Tag: industri kecil

  • Produk murah China menggempur Tanggulangin

    Produk murah China menggempur Tanggulangin

    kontan sentra tas tanggulangin 2Kontan – SIDOARJO. Baru pulih dari imbas bencana semburan lumpur Lapindo, industri tas dan koper Tanggulangin harus berhadapan dengan serbuan impor asal China. Harga jual yang miring menyebabkan  pelanggan beralih memburu produk buatan China ketimbang made in lokal.

    Apalagi, model-model tas produk impor  jauh lebih cantik, sehingga kerap kali  membuat pelanggan jatuh hati. Selain  itu, warnanya juga menarik dan terlihat  mewah, meskipun terbuat dari kulit  sintesis. Kebanyakan, produk impor yang  paling banyak masuk adalah tas wanita  dan ikat pinggang.

    “Kalau barang impor terus masuk, tenaga  terampil di sini tidak siap bersaing,  pasar kami akan dimakan luar negeri  semua terutama China,” keluh HM Kasdu,  pemilik usaha Jawa Centrum.

    Tas impor yang makin populer membuat  pemilik toko di Tanggulangin, mau tak  mau harus menyediakan produk impor  tersebut. Padahal, kata Imam Zultoni,  pemilik Sultan Collection, secara  kualitas, buatan lokal masih lebih bagus daripada impor. Sebab, produk lokal menggunakan kulit sapi asli dan  bahannya lebih tebal daripada produk  yang impor.

    “Produk impor cepat rusak tapi orang  lebih suka impor jadi saya jual juga  untuk melengkapi isi toko dan memenuhi  permintaan pembeli,” kata Imam.

    Selain produk jadinya, impor alat  produksi dari China pun semakin merajai  industri pembuatan tas dan koper di  Tanggulangin. Dulu, rata-rata, tas  dibuat dalam produksi rumahan dan dibuat  secara manual. Kini, semakin banyak  perajin yang menggunakan mesin dari  China.

    Kelebihan mesin asal China adalah  pengerjaan produksinya menjadi lebih  cepat. Kasdu mencontohkan, untuk  penjahitan koper, dulu semua dilakukan  manual. Penjahit harus membolak-balik  koper sendiri. Sekarang, hanya dengan  menggunakan mesin penjahit koper, sekali pencet tombol, koper akan membalik  sendiri dan penjahitan lebih cepat.

    Contoh lainnya adalah ketika proses  membordir. Saat ini, sudah ada mesin  bordir dari China yang bisa membordir 14  produk sekaligus. “Membuat bordiran 100  produk sekarang ini 30 menit juga bisa  selesai,” ujar Kasdu. Namun, memang kualitas produk saat pembuatan  manual masih tetap nomor satu.

    Untuk membendung serbuan produk impor, Kasdu  berharap, pemerintah harus gencar  mempromosikan produk lokal yang tak  membebani pengusaha lokal. “Dulu ada  Tanggulangin Fair, sempat diadakan lima  tahun, tapi entah kenapa kemudian  berhenti. Semoga ke depan semakin banyak  event dan pameran untuk produksi tas  lokal,” ujar Kasdu.

    Selain bantuan promosi, Imam bilang  bantuan permodalan juga dibutuhkan para perajin serta pengusaha tas dan  koper di Tanggulangin. Seringkali Imam  harus menunda pesanan jumlah besar  karena dananya tak mencukupi.  Menurutnya, pinjaman dana dari perbankan sulit didapat setelah peristiwa bencana lumpur Lapindo.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/produk-murah-china-menggempur-tanggulangin

  • Kembali bangkit dari bencana lumpur

    Kembali bangkit dari bencana lumpur

    kontan sentra tas tanggulanginKontan – SIDOARJO. Sempat terpuruk gara-gara lumpur Lapindo, sentra tas di Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur kini kembali ramai pengunjung. Kondisi itu terlihat saat KONTAN mengunjungi sentra tas ini beberapa waktu lalu.

