Tag: besuki timur

  • Empowering Children Community in Porong

    Empowering Children Community in Porong

    The onset of mudflow disaster was at 10.00 p.m., on 29 May 2006. It was initiated by leakage of hydrogen sulfide (H2S) gas in the area of gas exploration rig in Banjar Panji 01, managed by Lapindo Brantas Inc. (Lapindo) in Renokenongo Village. The seepage was first characterized with the burst of white smoke from cracked ground. The height of the smoke about 10 meter. The white gas followed with mudflow to the land of local people.

    The mudflow certainly leads to serious traffic jams and distortions in toll road and railway transportation flows. The State Owned Railway Enterprise (PT. Kereta Api) sometimes has to heighten the railway sleepers due to the mudflow. The local people sadly have to evacuate their homes and stay in evacuation points , especially in the Hall of Kedung Bendo Village, Porong Sector Police Department and Pasar Baru Market that is newly constructed by the Regency Government of Sidoarjo. (more…)

  • Korban Lapindo Mengadu ke Komnas HAM

    SIDOARJO – Rombongan korban lumpur Lapindo berangkat ke Jakarta, untuk menagih janji pembayaran ganti rugi bagi dan dampak sosial lainnya. Rombongan terdiri dari 11 perwakilan korban lumpur bersama Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo. “Kami tak mendapat jaminan hidup seperti dijanjikan sebelumnya,” kata Edi Pasopang warga Desa Siring Barat, Selasa (23/3).

    Edi menyatakan seluruh warga tetap bertahan agar mendapat jaminan hidup serta ganti rugi yang layak. Meski, kawasan tersebut dikategorikan daerah berbahaya dan rawan untuk hunian. Untuk mendukung perwakilan korban lumpur, sebanyak 300 an warga Siring Barat menggelar doa bersama dan istighotsah di Balai Desa setempat.

    Menurutnya, perwakilan korban lumpur ini mewakili tiga kelompok kepentingan. Di antaranya, warga Siring Barat yang menagih janji jaminan sebesar Rp 300 ribu per jiwa. Warga Desa Mindi yang menuntut agar seluruh warga di 18 RT dimasukkan dalam peta terdampak. Serta warga Desa Besuki yang berada di timur tol agar dimasukkan dalam peta terdampak alasannya, pemukiman warga berdekatan dengan tanggul dan berbahaya.

    Warga Desa Mindi menuntut agar Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo untuk mensurvei ulang penerima bantuan. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional juga diminta untuk mendata dan mengukur ulang tanah yang berada di Desa Mindi. Desa Mindi terjepit antara tanggul penampung lumpur Lapindo serta sungai Porong. Akibatnya, kini nilai aset warga terus merosot tak terkendali. Bahkan, sejumlah perbankan menolak memberikan pinjaman dengan jaminan lahan dan bangunan di sekitar Desa Mindi.

    Rencananya, perwakilan korban Lapindo dan Pansus lumpur Lapindo akan mengadukan masalah ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Dewan Pengarah Badan Penanggolangan Lumpur Sidoarjo. “Kami akan memberikan fakta dan bukti kondisi korban yang sebenarnya,” kata ketua Pansus Lumpur Lapindo, Sulkan Wariyono.

    Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo juga menagih janji PT Minarak Lapindo Jaya untuk menyelesaikan dampak sosial yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo. Di antaranya membangun gedung sekolah, memperbaiki pasar baru Porong, sarana umum dan fasilitas sosial lainnya. “Banyak program dan pembangunan yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya mandeg di tengah jalan,” katanya. (EKO WIDIANTO)

    (c) TEMPO Interaktif

  • Pyarr

    Tanggal 24 Juli 2008 menjadi hari yang sangat penting bagi warga Desa Besuki karena pada tanggal tersebut diadakan rapat di rumah Pak Arip di Besuki Timur Tol. Diadakannya rapat ini untuk membahas masalah langkah ke depan Desa Besuki Timur Tol yang tertinggal karena tidak masuk dalam peta terdampak 2008.

    Tua, Muda, laki-laki, perempuan dan anak kecil campur jadi satu. Sayangnya aku dan ibuku tidak bisa hadir dalam rapat itu karena karena kami beserta beberapa orang lainnya pergi ke pasar baru Porong untuk menyaksikan pemutaran film korban lumpur dari berbagai desa termasuk desaku.

