Mana Ganti Rugi Relokasi?


Dengan cekatan, Sunarsih memotong gulungan adonan tepung itu tipis-tipis. Setelah beberapa gulungan habis terpotong, irisan tepung itu ditatanya dalam tampah untuk dijemur di halaman samping pabrik. Begitulah yang dijalani perempuan 49 tahun itu sebagai pekerja di industri kecil PT Mekar Sari di Desa Sentul, Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, yang memproduksi kerupuk udang.

Desa Sentul kini tumbuh menjadi sentra produksi baru untuk “kerupuk Sidoarjo” yang terkenal renyah dan gurih. Dulu, sentra produksi yang terkenal adalah di Renokenongo, Kecamatan Porong, Sidoarjo. Sunarsih sempat kecipratan kejayaan itu. Sebagai buruh di pabrik kerupuk, ia menerima upah Rp 800.000 per bulan. Lumayan untuk menopang hidup keluarganya, karena ia tak dibebani uang kontrak rumah. Ia tinggal di atas sepetak tanah warisan.

Namun kejayaan Renokenongo hancur oleh banjir lumpur Lapindo. Musibah yang terjadi sejak dua setengah tahun lalu itu pun mengempaskan nasib Sunarsih. Ia kehilangan pekerjaan dan rumah secara bersamaan. Namun kehidupan harus terus berjalan. Sunarsih hijrah menjadi buruh di Desa Sentul. ”Kini semua berubah, tidak seperti dulu lagi,” katanya. Melonjaknya jumlah buruh dan banyaknya industri rumah yang remuk oleh genangan lumpur membuat pasar tenaga kerja jatuh. Sunarsih harus menerima nasib dengan upah Rp 600.000 per bulan. Jumlah itu tentu jauh dari kebutuhan hidup keluarganya.

Tapi Sunarsih tidak punya banyak pilihan. Pada saat ini, sentra produksi kerupuk banyak yang gulung tikar atau direlokasi ke tempat lain. Beberapa perusahaan yang menjadi korban semburan lumpur mengaku tak kuat lagi melanjutkan produksi setelah berbulan-bulan lumpur menyumbat saluran bisnisnya.

Terpuruknya Sunarsih mewakili nasib pekerja industri kecil lainnya. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Sidoarjo, ada tujuh sentra industri kecil di sana. Industri tas, rokok, dan kerupuk udang terkena efek langsung maupun tak langsung yang parah. Sisanya, yakni industri kecil sandal, bordir, logam, dan peralatan rumah tangga, turut sakit akibat efek multiplier-nya.

Kerajinan rokok rakyat, misalnya, banyak yang tak mampu bangkit setelah pabriknya terbenam lumpur. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan setempat, sebanyak 156 pabrik rokok kini sekarat. Dari jumlah tersebut, yang masih berproduksi secara rutin hanya 20%. Padahal, tahun lalu, Pemerintah Daerah Sidoarjo menyisihkan dana APBN Rp 30 milyar untuk membantu merelokasinya. Lokasi yang dilirik adalah jalan by-pass di Kecamatan Krian. Tempat ini dinilai strategis karena berada di lintas utama Surabaya-Yogya dan jauh dari lumpur. Namun alokasi dana sebesar itu tentu tak mampu menyelamatkan semua pengusaha kecil Sidoarjo.

Menurut Ketua Asosiasi Perusahaan Rokok Sidoarjo (Apersid), Sungkono, dulu ada sekitar 500 pabrik rokok kecil di Sidoarjo. Namun ketatnya aturan cukai dan regulasi harga rokok eceran membuat pengusaha banyak yang bangkrut. Nah, ketika yang tersisa hanya berjuang dari impitan regulasi, lumpur Lapindo datang menggenang. Kebanyakan langsung kelojotan karena tidak mampu merelokasi usaha.

Memindahkan tempat produksi bukan perkara mudah. Akibat luapan lumpur yang terus melebar, tanah dan bangunan di sekitarnya tak laku diagunkan ke bank. Dijual pun tak ada yang melirik. Pengusaha kesulitan mendapat modal. Menurut data Apersid, sentra industri rokok berada di Desa Siring. Desa ini adalah ”ring satu” semburan lumpur. Setelah pabrik mereka terjilat lumpur, banyak pengusaha yang berpindah tempat usaha. Namun tak sedikit pula yang tamat. Sungkono menandaskan, bisnis rokok tergolong amat sensitif. Sebentar saja pasokan telat, pelanggan beralih ke merek lain. ”Makanya, banyak pengusaha yang malas bangkit,” ujar pemilik pabrik rokok Mitra Jaya itu.

Yang masih bertahan pun kini terbelit biaya produksi yang tinggi. Nurul Huda, pemilik perusahaan rokok merek Jangkar Mas, mengaku harus menyediakan biaya tambahan untuk transportasi karyawan. Sejak bencana lumpur melanda, ratusan pekerja pabriknya di Desa Siring tercerai-berai di pengungsian dan tempat lain. Akibatnya, ia terpaksa menyiapkan biaya tambahan untuk transportasi sebesar 20% gaji. Tak ada data rinci tentang kerugian yang timbul pada sektor ini. Namun angka kerugiannya setelah satu tahun diperkirakan mencapai ratusan milyar rupiah.

Pengusaha kulit tradisional di Kecamatan Tanggulangin pun mengalami babak paling menyedihkan dalam perjalanan bisnis mereka. Sejak lumpur panas menyembul di Porong, Sidoarjo, 29 Mei 2006, kecamatan yang bersebelahan dengan lokasi semburan lumpur ikut terkena getahnya. Meski luberan lumbur tak sampai menjilat lokasi sentra industri ini, akses ke lokasi itu cukup terganggu.

