Tag: jatam

  • Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    Korban Lapindo Perlu Pemulihan Sosial-Ekologis

    mongabay.co.id – Presiden Joko Widodo dalam kampanye lalu di Sidoarjo, mengungkapkan selama ini negara absen lumpur Lapindo. Jadi, negara harus hadir sebagai wujud kedaulatan rakyat. Setelah terpilih, Jokowi baru-baru ini memberikan dana talangan buat Lapindo Rp781 miliar karena perusahaan berdalih tak mampu membayar. Upaya Jokowi dinilai berbagai kalangan bukan solusi, bahkan mengkerdilkan kehadiran negara. Presiden semestinya mampu memberikan jaminan pemulihan sosial, lingkungan dan hak-hak dasar yang selama ini terenggut dari warga Sidoarjo, sekitar. Salah satu rekomendasi KontraS agar pemerintah audit lingkungan Lapindo menyeluruh.

    “Dengan dana talangan dan sita aset, Jatam melihat itu tindakan mengkerdilkan kehadiran negara. Solusi pemerintah Jokowi tidak menyeluruh,” kata Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye Jatam, baru-baru ini.

    Dia mengatakan, temuan Jatam dan Walhi Jatim menunjukan terjadi penurunan kualitas Sungai Porong sangat drastis. Air tanah di sekitar terdampak  lumpur Lapindo, tercemar logam berat dan zat kimia lain. “Pemerintahan Jokowi tidak bisa hanya mengartikan kehadiran negara dari dana talangan.”

    Menurut dia, jika permasalahan finansial perusahaan  dan pelanggaran HAM diselesaikan dengan uang negara, ke depan kasus ini akan terulang kembali. “Hanya pertolongan dana pajak dan uang rakyat?”

    Semestinya, kata Bagus, pemerintah perlu memberikan pemulihan sosial dan ekologis. Pemerintah,  harus meluaskan horison pandangan tidak hanya fokus wilayah tergenang. “Artinya melihat sebaran dari daya rusak praktik lumpur Lapindo, tidak hanya terpusat wilayah tergenang.”

    Dia mencontohkan, sebaran korban mengungsi, mencari kerja di wilayah lain, karyawan bekerja di sana meskipun tidak berdomisili di wilayah itu. “Permasalahan utama tidak ada data korban valid. Baik korban rumah terendam, maupun yang kehilangan hak sosial ekologis.”

    Tak jauh beda dengan KontraS. Haris Azhar, Koordinator KontraS mengatakan, kebijakan Jokowi tidak otomatis menyelesaikan persoalan. Justru, hanya menguntungkan kelompok tertentu. “Hanya menggelontorkan dana kompensasi kepada korban Lapindo menurut kami itu tindakan sangat tidak tepat. Merendahkan nilai penanganan kasus juga merendahkan penderitaan korban,” katanya.

    Bahkan, langkah itu justru berujung pada pendekatan bisnis. Padahal, kasus lumpur Lapindo ada banyak aspek harus diperhatikan. “Wapres Jusuf Kalla hanya  mengatakan akan mengambil alih aset Lapindo jika tak mampu membayar dana talangan.”

    Haris menilai, respon Jokowi tidak sebanding dengan besaran dampak, kerugian warga di beberapa desa itu. “Ketika Jokowi mengatakan negara harus hadir, itu tidak bisa hanya memberikan Rp781 miliar. Seolah-olah dengan uang itu, permasalahan selesai.”

    Dalam Lapindo,  jelas ada kejahatan patut diduga itu sudab disadari sejak awal, meliputi berbagai aspek. “Harusnya ada upaya tidak sekadar menghitung kerugian materil belaka. Penting juga ada penghukuman kejahatan korporasi.”

    Syamsul Munir, Kepala Divisi Advokasi Ekosoc KontraS mengatakan,  dalam perspektif hukum dan HAM kebijakan ini tidak bisa meniadakan proses advokasi dan pertolongan kepada warga, terutama di Kecamatan Porong dan sekitar.

    Dia mengatakan, Jokowi mengundang pemerintah Sidoarjo, Gubernur Jatim ke Jakarta, hanya memberikan kompensasi. “Kita melihat pendekatan hanya nilai rupiah. Bukan pendekatan melihat sejauh mana proses normalisasi masyarakat lokal.”

    KontraS mengajukan, delapan rekomendasi kepada Presiden Jokowi,  dalam menyelesaikan kasus Lapindo. Pertama, mendesak kapolri selaku orang yang bertanggung jawab terkait SP3 pidana Polda Jatim. Kedua, meminta Kementerian Keuangan, menghentikan risiko kompensasi dari uang negara yang menggunakan pendekatan bisnis membeli aset PT. Minarak Lapindo.

