Tag: GKLL

  • Korban Lapindo dan Mandulnya Negara

    Korban lumpur lapindo yang di dalam peta area terdampak pada 22 Maret 2007 kini tengah resah. Kurang lebih 1000 an orang belum menerima uang muka 20 persen. Sisanya sebesar 11 ribu kepala keluarga cemas menuggu ketidakjelasan pembayaran 80 persen oleh PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ).

    Hari Selasa, 5 Agustus 2008 yang lalu, kami bersama dengan ribuan korban lumpur melakukan aksi untuk meminta komitmen pemerintah dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk menegakkan aturan hukum yang ada. Aturan hukum itu menyangkut pembayaran sisa 80 persen yang harus dilakukan oleh PT Minarak Lapindo Jaya. Namun, hasil pertemuan dengan Bupati Sidoarjo, BPLS, dan BPN tak membuah hasil yang menggembirakan. Bupati, BPN, dan BPLS tak secara kongkrit menegakkan aturan itu.

    Sesuai dengan mekanisme hukum yang ada, pada tanggal 2 Mei 2007, menteri sosial selaku wakil ketua dewan pengarah BPLS, bersama dengan Ketua BPLS, Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ketua DPRD Sidoarjo, Vice Presiden PT Minarak Lapindo Jaya, dan perwakilan warga mengadakan rapat bersama. Salah satu hasilnya disepakati bahwa tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya dapat di akte jual belikan. Sehingga secara otomatis posisinya setara dengan tanah tanah warga yang bersertifikat.

    Pertemuan ini tentu sangat menggembirakan warga. Harapan besar bahwa tanah tanah warga mendapatkan payung hukum dalam hal pembayaran sisa aset mereka sebesar 80 persen. Apalagi pada tanggal 24 Maret 2007, Badan Pertanahan Nasional membuat surat perintah kepada Badan Pertanahan Kabupaten Sidoarjo mengenai petunjuk pelaksanaan penyelesaian masalah lumpur Sidoarjo. Isi pokok surat itu adalah tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol bisa dilakukan penerbitan akte jual beli. Bahkan disaat PT Minarak Lapindo Jaya melakukan pelunasan pembayaran 80 persen, BPN dapat menerbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).

    Waktu terus berlalu, setahun kemudian, warga telah waktunya mendapatkan sisa pembayaran 80 persen. Sebagian besar warga berharap, mereka dapat segera membeli rumah, karena selama ini mereka hidup dalam rumah kontrakan. Bahkan sebagian diantaranya telah membeli rumah dengan status hutang. Harapannya, hutang itu dapat segera terlunasi disaat mereka mendapatkan pembayaran uang sisanya sebesar 80 persen.

    Alangkah terkejutnya ketika harapan itu coba dirubah. PT Minarak Lapindo Jaya, bersama dengan Ketua Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) dan Emha Ainun Najib membuat nota kesepahaman bahwa sisa pembayaran 80 persen akan dibayarkan dalam bentuk cash and resettlement (C n R). Pola C n R mekanismenya berupa tanah warga ditukar guling satu banding satu. Sedangkan rumah rumah warga yang telah tenggelam PT Minarak Lapindo Jaya sanggup membayarnya sesuai dengan harga saat warga menerima uang muka 20 persen, yakni sebesar 1,5 juta per meternya.

    Bahkan PT Minarak Lapindo Jaya menyatakan tidak bersedia membayar secara tunai (cash) bagi tanah tanah warga yang bukti kepemilikannya hanya letter c, pethok d dan sk gogol. Yang lebih konyol dan memuakkan, beberapa makelar bergentayangan setiap malam. Mereka mengumpulkan warga yang sangat awam mengenai praktik hukum dan prosedur pengurusan aset aset mereka yang telah tenggelam. Para makelar tersebut mengancam kepada warga, aset mereka yang 80 persen tidak akan diuruskan bahkan tidak akan di bayar, jika tidak segera mengumpulkan berkas berkas mereka kepada para makelar.

    Modusnya, para makelar mengumpukan warga pada malam hari selepas sholat isya’. Pada pertemuan itulah warga dibuat cemas, dan takut. Sehingga pada malam hari itu juga warga diminta mengumpulkan berkas untuk mengurus pembayaran sisa 80 persen dalam bentuk C n R.

