Tag: dampak kesehatan

  • Walhi: Lapindo Belum Layak Jadi Geopark

    KBR, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menolak rencana pemerintah untuk menjadikan kawasan banjir lumpur panas  Lapindo sebagai kawasan geopark.

    Geopark dikenal sebagai kawasan terpadu dengan warisan geologi guna mempromosikan pembangunan masyarakat setempat secara berkelanjutan.

    Menurut Direktur Eksekutif Walhi Jatim, Bambang Catur, kawasan Lapindo belum layak untuk dijadikan geopark karena masih perlu kajian lebih lanjut. Lokasi itu, kata dia, berbahaya bagi manusia.

    “Penelitian terakhir menyebutkan kandungan logam berat di ikan di sekitar Lapindo cukup tinggi, misalkan kandungan timah hingga 100 kali lipat. Ini berkorelasi dengan data kesehatan 2005-2009, warga dengan gangguan kesehatan saluran pernafasan cukup tinggi dari 23 ribu jadi 52 ribu, naik dua kali lipat selama 4 tahun,” jelas Bambang Catur dalam perbincangan dalam Sarapan Pagi KBR, Selasa (30/12).

    Karenanya, ia berharap Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) membuat kajian tersendiri soal ini guna memastikan keamanan lingkungan di Sidoarjo, Jawa Timur, itu.

    “Saya tidak membaca BPLS melakukan kajian-kajian. Penetapaan apa pun yang penting landasan-landasannya. Kalau nyatanya kawasan itu berbahaya bagi manusia, bagaimana mungkin kita mengundang anak-anak dalam kandungan lumpur yang berbahaya itu,” ujar Bambang.

    Soal rencana pembuatan geopark di kawasan lapindo sebelumnya diungkap Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono. Menurut Basuki, rencana itu bagian dari edukasi bagi masyarakat. Terlebih lagi di dalam lumpur terkandung mineral yang mungkin dapat dimanfaatkan.

    Anto Sidharta

    Sumber: http://www.portalkbr.com/nusantara/jawabali/3375674_4262.html

  • Yang Sakit, Yang Terjepit

    Yang Sakit, Yang Terjepit

    korbanlumpur.info – Tubuh renta itu tergolek lemah di tempat tidur. Hanya kain tipis yang menyelimuti kulit pucatnya. Mbah Tiyami, 75 tahun, sudah sejak 17 November 2007 jatuh sakit. Di kamar sempit itu, tak ada sinar matahari yang masuk. Sementara bubuk putih ramuan tradisional selalu ada di dekat pembaringan. “Ini bobok-nya, Simbah,” terang Suyati, anak perempuan Mbah Tiyami yang setia merawat.

    Mbah Tiyami mungkin tidak tahu jenis penyakit yang diderita. Tapi ia mengingat kisahnya. “Saat itu sudah lepas Isya. Tiba-tiba di kamar mandi sikil kulo kados puthul, kaki saya macam putus. Rasanya seperti, saya cari kaki saya kok ndak ada. Terus ndak bisa jalan. Ambyok pun, jatuh. Kembali ten kamar, ndak bisa apa-apa. Nggih terus dibawa ke rumah sakit. Habis dari rumah sakit, ya, macam ini, ndak bisa apa-apa sampai sekarang.”

    Dulu, sebelum lumpur menggenangi kampung dan seisinya, Mbah Tiyami tinggal di Desa Kedungbendo RT 14. Saat itu, ia belum mengalami sakit seperti ini. Begitu lumpur meletus, Mbah Tiyami tersingkir dari desa dan terpaksa mengontrak rumah di Desa Kalisampurno, Kecamatan Tanggulangin, hingga hari ini. Seperti warga lainnya, Mbah Tiyami sewa 2 tahun.

    Di November yang masih suasana bahagia Idul Fitri itu, Mbah Tiyami dilarikan ke Rumah Sakit Siti Hajar. Lapindo yang telah membuat Mbah Tiyami terusir dan yang menciptakan lingkungan yang membuat tubuh tuanya dijangkiti penyakit tak memberi layanan apa-apa. Begitu pula Pemerintah. Mbah Tiyami menjalani opname selama 9 hari yang menguras biaya sedikitnya 9 juta rupiah.

    Biaya itu ditanggung sendiri oleh keluarga Mbah Tiyami, tanpa bantuan dari Lapindo maupun Negara. Apalagi, Suyati, yang setia merawat Mbah Tiyami, adalah orang awam. Ia tak tahu kalau seharusnya, Mbah Tiyami sebagai korban Lapindo bisa bebas biaya pengobatan.  “Saya ndak tahu kalau korban wonten keringanan ngoten niku,” tutur Suyati.

    Macam-macam penyakit yang diderita Mbah Tiyami. Dari citra ultrasonografi (USG), terlihat ada batu di kandung kemih, ada pula benjolan di saluran kandung empedu, pembengkakan di sistem ginjal, dan infeksi saluran kencing. Setelah 9 hari menginap, keluarga tak sanggup lagi menanggung biaya pengobatan di rumah sakit. Apalagi, penyakit yang dialami Mbah Tiyami tak kunjung berkurang. Tak ada perubahan berarti. Akhirnya, keluarga memutuskan untuk membawa pulang Mbah Tiyami.

    Setiba di rumah kontrakan di Desa Kalisampurno itu, Mbah  Tiyami ditangani dengan pengobatan alternatif. Pertama pengobatan dari seorang tabib di daerah Larangan, Sidoarjo, yang menghabiskan kocek 450 ribu rupiah, namun juga tidak membuahkan hasil. Lalu jamu yang konon asli dari Jepang seharga 260 ribu rupiah. Syukurlah, kali ini ada sedikit perubahan: tangan Mbah Tiyami mulai bisa digerak-gerakkan. Hingga hari ini, Mbah Tiyami hanya terbaring di atas dipan. Secara rutin, ia diberi pijatan dan bobok putih, ramuan tradisional itu.

