Tag: Buletin Kanal

  • [Mei 2015] Mengingat Lapindo

    Pada edisi ini Buletin Kanal menyajikan beberapa seruan komunitas korban Lapindo dan kelompok masyarakat sipil terkait sembilan tahun lumpur Lapindo. Kelompok ini menyerukan betapa kasus Lapindo tidak ditangani baik oleh pengurus negara. Mereka mengatakan negara alpa dalam melindungi warga. Warga harus berjuang sendiri untuk bisa memenuhi kebutuhan dasar dan memulai upaya pemulihan kehidupan.

    Kerusakan sosial, budaya, lingkungan, dan ekonomi tidak mendapatkan perhatian serius. Konsep melindungi warga dengan mendorong skema ganti rugi melalui jual beli aset tanah dan bangunan senyatanya tidak juga bisa ditaati perusahaan. Meski menjadi prasyarat paling ringan dalam kasus ini, ketidakpatuhan Lapindo Brantas pada kebijakan negara tak urung memperpanjang kesengsaraan korban Lapindo.

    Pada peringatan 7 tahun Lumpur Lapindo, beberapa komunitas yang menghadapi situasi serupa di Porong, datang bersolidaritas dan menetapkan 29 Mei sebagai Hari Anti Tambang (HATAM). HATAM mengingatkan publik tentang daya rusak tambang yang bahkan sejak mulai beroperasi telah bisa diidentifikasi. Pada kasus lumpur Lapindo misalnya, ketidakjelasan peruntukan lahan sumur pengeboran migas merupakan bentuk manipulasi informasi. Ditambah lagi sejak awal aktivitas industri migas ini tidak pernah disebutkan dalam RTRW Sidoarjo.

    Warga harus berjuang sendiri untuk bisa mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Sejumlah warga mesti menghadapi resiko lingkungan yang sangat buruk dengan mengandalkan sumber ekonomi sebagai pengelola parkir dan pengojek di area tanggul semburan lumpur Lapindo. Catatan kesehatan Puskesmas Porong bisa menunjukkan resiko kesehatan yang dialami warga.

    Gangguan pernapasan menjadi indikator paling bisa dilihat akibat pemburukan kualitas udara. Pemeriksaan kesehatan kepada korban nyaris tidak dilakukan secara khusus. Bahkan mereka mesti berjuang bertahun-tahun untuk bisa mendapatkan keringanan biaya kesehatan. Jika tidak mendapat fasilitas Jamkesmas dan Jamkesda, mereka harus berbekal SKTM-surat pernyataan sebagai orang miskin.

    Sayangnya, media cenderung tidak menggali berbagai dimensi kerusakan akibat lumpur Lapindo. Sajian persoalan ganti rugi yang tak kunjung selesai menghiasi berita kasus lumpur Lapindo. Hanya sedikit media arusutama yang mencoba mendalami dampak lumpur Lapindo dari multi perspektif.

    Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang setidaknya ditunjuk untuk mengurusi persoalan Lapindo juga cenderung membatasi diri. Dalam urusan keterbukaan informasi, BPLS tidak cukup serius mengelola media informasi, www.bpls.go.id, yang tidak lagi dapat diakses publik, sejak 29 Mei hingga edisi ini terbit.

    Kami memilihkan beberapa liputan media tentang situasi finansial Grup Bakrie, resiko konflik adanya pulau endapan lumpur, pemulihan infrastruktur, dan liputan mendalam membaca dampak berkelanjutan lumpur Lapindo.

    Secara khusus tiga tulisan Anton Novenanto disajikan untuk memberikan gambaran lebih terang tentang situasi pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini. Bambang Catur Nusantara dan Lutfi Amirrudin masing-masing menyajikan satu tulisan khusus dalam membaca situasi sembilan tahun semburan Lumpur Lapindo.

    Daris Ilma dan Rita Padawangi menampilkan beberapa foto dokumentasi prosesi peringatan 9 tahun semburan lumpur Lapindo. Akhmad Novik menuliskan kesaksiannya mengikuti prosesi peringatan sejak pagi hingga siang, 29 Mei 2015.

    Redaksi berterima kasih pada Rahman Seblat yang telah beriuran sketsa tematik Sembilan Tahun Lumpur Lapindo, “Warga Berdaya, Meski Negara Alpa.”