    Kami dijemput beberapa orang dari pasar Porong, seperti tuan putri aja. Pemutaran film dilaksanakan pada malam hari sekitar pukul 07.30 kami dijemput pukul 07.00. bulan bersinar tak begitu terang sehingga kegelapan yang kami rasakan ketika memasuki mobil berpoles coklat muda. Aku, ibu, dan salah satu tetanggaku duduk di bagian tengah, lainnya berada di belakang. Klik… pintu terkunci otomatis. Mobil melaju perlahan melewati tanggul-tanggul yang semakin hari semakin dekat dengan rumahku.

    “Eh… ko’ cendelanya terbuka sendiri?” kata bu sanik yang duduk di sebelahku

    “Lah tadi ibu ngapain?” tanganku sambil memencet kembali tombol yang melekat di pintu.

    “Mobil sekarang canggih ya! Tinggal pencet nutup sendiri!”

    Entah mengapa semua tertawa

    Akhirnya sampai juga di Pasar Porong. Kami berjalan menuju gerombolan orang yang telah datang terlebih dahulu. Beberapa menit kemudian Film diputar. Orang-orang begitu senang melihat wajah mereka terpampang.

    “Lho, iku lo aku!” Celetuk ibu setengah baya yang kegirangan melihat dirinya sendiri

    Lama sudah kami menyaksikan keluh kesah para korban lapindo yang dirangkum dalam film pendek. Gambaran dari Renokenongo dan Permisan telah selesai. Kini, giliran desaku. Sepertinya suasana bertambah ramai ketika pemuratan film desaku. Ibu-ibu dari desaku sedikit berteriak untuk mengungkapkan kegembiraannya melihat rumahnya ikut masuk dalam gambar. Sekita pukul 11.00 acara selesai kami diantar pulang.

    Sesampainya di rumah kondisi jalan begitu sepi, tak seperti biasanya. Semua sudah turun dari mobil. Sebagian ada yang langsung pulang dan sebagian lagi memilih untuk melangkahkan kakinya ke tempat rapat yang belum juga selesai. Aku memilih tidur.

    “Ris, ibu ke Wak Arip dulu, liat rapat kok belum selesai juga.”

    Aku hanya mengangguk sembari melepas kerudung.

    Aku tak bisa tidur dengan tenang, sedikit-sedikit kubuka mata melihat jarum jam yang terus naik. Lama sudah kumenunggu. Akhirnya kuputuskan untuk melihat kondisi luar. Sepi, dingin dan gelap. Hanya itu yang bisa kurasakan. Aku kembali tidur tapi di ruang televisi.

    Beberapa menit kemudian ayah dan ibuku datang. Kubuka mata dan bergabung dengan mereka. Kudengarkan baik-baik kata yang keluar dari ayahku. Ia berkata bahwa rapat itu dihadiri oleh Pak Helmi (anggota DPRD dari frkasi PKS), Pak Syaiful Bakhri (perwakilan besuki timur Tol), Ali Mursyid (Perwakilan besuki Barat Tol) dan seluruh warga Besuki Timur Tol dan Barat Tol yang menempati bekas jalan tol Surabaya–Gempol karena rumah mereka telah tergenangi lumpur akibat jebolnya tanggul penahan lumpur.

    Rapat dibuka oleh Pak Syaiful Bahri. Dilanjutkan dengan mengajukan pertanyaan kepada seluruh warga apakah mereka masih ingin wilayahnya masuk Peta atau tidak. Secara serempak mereka menjawab kalau masih ingin wilayahnya masuk Peta terdampak terdampak 2008.

    Salah satu dari mereka ada yang mengajukan pertanyaan ia adalah pak Irsyad yang tak lain ayahku sendiri, ia bertanya, ”Apa alasan Besuki Timur Tol bisa tertinggal dalam pemasukan Peta terdampak tahun 2008? Padahal kan masih satu desa? Dan saya minta dijelaskan karena suara di luar menganggap saya sengaja menolak masuk peta karena pada waktu kawan Besuki Korban Lumpur (BKL) Barat Tol berada di Jakarta tapi di tempat dan maksud yang berbeda. Ayah disana untuk menghadiri koalisi korban lumpur bersama 21 LSM se Jakarta dan Jatim, sedangkan kawan BKL mengajukan untuk masuk Peta.”