    Menghadapi kenyataan yang amburadul seperti itu, beberapa warga yang melek secara politik dan hukum menginisiasi dibentuknya Geppres (Gerakan Pendukung Peraturan Presiden) yang menutut sisa pembayaran 80 persen dalam bentuk tunai (cash), baik tanah maupun bangunan. Mereka menolak skema C n R yang dibuat oleh PT MLJ dan GKLL.

    Jika mekanisme C  n R dilakukan maka warga akan mengalami beberapa kerugian:

    1. Warga menderita kerugian tanah yang menjadi aset miliknya. Sebab jika PT Minarak Lapindo Jaya membayar tanah tersebut secara tunai, harganya satu juta per meter perseginya. Sedangkan dengan sisten C n R, PT Minarak Lapindo Jaya mengganti tanah warga dengan tanah, yang pengadaannya tanahnya per meter perseginya paling mahal 300 ribu per meter perseginya.
    2. Lokasinya tanah tempat tukar guling relatif jauh dengan mata pencaharian warga, yang rata rata menjadi buruh pabrik, buruh tambak, dan sektor informal lainnya di sekitar Porong dan Tanggulangin.
    3. Pembayaran 80 persen secara tunai yang semestinya dapat digunakan untuk beli rumah dan modal usaha, dengan model C n R, maka uang tunai yang dimiliki warga semakin berkurang, sebab hanya mendapatkan pembayaran dari rumah mereka yang tenggelam saja.
    4. Jika warga terpaksa harus membangun rumah ditanah hasil relokasi satu banding satu, mereka akan tinggal di dalam komplek perumahan. Suasana hidup didalam perumahan secara kultural dan sosial jelas akan sangat berbeda dengan suasana hidup di kampung pendesaan. Biaya sosial hidup diperumahan akan lebih mahal, sebab air harus beli lewat PDAM atau membeli genset sedotan air, serta biaya biaya lainya, layaknya hidup di dalam perumahan.

    Menghadapi situasi ini, maka Geppres menginginkan agar komitmen pembayaran 80 persen harus tetap dalam bentuk uang tunai. Namun perjuangan ini masih menghadapi jalan buntu, ketika secara sepihak PT Minarak Lapindo Jaya tidak bersedia membayar tanah tanah yang bukti kepemilikannya hanya pethok d, letter c, maupun sk gogol. Menghadapi situasi seperti ini, BPN, BPLS, dan Bupati cenderung acuh. Tak ada konsekuensi paksa apapun yang ditujukan kepada PT Minarak Lapindo Jaya dari pemerintah atas sikap itu. Negara telah dikalahkan oleh praktik dagang. Sejarah VOC terulang kembali dalam sejarah Indonesia modern. Mana janji dan pernyataanmu Pak Presiden.

    ”Negara tidak boleh dikalahkan, hukum harus ditegakkan”.

  • 1.000 Korban Lapindo Tolak Uang dan Tempat Tinggal

    Banyak warga yang belum mengambil bantuan Presiden

    SIDOARJO — Sekitar 1.000 korban semburan lumpur Lapindo yang mengatasnamakan Gerakan Pendukung Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 dari berbagai desa kemarin menggelar istigasah. Acara dilakukan di Masjid Nurul Huda, Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, yang kini telah rusak akibat terjangan lumpur Lapindo.

    Warga menuntut Lapindo mempercepat pembayaran cash and carry. Mereka menolak konsep baru cash and resettlement seperti yang diterima kelompok Gerakan Korban Lumpur Lapindo. “Konsep awal jangan diganti-ganti,” kata koordinator warga, Fathurozi, kemarin.

    Dari pantauan Tempo, acara ini diikuti oleh sebagian besar korban Lapindo dari kawasan yang masuk peta dampak lumpur, yakni Desa Renokenongo, Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Besuki, Mindi, Pejarakan, Kedungcangkring, Ketapang, Glagah Arum, Kalitengah, serta Gempol Sari.

    Mereka meminta Minarak melunasi proses pembayaran ganti rugi 80 persen sebagaimana telah diatur dalam Perpres No. 14/2007. Dalam peraturan ini disebutkan, aset warga berupa tanah kering atau tanah pekarangan diganti dengan Rp 1 juta per meter persegi, tanah sawah Rp 120 ribu per meter persegi, dan bangunan Rp 1,5 juta per meter persegi.