    Tiadanya layanan kesehatan dari Lapindo maupun Pemerintah membuat nasib keluarga Mbah Tiyami melorot terus. Suami Mbah Tiyami sudah tiada. Suyati tidak bekerja, juga sudah menjanda. Untuk membayar biaya rumah sakit dan perawatan, Suyati mengandalkan sisa uang 20 persen pembayaran jual-beli tanah dan sawah yang tenggelam oleh lumpur. Uang itu sudah menipis, dibagi-bagi untuk biaya makan dan sekolah Siti Nurjana (18 tahun) dan M Nurhuda (14 tahun), anak Suyati. Sementara, sisa 80 persen belum dibayar hingga hari ini. Sehingga untuk menambah biaya pengobatan Mbah Tiyami, Suyati masih harus berhutang ke tetangga dan sanak saudara sebesar 3 juta, jumlah yang sangat tidak kecil bagi Suyati.

    Pikiran Mbah Tiyami pun jadi ngelantur. “Rumah sudah kelemdi Kedungbendo. Kulo nggih pingin kembali ke sana. Wong dari kecil saya di Kedungbendo,” tutur Mbah Tiyami.

    Bu Jumik (50 tahun) juga mengalami nasib yang sama: tidak mendapatkan layanan kesehatan dari Lapindo maupun Pemerintah. Bu Jumik warga Renokenongo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong. Pertengahan Juni 2008 lalu, Bu Jumik tiba-tiba merasa sakit di bagian perut. Ia segera dilarikan ke RSUD Sidoarjo. Setelah menginap 2-3 hari, perut Bu Jumik tiba-tiba membesar, macam orang hamil. Ibu Jumik terus-menerus merasa sakit di perut, seperti maag akut.

    Setelah dua minggu menginap di rumah sakit, keluarga Bu Jumik tak sanggup lagi menanggung biaya. Lagi pula, kondisi kesehatannya juga tidak membaik. Bu Jumik dibawa kembali ke pengungsian. Lebih dari 20 juta sudah biaya yang dikeluarkan keluarga Bu Jumik. Untuk ke dokter setidaknya sudah 5 juta, lalu buat pengobatan alternatif sedikitnya 10 juta. Sekarang, dua hari sekali keluarga Bu Jumik harus merogoh 250 ribu untuk penanganan alternatif. Tidak ada bantuan atau keringanan biaya kesehatan dari Pemerintah, apalagi Lapindo.

    Selain warga Kedungbendo dan Renokenongo yang sudah dikubur lumpur Lapindo, warga di desa-desa sekeliling tanggul juga tak kurang mengenaskan. Kesehatan mereka terganggu, tapi juga tak ada penanganan khusus dari Pemerintah maupun Lapindo. Menurut hasil penelitian Tim Peneliti bentukan Gubernur Jawa Timur pada April 2008, udara di 9 desa sekeliling tanggul yang tercemar mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan. Gejala paling umum adalah mual-mual, pusing, batuk-batuk, dan sesak nafas.

    Di Puskesmas Porong saja, misalnya, angka pasien Infeksi Saluran Pernafasan (ISPA) meningkat tajam. Pada 2005-2006, angka rata-rata berkisar 20-25 ribu kasus. Tapi pada 2007, angka melonjak hingga 50 ribu kasus. Toh, Lapindo maupun Pemerintah tampak cuek-cuek saja. Pemerintah bersikap seolah-olah keadaan normal-normal saja, dan warga korban Lapindo pun disikapi seperti tidak sedang terjadi apa-apa.

    Pernah, Chusnul Chorida (29 tahun) warga Desa Gedang harus melarikan anaknya, Ilham Bintang (5 tahun), ke Puskesmas Porong. Sore menjelang magrib akhir Agustus lalu itu, Ilham mengalami demam tinggi. Pihak Puskesmas menyarankan agar segera dilakukan tes darah buat Ilham. Dari tes darah itu diketahui, Ilham dinyatakan mengidap radang tenggorokan sekaligus tipus. Disarankan agar Ilham menjalani rawat inap.

    Chusnul panik. Dia tidak punya uang. Lalu ia ingat memiliki kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), program layanan kesehatan buat masyarakat miskin. Dengan kartu ini, seharusnya Chusnul dibebaskan dari biaya pengobatan dan perawatan.  Tapi Chusnul malah mendapat respon tidak enak. “Boleh saja pakai Jamkesmas, tapi tidak bisa dapat suntikan,” kata petugas Puskesmas.

    Seperti warga lainnya, enggan berdebat dengan petugas, Chusnul akhirnya lebih memilih menanggung biaya sendiri. Kesehatan Ilham terlalu penting untuk diabaikan. Ilham ternyata harus menjalani rawat inap selama 5 hari di RSUD Sidoarjo. Biayanya 540 ribu rupiah. Ini jumlah yang besar bagi Chusnul. Hidup Chusnul dan keluarga bergantung pada penghasilan suami, Khusaini.

    Per bulan, Khusaini memperoleh penghasilan 540 ribu sebagai buruh kerajinan tas kulit. Dan jumlah itu harus dipotong sekitar 400 ribu buat kredit motor, yang menjadi alat transportasi Khusaini buat rutinitas kerja. Sehingga, uang Khusaini tersisa 400 ribu saja. Itu artinya, untuk membayar biaya perawatan Ilham, Chusnul dan Khusaini harus berutang. Kata Chusnul, ia telah berutang paling tidak 200 ribu rupiah.