    Ketiga, meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk audit lingkungan terhadap Lapindo secara menyeluruh.  Karena kegiatan mereka berdampak terhadap lingkungan.

    Keempat, meminta Jaksa Agung menggugat perdata karena ada indikasi wanpresrasi dan perbuatan melawan hukum oleh Lapindo. Kelima, meminta presiden tidak hanya mengeluarkan dana talangan, juga membentuk tim percepatan pemulihan non judicial terpadu. “Tim terdiri dari beberapa kementerian berbasiskan HAM. Ini penting karena ada beberapa pabrik tutup. Ribuan terdampak.”

    Keenam, meminta Kementerian Pekerjaan Umum aktif menyampaikan bukti-bukti kepada Polri terkait penyalahgunaan tata ruang oleh Lapindo.  Ketujuh, meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi  membuka data seluas mungkin karena hasil penyelidikan Komnas HAM menemukan ada banyak fakta ditutup-tutupi oleh Lapindo. “Ini yang kita sesalkan seakan-akan itu kejadian biasa.”

    Kedelapan, meminta BPK berkoordinasi dengan kementerian terkait, terutama Energi Sumber Daya Mineral.”Dalam pemeriksaan Komnas HAM, muncul bukti dari BPK yang menguatkan bahwa proses pengeboran tidak prosedur. Tahapan-tahapan ada dilewati dan tidak sistematis. Sayang, bukti-bukti tidak ditindaklanjuti pemerintah. Baik pemerintah SBY maupun Jokowi. Padahal sangat kuat,” ucap Munir.

    Puri Kencana Putri, Kepala Biro Riset KontraS mengatakan, dalam laporan Komnas HAM dua tahun lalu, ada 15 kasus pelanggaran HAM yang berdimensi serius. “Bisa dipakai mendorong langkah-langkah judicial dan non judicial. Juga bisa dihadirkan untuk pemulihan terhadap hak-hak korban,” katanya.

    Laporan pelanggaran HAM itu  antara lain, hak atas hidup,  hak atas informasi, hak atas rasa aman, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, dan hak atas kesehatan. Lalu, hak atas pekerjaan, pendidikan, berkeluarga dan melanjutkan keturunan, kesejahteraan, jaminan sosial, pengungsian, kelompok rentan terutama mereka penyandang cacat, lansia dan anak-anak.

    Indra Nugraha

    Sumber: http://www.mongabay.co.id/2015/01/14/korban-lapindo-perlu-pemulihan-sosial-dan-ekologis/

  • Beranikah Jokowi Usut Aktor Penyebab Muncratnya Lumpur Lapindo?

    JAKARTA, SACOM – Kita sama-sama tahu siapa pemilik Lapindo Brantas, penyebab muncratnya lumpur di Sidoarjo itu. Beranikah Jokowi mengungkapnya?

    Jangan anggap dana 781 milyar penanganan lumpur panas Lapindo bahwa kasus itu selesai. Pemerintah juga harus berani mengusut tuntas aktor pelakunya.  

    Untuk diketahui, Rapat Kabinet Jokowi pada tanggal 19 Desember 2014 memutuskan menggelontorkan dana talangan kepada Lapindo Brantas Inc. Bagus buat sebagian korban, namun belum menjawab aspek pelaku,

    “Kita berpendapat bahwa keputusan dana talangan harus dilihat sebagai awal baru bagi penyelesaian kasus Lapindo, bukannya akhir,” tegas siaran pers Jaringan Advokasi Tambang (JATAM).

    Soal siapakah yang paling bertanggung jawab atas kasus Lapindo ini silahkan Anda simpulkan sendiri.

    Yang jelas komunitas korban yang tergabung dalam Korban Lumpur Lapindo Menggugat (KLM), seperti dilansir merdeka.com, pernah memberikan ‘Bandit Awards’ untuk Bapak kita yang terhormat Aburizal Bakrie, atau akrab disapa Ical itu.

    Bandit Awards, menurut para korban adalah sebagai bentuk sindiran atas nasib mereka yang terkatung-katung  selama bertahun-tahun dan betapa dahsyatnya dampak sosial-ekologis akibat “muncrat selamanya” lumpur panas itu.