    Vice President PT Minarak Andi Darussalam Tabusalla sampai berita ini diturunkan belum mau mengangkat telepon selulernya.

    Mantan Lurah Renokenongo, Ny Mahmudah, berharap pemerintah bisa menjembatani perbedaan penafsiran antara Minarak dan warga.

    Ketua Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo Maimun Siroj berjanji akan segera mempertemukan warga dengan pihak Minarak. “”Jangan sampai warga semakin terpecah,”” ujarnya.

    Dalam kesempatan itu, Maimun meminta korban Lapindo yang berada dalam peta dampak segera mengambil jatah bantuan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Uang itu, kata dia, telah diterima dan dimasukkan ke rekening Pemerintah Daerah Sidoarjo sejak beberapa bulan lalu. Bantuan dari Presiden tersebut, menurut Maimun, berjumlah Rp 10 miliar dan saat ini masih tersisa sekitar Rp 700 juta.

    ROHMAN T | Koran Tempo

  • Ratusan Korban Lumpur Lapindo Ngotot Tolak Cash Resettlement

    Sidoarjo (ANTARA News) – Ratusan warga korban lumpur Lapindo Brantas dari empat desa yakni Kedungbendo Kecamatan Tanggulangin, Renokenongo, Siring, dan Jatirejo Kecamatan Porong, Sidoarjo, Selasa mendatangi Pendopo Delta Wibawa Sidoarjo.

    Mereka menuntut pembayaran ganti rugi kembali disesuaikan dengan Perpres dan menolak skema cash and resettlement seperti yang disetujui korban lumpur lainnya seperti Gabungan Korban Luapan Lumpur (GKLL)).

    Perwakilan warga empat desa yang mengatasnamakan Gerakan Bersama Pendukung Perpres (Gepres) itu ditemui Bupati Sidoarjo Win Hendrarso. Sementara, warga lainnya menunggu di Paseban Alun-alun Sidoarjo. Mantan Kades Renokenongo Machmudatul Fatchiyah, salah satu penggerak Gepres mengatakan bahwa sejak awal pihaknya menginginkan pembayaran ganti rugi “cash and carry” sebagaimana diatur dalam Perpres 14 Tahun 2007.

    “Kami meminta pembayaran ganti rugi dilakukan cash and carry, yang 80 persen tetap dibayarkan dalam bentuk tunai, bukan resettlement,” katanya menegaskan.

    Selain meminta pembayaran ganti rugi mengacu pada Perpres, para korban lumpur yang sebagian besar masa kontraknya mau habis ini minta Lapindo secepatnya menyelesaikan sisa pembayaran 80 persen pada bulan ini.

    ““Sekarang ini sudah waktunya pembayaran 80 persen. Pihak Lapindo atau Minarak harus mematuhi Perpres dan kami meminta agar penyelesaian pembayaran yang 80 persen secepatnya dibayarkan,”” katanya.

    Saat menemui warga, Bupati Win Hendrarso didampingi Sekkab dan beberapa Kepala Dinas lainnya, tanpa ada perwakilan dari Lapindo maupun Minarak Lapindo Jaya.

    “Aspirasi warga ini akan saya sampaikan kepada pihak Minarak Lapindo Jaya,” janji Bupati Win kepada warga yang tergabung dalam Gepres itu.(*)

    © 2008 | Antaranews

  • Harapan Baru untuk “Cash and Carry”

    korbanlumpur.info – Sorak sorai langsung terdengar ketika Suwito, perwakilan warga yang masuk dan ditemui bupati keluar dan menyampaikan hasil pertemuan di pendopo Kabupaten Sidoarjo. Korban lapindo sudah beberapa kali harus berdemo ke Bupati untuk mempertanyakan nasibnya, juga beberapa kali sudah sujud syukur ketika tuntutan mereka seolah terpenuhi, dan mereka sudah lelah ditipu, lalu, apalagi yang baru sekarang?

    Siang itu (05/08/2008), matahari sudah bergeser dan warga yang menunggu di luar pendopo kabupaten masih bertanya-tanya dalam hati, apakah betul asset tanah warga yang Petok D dan Letter C bisa di-AJB-kan, yang artinya bisa mendapatkan ganti rugi secara cash and carry? Sementara di dalam, Perwakilan warga yang ditemui Bupati menyampaikan segala harapan dan tuntutannya.