    Mbah Tiyami, Jumik maupun Ilham tentu saja tidak sendirian. Kondisi kesehatan warga di sekeliling tanggul, terutama anak-anak dan manula, terus memburuk akibat kondisi air dan udara yang tercemar. Tanpa ada layanan kesehatan secara khusus, Lapindo maupun Pemerintah sama saja telah melakukan pembunuhan massal warga secara diam-diam. [re/ba]

  • Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    Tewas Akibat Gas: Kisah Pilu Warga Korban Lumpur Lapindo

    korbanlumpur.info – Desa Siring bagian barat, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo adalah sedikit wilayah dari 12 desa lainnya yang menjadi korban lumpur Lapindo. Akibat luapan lumpur Lapindo, Desa Siring barat mengalami kerusakan lingkungan sangat parah. Rumah-rumah warga mengalami keretakan pada dindingnya.

    Kondisi dinding yang retak itu sangat rawan ambruk, dan sangat mungkin menimbun penghuni rumah. Selain dinding, lantai rumah rumah warga juga mengalami kerusakan. Bahkan di tengah-tengah lantai rumah warga, keluar bau gas yang mudah terbakar. Bau gasnya mirip sekali dengan gas elpiji, bahkan cenderung menyengat.

    Semburan semburan berskala kecil dan besar juga tersebar luas di wilayah ini, mulai dari Siring barat, Jatirejo barat, Mindi, dan desa-desa lainnya di sekeliling tanggul lumpur Lapindo. Hingga kini, jumlahnya mencapai 94 titik semburan baru di desa-desa tersebut. Khusus Desa Siring barat, korban telah berjatuhan akibat gangguan kesehatan, karena kondisi lingkungan yang rusak.

    Sejak empat bulan yang lalu, kondisi Siring barat semakin hari semakin parah. Di antaranya sepasang suami isteri yang telah meninggal akibat sesak nafas. Sesak nafas itu menghinggapi sepasang suami-isteri itu karena tekanan gas yang sangat tinggi di lingkungan rumahnya. Suami isteri itu bernama Yakup dan Ny Yakup.

    Ny. Yakup meninggal tanggal 28 April 2008. Hasil pemeriksaan dokter menyebutkan, keduanya meninggal karena sesak nafas akibat kandungan gas. Sebelumnya, telah warga ada warga Jatirejo barat yang bernama Sutrisno juga meninggal dunia pada 14 Maret 2008 akibat sesak nafas karena tingginya kadar gas beracun di lingkungan rumahnya.

    Selain sepasang suami isteri di atas, ada korban lainnya dari warga Siring barat. Ia bernama Unin Qoriatul. Hasil pemeriksaan dokter tanggal 28 April 2008 menyatakan, di dalam saluran pernafasan Unin Qoriatul terdapat cairan yang tampak dalam bentuk bayangan gas. Kondisi ini membuat kesehatan Unin Qoriatul drop.

    Selain di Siring, warga Jatirejo barat juga mengalami nasib yang sama. Seorang ibu bernama Luluk meninggal pada 26 Maret 2008 meninggal dunia. Akibat kematiannya sama, yakni mengalami sesak nafas akibat tekanan gas yang begitu tinggi di lingkungan rumahnya.

    Walau telah ada korban korban berjatuhan, pemerintah dan PT Lapindo Brantas tak kunjung bertanggung jawab secara maksimal. Hampir tiap hari petugas dari PT Vergaco melakukan inspeksi untuk mendeteksi kondisi lingkungan di desa-desa di atas. Namun, hasil inspeksi itu tak pernah disosialisasikan ke warga.

    Pemerintah yang seharusnya bertanggungjawab untuk memberikan peringatan dini atas bahaya lingkungan ini, nyatanya hal itu tidak dilakukan. Sampai-sampai korban pada berjatuhan. Akankah negara membiarkan rakyatnya terenggut kematian terus menerus? Padahal negara sangat memiliki kapasitas untuk membuat proteksi atas keselamatan rakyatnya.

    Dunia harus tahu, bahwa ada pengabaian yang dilakukan pemerintah atas warga korban lumpur Lapindo yang berada di luar peta area terdampak. [ring]

  • Saat Menteri KLH dibutakan oleh Lapindo

    Pada 31 Juli 2008 lalu, KLH memberikan predikat biru plus pada Lapindo Brantas Inc. Blue company merupakan predikat kepada perusahaan yang telah cukup baik melaksanakan kewajibannya terhadap lingkungan. Sejak dibebankan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial bagi perusahaan tambang oleh Pasal 74 Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahaan Terbatas, perusahaan-perusahaan yang bergerak di industri mining, oil and gasoline berlomba-lomba menggelar kegiatan-kegiatan amal yang diekspos oleh media, sementara perusakan lingkungan oleh perusahaan tersebut tak lagi menjadi persoalan besar di bangsa ini. Eco-labeling le[ada Lapindo tersebut menunjukkan keberpihakan Pemerintah RI terutama Kementrian KLH terhadap korporasi pelaku kejahatan lingkungan dan kemanusiaan.

    Undang-undang Perseroan Terbatas sebenarnya masih absurd dalam mengemas Corporate Environmental and Social Responsibility. Sejauh apa suatu perusahaan dinilai menghormati lingkungan hidup belum ada stadarisasinya. Meskipun absurd, sesuatu yang mutlak terlihat jelas bahwa suatu perusahaan tidak comply terhadap lingkungan hidup adalah jika aktivitas perusahaan itu telah jelas mengakibatkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Terlebih bila disambungkan dengan tiga elemen CSR  yang dikenal di dunia internasioanl yaitu people, planet, profit (masyarakat, planet, dan keuntungan). Suatu perusahaan dalam mencari keuntungan wajib memperhatikan kesejahteraan masyarakat dan keberlangsungan planet ini.

