tersentuh, apalagi terpecahkan, yaitu: kolusi negara dan korporasi yang berdampak pada pengabaian kebutuhan dan kepentingan warga sipil. Selama persoalan itu belum terpecahkan, bukan tidak mungkin tragedi serupa akan kembali terulang di masa mendatang dan menyerang ruang-ruang hidup lebih luas.

    Anton Novenanto, pengajar pada Jurusan Sosiologi, FISIP, Universitas Brawijaya

  • Korban Lapindo Tidak Masuk dalam SJSN

    Korban Lapindo Tidak Masuk dalam SJSN

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Tepat tanggal 1 Januari 2014 ini, Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) akan dilaksanakan. Namun sampai saat ini proses pendataan untuk Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) masih belum sepenuhnya beres khususnya bagi warga korban lumpur Lapindo. Ketidakjelasan informasi soal pendataan PIB membuat Kelompok Belajar Korban Lapindo Ar-Rohma bersusah payah mencari informasi secara mandiri. Setelah mendatangi Dinas Kesehatan Sidoarjo, mereka mengirimkan surat permintaan informasi ke Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kabupaten Sidoarjo

    “Tidak ada informasi tentang SJSN yang didapat warga selama ini. Kami harus mencari-cari sendiri informasi tersebut. Ini sangat merepotkan bagi kami,” kata Ike Anasusanti (43), warga Siring, Koordinator Ar-Rohma. Ike menambahkan, usaha mencari informasi dipicu oleh keresahan warga atas status mereka bila SJSN diberlakukan.

    Setelah mengirimkan surat permintaan informasi ke TKPKD Kabupaten Sidoarjo 10 November 2013 lalu, Kelompok Belajar Ar-Rohma mendapat surat jawaban. Dalam surat jawaban itu, TKPKD menyatakan bahwa setelah dilakukan validasi, warga korban Lapindo tidak masuk dalam bank data Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2011. Data PPLS 2011 merupakan sumber data untuk menetapkan peserta PBI.

    Dalam surat TKPKD itu disebutkan juga bahwa Pemerintah Daerah Sidoarjo akan memasukkan korban Lapindo dalam basis data perserta Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) hanya jika kuota Jamkesda Kabupaten Sidoarjo bisa ditambah. Jika kuota itu tidak bisa bertambah dan berubah, maka korban Lapindo akan difasilitasi dengan Pemberian Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari desa dan kecamatan.

    “Kami terkejut dengan jawaban tersebut. Bagaimana mungkin data korban Lapindo yang berhak menerima jaminan kesehatan dinyatakan tidak ada?,” tanya Mujiyarto (40) warga Jatirejo.

    Mengetahui hal ini, Kelompok Belajar Ar-Rohma geram. Meskipun Pemda Sidoarjo berjanji akan memasukkan korban Lapindo sebagai peserta Jamkesda dan SKTM, mereka masih bingung apakah pelayanan Jamkesda dan SKTM sama dengan pelayanan SJSN.

    Rencananya, mereka akan meminta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sidoarjo untuk memfasilitasi pertemuan dengan badan publik terkait pelaksanaan SJSN ini, seperti: Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo, Kepala Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Sidoarjo, dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sidoarjo.

    “Kami menuntut DPRD Sidoarjo bisa mempertemukan kami dengan pihak-pihak terkait. Supaya informasi jelas. Kami tidak mau diping-pong lagi sama pejabat-pejabat ini,” tegas Harwati (38), warga desa Siring yang juga aktif sebagai anggota Ar-Rohma.

    Selain itu, mereka juga meminta Direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sidoarjo, kepala puskesmas di tiga kecamatan (Porong, Tanggulangin, dan Jabon), Camat Porong, Camat Tanggulangin, Camat Jabon, dan Badan Penaggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dihadirkan juga dalam pertemuan itu. Kelompok Belajar Ar-Rohma berharap dapat mendesak untuk pendataan ulang, sekaligus mempertanyakan layanan kesehatan yang diberikan oleh SJSN, Jamkesda, dan SKTM.

    Surat permintaan audensi sudah dikirim pada 10 Desember 2013. Namun, sampai saat ini belum ada respons DPRD Kabupaten Sidoarjo untuk menggelar pertemuan Kelompok Belajar Ar-Rohma dan badan-badan publik yang diminta.

  • Korban Lumpur Lapindo Tuntut Informasi Jaminan Kesehatan Nasional

    Korban Lumpur Lapindo Tuntut Informasi Jaminan Kesehatan Nasional

    Sidoarjo, korbanlumpur.info – Keterbukaan informasi publik rupanya masih menjadi barang langka dalam penyelenggaraan kebijakan-kebijakan pemerintah. Meski UU KIP No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik telah disahkan, namun semangat transparansi dan akuntabilitas yang menjadi fondasi lahirnya undang-undang tersebut masih jauh dari kenyataan.