    Banyak pengunjung yang mayoritas wanita memadati sentra ini. Mereka terlihat asyik memilih aneka tas yang dipajang di tiap-tiap toko.

    Kondisi ini sangat kontras jika dibandingkan beberapa tahun lalu ketika kawasan ini masih terkena dampak semburan lumpur Lapindo.

    Peristiwa semburan lumpur yang dimulai pada 2006 itu berdampak kepada sepinya pengunjung di  kawasan ini. Kondisi itu dirasakan oleh pedagang hingga beberapa tahun setelah peristiwa semburan lumpur terjadi.

    Sebenarnya daerah ini tidak terkena langsung semburan lumpur tersebut. HM Kasdu, pemilik Toko Jawa Centrum bilang, sentra ini menjadi sepi pengunjung karena maraknya pemberitaan lumpur Lapindo.

    Terutama pemberitaan yang menyebutkan luapan lumpur telah mencapai komplek Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera. “Masyarakat awam mengira itu Tanggulangin industri tas dan koper, padahal bukan. Yang tenggelam itu komplek perumahan real estate. Bukan industri tas,” ungkap HM Kasdu.

    Lokasi sentra tas Tanggulangin sendiri berada sekitar empat hingga lima kilometer dari komplek yang terkena luapan lumpur tersebut. Selain karena ekses pemberitaan, sentra ini sepi pengunjung karena akses menuju kawasan ini juga ikut terganggu. “Memang lumpurnya meluber ke jalan raya waktu itu, sehingga banyak orang yang takut ke sini,” tambah Kasdu.

    Namun, sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. Akses jalan menuju Tanggulangin telah diperbaiki dengan dibangunnya jalan arteri dari Porong, Sidoarjo menuju Tanggulangin. Kasdu mengingat, sekitar tahun 2006 dan 2007, penjualan sangatlah lesu. “Tidak ada pembeli dan peminat, sepi sekali. Omzet turun drastis,” ujar Kasdu.

    Banyak barang titipan perajin tidak laku. Biasanya mereka dibayar setiap dua minggu sekali. Namun  setelah peristiwa bencana lumpur Lapindo, bayaran kepada para perajin pun tersendat.  “Waktu itu sampai dua bulan pun belum ada yang bergerak dari tempat display,” ujar Kasdu.

    Kondisi itu juga dirasakan Imam Zultoni, pemilik Toko Sultan Collection. Pria kelahiran Sidoarjo, 41 tahun silam ini bilang, pasca lumpur Sidoarjo banyak toko tutup karena tak kuat menanggung omzet yang terus menerus turun. “Di Tanggulangin itu dulu sebelum lumpur Lapindo ramai sekali tokonya, sepanjang jalan 2 kilometer pasti ada toko di kiri kanan jalan. Sekarang sudah banyak tutup,” ujar Imam.

    Imam membenarkan sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik. “Omzet saya sekarang Rp 125 juta sampai Rp 150 juta per bulan,” ujar Imam. Pembelinya mulai dari Jawa Tengah, Magelang, Lombok, hingga Makassar.

    Omzet yang didapat Kasdu juga tak kalah besar. Dari penjualan langsung di tokonya saja, ia meraup omzet sebesar Rp 60 juta per bulan. Bila ditambah pesanan koper dan tas dari luar kota, omzetnya rata-rata di atas Rp 100 juta sebulan.

    © Revi Yohana | Sumber: http://peluangusaha.kontan.co.id/news/kembali-bangkit-dari-bencana-lumpur-1

  • Mana Ganti Rugi Relokasi?

    Dengan cekatan, Sunarsih memotong gulungan adonan tepung itu tipis-tipis. Setelah beberapa gulungan habis terpotong, irisan tepung itu ditatanya dalam tampah untuk dijemur di halaman samping pabrik. Begitulah yang dijalani perempuan 49 tahun itu sebagai pekerja di industri kecil PT Mekar Sari di Desa Sentul, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, yang memproduksi kerupuk udang.