    Di tengah kerancuan indikator perusahaan comply atau tidak terhadap lingkungan hidup, pemerintah dapat sewenang-wenang menyematkan predikat hijau dan biru terhadap perusahaan yang nyata-nyata mengakibatkan ecocide, seperti halnya yang diterima Lapindo. Menurut penemuan BPK-RI dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Lapindo terbukti lalai dalam pengeboran hingga menyebabkan menyemburnya Lumpur Panas yang mengandung gas mudah terbakar di sumur Banjar Panji-1 yang kini telah merendam habis 12 desa di Sidoarjo. Semburan Lumpur ini mengakibatkan sedikitnya 60 ribu orang mengungsi karena ekosistemnya dimusnahkan. Menurut penelitian berapa ahli, Lumpur ini mengandung logam berat seperti Cadmium, Chromium, Arsen, dan Merkuri yang kadarnya diatas baku mutu yang dipersyaratkan. Tidak hnya itu, Lumpur ini juga mengandung mikrobiologi yang bersifat patogen seperti coliform, salmonella, dan staphylococcus aureus.

    Coliform ini adalah bakteri yang banyak ditemui di feses binatang berdarah panas seperti reptiliaColiform tidak menyebabkan penyakit tapi adanya coliform ini menjadi indicator adanya organisme yang membawa penyakit atau patogen. Sedangkan Salmonella adalah mikrobiologi yang menyebabkan typhoid fever, paratyphoid fever, dan foodborne illness/food poisoning. Staphylococcus aureus, adalah mikrobiologi yang menyebabkan penyakit golden step yang dapat mengakibatkan radang selaput otak (meningitis), Pneumonia, toxic shock syndrome (TSS) dan septicemia.

    Lebih buruk lagi, akhir-akhir ini baru diketahui bahwa lumpur ini mengandung Polyciclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) 2000 kali ambang batas normal. PAH ini adalah senyawa kimia yang terbentuk proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil di areal pengeboran. PAH merupakan senyawa yang berbahaya karena ia selain karsinogenik dan mutagenik, ia juga teratogenikIa tidak langsung menyebakan tumor atau kangker secara lansung, namun PAH akan berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker. Mengerikannya, PAH dapat berpindah dari media apapun. Tidak hanya dari udara yang dihirup, namun dari pori-pori kulit dan lubang tubuh. Menginjak tanah yang terkontaminasi PAH (akibat terkena udara yang mengandung PAH), serta mengkonsumsi makanan dan minuman yang terkontaminasi PAH dapat mengakibatkan PAH masuk ke tubuh manusia.

    Dampak dari PAH di tubuh manusia ini baru dapat terlihat setelah PAH terakumulasi dalam tubuh, antara lain dapat menyebabkan kangker permasalahan reproduksi, dan membahayakan organ dalam dan kulit. Di Pasar Porong, beberapa orang telah teridentifikasi memiliki benjolan-benjolan di sekitar leher, payudara dan punggung. Menurut data di RSUD Sidoarjo, beberapa korban telah meninggal dunia dan teridentifikasi flek di paru-paru mereka, bahkan di korban yang diketahui selama hidupnya bukan perokok aktif. Saat ini masih ada ratusan ribu warga Sidoarjo yang menghirup udara yang terkontaminasi dan berbau busuk, mengkonsumsi air yang terkontaminasi PAH, hidup tanpa peringatan dari perusahaan.

    Setelah kerusakan lingkungan dan sosial akut yang ditimbulkan oleh perusahaan ini, penyematan predikat biru kepada Lapindo merupakan bentuk kongkret pemerintah menutup mata atas perbuatan Lapindo. Predikat biru ini merupakan bukti adanya konspirasi antara lapindo dengan pemerintah dan menempatkan posisinya diametral dengan rakyat. Penyematan ini dikemas dalam sebuah perhelatan mewah yang memakan dana sekitar 3 milyar rupiah. Tidak ada transparansi dalam penentuan indikator menghormati lingkungan, apalagi adanya partisipasi masyarakat sekitar areal aktivitas perusahaan untuk memberikan penilaian apakah perusahaan itu comply terhadap lingkungan dan sosial atau tidak.

    Uang triliunan yang telah dikeluarkan oleh Lapindo untuk upaya menanggulangi dampak semburan (yang pada kenyataannya tidak tuntas), tidak bisa dikategorikan sebagai bentuk CSR, karena uang tersebut adalah kewajiban lapindo yang lahir akibat perbuatannya merusak lingkungan. Berbeda dengan konsep awal CSR yang merupakan filatropi korporasi atau karitatif. Uang tersebut bukanlah bantuan bencana alam seperti halnya banyak bantuan perusahaan untuk korban gempa, namun merupakan kewajiban perusahaan karena telah memusnahkan suatu ekosistem tanpa ampun.

    Sangat tidak tepat adanya apabila pemerintah menyematkan predikat biru plus kepada lapindo yang tidak hanya melakukan pemusnahkan ekosistem (ecocide), namun juga tidak bertanggung jawab atas restitusinya, mengingat sebagian besar dana penanggulangannya dibebankan kepada APBN. Pemerintah yang harusnya melindungi rakyat karena posisi timpang antara korporasi dan rakyat, justru menambah kekuatan gigantika korporasi. Begitulah apabila kehormatan menteri KLH telah dibeli dengan uang panas Lapindo.

    DINA SAVALUNA

  • BPLS Sangsikan Temuan Walhi

    SURABAYA — Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyangsikan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur yang menyatakan adanya kandungan policyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dalam lumpur Lapindo.

    “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak ada yang mengungkapkan adanya PAH,” kata juru bicara BPLS, Ahmad Zulkarnain, kemarin.