    Dengan membawa sebendel bukti berisi peraturan-peraturan dan risalah rapat serta komitmen pihak-pihak terkait, warga mengadu dan meminta Bupati merespon tuntutan warga untuk segera dibayar ganti rugi asset mereka secara cash and carry. Sudah lama mereka diombang-ambingkan dan digoyang isu-isu dan informasi yang tidak jelas. Pihak Minarak lapindo Jaya setelah melaukan pertemuan dengan GKLL menyatakan tidak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapun (tempointeraktif, 26 Juni 2008).

    Pasca pernyataan itu, tentu saja korban lumpur yang mayoritas memiliki bukti asset berupa Petok D dan Letter C resah, tidak ada angin tidak ada hujan mereka yang sudah berharap segera menerima sisa ganti rugi 80% karena masa kontrakannya habis kembali menelan pil pahit. Jika sebelumnya mereka melalui GKLL giat menuntut cash and carry, namun akhirnya cash and resettlement yang didapat.

    Pihak Minarak lapindo Jaya berkilah bahwa pemilik asset dengan bukti kepemilikan Petok D dan Letter C tidak bisa di-AJB-kan. Padahal Badan Pertanahan Nasional sudah mengeluarkan surat pada tanggal 24 Maret 2008 mengenai mekanisme AJB untuk semua bukti kepemilikan (Sertifikat, Petok D, Letter C, SK Gogol, Yasan serta tanah asset Pemda dan yang berstatus HGB). Belum lagi jika merujuk pada banyak risalah rapat dan komitmen yang bukan hanya ditanda tangani Andi Darusalam selaku Vice President PT Minarak lapindo jaya tetapi juga pejabat negara baik daerah maupun pusat, yang jelas menyatakan bahwa Petok D, Letter C dsb diperlakukan sama dengan sertifikat dan berhak mendapat ganti rugi yang sama.

    Namun semua itu seolah menguap, dan komitmen yang ditanda tangani seolah tidak ada. Lalu, pada tanggal 25 Juni 2008, keluarlah pernyataan itu: ʽPT MLJ tak akan melaksanakan pembayaran dengan pola cash and carry kepada warga korban lumpur yang bukti kepemilikan petok D/letter C/SK Gogol dalam kondisi dan situasi apapunʼ Perih dan menyakitkan!’

    Namun, sorak-sorai pada 5 Agustus 2008 di depan Pendopo Kabupaten kemarin seolah memberikan titik cahaya kepada mereka yang memilih untuk tetap menuntut hak mereka secara cash and carry. Bupati Sidoarjo, Badan Pertanahan Nasional, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo menyatakan bahwa semua asset warga dengan bukti kepemilikan Petok D, Letter C, SK Gogol bisa di-AJB-kan dan Pihak lapindo harus menunaikan kewajibannya membayar sisa ganti rugi 80% secara cash and carry.

    Bukan akhir dari segalanya memang, masih butuh perjuangan untuk tetap menuntut tanggung jawab Lapindo dalam mengganti rugi asset warga yang telah tenggelam. Mereka mengepalkan tangan dan berteriak mengungkapkan kegembiraannya. Bapak-bapak dan kaum muda meloncat-loncat mengekspresikan kelegaannya, beberapa ibu terlihat menangis terharu mendengar berita itu. Harapan itu masih ada dan terjaga, harapan untuk mendapatkan lagi kehidupan mereka yang telah ditenggelamkan oleh Lapindo baik dengan lumpur maupun dengan tindakan-tindakan mereka yang mengingkari hak-hak warga.

    Sorak sorai itu terdengar optimis, kelegaan yang menyeruak setelah kegundahan akan terbayarnya aset mereka terjawab. Tapi perjuangan tidak boleh hanya berhenti pada kelegaan.

  • “Cash and Resettlement”, Jalan Sesat

    Subagyo SH, Tim Advokasi Posko Bersama Korban Lumpur Lapindo

    Tampaknya jalan yang ditempuh korban lumpur Lapindo untuk mendapatkan pembayaran jual-beli tanah dan bangunan mereka yang telah terkubur bubur lumpur itu harus penuh liku.