    Menyambut Hari Hak untuk Tahu (Right to Know Day), 28 September 2013, warga korban Lumpur Lapindo yang tergabung dalam komunitas Ar-Rohmah, Korban Lapindo Menggugat (KLM) serta Komunitas Jimpitan Sehat mengaku bahwa akses informasi publik terkait akan diselenggarakannya program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Januari 2014 ternyata masih sangat minim dan membingungkan korban Lapindo.

    Minimnya informasi ini memunculkan keresahan tersendiri bagi korban Lapindo. Mereka umumnya khawatir program baru ini tidak dapat mereka akses. Karena itulah mereka melakukan permintaan informasi dengan Dinas Kesehatan mengenai program JKN pada Kamis, 26 September 2013 kemarin. Namun, masih sedikit informasi publik yang bisa didapatkan terkait dengan rencana pemerintah tersebut menimbulkan banyak permasalahan.

    “Kami sudah meminta informasi ke Dinas Kesehatan Kamis kemarin (26/09). Namun jawaban dari Dinkes juga belum memuaskan. Kita masih belum tahu lembaga atau departemen apa yang berwenang menentukan siapa yang berhak memperoleh kartu JKN,” tutur Abdul Rokhim (51) warga Desa Besuki, Jabon, Sidoarjo.

    Mencari Informasi Secara Mandiri

    Belum jelasnya informasi tentang program JKN memaksa korban Lapindo untuk mencari sendiri informasi ini. Padahal korban menilai pemerintah yang lebih proaktif menyampaikan informasi publik yang dibutuhkan penduduknya.

    “Seharusnya pemerintah lebih aktif memberikan informasi mengenai jaminan kesehatan kepada masyarakat. Bukan kami yang harus kesana-kemari mencari tahu,” tegas Muhammad Nurul Hidayat (30 tahun), warga Desa Gempolsari yang tergabung dalam Korban Lapindo Menggugat (KLM).

    Bagi Hidayat, lambatnya pemerintah menyampaikan informasi membuat masyarakat bingung tentang implementasi program JKN. “Kesehatan ini masalah yang penting. Apalagi kami tinggal di wilayah yang lingkungannya sudah dirusak dan tidak sehat. Seharusnya, tanggung jawab pemerintahlah untuk memberi jaminan kesehatan bagi korban lumpur,” terang Hidayat.

    Sejak lumpur panas Lapindo mengusir warga di sekitar Sumur Banjar Panji 1 milik Lapindo Brantas Inc., warga yang menjadi korban sangat kesulitan mengakses informasi soal kesehatan. Padahal warga yang tinggal di sekitar tanggul lumpur sangat bereksiko terkena pelbagai penyakit. Sementara informasi kesehatan yang diprogramkan Pemerintah baik itu berupa Jamkesmas dan JKN sangat minim diperoleh warga.

    “Terus terang kami hanya mendapatkan informasi yang sedikit sekali mengenai program layanan kesehatan dari pemerintah. Dulu Jamkesmas banyak korban Lapindo yang kancrit (ketinggalan). Sekarang katanya mau ada program JKN, kita juga belum dapat informasi apa-apa. Masa kita ini mau ketinggalan lagi?,” tanya Harwati (42), warga Siring yang juga koordinator Komunitas Ar-Rohmah.

    Perempuan yang sehari-hari mencari nafkah sebagai tukang ojek di atas tanggul penahan lumpur Lapindo ini menerangkan bahwa sulitnya mendapatkan jaminan layanan kesehatan dari pemerintah sangat berdampak bagi kondisi korban Lapindo yang secara ekonomi sudah terpuruk.

    Kondisi ini semakin rumit bagi korban Lapindo yang belum dilunasi ganti ruginya. “Lapindo ini belum menyelesaikan pembayaran ganti rugi tanah dan bangunan kami. Terus sumber nafkah kita yang dulu juga sudah banyak yang hancur. Kalau kita sakit masih harus membayar biaya pengobatan yang mahal. Harusnya pemerintah itu peka soal kondisi korban Lapindo,” lanjut Harwati.

    Warga Kecewa Tak Terdaftar sebagai Peserta PBI

    Dalam kunjungan ke kantor Dinas Kesehatan Kabupaten Sidoarjo Kamis lalu, ternyata Dinkes Sidoarjo juga tidak bisa memberikan kejelasan informasi tentang Program JKN pada korban Lapindo yang datang. Kekecewaan warga semakin bertambah saat mengetahui jika warga dipastikan tidak terdaftar sebagai Peserta PBI.