    Redaksi juga mengundang partisipasi pembaca untuk Buletin Kanal edisi mendatang. Silakan kirimkan tulisan opini, foto, sketsa, komik, atau bentuk lainnya sebagai kontribusi pada perbaikan pengelolaan kasus lumpur Lapindo ini.

    Selamat membaca!

    — Bambang Catur Nusantara

    Daftar tulisan edisi ini:

    1. Mengingat Lapindo (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    2. [Siaran Pers] 9 Tahun Semburan Lumpur Lapindo (pdf)
    3. [Siaran Pers] Negara Absen Ketika Kejahatan Tambang Merajalela (pdf)
    4. [Suara Publik] Bola Panas “Ganti Rugi” (Anton Novenanto) (pdf)
    5. [Suara Publik] “Warga Tetap Berdaya, Meski Negara Alpa” (Anton Novenanto) (pdf)
    6. [Suara Publik] Politik Janji (Anton Novenanto) (pdf)
    7. [Suara Publik] Lumpur Lapindo, Setelah 9 Tahun (Bambang Catur Nusantara) (pdf)
    8. [Suara Publik] Mengingat Lapindo, Mengingat Penghancuran Terencana (Lutfi Amiruddin) (pdf)
    9. [Kanal Korban] Sembilan Tahun Lumpur Lapindo (Novik Akhmad) (pdf)
    10. [Lapindo di Media] Mei 2015 (pdf)
    11. [Bingkai] Peringatan Sembilan Tahun Semburan Lumpur Lapindo (29 Mei 2015) (Daris Ilma & Rita Padawangi) (pdf)

    Dapatkan bendel lengkap Buletin Kanal di sini.

  • [April 2015] Korban Lapindo “Pulang Kampung”

    Jelang sembilan tahun semburan lumpur Lapindo pada 29 Mei 2015, kondisi pemulihan warga sepertinya masih belum jelas. Sampai kini urusan penggantian hilangnya aset tanah dan bangunan masih belum terlaksana. Pemerintah masih dalam proses menyiapkan legalitas pelaksanaan penalangan sebagai akibat wanprestasi Lapindo melaksanakan kewajiban sesuai Perpres 14/2007.

    Demonstrasi mempertanyakan realisasi pencairan dana itu dilakukan beberapa kelompok warga pada bulan ini. Pemerintah yang sebelumnya menjanjikan pencairan pada Maret, menundanya hingga Mei. Janji inipun sepertinya tidak segera terealisasi karena tambahan biaya hingga lebih dari 800 miliar. Beberapa media mengabarkan rencana pencairan diundur lagi, menjadi sebelum lebaran (Juli).

    Di media sosial dikabarkan beberapa kelompok korban akan melakukan aksi memperingati 9 tahun lumpur Lapindo. Pada 24 Mei akan dilakukan semacam ziarah lumpur di area dekat ratusan patung yang dipasang pada peringatan tahun lalu. Pada 28 Mei ada warga yang akan melakukan istighosah di dekat tanggul lumpur Lapindo titik 21 dan 25. Kegiatan ini masih rutin dilakukan warga pada waktu-waktu khusus seperti jelang Ramadhan

    Kelompok perempuan Ar-Rohma, Paguyuban Ojek dan Portal Titik 21 dan Komunitas Alfaz merencanakan melakukan “Festival Pulang Kampung.” Mereka akan mengarak ogoh-ogoh Aburizal Bakrie setinggi lima meter dari Taman Apaksi (Pasar Porong Lama) menuju titik 21.

    Kegiatan ini dimaksudkan untuk menggambarkan betapa kuatnya ikatan warga dengan kawasan yang kini telah terendam lumpur. Tanah kubur orangtua, moyang mereka berada di sana. “Kami tak mungkin melupakan desa-desa ini. Sampai kapanpun kami akan ingat,” ujar Harwati yang mengkoordinir tiga kelompok warga itu dalam peringatan tahun ini.

    Harwati berharap rakyat Indonesia mengingat kejadian lumpur Lapindo dan mendorong pemerintah menyelesaikan krisis yang diakibatkan olehnya. Pemulihan ekonomi merupakan agenda penting dengan memprioritaskan pemenuhan hak dasar. Ia juga berharap desa-desa yang terendam lumpur itu dianggap sebagai bagian dari kenangan dan sejarah warga dan tidak dihapus dari administrasi pemerintahan seperti yang diusulkan oleh DPRD Sidoarjo. Sekalipun kampung halaman itu sudah terendam lumpur, warga masih terikat dengannya.