    Dalam penelitian yang dilakukan Walhi selama kurang-lebih dua tahun sejak November 2006 dan baru selesai pada pertengahan Mei lalu, lembaga ini menemukan adanya kandungan zat berbahaya jika dihirup manusia.

    Menurut Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara, dalam penelitiannya, Walhi menemukan adanya kandungan PAH dalam lumpur Lapindo hingga 8.000 kali lipat dari ambang batas normal, yakni 0,05 miugram per kilogram. PAH sangat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, di antaranya tumor dan kanker paru serta kanker kulit.

    “Kenapa hanya Walhi yang merilis PAH ini? Padahal banyak peneliti asing yang menyatakan lumpur masih aman,” katanya. Keamanan ini, kata Zulkarnain, bisa dilihat dari adanya tumbuhan yang bisa hidup di atas lumpur. “Buktinya mangrove bisa hidup, ikan yang dilepas di kolam lumpur juga hidup,” ujarnya.

    Dokter spesialis penyakit paru Slamet Hariadi mengatakan PAH memang berpotensi menyebabkan penyakit batuk dan sesak napas. “Ambang batas aman kandungan PAH di tempat terbuka maksimal hanya 1 mikrogram per meter kubik. Jika lebih dari itu, harus mendapat perhatian,” kata Kepala Bagian Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Dr Soetomo ini.

    Menurut Slamet, gas radon yang menyembur dari bumi juga berpotensi menyebabkan penyakit kanker paru. “Ini termasuk jenis gas berbahaya,” ujarnya.

    Meski kadar kandungannya kecil, kata Slamet, gas itu berpotensi muncul di semburan lumpur Lapindo. Sebab, semburan lumpur berasal dari lapisan dalam bumi atau gunung berapi. “Ambang batas untuk radon hanya 4 picocuries per liter,” katanya.

    Jika kandungan kedua gas itu tinggi jauh melebihi ambang batas maksimal, menurut Slamet, masyarakat sekitar semburan rentan mengalami penyakit paru, sesak napas, dan kanker paru. “Orang tua lebih rentan menderita penyakit itu, apalagi jika setiap hari menghirup dua gas itu,” katanya.

    Pada 2007, Slamet sempat melakukan penelitian kandungan gas di sekitar semburan lumpur Lapindo, tapi baru menemukan kandungan H2S dengan kadar 110 miligram per meter kubik dan gas klor (Cl) dengan kadar 20 miligram per meter kubik. Padahal ambang batas kedua gas ini hanya 15 miligram per meter kubik untuk H2S dan 1,45 miligram per meter kubik untuk Cl. “Kandungan kedua gas cukup tinggi dan berbahaya untuk kesehatan,” katanya.

    Menurut Slamet, saat itu dia tidak meneliti kandungan PAH lantaran tidak mempunyai alat yang memadai. “Sedangkan untuk mengukur radon, baru empat laboratorium di dunia yang bisa melakukan. Di Indonesia belum ada,” katanya.

    YEKTHI HM | Koran Tempo

  • Lumpur Lapindo Mengandung Senyawa Kimia Berbahaya

    Wawancara dengan Bambang Catur Nusantara, Direktur Walhi Jawa Timur

    Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bahwa lumpur Lapindo mengandung senyawa kimia polycyclik aromatic hydrocarbons (PAH) mengejutkan banyak pihak, termasuk pemerintah, yang selama ini selalu berdalih lumpur yang menyengsarakan puluhan ribu jiwa secara sosial dan ekonomi itu aman bagi kesehatan.

    Wartawan Tempo, Rohman Taufik, akhir pekan lalu mewawancarai Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara untuk mendapatkan penjelasan mengenai temuan itu. Berikut ini petikan wawancaranya:

    Apa yang mendorong Walhi melakukan penelitian tentang PAH?

    Sebenarnya sudah bisa diduga sejak awal, lumpur Lapindo mengandung senyawa PAH. Setelah kami teliti, ternyata benar. Bahkan, di luar dugaan, PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo 8.000 kali lipat dari ambang batas normal.

    Lumpur Lapindo setidaknya mengandung dua jenis PAH, yaitu chrysene dan benz (a) antracene. Senyawa kimia ini jika masuk ke dalam tubuh akan langsung mempengaruhi sistem metabolisme, yang akan menimbulkan berbagai penyakit. Selama ini korban Lapindo bersentuhan langsung dengan PAH dalam kategori terpapar lama dalam 24 jam berturut-turut. PAH dalam kadar yang terendah saja sangat mudah masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit.

    Apa saja efek paling buruk jika terkena PAH?

    PAH bisa menyebabkan tumor dan kanker, khususnya kanker kulit, paru, serta kandung kemih. PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

    Senyawa ini sebenarnya tidak secara langsung menyebabkan tumor ataupun kanker, tapi pada orang yang terkena, PAH dalam sistem metabolisme tubuh akan langsung diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif serta sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker.

    Senyawa kimia ini sangat mudah larut dalam tubuh, sehingga jika orang terpapar lama dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, orang tersebut langsung akan terkena tumor dan kanker. Karena kadarnya 8.000 kali lipat, risiko terkena tumor dan kanker dipastikan lebih cepat.

    Korban Lapindo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong, di setiap blok telah ditemukan sekitar lima anak yang menderita benjolan di lehernya, yang mirip tumor. Selain itu, banyak korban yang terkena penyakit kulit.

    Kondisi seperti ini seharusnya segera ditindaklanjuti. Terhadap semua korban lumpur Lapindo, harus dilakukan general check-up.

    Dari hasil penelitian Walhi, kandungan PAH dalam lumpur Lapindo sejauh radius berapa kilometer?

    Kami mengambil sampel di 20 titik, terjauh di radius 1,5 kilometer dari pusat pusat semburan. Hasilnya, PAH terkandung di semua titik yang kami teliti. Ada kemungkinan lebih jauh lagi radiusnya. Sebenarnya kami juga meneliti lumpur di Sungai Porong. Untuk sementara, baru logam berat yang kami teliti.