    Warga mengetahui bahwa kawan BKL dan pak Irsyad ke Jakarta dengan rombongan berbeda. Tetapi sebelum berangkat ke Jakarta, ada pertemuan di Surabaya tepatnya di Kantor Lembaga bantuan Hukum (LBH), Surabaya yang dihadiri oleh Tim BKL diantaranya Pak Rokhim, Pak Murshid, Mashudi dan Hari. Pak Irsyad (sebagai wakil dari korban lumpur) dan beberapa perwakilan dari desa korban lumpur ada juga LSM dari Surabaya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan dari posko bersama korban lumpur yang bertempat di Gedang.

    Dalam pertemuan itu dibuat perencanaan tentang aksi ke Jakarta dan dari Perencanaan itu disepakati beberapa hal diantaranya:

    1. Pak Rokhim menyetujui hasil musyawarah dan seluruh peserta dalam pertemuan itu mengetahui hal itu.

    2. Pak Rokhim dkk (BKL) tidak bisa berangkat besama karena mereka sudah tanggal keberangkatannya yang berangkat lebih akhir. Ia juga berkata bahwa mereka akan bergabung dengan koalisi korban lumpur ketika sampai di Jakarta.

    Tapi ternyata ketika sampai di Jakarta pak Rokhim dkk tidak bergabung dengan koalisi korban lumpur bersama LSM yang bertempat di Ciputat, Jakarta. Karena tidak bergabung itulah sehingga kelompok BKL menuduh bahwa Pak Irsyad sengaja menolak jika desanya masuk dalam Peta.

    Pertanyaan dari ayahku tadi dijawab oleh Pak Mursyid yang dulunya juga berjuang bersamanya. Tapi karena perbedaan pendapat, mereka tidak bersama lagi. Sebelum menjawab. pak Mursyid meminta izin pada pak Syaiful untuk menjelaskan kejadian sebenarnya di Jakarta. Ia mengatakan bahwa ada 1 orang dari perwakilan Besuki timur tol yang berbicara di forum nasional (Fornasi) yang intinya tidak setuju jika desanya masuk dalam peta terdampak.

    Agar tidak menimbulkan fitnah dan ayah juga sudah capek menjadi kambing hitam yang bertanya siapa nama orang itu. Tapi tetap saja Pak Mursyid tak mau menyebutkan nama yang ia maksud. Karena geram par Irsyad berdiri hendak menghampiri Pak Mursyid seraya berkata dengan keras

    “Sebutkan namanya! “

    Hanya selangkah dari tempatnya ia segera di tarik oleh Pak Kamisan yang tak lain adaah pendukung Pak Mursyid. Ia menyarankan agar mengurungkan niatnya setelah itu rapat menjadi kacau.

    “Huuu …,” teriakan warga semakin membuat suasana bertyambah panas. Ada yang saling dorong antar warga. Kejadian itu tak berlangsung lama karena banyak intel dari Polres Sidoarjo dengan tanggap turun tangan. Setelah suasana kondusif, rapat diteruskan dengan mendengarkan arahan dari Pak Helmi yang intinya :

    “Kita tidak perlu mencari siapa yang salah. Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana caranya agar wilayah Besuki Timur Tol dapat masuk dalam peta terdampak tahun 2008”

    Setelah memberi arahan, rapat pun selesai dan ditutup dengan do’a oleh Pak Helmi. Rapat selesai. Semua membubarkan diri . tapi ketika ayahku kelur dari ruangan terdengar suara orang-orang

    “Wes, patenono ae arek iku! Sudah bunuh orang itu,”

    Yang lain bilang, “kuburen orep-orep wong iku (kubur hidup-hidup orang itu).”

    Ada pula yang menyarankan agar ayah menjaga diriya baik-baik, soalnya banyak banyak yang tidak suka sama dia.

    Warga mulai membentuk kelompok masing-masing untuk membahas kembali malah rapat. Ayahku tak langsung pulang, tapi ia menuju rumah Pakde. Di sana sudah banyak keluarga dan kawan-kawan yang sudah berkumpul. Sesampainya di sana, banyak yang menanyakan kejadian sebenarnya di Jakarta. Ayahpun menjelaskan kronologinya. Mulai dari keberangkatan dan aktifitas selama di Jakarta hingga pulang.