    Kilas balik perjuangan warga korban lumpur Lapindo, saya coba ingatkan kembali. Dahulu, warga korban lumpur terwp-content-wp-content dalam wadah yang secara prinsip terbelah dalam dua aliran. Aliran pertama Warga yang setuju skema Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 (Perpres No. 14/2007) yaitu jalan penyelesaian sosial dengan jual-beli tanah dan rumah warga korban dengan pembayaran 20 persen di muka dan 80 persen sebelum masa kontrak rumah korban berakhir.

    Mereka kini tergabung dalam Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang konon merupakan mayoritas korban lumpur Lapindo dalam peta terdampak 22 Maret 2007.

    Aliran kedua, warga yang tidak setuju skema Perpres No. 14/2007, mereka meminta pembayaran strict cash (tunai langsung). Mereka tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagarrekontrak). Tapi seiring jalan, Pagarrekontrak yang bertahan di pengungsian Pasar Porong Baru Sidoarjo itu akhirnya setuju dengan skema Perpres No. 14/2007 setelah ditekan melalui ancaman pemutusan air PDAM, listrik dan penghentian jatah makanan. Pada akhir April 2008 kemarin Pagarekontrak setuju dengan skema pembayaran jual-beli 20:80, tapi meminta jaminan jika ternyata PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) ingkar janji. Namun, terakhir pimpinan mereka (H. Sunarto) tiba-tiba mengambil keputusan menukik tajam: setuju cash & resettlement yang menimbulkan rasan-rasan para pengikutnya yang takut menyatakan ketidaksetujuan mereka.

    Di luar GKLL dan Pagarrekontrak masih ada ribuan korban lain yang berjuang dalam kelompok-kelompok kecil dan para individu. Bahkan di Pasar Porong Baru saya menemukan adabeberapa orang korban yang mendeklarasikan tekadnya,” Sampai kiamatpun saya tak akan menjual tanah dan rumah saya yang telah terendam!” Ternyata di luar itu juga banyak yang belum mau menjual tanah dan rumah mereka yang terkubur lumpur. Mereka kelak akan menggugat ganti rugi kepada Lapindo. Pilihan ini juga harus dihormati.

    Ada juga warga yang berkasnya ‘diblokir’ oknum aparat desa sebab mereka tidak mau menuruti adanya pungutan 25 persen sehingga BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) tidak berani meneruskan prosesnya. Ada juga sengketa perbedaan tafsir jenis tanah yang menurut dokumennya tanah pekarangan tapi menurut kenyataan separoh rumah dan separoh dibuat tempat menamam kangkung (ditafsir sawah).

    Ada pula warga yang resah sebab ada pengurus desa atau kelurahan atau pengurus kelompok warga yang meminta ‘uang jasa’ 0,5 persen. Ada juga sedikit warga yang ‘berbelanja perhiasan dan kendaraan’ setelah memperoleh pembayaran uang muka 20 persen. Dan lain-lain, kisahnya tidak sesederhana yang diberitakan media, tidak semesra apa yang digambarkan oleh iklan-iklan Lapindo di media.

    Jalan tengah?

    Warga kini dibelit masalah baru, yaitu: MLJ tidak lagi tunduk pada skema Perpres No. 14/2007. MLJ tidak mau membayar cash and carry (C&C) sesuai klausul PIJB dan Perpres No. 14/2007. Alasannya, tanah nonsertifikat (Petok D dan Letter C) tidak dapat di-dibuatkan akte jual beli (di-AJB-kan) karena berbenturan dengan aturan UU No. 5/1960 (UUPA).

    Atas dalih tersebut, maka muncullah skema baru di luar PIJB yang telah ditandatangani MLJ dan korban lumpur Lapindo, yaitu: cash and resettlement (C&R). Skema C&R itu disusun dalam Nota Kesepahaman tanggal 25 Juni 2008 antara MLJ, pengurus GKLL, perwakilan warga dan Emha Ainun Nadjib yang dinyatakan dalam nota tersebut sebagai penggagas pendekatan budaya.

    Dalam skema ini, pembayaran uang muka 20 persen yang telah dilakukan MLJ kepada warga dihibahkan kepada penerimanya. Selanjutnya, MLJ hanya mau membayar harga rumah atau bangunan milik warga yang terendam lumpur. Sedangkan tanahnya tidak dibeli, tapi diganti dengan tanah di tempat lain. Inilah yang dianggap sebagai ‘jalan tengah’ sebagai bentukwin win solution.