    Banyak yang ragu dengan temuan Walhi, bahkan ada yang mengatakan laboratorium di Indonesia belum mampu mendeteksi PAH

    Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung demikian pesat. Laboratorium Universitas Airlangga yang kami gunakan juga bisa dicek akurasinya.

    Sebenarnya logika berpikir yang harus dibangun bukan mencari-cari kelemahan penelitian kami. BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) seharusnya melihat fakta ini sebagai ancaman. Memang, dalam kasus lumpur Lapindo, tidak ada keberpihakan terhadap warga. Menteri Lingkungan, misalnya, malah memberikan anugerah kepada Lapindo dengan predikat taat lingkungan.

    PAH sebenarnya lazim ditemukan di area pengeboran, tapi anehnya, Kementerian Lingkungan ataupun Bapedal tak pernah menelitinya. Mereka hanya berkutat pada logam berat. Atau mungkin mereka takut karena PAH memang sangat membahayakan, sehingga sengaja tidak dicari tahu kandungannya. Padahal, kalau sejak awal diketahui, bisa langsung diantisipasi.

    Apa langkah lebih lanjut yang dilakukan Walhi?

    Karena menyangkut keselamatan banyak orang, kami akan kirimkan hasil penelitian ke semua pihak, seperti BPLS, Menteri Kesehatan, Gubernur, juga Presiden. Tujuan kami supaya ribuan korban Lapindo segera diperhatikan dan mendapat penanganan serius. Dua pekan lalu kami sudah berikan kepada Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Saat berada di Jakarta, kami sampaikan juga ke Kementerian Lingkungan Hidup, tapi tidak ditanggapi.

    Penelitian ini apakah tidak terlambat? Semburan lumpur sudah berlangsung lebih dari dua tahun.

    Penelitiannya sudah lama. Hasil laboratoriumnya memang baru keluar beberapa waktu lalu. Sejak awal kami sudah memprediksi ancaman seperti ini, tapi tidak pernah ada yang menanggapinya.

    Sejak awal kasus lumpur, Walhi selalu dibenturkan dengan korban Lapindo, tapi kenapa Walhi merilis masalah ini?

    Sebuah korporasi memang akan menggunakan berbagai cara agar kepentingannya tidak terganggu. Kami tahu ada aktor yang bermain, karena Walhi dianggap mengganggu mereka, sehingga banyak ditemui spanduk seolah-olah warga menolak kehadiran kami. Ini aneh. Kami melakukan investigasi untuk kepentingan warga korban, malah ditolak. Kami sudah melacak siapa yang memasang spanduk, ternyata bukan warga. Bukan hanya (tentang) spanduk, kami juga sering diteror.

    Bahkan posko bersama yang kami dirikan di Porong diancam akan dibakar oleh sekelompok orang. Kami tak akan terusik. Tugas kami memang menyoroti masalah lingkungan.

    Sumber: Tempo

  • Bernapas dalam Lumpur

    Infeksi saluran pernapasan akut menggerogoti kesehatan warga yang wilayahnya tergenang luapan lumpur panas. Penyakit minamata mengancam.


    BAU telur busuk yang menyengat hidung kini biasa dihidu warga desa Renokenongo, Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Di sana, lumpur panas bercampur hidrogen sulfida (H2S) sudah hampir sebulan terus menyembur dari perut bumi.

    Banjir lumpur panas bahkan sudah menjadi bencana dan meluber ke desa-desa tetangga seperti Jatirejo dan Siring. Paru warga setempat dipaksa menghirup udara tercemar. Hasilnya, lebih dari 800 warga mesti menjalani perawatan medis. Sebagian terpaksa ngendon di bangsal rumah sakit.

    “Mayoritas pasien mengalami infeksi saluran pernapasan akut,” kata Komisaris Polisi Hadi Wahyana, Kepala Rumah Sakit Bhayangkara, Porong, yang kebanjiran pasien dadakan. Gejala yang dialami warga adalah sesak napas, pusing, mual, dan muntah. Ada juga pasien yang mengidap gangguan pencernaan seperti diare.

    Serbuan udara tercemar gas yang baunya mirip belerang itu menjadi ancaman lebih serius bagi mereka yang memiliki riwayat sakit paru kronis. Contohnya Suwoto, 76 tahun. Nyawa warga Renokenongo ini tak tertolong, meski sempat menjalani perawatan di rumah sakit selama beberapa hari. Hal serupa dialami Abdul Syukur Achyar, 57 tahun, warga Jatirejo yang meninggal pada hari yang sama.

    Penyakit Suwoto kambuh pada Senin dua pekan lalu. Keesokan harinya, ia langsung dibawa ke RS Bhayangkara. Hampir sepekan dirawat, kondisinya tak kunjung membaik. Ayah enam anak itu akhirnya dirujuk ke RSUD Sidoarjo. Di sana tim medis juga tak bisa berbuat banyak. Nyawa Suwoto tak bisa diselamatkan. “Udara tercemar membuat penyakitnya tambah parah dan sulit disembuhkan,” kata Hadi, yang bolak-balik menangani Suwoto sejak 2004.

    Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Airlangga Surabaya, Profesor Mukono, mengatakan bahwa semburan gas mempercepat proses meninggalnya Suwoto dan Syukur. Gas berbau busuk yang mereka hirup membawa dampak psikologis dan kesehatan yang makin buruk. Gejala yang terlihat, antara lain, mual, pening, dan jantung berdebar-debar. Kematian mereka, dalam istilah orang Jawa Timur, jadi seperti disengkakne (dipacu).