    Ayahku pulang terlebih dahulu dari tim BKL setelah mendengarkan dengan seksama. Mereka juga menyalahkan sikap Pak Mursyid yang terlalu berani berbicara tanpa fakta.

    Setelah lama mendengarkan ayah bercerta, aku pun tidur. Tapi satu hal yang tak mereka ketahui bahwa ayah membawa alat perekam yang ia kalungkan. Semua isi rapat tersimpan rapi. Ia juga mendengarkan hasil rapat tersebut pada keluarga dan kawan-kawannya.

    Bsru kali ini aku merasa bahwa keluargaku perlu berhati-hati dan tetap waspada. Tapi ayah tetap melakukan aktivitas seperti biasa. Hari berikutnya ketika matahari akan terlelap Handphone ayahku berbunyi setelah menerima telepon itu, Ibu, Adik dan nenekku berpamitan akan pergi ke Bali karena ada urusan. Ibu, adik dan nenekku telah berangkat kini tinggal aku dan ayah yang berada dalam ruangan ini. Aku semakin takut jika sesuatu terjadi padaku, ayahku, dan ruimahku, aku takut jika rumahku dibakar, aku takut jika ayahku dibunuh.

    Aku jadi kerepotan mengurus segala sesuatu. Menyapu, memasak semua menjadi tanggungjawabku, aduh. Ibu cepetan pulang donk! Semua kekhawatiranku tidak terbukti. Hari-hari setelah rapat tak ada yang terjadi. Ucapan warga yang ingin membunuh dan mengubur hidup-hidup ayahku tak terbukti. Itu hanyalah bualan kupikir mereka hanya ingin menakuti keluargaku. Aku pun tenang

    Tepat satu minggu setelah rapat……

    Pyarrrr………..

    Ya….. kaca rumahku pecah tepat pada tanggal 30 Juli 2008.’ Aku masih terbawa oleh mimpi indah yang diberikan sang Khalik. Ayahku jug tertidur di ruag tengah dengan televisi yang masih menyala.

    Ketika kaca pecah, aku dan ayah tak segera bangun. Memang aku mendengar sesuatu pecah. Tapi aku berfikir kalau itu adlah toples pecah. Aku kembali tidur. Mataku serasa ada membuka dengan paksa. Aku terpaksa bangun dan membuka pintu kamar meski mata masih terasa perih dan masih ingin memeluk bantal

    “ Yah, ada apa ini”

    Itulah hal pertama yang kukatakan ketika melihat serpihan kaca yang berserakan hingga ke ruang tengah, perih dimataku seketika hilang. Ayah membuka tirai penghalang ruang tengah dengan ruang tamu.’ Aku mengikutinya dari belakang aku takut! Takut sekali! Takut jika ancaman warga menjadi kenyataan aku segera berbalik menuju dapur.

    “Alhamdulillah!” Ucapku ketika melihat kondisi dapur yang baik-baik aja. Aku menyusul ayah ke ruang tamu. Kulihat serpihan kaca yang memenuhi lantai. Batu yang seukuran kepala bayi tak luput dari pandanganku.

    “ Jangan!” Teriak ayah yang melihatku ingin mengambil batu tersebut aku segera menarik lenganku.

    “kenapa yah!”

    “Biarkan batu itu ditempatnya. Nanti ayah akan ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Biarkan semua pada tempatnya. Biar polisi tahu bagaimana kondisi sebenarnya”

    Aku hanya mengangguk. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 03.05 pagi. Mungkin tepat pukul 3 pagi kaca rumahku dihantam. Ayah baru sadar kalau rumahnya di lempar batu oleh seseorang. Ia melihat kondisi sekitar yang begitu sepi. Aku masih diam di tempat.

    Daris Ilma, Pemudi Desa Besuki-Jabon, Sidoarjo

  • DPR Pertanyakan 4 Desa Tidak Masuk Area Terdampak Lumpur

    JAKARTA, KOMPAS — Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) mempertanyakan tidak dimasukkannya 4 desa yaitu Besuki Timur, Mindi, Siring, dan Jatirejo ke dalam peta area terdampak.