    Desa Sentul kini tumbuh menjadi sentra produksi baru untuk “kerupuk Sidoarjo” yang terkenal renyah dan gurih. Dulu, sentra produksi yang terkenal adalah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Sunarsih sempat kecipratan kejayaan itu. Sebagai buruh di pabrik kerupuk, ia menerima upah Rp 800.000 per bulan. Lumayan untuk menopang hidup keluarganya, karena ia tak dibebani uang kontrak rumah. Ia tinggal di atas sepetak tanah warisan.

    Namun kejayaan Renokenongo hancur oleh banjir lumpur Lapindo. Musibah yang terjadi sejak dua setengah tahun lalu itu pun mengempaskan nasib Sunarsih. Ia kehilangan pekerjaan dan rumah secara bersamaan. Namun kehidupan harus terus berjalan. Sunarsih hijrah menjadi buruh di Desa Sentul. ”Kini semua berubah, tidak seperti dulu lagi,” katanya. Melonjaknya jumlah buruh dan banyaknya industri rumah yang remuk oleh genangan lumpur membuat pasar tenaga kerja jatuh. Sunarsih harus menerima nasib dengan upah Rp 600.000 per bulan. Jumlah itu tentu jauh dari kebutuhan hidup keluarganya.

    Tapi Sunarsih tidak punya banyak pilihan. Pada saat ini, sentra produksi kerupuk banyak yang gulung tikar atau direlokasi ke tempat lain. Beberapa perusahaan yang menjadi korban semburan lumpur mengaku tak kuat lagi melanjutkan produksi setelah berbulan-bulan lumpur menyumbat saluran bisnisnya.

    Terpuruknya Sunarsih mewakili nasib pekerja industri kecil lainnya. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sidoarjo, ada tujuh sentra industri kecil di sana. Industri tas, rokok, dan kerupuk udang terkena efek langsung maupun tak langsung yang parah. Sisanya, yakni industri kecil sandal, bordir, logam, dan peralatan rumah tangga, turut sakit akibat efek multiplier-nya.

    Kerajinan rokok rakyat, misalnya, banyak yang tak mampu bangkit setelah pabriknya terbenam lumpur. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, sebanyak 156 pabrik rokok kini sekarat. Dari jumlah tersebut, yang masih berproduksi secara rutin hanya 20%. Padahal, tahun lalu, Pemerintah Daerah Sidoarjo menyisihkan dana APBN Rp 30 milyar untuk membantu merelokasinya. Lokasi yang dilirik adalah jalan by-pass di Kecamatan Krian. Tempat ini dinilai strategis karena berada di lintas utama Surabaya-Yogya dan jauh dari lumpur. Namun alokasi dana sebesar itu tentu tak mampu menyelamatkan semua pengusaha kecil Sidoarjo.

    Menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Rokok Sidoarjo (Apersid), Sungkono, dulu ada sekitar 500 pabrik rokok kecil di Sidoarjo. Namun ketatnya aturan cukai dan regulasi harga rokok eceran membuat pengusaha banyak yang bangkrut. Nah, ketika yang tersisa hanya berjuang dari impitan regulasi, lumpur Lapindo datang menggenang. Kebanyakan langsung kelojotan karena tidak mampu merelokasi usaha.

    Memindahkan tempat produksi bukan perkara mudah. Akibat luapan lumpur yang terus melebar, tanah dan bangunan di sekitarnya tak laku diagunkan ke bank. Dijual pun tak ada yang melirik. Pengusaha kesulitan mendapat modal. Menurut data Apersid, sentra industri rokok berada di Desa Siring. Desa ini adalah ”ring satu” semburan lumpur. Setelah pabrik mereka terjilat lumpur, banyak pengusaha yang berpindah tempat usaha. Namun tak sedikit pula yang tamat. Sungkono menandaskan, bisnis rokok tergolong amat sensitif. Sebentar saja pasokan telat, pelanggan beralih ke merek lain. ”Makanya, banyak pengusaha yang malas bangkit,” ujar pemilik pabrik rokok Mitra Jaya itu.