    Harwati berharap adanya pemeriksaan kualitas ekologis dan kesehatan masyarakat di sekitar tanggul lumpur. Misalnya, ia dan kawan-kawannya sebagai ojek tanggul mestinya mendapatkan fasilitas pemeriksaan berkala dan dijamin untuk bisa melakukan pengobatan secara gratis jika sakit.

    Janji Jokowi tentang kehadiran negara yang diterjemahkan menjadi kebijakan ‘dana talangan’ yang tak kunjung direalisasikan kami rasa penting guna untuk melihat persoalan ganti rugi untuk memulai proses pemulihan.

    Buletin Kanal edisi ini menyajikan amatan Anton Novenanto terhadap relasi Partai Golkar dan kasus Lapindo. Beberapa berita media terkait hak angket yang sedang didorong di DPR-RI juga kami sajikan, demikian juga dinamika grup Bakrie sebagai informasi yang penting diketahui masyarakat.

    Kami juga menyajikan foto-foto Lutfi Amiruddin dan Henri Ismail. Lutfi yang selama beberapa waktu melakukan penelitian di desa-desa sekitar lumpur Lapindo merekam proses pengubahan kawasan pasca ganti rugi. Sementara itu, Henri merekam bagaimana lumpur Lapindo telah menjadi monumen bencana industri bagi rakyat Indonesia.

    Bambang Catur Nusantara

    Unduh Buletin Kanal, Vol. XI (April) 2015 di sini.

  • [Maret 2015] Konstruksi Pengetahuan dalam Kasus Lapindo

    Buletin Kanal edisi Maret ini secara khusus menyajikan tulisan bagaimana pengelolaan kasus-kasus lingkungan yang mempengaruhi hidup warga dipengaruhi banyak hal.

    Kasus Lapindo, misalnya, telah dikonstruksi sedemikian rupa oleh sebagian pihak dengan menggunakan berbagai cara. Banyak ahli yang bisa ditelusur sejak awal menyajikan pendapatnya terkait kasus ini. Jika dikelompokkan, pendapat mereka terbagi dua. Kelompok pertama berpendapat semburan Lapindo lebih diakibatkan adanya potensi gunung lumpur yang menyembur karena aktivitas gempa beberapa hari sebelum 29 Mei 2006. Kelompok pendapat kedua menyampaikan semburan lumpur dipicu kesalahan pengeboran. Beberapa ahli yang lain nampaknya masih mencari-cari penyebab semburan ini.

    Tulisan Firdaus Cahyadi di Tempo menunjukkan peran para akademisi, sebagai ahli dalam mengkonstruksi pembenaran terkait eksploitasi pegunungan karst Kendeng. Ia mencontohkan dua kasus, Buyat dan Lapindo, untuk melihat bagaimana peran para ahli membangun opini publik dan kebijakan yang memiliki implikasi pengelolaan kawasan yang terkena dampak. Ia melihat peran para ahli yang cenderung berpihak kepada perusahaan.

    Anton Novenanto secara panjang dan mendalam menunjukkan betapa dalam kasus Lapindo ternyata pengurus negara sejak mula telah mempengaruhi keputusan strategis penanggulangan lumpur Lapindo. Ia menunjukkan secara runut bagaimana kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sejak mula menunjukkan ketidakberpihakan pengurus negara kepada korban Lapindo. Kebijakan yang dibuat justru telah membuat perusahaan bisa seenaknya tidak menyelesaikan kewajiban yang sudah diputuskan dalam model ‘jual beli’ hingga usia lumpur Lapindo hingga hampir 9 tahun.

    Bagaimana keputusan mengenai model ganti rugi, penetapan kawasan, anggaran, hingga pembentukan badan khusus pengelolaan lumpur Lapindo telah disusun sedemikian detail, yang kemudian pada era Jokowi dikatakan bahwa negara absen dalam urusan Lumpur Lapindo. Anton menggugat penggunaan ‘negara absen’ dalam kasus Lapindo karena berdasar telusurannya, fakta menunjukkan bahwa negara berperan besar dalam karut marut urusan Lumpur Lapindo hingga saat ini. “Negara absen dalam berpihak kepada warga” mungkin yang tepat digunakan dalam kasus lumpur Lapindo.