    Dalam laporannya pada rapat dengar pendapat umum dengan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Rabu (17/12) malam, Ketua Dewan Pengarah BPLS Djoko Kirmanto memaparkan bahwa bagi 4 desa tersebut, BPLS menyiapkan program darurat jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

    “Kenapa tidak dimasukkan (peta area terdampak)? Ini harus dijelaskan, karena ini menjadi landasan kita. Empat desa itu kan sudah kita sepakati,” kata Ketua TP2LS Priyo Budi Santoso.

    Atas hal ini, Djoko menjawab jika masuk ke peta area terdampak maka warga di 4 desa tersebut akan mendapat pembayaran sama besar dengan yang dibayarkan Lapindo. “Oleh karena itu, kita siapkan dana darurat 2009,” ujar Djoko.

    Padahal, ada tuntutan warga desa Jatirejo, Siring Barat, dan Mindi untuk dimasukkan peta area terdampak karena merasa rumah mereka sudah tidak layak huni, demikian pula tuntutan warga desa Besuki dan desa-desa sekitar luapan lumpur yang sudah merasa tidak aman.

    Namun, anggota TP2LS Abdullah Azwar Anas justru mempertanyakan mengapa pemerintah tidak menetapkan ambang batas rasional yang bisa dibayarkan pemerintah kepada warga 4 desa tersebut.

    “Berapa ambang batas rasional yang tidak memberatkan pemerintah? Seharusnya ini ditetapkan jika pemerintah tidak ingin disamakan dengan jual beli yang dilakukan Lapindo. Itu yang ingin kami dengan dari pemerintah. Kalau tidak, rapat kita ya sama saja,” kata anggota Fraksi PKB ini.

    Menurut Anas, ada warga yang mengatakan bahwa mereka bersedia dibayar tidak sama dengan jual beli Lapindo asalkan pembayaran cepat selesai.

    Inggried Dwi Wedhaswary

  • Villages Victimized by of Lapindo Mudflow Demonstrate

    TEMPO Interactive, Sidoarjo: Around 500 people from four villages — Siring Barat, Jatirejo Barat, Mindi in Porong sub-district, and Besuki Timur in Jabon sub-district – resumed their protests at the former Porong toll road or what has now become the under belly of the toll bridge in Besuki village.

    They held communal prayers at the site. “We are still demanding the same thing. The four villages must be included in the map like other villages,” said Irsyad, Besuki Timur residents’ coordinator.

    Irsyad said the four villages are now uninhabitable because half the areas were affected by the mudflow while the other half were damaged by flammable gas.

    The village most affected by the mudflow is Besuki Timur, while the gas hit Siring Barat, Jatirejo Barat, and Mindi. For this reason, the residents have urged the House of Representatives (DPR) to allocate a budget on their behalf, when the 2009 National Budget is drafted.

    ROHMAN

    Sumber: http://www.tempo.co.id/hg/nasional/2008/10/29/brk,20081029-142916,uk.html

  • Teror di Desa Besuki, Dampak Perpres 48/2008

    Besuki, SuaraPorong – Dini hari sekitar pukul 03.00 WIB, rumah seorang warga yang juga korban lumpur lapindo, Cak Irsyad, dilempari batu sebesar kepala bayi. Dugaan kuat, teror itu berkaitan dengan isu-isu yang berkembang dan cenderung menyudutkan setelah desa Besuki terbelah— sebagian dimasukkan ke dalam peta area terdampak versi Perpres No. 48/2008, dan sebagian lagi tidak.

    Cak Irsyad yang tinggal di desa Besuki Timur, RT 05/RW 07, adalah salah seorang korban yang aktif dalam usaha menolak kebijakan-kebijakan yang dirasakan menindas kehidupan warga yang telah menderita selama semburan lumpur lapindo berlangsung. Salah satunya adalah kebijakan-kebijakan diskriminatif seperti pembagian korban ke dalam peta area terdampak dan tidak terdampak yang menjadi dasar dibayar atau tidaknya kerugian warga.

    Desa Besuki adalah salah satu dari tiga desa yang dimasukkan dalam area peta terdampak lewat Perppres no. 48/2008, yang akan mendapat ganti rugi dari APBN-P. Hanya saja, ada beberapa hal yang membuat rancu dan tidak membawa suasana lega pada warga desa tersebut. Hal pertama adalah hanya desa Besuki Barat yang dimasukkan dalam peta area terdampak—sementara desa Besuki Timur yang dipisahkan oleh eks-jalan tol Gempol dengan Besuki Barat, tidak termasuk di dalamnya.