    Sesungguhnya, ketika Presiden SBY mengeluarkan Perpres No. 14/2007 sudah menjadi ‘jalan tengah’ bagi Lapindo Brantas Inc., (putusan Mahkamah Agung RI No. 24 P/HUM/2007) meski belum tentu jalan adil bagi rakyat Indonesia, sebab rakyat melalui APBN harus menanggung biaya pembangunan infrastruktur serta biaya penyelesaian sosial di luar peta terdampak versi pemerintah. Perpres No. 14/2007 itu sendiri sudah tidak taat dengan prinsip absolute liability dalam pertanggungjawaban usaha hulu migas yang seharusnya diformulasikan dalam kontrak kerjasama usaha hulu migas berdasarkan pasal 6 ayat (2) huruf c UU No. 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (migas).

    Ketika mayoritas korban lumpur Lapindo mau menerima skema pasal 15 Perpres No. 14/2007 itu maka aturan jual-belinya membentur UU No. 5/1960 (lihat pasal 21). Sebab, mayoritas tanah korban lumpur adalah tanah Hak Milik. Sedangkan MLJ selaku perseroan terbatas (PT) bukan merupakan subyek hukum yang boleh memiliki Hak Milik atas tanah. Seharusnya mekanisme formalnya bukan jual-beli tanah, tapi bisa dengan pelepasan hak atas tanah dengan ganti rugi.

    Tapi nasi sudah menjadi bubur. MLJ bertekad berpegang teguh pada Perpres No. 14/2007 (tampak pada catatan tangan di Risalah Pertemuan tanggal 2 Mei 2007 antara Menteri Sosial, BPN, BPLS, MLJ dan perwakilan 4 desa). Tapi kini MLJ mulai ‘membangkang’ Perpres itu, ingkar dengan klausul C&C dalam PIJB yang disusunnya sendiri. Pebruari 2008 lalu, MLJ meminta syarat: “MLJ akan mau meng-AJB-kan tanah-tanah Petok D dan Letter C, asalkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) memberi persetujuan.” Lalu BPN mengeluarkan Surat BPN tanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Lapindo (yang ditandatangani Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Hak Atas tanah) yang menjamin dapatnya dilaksanakan jual-beli terhadap tanah-tanah Petok D, Letter C, gogol dan yasan.

    Sebelumnya, Kepala BPN Sidoarjo juga menjamin akan menerbitkan sertifikat kepada Lapindo jika seluruh tanah warga korban lumpur sudah dibeli (Radar Sidoarjo, 12/4/2007). Menteri Sosial pun pernah mengatakan bahwa Lapindo tidak bisa tidak membayar, karena itu perintah Perpres No. 14/2007 (Kompas, 4/5/2007). Tetapi nyatanya MLJ bisa ‘memaksakan diri’ untuk mengingkari skema Perpres No. 14/2007 dan PIJB yang telah dikonsepnya sendiri. Bagi Lapindo, hukum itu adalah apa saja keinginannya. Negara sepertinya tunduk kepada Lapindo.

    Jalan sesat

    Silahkan para pihak yang menyetujui cara atau skema C&R untuk menganggapnya sebagai jalan tengah. Tetapi bukan berarti para korban lumpur yang ‘terpaksa’ menerima jalan itu telah diperlakukan adil dan pasti. Saya katakan ‘terpaksa’ sebab jika mereka ditanya jawabannya memang terpaksa, daripada tak memperoleh apa-apa. 

    Skema C&R itu secara hukum menjadi ‘jalan sesat’ sebab melawan aturan Perpres No. 14/2007 yang susah payah melanggar UUPA dan ‘terpaksa’ dilegalisasi dengan putusan Mahkamah Agung RI (MA) No. 24 P/HUM/2007. Itulah diskresi hukum yang di tingkat teknis telah disetujui Badan Pertanahan Nasional (BPN), sehingga pihak Lapindo telah diberikan jaminan kepastian hukum oleh Presiden, MA dan BPN.