    Yang masih bertahan pun kini terbelit biaya produksi yang tinggi. Nurul Huda, pemilik perusahaan rokok merek Jangkar Mas, mengaku harus menyediakan biaya tambahan untuk transportasi karyawan. Sejak bencana lumpur melanda, ratusan pekerja pabriknya di Desa Siring tercerai-berai di pengungsian dan tempat lain. Akibatnya, ia terpaksa menyiapkan biaya tambahan untuk transportasi sebesar 20% gaji. Tak ada data rinci tentang kerugian yang timbul pada sektor ini. Namun angka kerugiannya setelah satu tahun diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah.

    Pengusaha kulit tradisional di Kecamatan Tanggulangin pun mengalami babak paling menyedihkan dalam perjalanan bisnis mereka. Sejak lumpur panas menyembul di Porong, Sidoarjo, 29 Mei 2006, kecamatan yang bersebelahan dengan lokasi semburan lumpur ikut terkena getahnya. Meski luberan lumbur tak sampai menjilat lokasi sentra industri ini, akses ke lokasi itu cukup terganggu.

    Tanggulangin dulu adalah sentra industri kerajinan kulit tradisional. Di kecamatan yang terletak 27 kilometer arah timur kota Surabaya itu, terdapat ratusan gerai yang menjajakan produk tas, koper, dompet, dan jaket buatan lokal. Industri kerajinan rakyat itu berlangsung turun-temurun sejak 1933, yang kemudian berkembang pesat hingga berorientasi ekspor. Aksesnya yang mudah dari jalan tol Sidoarjo membuat daerah ini menjadi salah satu tujuan wisata yang ramai.

    Namun kini Tanggulangin mengalami masa tersulit. Menurut data Asosiasi Pengusaha Tanggulangin (APTA), sebanyak 6.000 perajin tas tradisional terkena dampak tidak langsung musibah itu. Penjualan mereka melorot drastis, tepat setelah terjadi luapan lumpur. Kini yang masih berproduksi tinggal 1.500-an pekerka. Sepanjang 2008 ini, satu per satu perajin menutup usahanya lantaran sepi order.

    Sebelumnya, selama puluhan tahun, dapur ribuan perajin bertahan ngebul dengan memasok 340 gerai yang tersebar di tiga desa. Tapi gerai-gerai itu berjatuhan satu demi satu. Para pembeli, yang umumnya pelancong, enggan mampir ke tempat itu karena macetnya lalu lintas setelah jalur tol Surabaya-Porong tersumbat lumpur. Kini ruang pamer yang tersisa tinggal 80-an. ”Itu pun terus merugi,” kata Ketua APTA, Ismail Syarief.

    Pemerintah tak henti berupaya merelokasi industri kecil yang terkena dampak luapan lumpur. Sayang, proses relokasi ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lapindo dan pemerintah pusat. ”Itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” ungkap Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, selaku Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang bertanggung jawab menangani dampak sosial semburan lumpur Lapindo.

    Terbatasnya bantuan pemerintah daerah memaksa pengusaha yang kuat secara finansial memilih melakukan relokasi sendiri. Misalnya dilakukan PT Karya Usaha Bersama. Perusahaan yang memproduksi jam tangan, jam dinding, dan jam meja ini pun akhirnya kesulitan karena terus-menerus menombok upah buruh. ”Terpaksa kami berikan dana talangan dulu. Jika hingga akhir tahun ini tidak juga segera dibayar, kami sudah tidak mampu lagi mengoperasikan perusahaan ini,” kata Santoso, General Manager PT Karya Usaha Bersama.

    Sejak banjir lumpur itu, perusahaan ini melakukan evakuasi dari pabrik lama di Desa Siring, Sidoarjo, ke pabrik baru di kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut. Sayang, menurut Santoso, pihaknya hanya mampu melakukan evakuasi mesin mesin kecil yang tidak permanen. Sedangkan mesin-mesin besar yang terpasang permanen tidak dapat diselamatkan. Bahan-bahan produksi setengah jadi pun ikut tenggelam. ”Otomatis kinerja kami tidak maksimal. Kini kami hanya memproduksi sekitar 15% dari produksi normal,” ujar Santoso.