    Kedua, belum ada kepastian kapan uang proses jual beli tersebut dibayarkan, dan ketiga, harga jual beli tanah dan bangunan pun belum ditetapkan oleh pemerintah.

    Kasus teror yang menimpa Cak Irsyad merupakan ekses dari ketegangan yang terjadi di Besuki karena tidak dimasukkannya Besuki timur ke dalam peta area yang dikeluarkan pemerintah melalui Perpres no. 48/2008. Ketidakjelasan kualifikasi penetapan suatu daerah masuk atau tidak ke dalam peta area terdampak, menimbulkan syak wasangka dan fitnah yang terus menerus membuat ketegangan di masyarakat desa Besuki. Akibat tidak masuknya wilayah besuki timur, timbul kecurigaan dan desas-desus tidak bertanggung jawab terhadap penyebab kondisi tersebut.

    Kejadian di mana sebuah desa tidak seluruhannya dimasukkan ke dalam peta area terdampak bukan sekali ini saja terjadi. Dalam semua kejadian itu selalu saja menimbulkan dampak langsung yang jelas memecah belah dan merugikan kehidupan masyarakat. Desa-desa lain yang terpecah antara di dalam peta dan bukan di dalam peta antara lain: Glagah Arum, Gempol Sari, Jatirejo, dan Siring. beberapa desa yang terpecah ini tidak selalu jelas alasan pembagiannya kenapa sebagian wilayahnya dimasukkan ke dalam peta dan yang lain tidak. Ketidakjelasan inilah yang memicu kecemburuan di antara warga dan menjadi biang kehancuran kohesi sosial di masyarakat.

    Dalam kasus di Besuki Timur, ketika Perppres no. 48/2008 dikeluarkan, dan desa Besuki Timur tidak dimasukkan ke dalam peta area terdampak, beredar fitnah yang menyudutkan Cak Irsyad. “Gara-gara Cak Irsyad Besuki Timur tidak masuk peta dan gagal dapat ganti rugi,” kurang lebih begitulah isi fitnahnya. Dalam pertemuan antar warga desa Besuki Timur pada 20 Juli 2008, pasca dikeluarkannya Perpres No. 48/2008, kecurigaan itu di”kambing hitamkan” kepada Cak Irsyad dan kawan-kawan yang sering terlibat aktif dalam usaha menentang kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak ke rakyat.

    Akibat pelemparan batu tersebut, kaca rumah depan Cak Irsyad pecah berserakan. Teror ini merupakan kali kedua yang menimpa korban. Sebulan sebelumnya, Ketua RT 03 desa Besuki Timur juga mengalami kejadian yang sama. Beberapa waktu setelah teror yang menimpa pak RT tersebut, giliran rumah salah satu perangkat desa yang diteror. Kaos bekas yang telah dibasahi bensin dibakar di samping rumah korban.

    Beruntung aksi teror tersebut dapat diketahui sehingga tidak membakar seluruh rumah. Sehubungan dengan aksi teror tersebut, warga di sekitar lokasi pun merasa terancam. Sekarang d iatas kaca yang sengaja dibiarkan pecah itu dipasang tulisan “NEGARA TIDAK BOLEH KALAH DENGAN KEJAHATAN”. Sebuah himbauan yang rasanya entah apakah akan terkabul ditengah-tengah kondisi yang serasa dibiarkan tak menentu justru oleh penyelenggara negara.

    Aksi teror yang menimpa Cak Irsyad ini, merupakan hasil langsung dari praktek memecah belah warga yang dilakukan oleh Lapindo. Korporasi ini tidak berkenan jika korban luapan lumpur bersatu untuk menuntut ganti rugi. Berbagai cara dilakukan, mulai dari proses jual beli yang berbelit-belit, janji-janji manis penuh ilusi yang disuntikkan pada para korban, sampai membuat skema yang berujung pada konflik horisontal antar korban.