    Pertanyaannya sekarang, apakah Jokowi memiliki keberanian? Seharusnya iya. Soalnya dia dipilih langsung oleh rakyat. Dan lihat saja betapa dia disambut meriah lewat arak-arakan usai pelantikannya sebagai Presiden 20 Oktober 2014. Termasuk didukung dan disambut juga oleh warga korban di Sidoarjo.

    Tentu saja harus punya nyali yang besar. Masalahnya yang dihadapinya bukan main-main. Ical adalah konglomerat besar, dan politikus senior  yang punya teman politikus senior juga, seperti Amien Rais atau Akbar Tanjung.

    Dia juga Ketua Umum Golkar, partai paling senior di Indonesia, setelah PDI-P dan PPP.  Manuvernya dengan Koalisi Merah Putih di parlemen seolah juga  menunjukkan “betapa seniornya” Bapak kita yang satu itu. Bahkan dia juga punya media pers sendiri yang juga harus diperhitungkan dan tidak boleh dianggap remeh.

    Tapi bukan berarti Jokowi tidak boleh berani. Harus berani lah, lagi-lagi kan dia didukung dan dipilih oleh rakyat secara langsung. Ini berarti Jokowi di “backing” oleh rakyat Indonesia.  Lagipula pengungkapan kan juga bagus untuk menjelaskan, apakah yang dituduh selama ini sebagai pelaku benar-benar bersalah dan harus bertanggung jawab atau tidak. 

    Sumber: http://suaraagraria.com/detail-21376-beranikah-jokowi-usut-aktor-penyebab-muncratnya-lumpur-lapindo.html

  • A report from the Lapindo mud flow

    A report from the Lapindo mud flow

    It is astonishing in size. The mud stretches as far as the eye can see and it still has steam billowing out from the middle of it. We are in Surabaya in the East of Java, Indonesia, where we have travelled with JATAM (the Indonesian anti-mining network) to the site of the ‘Lapindo mud flow.’

    The mud flow gets its name from ‘Lapindo Brantas,’ the company responsible for the disaster. In 2006, Lapindo caused a gas-well blowout, which triggered the mud flow. It has swallowed 22 villages and displaced thousands of people, many of whom have only received a small proportion of the compensation that they are due. Some of the companies involved with the disaster have received funding from the UK finance sector. (more…)

  • JATAM: Jawa Timur Resmi Dicampakkan SBY

    Siaran Pers JATAM, 15 September 2008

    Penduduk Jawa Timur perlu berpikir ulang untuk ikut memilih dalam PEMILU 2009, apalagi mendukung partai-partai yang ada. Ini mengingat pemerintah angkat tangan atas upaya menutup semburan lumpur di kawasan eksplorasi Lapindo Brantas (JP, 12/08). Apalagi, mendengar rencana lumpur tersebut akan dibuang ke laut (Kompas, 13/08). Dan tak ada satupun, anggota DPR RI, maupun partai peserta PEMILU 2009 yang bereaksi terhadap rencana jahat itu. Ini memperlihatkan Kabinet SBY, maupun pemerintahan pengganti nantinya menjadi tidak relevan kehadirannya untuk Jawa Timur.

    Para ahli geologi yang tergabung dalam Driling Enginering Club (DEC) malah mempertanyakan sikap pemerintah. Mereka sangat optimis semburan ini dapat dipadamkan. Mengingat pengalaman para ahli drilling bersama Pertamina yang berkali-kali berhasil memadamkan blouw out. Selama ini usaha menutup lumpur Lapindo yang dilakukan hanya di permukaan saja, padahal sumber masalahnya ada di bawah tanah. Apalagi kerugian akibat luapan lumpur ini mencapai 92 Milyar per hari

    Luapan lumpur Lapindo yang telah berusia 2 tahun lebih, telah menenggelamkan 4 desa dan berdampak pada 9 desa lainnya dengan puluhan ribu korban ini tak diurus memadai, bahkan jauh dari rasa keadilan. Warga korban berkali-kali dijanjikan kabinet SBY-JK segera mendapatkan gantirugi, malah dihadapkan pada transaksi jual beli yang merugikan dengan penundaan pembayaran tak berkesudahan.

    Celakanya, tak ada sangsi hukum buat sang perusahaan, meski sekedar sangsi administrativ. Sebaliknya, keluarga Bakrie – sang pemilik utama PT Lapindo Brantas, yang menguasai industri tambang batubara, telekomunikasi dan duduk di jajaran kabinet SBY-JK, tak ada sangsi, tak terusik dan makin berjaya.