    PT Karya Usaha Bersama, yang berdiri di atas tanah seluas 1,2 hektare dengan luas bangunan pabrik setengah hektare, merupakan salah satu dari 20 pabrik di Desa Siring, Kedungbendo, Jatirejo, dan Renokenongo yang tenggelam akibat lumpur Lapindo. Kata Santoso, pihaknya telah mengajukan klaim Rp 10 milyar sebagai biaya ganti rugi dan relokasi pabrik. ”Kami mengajukan klaim Rp 10 milyar, meliputi tanah, bangunan, perabotan pabrik, mesin-mesin, bahan-bahan produksi, serta barang setengah jadi dan barang jadi yang tidak bisa diselamatkan. Nilai tanah dan bangunan yang kami tentukan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan ganti untung tanah dan bangunan milik warga,” paparnya.

    Santoso berharap, PT Lapindo Brantas segera menyelesaikan masalah ganti rugi perusahaan ini. Sebab ia tidak ingin perusahaan yang berdiri sejak 1991 itu kolaps begitu saja. ”Jika tidak segera dibayar, kami kesulitan keuangan. Bayangkan, setiap bulan kami harus mengalami kerugian Rp 10 juta-Rp 30 juta,” katanya.

    Budiman Raharjo, penjabat Kepala Sub-Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sidoarjo, ketika ditemui Gatra, tidak secara tegas menjelaskan proses penanganan korban Lapindo, khususnya industri. Menurut dia, memang dulu ada bantuan dari Presiden RI untuk program penanganan industri kecil sebesar Rp 10 milyar. Namun rupanya dana itu tidak terlalu berpengaruh bagi pemulihan ekonomi di lokasi bencana. ”Kini kami fokus memberikan bantuan fasilitas kepada mereka, misalnya dengan mengadakan pameran produk unggulan,” tuturnya.

    Heru Pamuji, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)

    [Ekonomi, Gatra Nomor 49 Beredar Kamis, 16 Oktober 2008]

    http://gatra. com/artikel. php?id=119471

  • Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    korbanlumpur.info – Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini, kegundahan menyelimuti perasaan Mutomaroh. Korban Lumpur Lapindo dari desa Kedung Bendo ini dulunya mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas. Sebelum terjadinya semburan lumpur yang kini menenggelamkan desanya, dia mampu memberi tunjangan hari raya (THR) kepada 6 orang anak buahnya.

    “Sekarang usaha saya sudah gulung tikar. Memikirkan dana untuk pengeluaran hari raya saja sudah sulit” tuturnya kepadatim media Kanal korban Lapindo.

    Meluncurlah kemudian kesaksian Mbak Waroh, demikian ibu muda berusia 30 tahun ini biasa dipanggil, tentang bagaimana usahanya yang harus tutup setelah terjadi semburan lumpur.

    Menurutnya, usaha emas yang dulu digelutinya merupakan usaha turun temurun selama beberapa generasi. Keluarganya membuat berbagai macam perhiasan emas, seperti gelang, cincin, anting-anting, kalung dan sebagainya. Semua pekerjaan dilakukan di rumahnya sendiri, yang salah satu ruangannya dirombak jadi tempat produksi.

    Sebagian besar pesanan berasal dari pedagang di Bali, disamping dari beberapa tempat di sekitar Sidoarjo. Usaha kecil inibahkan mampu mempekerjakan 6 orang tetangganya di desa. “Setiap bulan, rata-rata keuntungan kami bisa mencapai 15 juta” kenang perempuan yang hanya tamatan SD ini.