    Lapindo Brantas Inc, sebagaimana korporasi-korporasi yang bergerak di industri minyak dan gas, selalu membuat warga di sekitar lokasi menderita. Penderitaan yang dialami warga tidak hanya pada satu aspek saja. Limbah yang merusak kesehatan warga, kebisingan yang memekakkan, maupun bencana yang disebabkan langsung dari human error, seperti pada kasus luapan lumpur panas Lapindo. Sebelumnya warga Teluk Buyat terlibat pertikaian dengan PT. Newmont . Lalu warga Papua pun terlibat pertikaian dengan PT. Freeport terkait limbah industri. Namun, hal-hal buruk seperti itu seringkali terlupakan begitu saja. Para korban kejahatan korporasi semakin terpuruk, sementara pihak korporasi semakin mendapatkan untung yang berlimpah.

    Untuk itu, diperlukan banyak solidaritas dan dukungan dari masyarakat luas. Solidaritas dan dukungan ini dapat menekan korporasi seperti Lapindo agar membayar ganti rugi bagi korban yang bukan saja kehilangan tempat tinggalnya, tapi juga sejarahnya.

  • Tak Lelah Membuat ‘Grisingan’ Pemerintah

    korbanlumpur.info – Hari masih sore. Bau manis legit dari Pabrik Gula Candi baru saja lenyap. Tiba-tiba, hidung langsung disergap bau asing. Awalnya tipis. Makin dekat ke Porong, bau itu kian pekat. Tak bersahabat. Asap putih njlirit ke langit, persis hantu yang berebut keluar kala maghrib.

    Asap itu memang bukan asap biasa. Menurut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), udara di daerah sekitar semburan memiliki kandungan unsur beracun 2000 kali di atas normal. Penelitian tentang ini sudah hampir rampung dan tak lama lagi akan dirilis. Inilah udara yang dihirup warga korban lumpur tiap hari. Tanpa kesadaran, tanpa peringatan.

    “Padahal mereka yang bekerja di pabrik atau instalasi yang diyakini berdampak buruk bagi kesehatan, jam kerjanya lebih pendek daripada karyawan di bagian atau lokasi yang lebih aman. Selain itu, mereka juga mendapat extra pudding dan asupan gizi yang lebih baik, seperti susu atau sari kacang hijau.

    Namun apa yang didapat korban lumpur? Asap beracun itu mereka hirup tiap hari tanpa tahu kandunganya. Tanpa paham bahayanya. “Pemerintah yang mengerti akan hal ini tak pernah memberi penjelasan,”” keluh Winarko.

    Jarinya terus lincah mengetik tuts-tuts laptop. Meng-up load berita ke situs para korban lumpur, juga mengetik laporan dari warga yang nyaris tak putus-putus.

    Ya, hingga lewat isya, posko yang persis bersebelahan dengan Makam Kelurahan Gedang terus beraktivitas. Selasa malam, malam terakhir sebelum pencoblosan, tak ada jagongan bertema pemilihan gubernur (pilgub) yang dilakukan warga. Mereka lebih sibuk membahas nasib diri dan perjuangannya dalam mengejar hak-hak yang terampas.

    Irsyad, misalnya. Malam itu ia menceritakan sebuah rapat warga di desanya yang berakhir ricuh. Salah satu warga menyatakan bahwa Desa Besuki Timur sebenarnya akan masuk dalam peta desa terdampak. Namun, hal ini gagal karena ada dua warga peserta pertemuan nasional para korban Lapindo di Jakarta memberi ide berbeda. Dua orang itu meminta bahwa Desa Besuki Timur tidak masuk dalam peta terdampak.

    Irsyad yang merasa dikambinghitamkan, langsung berdiri. Ia meminta agar langsung sebut nama, siapa orang yang menggagalkan masuknya Besuki Timur dalam peta desa terdampak. Sebab, dirinyalah yang mengikuti pertemuan di Jakarta itu. “Namun, saya tidak melakukan penggagalan itu. Saya sedang dijadikan kambing hitam,” kata Irsyad dalam laporannya yang didokumentasikan di Posko Bersama Korban Lapindo, Selasa (22/7) malam.

    Belum lama Irsyad berbagi masalahnya, datang lagi warga dari desa lain. Mereka diterima Paring, salah satu aktivis di posko tersebut. Kepada mereka Paring menjelaskan tentang kampanye penyadaran dan advokasi yang sedang digalang ia dan kawan-kawannya. Satu sudah berjalan, yakni situs informasi korban Lapindo yang beralamat di http://www.korbanlumpur.info. Dua lagi masih digagas: radio komunitas dan buletin untuk korban.