    Pemerintah membiarkan lumpur yang mengandung logam berat diatas ambang batas ini dibuang bebas ke kali Porong, tanpa perlakuan khusus, tanpa analisis resiko memadai. Akibatnya parah, tambak rusak, banjir mulai datang akibat tersumbatnya saluran air. Dan lagi, cara yang sama dipakai, membuang lumpur tersebut ke laut tanpa perlakukan khusus, tanpa analisa resiko memadai apalagi kesiapan secara sosial.

    Proses hukum kasus Lapindo disendat-sendat diantara lembaga penegak hukum, seolah membentur tembok dan tanpa masa depan yang pasti. Inilah puncak kelemahan kabinet SBY-JK, mencampakkan nasib warga Porong Sidoarjo sekitarnya dan menjadi tameng bagi keluarga pebisnis kakap di negeri ini, keluarga bakrie.

    Padahal, kasus Lapindo mewakili ancaman yang sama bagi kawasan Jawa Timur lainnya, yaitu kawasan eksploitasi minyak dan gas Cepu – Porong, yang meliputi beberapa kabupaten, mulai Bojonegoro, Lamongan, tuban, Mojokerto, Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan serta kabupaten sekitarnya. Penduduk kawasan tersebut harus bersiap dengan resiko bencana serupa kasus Lapindo. Apalagi sejak kasus ini, tak satu pun kebijakan eksplorasi dan eksploitasi migas yang diperbaiki, untuk mencegah dan menangani hal yang sama.

    “Warga Jawa Timur perlu menentukan sikap terhadap saudara-saudaranya di Porong, yang telah berulang kali dipelakukan tak adil oleh SBY-JK dan seluruh kekuatan politik di negeri ini, yang berkontribusi terhadap ketidakadilan tersebut. salah satu yang paling dekat adalah memikirkan ulang dukungan mereka dalam PEMILU 2009”, kata Siti Maemunah, Koordinator Nasional Jatam.

    Kontak Media: Luluk Uliyah 08159480246

  • Activists criticize environmental rating

    A government environmental report praising some of the country’s biggest polluters will lead to further deterioration of the environmental situation, according to green groups.

    Furthermore, they said they suspected the Proper (environmental performance rating of companies) rating system was designed to help the polluters improve their image and silence critics.

    “Many of the companies in the report are not eligible for green credits,” Indonesian Environmental Forum (Walhi) executive director Berry Furqan told The Jakarta Post on Tuesday.

    “The assessment shows the government lacks the will to take serious action to improve the environment and force companies to uphold better management of the environment.”

    The Proper system gives companies a rating of gold (the highest), green, blue, minus blue, red, minus red and black (the lowest), depending on their performance against government environmental management standards. The assessment is not mandatory.

    Walhi particularly questioned the minus ratings, which it claimed were created so polluters could avoid receiving the worst rating.

    “If the government wants to enforce the law, there is no need to use minus blue or minus red. It is not fair,” Berry said.

    Walhi plans to file an official protest with the environment ministry over the report. The ministry announced the Proper rating of 516 companies last week based on the companies’ air and water pollution control, environmental impact analysis (Amdal) and implementation of corporate social responsibility.

    Green ratings were awarded to 46 companies that surpassed the environmental standards set by the government. They included PT Holcim Indonesia, PT Riau Andalan Pulp and Paper Mill, PT Toba Pulp Lestari, Tbk, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Chandra Asri, PT Unilever Indonesia, PT Semen Gresik and PT Indah Kiat Pulp and Paper.

    The blue rating went to 180 companies that complied with the government’s environmental standards, including PT Lapindo Brantas in Sidoarjo, ConocoPhillips Indonesia Ltd, PT Medco EP, PT Pertamina and PT Lippo Cikarang.

    The blue minus rating was given to 161 companies including PT Dow Chemical Indonesia, PT Freeport Indonesia, PT Aneka Tambang, PT International Nickel Indonesia and PT Indo Lampung Perkasa.

    Network for Mining Advocacy (Jatam) coordinator Siti Maimunah said the Proper rating was of greater benefit to companies than to the environment or to communities living near the companies’ operational areas.

    “The Proper program has prompted the companies to manipulate data,” she said.

    The government assessed companies only by their managerial performance and the documents they submitted, she added.

    A member of the Proper team, Gempur Adnan, denied allegations the minus ratings were made to accommodate the interests of big companies. “To meet the minus blue rating is not that easy for companies. They must work hard to improve their environmental management,” he said.

    He also denied there were any backroom deals with companies, saying the process was completely transparent and came under the review of an independent team consisting of activists and media.

    Adianto P. Simamora, The Jakarta Post