    Bahkan dari usahanya ini, dia sudah mampu membuat satu rumah sendiri di sebelah rumah orang tuanya. Namun apa hendakdikata, lumpur kemudian menenggelamkan desanya, termasuk tempat usaha dan rumahyang baru selesai dibangun. “Bahkan saya dan suami belum sempat meninggali rumah yang kami beli dengan kerja keras kami sendiri itu,” tuturnya.

    Usaha Yang Hilang

    Ibu dari dua orang putra ini kemudian menjelaskan, bahwa usahanya langsung berhenti begitu lumpur merendam desa Kedung Bendo pasca ledakan pipa gas pertamina pada November 2006.

    Rumahnya yang agak jauh dari tanggul membuatnya dia masih sempat menyelamatkan beberapa peralatan produksi, sepertimesin giling, pemoles dan lainnya. Peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada temannya di Japanan, Pasuruan, dengan harapan nantinya kalau lumpur sudah surut akan bisa dipakai lagi untuk usaha.

    Tetapi harapan tersebut tinggal harapan semata, karena alih-alih surut, lumpur semakin membesar dan menenggalamkan desanya secara permanen sampai sekarang. Setelah itu, dia dan keluarga mengungsi bersama sebagian besar korban lainnya ke Pasar Baru Porong. “Kami terpaksa tinggal disana selama 3 bulan lebih, dengan kondisi yang sangat menyesakkan,” kenangnya pahit.

    Setelah itu, dia mengontrak rumah di Japanan dengan harapan untuk memulai lagi usahanya. Tetapi keinginan tersebut sekali lagi tidak dapat terwujud. Untuk menyiapkan tempat produksi yang layak dan aman, memerlukan dana yang cukup besar. “Padahal uang tabungan sudah ludes semua untuk kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian,” lanjutnya.

    Disamping itu, para pelanggan yang biasanya memberi pesanan kepadanya juga sudah berpindah kepada pengrajin di daerah lain. “Lha wong sebelumnya selama 3 bulan di pengungsian itu kami tidak bisa bekerjasama sekali karena tempatnya tidak memungkinkan,” lanjut Mbak Waroh.

    Karena usahanya yang dulu sudah tidak mungkin dikerjakan lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tetapi saya lebih kasihan mikir anak-anak (mantan anak buahnya, red), sebab mereka kondisinya lebih berat dari kami,” katanya.

    Dan kenangan akan para mantan anak buahnya itu semakin kuat menjelang bulan ramadhan seperti sekarang ini. Sebab dulunya pada bulan ramadhan dan pada musim liburan merupakan puncak ramainya bisnis yang diageluti. Dan hari raya depan adalah untuk yang kedua kalinya dia lewati tanpa kegembiraan seperti dulu sebelum ada lumpur.

    Segera Lunasi Sisa Pembayaran

    Namun segala kesulitan ini tampaknya masih akan lebih lama lagi dialami oleh Mbak Waroh dan ribuan korban lumpur Lapindo lainnya. Setelah dua tahun lebih, ternyata Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar uang jual beli tanah warga yang sudah tenggelam oleh lumpur akibat kesalahan pemboran Lapindo itu.

    “Padahal, saya itu sebenarnya sudah terima lhodengan model ganti rugi itu, meskipun tidak adil. Tetapi kenapa mereka tidak segera bayar,” ujarnya. Menurut Mbak Waroh ganti rugi yang adil seharusnya menghitung pendapatan yang hilang akibat dia tidak bisa bekerja selama dua tahun ini. Juga kerugian immaterial lainnya seperti semua kesulitan dan ketidaknyamanan hidup yang terpaksa harus mereka alami.

    Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak Lapindo menyelesaikan pembayaran sisa 80 persennya secara tunai. “Uang itu nantinya akan kami pakai untuk beli rumah sekaligus memulai lagi usaha kami yang dulu,” pungkasnya.

    Semoga tuntutan mbak Waroh dan puluhan ribu korban Lapindo lainnya segera terpenuhi. Agar mereka segera bisa menikmati kebahagiaan dan berbagi senyum di Hari Raya seperti sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo. (ako)