    Di rumah dengan 4 kamar itu, ide-ide pemberdayaan ditelurkan. Tak ada televisi, tak ada intervensi dari berita-berita pilgub yang mereka benci. Tak ada kursi, semua lesehan di lantai yang hanya sebagian tertutup karpet tipis. Tak ada makanan, karena lapar adalah tanggungan sendiri-sendiri. Namun, diskusi yang muncul begitu hidup. Termasuk, rencana memberi warga –dimulai dari para aktivisnya —alamat e-mail untuk bisa berhubungan dengan pihak luar.

    ““Dengan punya e-mail, punya situs, kita bisa berhubungan dengan pihak-pihak lain, termasuk di luar negeri, yang mau membantu kita. Murah dan cepat”,” urai Paring.

    Negara Durhaka

    Merasa hampir mentok di dalam negeri, para aktivis warga ini memang mengalihkan upaya mereka ke luar negeri. Tentu ini bukan kesimpulan serta merta. Kasus penyelidikan pembunuhan aktivis HAM, Munir SH, membuka mata mereka.

    ““Kalau saja tak ada tekanan asing, sudah pasti penyelidikan kasus pembunuhan Munir sudah berhenti sejak lama,”” kata Winarko. “”Karena jaringan Munir kuat di luar negeri, pressure mereka pun terasa. Tiap kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melawat ke luar negeri, kasus Munir selalu ditanya. Pasti grisingan (risih), kan? Karena itu kasus ini masih diselidiki,” lanjutnya.

    Ya, menjadikan pemerintah grisingan adalah target antara. Grisingan bila kasus lumpur Lapindo tak segera tertangani dengan baik. Grisingan bila pemerintah dituding takluk pada kekuatan tertentu dan melupakan penderitaan rakyatnya.

    “Kami sebenarnya tidak ingin mempermalukan pemerintah. Ibaratnya, kami adalah anak, sedang pemerintah adalah ayah kami. Kalau saja ayah kami peduli pada kami, buat apa kami mengadu kepada tetangga?” Winarko memberi analogi.

    Tak Yakin Media Massa

    Pemberdayaan masyarakat kini menjadi target utama para aktivis warga korban lumpur Lapindo ini. Mereka yakin pemberdayaan akan membuat perjuangan mereka lebih terarah dan dapat bertahan –bahkan menang—dari serbuan banyak pihak yang kian tak bersahabat.

    “Salah satunya, jujur saja, media massa,” kata Winarko. “Kami lihat makin lama media massa, baik cetak maupun elektronik tak lagi menyuarakan nasib kami. Rata-rata mereka sudah terbeli. Yang belum terbeli pun (Winarko menyebut nama dua media massa cetak) hanya berani menulis dalam koridor “netral”.

    Padahal, dalam menyikapi kasus seperti lumpur Lapindo yang dampaknya demikian luar biasa, media tak boleh netral. “Mereka harus berpihak. Dan, tak ada pilihan waras lain kecuali berpihak kepada korban,” tegas Winarko.

    Hari, salah satu korban lumpur, mendukung pendapat Winarko. “”Moncong senjata laras panjang tentara pernah ditempelkan ke kepala saya. Seorang fotografer (Hari menyebut nama sebuah stasiun televisi) berhasil mengambil gambar itu. Namun, berita itu tak pernah muncul. Bagaimana kami bisa percaya kepada media massa?,”” keluhnya.

    Sialnya, Hari masih punya banyak stok cerita lainnya. Salah satunya, bagaimana sebuah stasiun televisi nasional begitu tega memelintir liputan. “”Gambar yang muncul di televisi adalah gambar saya dan kawan-kawan yang sedang demo. Namun, beritanya tentang penghijauan. Apa maksudnya, coba?,”” ujar Hari, geram.

    Maka, ketika media massa mainstream dianggap para korban Lapindo tak bisa lagi dipercaya, jawabannya hanya satu: membuat media sendiri. Dan, mereka serius mempersiapkannya.

    ““Jadi kalau ada yang bertanya mengapa pilgub sama sekali tak berarti di sini, Anda sudah tahu jawabannya. Media massa saja susah kami percaya, apalagi para cagub itu?,”” seru Hari. (*)