    Buletin Kanal juga memuat kesaksian Mamuk Ismuntoro yang pada saat awal semburan bertugas di desa-desa sekitar pusat semburan Lumpur Lapindo. Foto-foto yang diabadikannya menunjukkan dengan jelas bagaimana situasi desa-desa pada masa awal semburan Lumpur Lapindo. Kami berharap pada edisi selanjutnya bisa menampilkan beberapa rekaman gambar yang menunjukkan fase-fase semburan lumpur Lapindo.

    Bambang Catur Nusantara

    Daftar tulisan:

    1. Konstruksi Pengetahuan dalam Kasus Lapindo [pdf]
    2. Politik Pengetahuan dalam Kasus Lingkungan [pdf]
    3. Negara Absen dalam Kasus Lapindo, Apa Iya? [pdf]
    4. Lapindo di Media (Maret 2015) [pdf]
    5. Tanah Yang Hilang [pdf]

    Unduh Buletin Kanal Volume XI, (Maret) 2015 versi lengkap di sini

  • [Februari 2015] Kasus Lapindo, Negara Hadir untuk Siapa?

    Menghadirkan negara dalam kasus Lapindo menjadi bagian kampanye Presiden Jokowi. Skema talangan agaknya memang janji paling realistis yang bisa dilakukan Jokowi kepada korban Lapindo. Demikian halnya sebagai pelaksanaan keputusan MK tanpa resiko. Skema ini tentu mensyaratkan kejelasan para pihak korban yang menjadi tanggungan Lapindo dan detail besaran jumlahnya.

    Namun demikian, apakah benar negara tidak hadir dalam persoalan Lapindo. Konstruksi ‘menghadirkan negara’ ala Jokowi yang sebenarnya tidak benar dan cenderung menyesatkan. Jika hadirnya negara dipahami sebagai absennya peran negara dalam mengkonstruksi kasus Lapindo tentu salah besar.

    Kami melihat peran penting negara dalam menghadirkan kasus Lapindo bagi warga Sidoarjo. Para pengurus negara punya andil dalam memberikan izin dan tidak tegas mengawasi operasional pengeboran. Saat terjadi kecelakaan pada proses pengeboran, mereka cenderung gagap dalam menghadapi situasi yang ada, berposisi lemah menghadapi Lapindo, dan tidak tegas memimpin proses penanganan semburan sejak awal.

    Begitu pula peran pengurus negara dalam menentukan skema penyelesaian lumpur Lapindo yang hanya sebatas pada persoalan ganti rugi dan menegasikan tanggung jawab pemulihan hilangnya hak dasar warga. Rusaknya sarana pendidikan dan akses mendapatkan pendidikan yang sulit tidak diatasi secara khusus. Kualitas kesehatan yang menurun tidak diimbangi dengan melakukan monitoring kesehatan warga dan pertanggungan khusus. Lebih-lebih soal lingkungan yang memburuk, tidak ada upaya mengatasi melalui monitoring ataupun pengolahan. Pengurus negara justru berperan memperburuk terpenuhinya hak dasar warga.

    Masa pemerintahan SBY lebih mengedepankan pemulihan ekonomi regional dan lebih melihat dampak lumpur Lapindo terhadap infrastruktur. Ini bisa dilihat dari struktur personel BPLS dan juga anggarannya yang lebih fokus pada pemulihan infrastruktur, tidak pada pemulihan kehidupan korban Lapindo. Lagi-lagi, pengurus negara juga menyelesaikan dampak lumpur Lapindo bagi warga di luar PAT 2007 juga dengan menggunakan skema ganti rugi tanah dan bangunan.

    Presiden Jokowi seharusnya tidak memandang persoalan lumpur Lapindo sebagai persoalan sederhana dan bisa diselesaikan tuntas dengan menalangi pembayaran ganti rugi. Sejumlah pekerjaan pemulihan dan upaya mitigasi perlu dilakukan. Memantau persebaran lumpur dan dampaknya perlu dilakukan terus menerus dan diimbangi upaya pemulihan lingkungan dan monitoring kesehatan warga. Jaminan khusus untuk pendidikan anak-anak korban wajib dilakukan. Demikian juga peran untuk memfasilitasi inisiasi aktivitas ekonomi baru untuk percepatan pemulihan ekonomi keluarga korban.

    Redaksi berharap tulisan Anton Novenanto, Khudori, dan beberapa pilihan berita media dalam Buletin Kanal edisi kali ini bisa menyajikan secara gamblang dan memberi pemahaman bagaimana politik penyelesaian lumpur Lapindo ini.