    Tak mau terperangkap udara tercemar gas yang diduga beracun, warga di daerah genangan lumpur makin banyak yang mengungsi. Pasar Baru Porong yang disediakan untuk tempat pengungsian makin berjubel.

    Bertahan di rumah dan bernapas di antara kubangan lumpur bukan lagi pilihan, karena kesehatan pernapasannya bakal terus tergerus. Tengok saja nasib keluarga Suparman, 49 tahun, warga Jatirejo. Gara-gara bertahan tinggal di rumah, istri, anak, dan dirinya sendiri harus opname di rumah sakit akibat saluran pernapasannya bermasalah.

    Bukan cuma udara tercemar bau busuk yang berbahaya. Pencemaran air di lokasi semburan lumpur oleh raksa, sulfat, nitrit, dan amonia bebas juga menimbulkan masalah. Soalnya, zat-zat itu potensial mengganggu kesehatan.

    Tim ahli dari Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS) sudah menyatakan bahwa dari uji sampel, kandungan air di sana menunjukkan lonjakan zat-zat yang luar biasa. Kandungan raksa mencapai 2,565 miligram per liter (baku mutu 0,002 miligram per liter), sulfat 1437,5 miligram per liter (baku mutu 0), nitrit 6,60 miligram per liter (baku mutu 0,06), dan amonia bebas 154,5 miligram per liter (baku mutu mustinya 0).

    Mukono mengingatkan ada bahaya mengintai lantaran merebaknya zat-zat itu. Amonia bebas, misalnya, bila langsung terkena kulit akan menimbulkan iritasi dan gatal-gatal. Penyakit yang sama muncul bila terjadi kontak langsung dengan nitrit.

    Ancaman bahaya lebih besar pun sudah diramalkan. “Bila raksa masuk ke tubuh secara menahun, bisa timbul penyakit minamata,” kata Mukono. Penyakit yang muncul akibat mengkonsumsi makanan tercemar logam berat merkuri ini (Latin hydrargyrum, bersimbol Hg, raksa) pernah terjadi di Minamata, Jepang, pada 1950-an. Akibatnya, ratusan orang tewas.

    Penyakit minamata terjadi jika masyarakat mengkonsumsi makanan atau air yang mengandung raksa selama 20 tahun atau lebih. Raksa yang mengendap dalam tubuh akan memicu munculnya gangguan saraf pusat. Sebab itu, masyarakat di kawasan semburan lumpur panas harus berhati-hati.

    Dwi Wiyana, Sunudyantoro, Rohman Taufiq (Surabaya)

    Sumber: Majalah Tempo No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Maut di Mulut Sumur

    Semburan lumpur dan gas di tambang-tambang minyak dan gas acap terjadi. Biasanya terjadi karena operator teledor.

    MALAM di Gaoqiao biasanya larut dalam kesenyapan ala pedesaan Cina. Ada suara jangkrik dan angin dingin. Tapi, tidak malam itu. Sebuah ledakan keras merobek langit Gaoqiao. Suaranya berdebum. Ribuan orang yang meringkuk di balik selimut terkesiap. Sebagian warga mencoba mencari tahu apa yang terjadi. Belum lagi mata terbuka sempurna, hawa panas dan bau busuk merayap ke rumah-rumah penduduk.

    Sebagian warga berhamburan meninggalkan rumah. Namun, banyak juga yang bertahan di rumah sembari menutup rapat-rapat jendela, pintu, dan lubang angin: pilihan yang keliru, sebab dengan begitu makin banyak racun yang terhirup ke paru-paru. Dalam hitungan menit, ribuan orang pun menggelepar.

    Rumah sakit-rumah sakit Kai panik. Mereka kebanjiran 243 mayat dan ribuan orang yang keracunan gas hidrogen sulfida serta sebagian kulitnya melepuh. Mereka datang dari 28 desa di Kai. Sekitar 41 ribu orang lainnya diungsikan menjauhi Gaoqiao. Esok harinya, pemerintah Cina mengumumkan ledakan 23 Desember 2003 itu terjadi karena semburan gas liar di tambang gas Chuangdongbei, Gaoqiao. Tambang itu dikelola Sichuan Petroleum Administration, milik China National Petroleum Corporation.

    Kejadian itu mirip dengan semburan lumpur di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Bedanya, di Gaoqiao hanya gas yang muncrat dari mulut sumur. Tak ada lumpur. Walau begitu, gas-gas yang baunya seperti kentut itu mencopot ratusan nyawa.

    Tragedi itu membuat miris pemerintah Cina. Mereka langsung mengirim tim pengendali bencana ke desa yang bersuhu rata-rata 0 sampai 4 derajat Celsius itu. Langkah pertama, tim itu adalah membakar gas, agar tak menyebar. Setelah itu, tim menyuntikkan 260 ton lumpur dan semen untuk menutup sumur.

    “Ini salah operator,” kata San Huashan, Deputi Direktur Keselamatan Kerja dan Administrasi Negara Cina seperti dikutip kantor berita Xinhua. “Mereka tidak mempersiapkan perangkat untuk menangani gas sulfur bertekanan tinggi.” Kesalahan itu, tutur San, bermula dari kesalahan operator memperkirakan kapasitas produksi dan kandungan gas di sumur.

    Tim pengendali juga menemukan sederet dosa operator lainnya, antara lain mereka tidak membakar gas yang keluar dan ada katup pengendali tekanan yang sengaja dilepaskan. Akibat keteledoran itu adalah sebuah semburan pembunuh yang dikenang sejarah. Sembilan bulan kemudian, pengadilan memvonis enam karyawan Sichuan Petroleum dengan hukuman penjara tiga sampai enam tahun.