    Tetapi justru hak kepastian hukum para korban lumpur Lapindo dilanggar oleh MLJ seenaknya sendiri. Jika hari ini Lapindo bisa membangkang Perpres No. 14/2007 dan perjanjian (PIJB) yang telah ditandatanginya, apa susahnya baginya untuk kelak mengingkari model-model penyelesaian baru yang sudah terlanjur disetujui dengan ‘keterpaksaan’ warga korban lumpur Lapindo yang tak pernah diberikan pilihan, baik skema C&R dan lain-lainnya yang tak ada payung hukumnya? Bolehkah masyarakat korban lumpur Lapindo juga seenaknya sendiri untuk tidak patuh pada hukum negara?

    Apakah MLJ bisa dijamin tak akan ingkar lagi dan tak akan membuat masalah lagi dengan skema penyelesaian baru yang belum pasti itu? Salahkah para korban yang tidak lagi menaruh kepercayaan kepada MLJ setelah dibohongi?

    Artikel ini tidak memberikan solusi baru, kecuali bahwa seharusnya solusi yang telah disepakati agar dilaksanakan, sebagai cara saling menghormati kedudukan hukum masing-masing pihak. Jika tidak, negara punya wewenang melakukan ‘paksaan pemerintahan’ kepada Lapindo serta MLJ untuk tunduk kepada hukum negara. Jika tidak, berapa kali lagi negara ini dan warga korban lumpur akan diremehkan terus oleh anak-anak kecil dari Grup Bakrie itu?

  • “Cash and Carry” atau Mati!

    “Cash and Carry” atau Mati!

    Jatirejo, korbanlumpur.info – Pada saat media ramai memberitakan tentang betapa warga korban lumpur yang di dalam peta sudah menerima kunci rumah di perumahan Kahuripan Nirwana Villages, ribuan orang lainnya masih terkatung-katung nasibnya. Mereka adalah kelompok yang menolak tawaran cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Warga tetap bersikeras untuk menuntut pembayaran cash and carry. “Cash and Carry atau Mati!” Demikian semboyan Bang Rois, tokoh warga dari Siring, Porong.

    Semangat itu mengemuka dalam pertemuan korban lumpur Lapindo dari kelompok yang menamakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007). Pertemuan yang digelar di Posko GEPPRESS di Desa Jatirejo tadi malam (25/07) itu dihadiri oleh ratusan warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Reno Kenongo dan Kedung Bendo.  Rapat itu bertujuan untuk mensosialisasikan rencana kerja dan tuntutan GEPPRES kepada anggotanya.

    GEPPRES merupakan kelompok pecahan dari kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang lebih dikenal sebagai kelompok binaan Cak Nun. Pada tanggal 24 Juni 2008, GKLL yang awalnya menuntut cash and carry menandatangani nota kesepahaman dengan MLJ untuk menerima cash  and resettlement, disaksikan oleh Bupati, Kepala BPLS dan Cak Nun selaku pembina GKLL. Karena nota kesepahaman itulah kemudian banyak warga yang kecewa yang kemudian membentuk GEPPRES “Sebab kami sudah dikhianati oleh GKLL dan Cak Nun,” tegas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Menurut Musthofa, awalnya GKLL menuntut untuk pembayaran sisa 80% secara cash and carry. “Bahkan warga semuanya disuruh untuk membuat surat pernyataan dan mandat kepada Cak Nun untuk memperjuangkan”, tambah Musthofa. Sebagian besar warga beranggapan bahwa pembayaran 20% yang sudah mereka terima adalah atas jasa Cak Nun. Saat itu, lanjut Musthofa, ada 3.000-an warga yang tergabung dalam GKLL, “karena kami memang ingin sisa pembayaran 80% dibayar secara cash and carry.”

    Alasan warga menuntut cash and carry adalah karena warga tidak akan bisa hidup di perumahan seperti yang ditawarkan Lapindo. “Sebagian besar warga itu petani dan tukang bangunan. Lha bagaimana kami bisa hidup di perumahan? Kami sudah biasa hidup di desa yang orangnya kenal semua. Jelas kami tidak akan kerasan dan tidak akan bisa kerja,” jelas Wito, salah seorang pengurus GEPPRES dari Jatirejo, dengan panjang lebar.

    Lain lagi yang diutarakan Hari Suwandi, koordinator Desa Kedungbendo dalam kepengurusan GEPPRES. Menurut Hari, orang sudah terlanjur berencana untuk membangun rumah atau melakukan berbagai hal lainnya dengan uang 80% yang mestinya mereka terima akhir bulan ini. “Sebagian sudah beli tanah, mbangunnya dengan uang dari Minarak. Ada yang sudah kadung bayar uang muka untuk beli rumah di desa lain. Lha kalau gak jadi seperti ini ya gimana?” terangnya.