Tanggulangin dulu adalah sentra industri kerajinan kulit tradisional. Di kecamatan yang terletak 27 kilometer arah timur kota Surabaya itu, terdapat ratusan gerai yang menjajakan produk tas, koper, dompet, dan jaket buatan lokal. Industri kerajinan rakyat itu berlangsung turun-temurun sejak 1933, yang kemudian berkembang pesat hingga berorientasi ekspor. Aksesnya yang mudah dari jalan tol Sidoarjo membuat daerah ini menjadi salah satu tujuan wisata yang ramai.

Namun kini Tanggulangin mengalami masa tersulit. Menurut data Asosiasi Pengusaha Tanggulangin (APTA), sebanyak 6.000 perajin tas tradisional terkena dampak tidak langsung musibah itu. Penjualan mereka melorot drastis, tepat setelah terjadi luapan lumpur. Kini yang masih berproduksi tinggal 1.500-an pekerka. Sepanjang 2008 ini, satu per satu perajin menutup usahanya lantaran sepi order.

Sebelumnya, selama puluhan tahun, dapur ribuan perajin bertahan ngebul dengan memasok 340 gerai yang tersebar di tiga desa. Tapi gerai-gerai itu berjatuhan satu demi satu. Para pembeli, yang umumnya pelancong, enggan mampir ke tempat itu karena macetnya lalu lintas setelah jalur tol Surabaya-Porong tersumbat lumpur. Kini ruang pamer yang tersisa tinggal 80-an. ”Itu pun terus merugi,” kata Ketua APTA, Ismail Syarief.

Pemerintah tak henti berupaya merelokasi industri kecil yang terkena dampak luapan lumpur. Sayang, proses relokasi ini tidak sepenuhnya menjadi tanggung jawab Lapindo dan pemerintah pusat. ”Itu menjadi tanggung jawab pemerintah daerah,” ungkap Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah, selaku Wakil Ketua Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang bertanggung jawab menangani dampak sosial semburan lumpur Lapindo.

Terbatasnya bantuan pemerintah daerah memaksa pengusaha yang kuat secara finansial memilih melakukan relokasi sendiri. Misalnya dilakukan PT Karya Usaha Bersama. Perusahaan yang memproduksi jam tangan, jam dinding, dan jam meja ini pun akhirnya kesulitan karena terus-menerus menombok upah buruh. ”Terpaksa kami berikan dana talangan dulu. Jika hingga akhir tahun ini tidak juga segera dibayar, kami sudah tidak mampu lagi mengoperasikan perusahaan ini,” kata Santoso, General Manager PT Karya Usaha Bersama.

Sejak banjir lumpur itu, perusahaan ini melakukan evakuasi dari pabrik lama di Desa Siring, Sidoarjo, ke pabrik baru di kompleks Surabaya Industrial Estate Rungkut. Sayang, menurut Santoso, pihaknya hanya mampu melakukan evakuasi mesin mesin kecil yang tidak permanen. Sedangkan mesin-mesin besar yang terpasang permanen tidak dapat diselamatkan. Bahan-bahan produksi setengah jadi pun ikut tenggelam. ”Otomatis kinerja kami tidak maksimal. Kini kami hanya memproduksi sekitar 15% dari produksi normal,” ujar Santoso.

PT Karya Usaha Bersama, yang berdiri di atas tanah seluas 1,2 hektare dengan luas bangunan pabrik setengah hektare, merupakan salah satu dari 20 pabrik di Desa Siring, Kedungbendo, Jatirejo, dan Renokenongo yang tenggelam akibat lumpur Lapindo. Kata Santoso, pihaknya telah mengajukan klaim Rp 10 milyar sebagai biaya ganti rugi dan relokasi pabrik. ”Kami mengajukan klaim Rp 10 milyar, meliputi tanah, bangunan, perabotan pabrik, mesin-mesin, bahan-bahan produksi, serta barang setengah jadi dan barang jadi yang tidak bisa diselamatkan. Nilai tanah dan bangunan yang kami tentukan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan ganti untung tanah dan bangunan milik warga,” paparnya.

Santoso berharap, PT Lapindo Brantas segera menyelesaikan masalah ganti rugi perusahaan ini. Sebab ia tidak ingin perusahaan yang berdiri sejak 1991 itu kolaps begitu saja. ”Jika tidak segera dibayar, kami kesulitan keuangan. Bayangkan, setiap bulan kami harus mengalami kerugian Rp 10 juta-Rp 30 juta,” katanya.

Budiman Raharjo, penjabat Kepala Sub-Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sidoarjo, ketika ditemui Gatra, tidak secara tegas menjelaskan proses penanganan korban Lapindo, khususnya industri. Menurut dia, memang dulu ada bantuan dari Presiden RI untuk program penanganan industri kecil sebesar Rp 10 milyar. Namun rupanya dana itu tidak terlalu berpengaruh bagi pemulihan ekonomi di lokasi bencana. ”Kini kami fokus memberikan bantuan fasilitas kepada mereka, misalnya dengan mengadakan pameran produk unggulan,” tuturnya.

Heru Pamuji, dan Arif Sujatmiko (Surabaya)

[Ekonomi, Gatra Nomor 49 Beredar Kamis, 16 Oktober 2008]

http://gatra. com/artikel. php?id=119471


Translate »