    Selamat membaca!

    Bambang Catur Nusantara

    Daftar tulisan:

    1. Kasus Lapindo, Negara Hadir untuk Siapa? [pdf]
    2. Lagi, Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo: Politik-Ekonomi [pdf]
    3. Talangan APBN buat Lapindo [pdf]
    4. Lapindo di Media (Februari 2015) [pdf]

     

    Unduh Buletin Kanal Volume XI, Januari, 2015 versi lengkap di sini

  • [Januari 2015] Membuka Sumbat Informasi Kasus Lapindo

    Pada tahun 2008 – 2009, Kanal Newsroom pernah menerbitkan Buletin Kanal sebagai satu usaha diseminasi informasi kasus lumpur Lapindo. Sasarannya adalah ‘korban Lapindo’. Sayang kendala mahalnya ongkos cetak yang tidak bersahabat membuat penerbitan buletin harus berhenti dan konsentrasi tenaga diarahkan pada pengelolaan situs http://korbanlumpur.info.

    Ide penerbitan kembali Buletin Kanal dilandasi oleh tiga alasan. Pertama, diskusi internal awak Kanal Newsroom berpendapat bahwa definisi ‘korban Lapindo’ melampaui sebatas warga yang harus mengungsi akibat hunian mereka tersapu oleh lumpur Lapindo. Warga ini adalah ‘korban langsung’ lumpur Lapindo.

    Penggunaan APBN untuk menangani dampak semburan lumpur Lapindo menjadikan ‘seluruh rakyat Indonesia’ resmi sebagai korban Lapindo dalam pengertian yang luas. APBN yang seharusnya bisa digunakan untuk hal lain yang lebih berguna bagi pengembangan ekonomi republik ini terpaksa dialokasikan untuk menutupi dan menutup-nutupi segala ulah-tingkah Lapindo.

    Kedua, distribusi dan redistribusi informasi kasus Lapindo yang dilakukan media arusutama masih berkutat seputar wacana ‘ganti rugi’ –yang sebenarnya telah direduksi menjadi ‘jual beli aset’. Kecenderungan semacam ini mengubur persoalan-persoalan mendasar kasus Lapindo, seolah-olah dengan lunasnya kewajiban Lapindo atau Pemerintah membayar ‘ganti rugi’ pada warga berarti pula selesai sudah penanganan kasus Lapindo.

    Padahal, masih banyak persoalan sosial-ekologis lainnya, lama dan baru, akibat luapan lumpur panas tersebut. Pembuangan lumpur ke Kali Porong, gas beracun dan mudah terbakar, menurunnya kualitas air tanah, konflik horizontal antar-warga, pembebasan lahan untuk relokasi infrastruktur, atau degradasi kesehatan masyarakat di seputar semburan lumpur hanyalah beberapa dari pelbagai persoalan sosial-ekologis tersebut.

    Ketiga, semakin banyak pribadi maupun lembaga yang berminat atas kasus ini namun tidak menemukan ruang untuk memperoleh informasi dan menyampaikan informasi dan pendapatnya tentang kasus ini. Buletin Kanal hadir kembali dalam bentuk digital (pdf), selain untuk menghemat biaya produksi juga demi memudahkan distribusi informasi kasus Lapindo pada publik luas. Harapannya, publik dapat menjadi agen redistribusi informasi tersebut karena tanpa dukungan publik semacam itu kasus Lapindo tidak akan pernah tuntas.

    Sudah waktunya kita buka semua sumbat informasi kasus Lapindo demi petaka industri semacam ini tidak terulang lagi di tanah air kita, dan di bumi ini!

     — Anton Novenanto, editor edisi ini.

    Daftar tulisan:

    1. Membuka Sumbat Arus Informasi Kasus Lapindo [pdf]
    2. Menuntut Negara Hadir Secara Elegan dalam Kasus Lapindo [pdf]
    3. Negara Salah Kaprah dalam Mempertanggungjawabkan Pemulihan Korban Lumpur Lapindo [pdf]
    4. Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo [pdf]
    5. Masih Menyoal Dana Talangan untuk Lapindo [pdf]
    6. Lapindo di Media (Januari 2015) [pdf]

    Unduh Buletin Kanal Volume XI, Januari 2015 versi lengkap di sini