    Bisnis tambang memang tak steril dari kecelakaan semburan lumpur dan gas. Di Indonesia kecelakaan seperti di Gaoqiao itu pernah terjadi di sumur Randublatung-A di Desa Sumber, Blora, Jawa Tengah, pada 2 Februari 2002. Semburan gas busuk itu membuat 4.400 penduduk mual dan pusing. Kepolisian Blora mencatat, sekitar 300 warga dirawat jalan dan dua orang lainnya dirawat inap di Rumah Sakit Cepu karena batuk dan sesak napas.

    Sumur Pertamina yang berjarak 100 meter dari pemukiman penduduk itu ditaksir memiliki 6 juta barel cadangan hidrokarbon. Gas yang menyelimuti Desa Sumber itu mengandung etana, propana, butana, pentana, karbondioksida, dan hidrogen sulfida. Untuk menyumpal kebocoran, kata Kepala Operasi Pemadaman R. Sujatmo, Pertamina menyemprotkan lumpur berat ke sumur. Perusahaan tambang pelat merah itu juga mengalirkan beribu-ribu liter air lewat pipa sepanjang 2,3 kilometer.

    Konsultan Geologi dan Perminyakan Untung Sumartoto mengungkapkan, semburan gas liar yang disertai keluarnya air dan tanah seperti di sumur Banjar Panji-1, Porong, jarang terjadi. “Biasanya gas atau minyak saja,” kata Untung.

    Albert Tilaar, konsultan yang pernah bekerja di perusahaan tambang asing, bercerita, kejadian di Porong itu pernah terjadi di Riau. “Lumpur menyembur hingga membentuk menjadi bukit,” ujarnya. Di tempat lain, kebocoran itu mengisap benda-benda yang ada di muka bumi. “Ada traktor beserta sopirnya terisap ke dalam bumi.” Namun, musibah itu selesai setelah operator menginjeksi lumpur dan semen.

    Efri Ritonga, Sohirin, L.R. Baskoro

    Sumber: No. 18/XXXV/26 Juni-02 Juli 2006

  • Menghirup Gas, 138 Warga Dirawat

    Semburan Lumpur Panas Semakin Meluas

    Sidoarjo, Kompas – Semburan lumpur panas dan gas alam di Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, hingga Senin (5/6) atau hari kedelapan masih terus berlangsung dan bahkan area cakupannya semakin meluas. Sementara itu, 138 warga yang menghirup gas dibawa ke rumah sakit karena sesak napas.

    Gas putih yang baunya menyengat mirip amonia itu menyebabkan sejumlah warga pusing, sesak napas, dan tenggorokan terasa panas. Perumahan warga sekitar 150 meter dari titik semburan gas. Warga yang kesulitan bernapas dan mual-mual dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Pusat Pendidikan (Pusdik) Tugas Umum (Gasum) Porong yang dirujuk PT Lapindo Brantas—perusahaan penambang minyak dan gas di lokasi tersebut.

    Berdasarkan catatan Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum, sebagian besar pasien adalah perempuan dan anak-anak. Hasil diagnosa menyebutkan, pasien rata-rata sakit pernapasan. Sebanyak 10 orang di antaranya rawat inap, sedangkan lainnya rawat jalan. Biaya perawatan ditanggung PT Lapindo Brantas.

    Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Gasum Komisaris Pancama Putra Hadi Wahyana mengatakan, “Ambulans kami siap 24 jam di permukiman warga.”

    Terus menyembur

    Kemarin lumpur panas dengan suhu sekitar 60 derajat Celsius dan gas terus menyembur. Intensitas dan volumenya pada siang hingga sore hari meningkat dengan tinggi sekitar 10 meter.

    Dari hamparan sawah Desa Siring sekitar 12 hektar, 95 persen di antaranya dibanjiri lumpur. Sisanya diperkirakan tak lama lagi akan terendam lumpur. Senin sore lumpur panas yang ditahan tanggul darurat tumpukan pasir sudah di atas permukaan Jalan Tol Surabaya-Gempol.

    Ditemui di lapangan, General Manager PT Lapindo Brantas Imam Agustino menyatakan volume semburan lumpur mencapai 5.000 meter kubik per hari. Imam mengatakan telah menurunkan tim mengkaji penanganan lumpur. Tim ini merupakan tim gabungan empat disiplin ilmu, yakni geoteknik, geohidrologi, teknik sipil, dan teknik lingkungan.

    Dr Adi Susilo, Kepala Laboratorium Geosains Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pasti Alam (MIPA) Universitas Brawijaya, mengatakan, muncratnya (blow out) lumpur hidrokarbon pada sumur minyak Banjar Panji, Kabupaten Sidoarjo, yang dikelola PT Lapindo Brantas diduga karena faktor ketidakberuntungan.

    Pada saat penggalian, lubang galian yang belum sempat disumbat dengan cairan beton sebagai casing keburu menganga karena gempa bumi di Yogyakarta. Akibatnya terjadinya rekahan pada galian sehingga lumpur hidrokarbon muncrat.

    “Prosedurnya memang lubang galian pada bagian atas langsung ditutup beton. Namun, penutupan baru bisa dilakukan jika seluruh pekerjaan pengeboran selesai dan minyak mentahnya telah ditemukan,” katanya.

    Munculnya semburan lumpur di rumah warga, menurut Adi, merupakan gejala adanya rekahan tanah tidak hanya pada lokasi pengeboran, melainkan juga antara lokasi pengeboran dan rumah warga.

    “Jalan keluarnya memang Lapindo harus mengerahkan tenaga ahli yang lebih mampu, dan sangat mungkin hal itu harus didatangkan dari luar negeri, untuk menutup lokasi muncratan sumur. Tentang kerugian warga, mestinya itu ditutup dengan biaya asuransi yang sudah dibayar Lapindo,” ungkapnya. (LAS/ODY)

    Sumber: Harian Kompas, 6 Juni 2006.