    Yang lebih rumit, sebagian besar orang mengaku berhutang dan berjanji untuk melunasi setelah menerima pembayaran 80%. Tetapi karena Minarak menolak membayar secara tunai, tentunya mereka terancam untuk gagal. “Ada itu bahkan yang sudah membayar uang muka untuk naik haji sampai 15 juta. Lha kalau tidak bisa melunasi ini kan bisa hangus” tambah Hari. Karena itu warga menolak skema cash and resettlement dan tetap menginginkan untuk pembayaran cash and carry.

    Dalam pertemuan GEPPRES yang kedua tadi malam, warga membulatkan tekad untuk tetap menuntut hak mereka. Secara hukum, warga yakin bahwa posisi mereka sudah sangat kuat. “Kita ini kan sudah dilindungi dengan Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membayar 20-80 kepada korban. Lha kenapa Peraturan dari Presiden bisa dikalahkan oleh nota kesepahaman GKLL dengan MLJ. Yang memimpin negara ini memangnya siapa?” tegas Musthofa yang disambut tepuk semangat peserta pertemuan yang membludak sampai ke sisi jalan raya.

    Pendapat itu dibenarkan oleh Paring Waluyo, pendamping warga dari Posko Porong. Menurut Paring, hak warga untuk mendapatkan sisa pembayaran sebanyak 80 persen secara cash and carry itu dilindungi paling tidak oleh 4 peraturan hukum. Yang pertama adalah Perpres 14/2007 itu sendiri. Pada pasal 15 dari Perpres menegaskan bahwa Lapindo wajib membeli tanah dan bangunan warga dengan skema 20-80, dimana sisa pembayaran dilakukan satu bulan sebelum masa kontrak habis.

    Yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 24 P/HUM/2007 tanggal 14 Desember 2007 yang merupakan jawaban atas permintaan Uji Materiil Perpres 14/2007. “Putusan MA yang merupakan lembaga tertinggi dalam masalah hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang cara pembayaran yang diatur dalam Perpres, dan menegaskan kewajiban bagi Lapindo untuk menjalankan Perpres bagi warga yang memilih skema ini,” tambah Paring.

    Yang ketiga adalah Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo. “Dalam surat ini disebutkan bahwa tanah Letter C, Pethok D dan SK Gogol, bisa di-akta jual beli-kan. Nah, kalau Minarak bilang bahwa tanah non-sertifikat tidak bisa di AJB-kan, itu kesimpulan sepihak,” terangnya disambut tepuk tangan setuju dari peserta pertemuan.

    Sedangkan yang terakhir adalah risalah rapat tanggal 2 Mei yang ditandatangani Minarak dan Perwakilan warga yang juga disaksikan oleh pejabat terkait (Mensos, Bupati, Kepala BPLS, BPN, dsb) . Pada pertemuan itu juga disepakati bahwa tanah non sertifikat bisa di-AJB-kan. “Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Minarak untuk tidak memenuhi tuntutan warga yang ingin memilih cash and carry,” pungkas Paring.

    Karena itu, GEPPRES menyatakan dengan tekad bulat bahwa mereka tetap akan memperjuangkan untuk menuntut cash and carry atas sisa pembayaran 80%. Setelah 2 tahun menunggu, warga mengaku bahwa mereka tidak mau lagi dibohongi dan dibodohi. “Lha sebentar lagi kontrak rumah sudah habis, kita tidak punya pilihan lain selain hanya menuntut kepada pemerintah. Kami akan bawa ini sampai ke RI-1 yang keputusannya ternyata diselewengkan di bawah oleh aparatnya,” tukas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Warga sendiri mengaku tidak akan mundur untuk menuntut hak yang selama ini sudah diambil oleh Lapindo. “Warga korban lumpur jangan takut, saya yang akan didepan. Kalau aparat mau menangkap, tangkap saja saya. Silahkan, wong saya memperjuangkan rakyat kecil, tetangga saya yang tukang-tukang becak itu. Jangan takut. Pokoknya cash and carry atau mati,” tegas Bang Rois, tokoh dari Siring yang disambut dengan tepukan setuju dari warga korban lumpur Lapindo lainnya.