    “Permintaan informasi pada Dinkes ini hasilnya sangat mengecewakan. Dinkes terkesan menutup diri dengan tidak memberi informasi yang banyak. Informasi yang hanya kami dapatkan hanyalah bahwa kami korban Lapindo belum didata sebagai peserta PBI. Dipastikan per Januari 2014 besok, korban Lapindo tidak bisa menerima layanan Program JKN. Kami disarankan tetap mengunakan SKTM sebagai penganti JKN. Ini sangat merepotkan kami,” kata Dwi, salah satu warga korban Lapindo yang ikut dalam kunjungan tersebut.

    Kecewa dengan hasil kunjungan ke Dinkes Sidoarjo, warga berencana mengirimkan surat permintaan informasi resmi pada Dinas Kesehatan Sidoarjo dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sidoarjo terkait Program JKN dan PIB. Tidak hanya itu, warga juga akan meminta DPRD Kabupaten Sidoajo untuk memfasilitasi usaha warga meminta informasi publik terkait Program JKN pada Badan Publik terkait.

  • Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Korban Lapindo Bertemu Komisi D DPRD Sidoarjo

    Sidoarjo, korbanlumpur.info — Sekitar 30 warga korban Lapindo yang tergabung dalam kelompok belajar Ar-Rohma hari Senin (3/6) mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sidoarjo. Tujuan kedatangan warga kali ini adalah ingin menyampaikan persoalan pendidikan dan kesehatan yang selama tujuh tahun belakangtidak mendapatkan perhatian dari Lapindo maupun pemerintah.

    Kelompok warga yang mayoritas perempuan itu langsung ditemui Mahmud, ketua Komisi D DPRD Kabupaten Sidoarjo. Warga langsung menyampaikan aspirasinya terkait persoalan pendidikan dan kesehatan yang tengah mereka hadapi. Mulyani, seorang anggota Ar-Rohma dari Desa Jatirejo, menyampaikan perihal anaknya yang saat ini terancam tidak bisa mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS) karena masih menunggak biaya UAS dan tiga bulan SPP.

    “Saya hanya tukang jahit. Dulu sebelum lumpur menenggelamkan kampung saya, pendidikan tidak menjadi masalah buat saya. Di tempat baru sekarang, saya mati-matian mencari uang untuk membiayai anak saya sekolah.  Sudah 3 bulan saya belum bisa membayar SPP anak saya. Anak saya diancam tidak bisa mengikuti UAS kalau belum bisa melunasi SPP,” cerita Mulyani, yang kini tinggal di Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (TAS) II.

    Nur Hadi Setiyawan, siswa SMU Walisongo, Gempol, juga terancam tidak menerima ijazah. Pasalnya sejak kelas 1 sampai kelas 3 dirinya juga sering menunggak SPP. Total biaya SPP yang belum dilunasi hampir sebesar 3 juta rupiah. “Anak saya tahun ini lulus SMU, tapi kami belum bisa mengambil ijazahnya karena belum bisa melunasi SPP dan biaya Ujian Nasional,” keluh Nur Ali, orangtua Nur Hadi.

    Menanggapi persoalan pendidikan korban Lapindo tersebut, Mahmud berjanji akan segera menindaklanjutinya. Politisi dari Fraksi PAN ini dalam waktu dekat akan mengundang Dinas Pendidikan dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    “Dalam waktu dekat kami akan mengundang Dinas Pendidikan dan BPLS untuk membicarakan hal ini. Disiapkan saja data anak-anak yang putus sekolah dan yang kesulitan biaya agar bisa ditindak lanjuti,” janji Mahmud.

    Harwati, Kordinator Kelompok Belajar Ar-Rohma, sangat berharap anggota dewan dari Komisi D bisa membantu persoalan warga. Menurutnya selama ini korban Lapindo sudah menderita. Ganti-rugi aset tanah dan bangunan tidak menyelesaikan masalah. Bahkan banyak warga yang kini semakin menderita.

    “Banyak anak-anak korban Lapindo yang putus sekolah. Banyak warga yang kehilangan mata pencaharian, yang lalu kesulitan membiayai sekolah anak-anaknya. Jaminan kesehatan juga sama sekali tidak diperhatikan. Kami berharap Komisi D bisa membantu kami untuk mengatasi masalah ini,” ungkap Harwati di akhir pertemuan.

    Lebih lanjut Ony Mahardika, Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur yang juga ikut dalam pertemuan itu sangat berharap pemerintah lebih memperhatikan persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

    “Kasus lumpur Lapindo ini sudah tujuh tahun berjalan, seharusnya negara juga menjamin dan memulihkan hak-hak korban Lapindo. Persoalan pemulihan pendidikan, kesehatan dan ekonomi juga harus menjadi prioritas,” ungkapnya.

    © Ahmad Novik untuk korbanlumpur.info