Tag: kahuripan nirvana village

  • Korban Lumpur Lapindo Geram Pengembang Kahuripan Nirwana Tak Hadir

    Korban Lumpur Lapindo Geram Pengembang Kahuripan Nirwana Tak Hadir

    Sidoarjo – Sebanyak 20 warga korban lumpur Lapindo yang tinggal di Perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) melakukan hearing, membahas sertifikat tempat tinggalnya yang belum ada di tangan hingga sekarang.

    Dalam hearing di gedung DPRD Sidoarjo, mereka ditemui Ketua Pansus lumpur Lapindo Nur Achmad Syaifudin, wakilnya Emil Firdaus, Badan Pertanahan Negara (BPN) wilayah Sidoarjo dan perangkat wilayah desa dari Desa Sumput, Ental Sewu, Jati dan Cemengkalang. Sementara pihak pengembang PT Mutiara Mashur Sejahtera (MMS) tidak hadir. Warga pun geram.

    “PT MMS jelas melecehkan Pansus lumpur Lapindo. Karena, selalu tidak hadir dan menghiraukan panggilan dilakukan Pansus lumpur Lapindo,” teriak seorang warga Hardono, di tengah-tengah hearing di gedung DPRD Sidoarjo, Rabu (23/10/2013).

    Ketua Pansus sendiri mengaku jika pada pokok permasalahan itu terlihat jelas di pihak PT MMS. Sebab warga belum menerima sertifikat rumah di KNV. Pihaknya berencana memanggil pihak PT MMS untuk mempertanggungjawabkan tanah tukar guling.

    “Dari pembahasan semua itu. Sudah jelas, bahwa PT MMS belum menyelesaikan masalah tanah tukar guling. Kita akan melakukan pemanggilan, jika tidak hadir lagi akan dilakukan pemanggilan paksa dengan minta bantuan polisi,” kata Ketua Pansus lumpur Lapindo, Nur Achmad Syaifudin.

    Secara terpisah, pihak BPN menyatakan jika masalah pokok karena tanah yang ada di Desa Sumput hingga kini masih bersengketa.

    “Tanah di wilayah Desa Sumput (KNV), pihak PT MMS belum menuntaskan persoalan tukar guling. Diperkirakan tanah itu sekitar 3,4 hektar,” kata Kamdani, di sela-sela hearing. (fat)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/10/23/144240/2393470/475/korban-lumpur-lapindo-geram-pengembang-kahuripan-nirwana-tak-hadir

  • Korban Lumpur Lapindo Tagih Sertifikat Rumah di Kahuripan Nirwana

    Korban Lumpur Lapindo Tagih Sertifikat Rumah di Kahuripan Nirwana

    Sidoarjo – Warga korban lumpur Lapindo yang kini tinggal di komplek Perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) Sidoarjo, menagih janji sertifikat rumahnya. Pasalnya, hingga kini warga yang tinggal sejak tahun 2007, belum mempunyai sertifikat.

    Dari pantauan detikcom, di tiap rumah komplek perumahan banyak terpasang spanduk. Spanduk itu berisi keinginan warga memiliki sertifikat seperti yang dijanjikan PT Mutiara Mashur Sejahtera (MMS).

    sertifikat knv

    “Wasiat seorang ibu ibarat sebuah janji. Tolong selesaikan masalah sertifikat di Kahuripan Nirwana”. Tak hanya itu, warga juga menyindir Aburizal Bakrie. “2014 menuju RI-1. Muluskan Jalan Presiden. Tuntaskan…!!! Permasalahan sertifikat”.

    Salah satu korban lumpur Lapindo, Sanusi, aksi itu dilakukan warga untuk menagih janji. “Kita memasang spanduk di rumah maupun di sudut perumahan hanya ingin menagih janji pada PT MMS. Sebab sampai sekarang kita belum menerimanya,” kata Sanusi (40) kepada detikcom, Jumat (13/9/2013).

    Dia menjelaskan, bahwa sertifikat yang belum diterima warga cukup banyak. Dari total 1.600 sertifikat, hanya sebagian warga korban lumpur Lapindo saja yang menerima sertifikat.

    “Kemungkinan sekitar 300 sertifikat yang sudah diberikan dari total 1.600 sertifikat. Sebenarnya itu progres PT MMS untuk memberikan sertifikat tiap bulan. Tapi pemberian itu ditunda-tunda hingga 6 tahun lebih,” tambahnya.

    Sanusi mengaku korban lumpur Lapindo menyesalkan sikap PT MMS, padahal pemberian sertifikat itu salah satu program yang harus direalisasikan. Apalagi, korban lumpur Lapindo yang tinggal sejak tahun 2007 itu membelinya secara kontan.

    “Mereka juga berjanji, korban lumpur Lapindo yang membeli secara cash tahun 2007, setahun kemudian akan diberikan sertifikat, tapi itu hanya janji,” tegasnya. (fat)

    Sumber: http://news.detik.com/surabaya/read/2013/09/13/171947/2358392/475/korban-lumpur-lapindo-tagih-sertifikat-rumah-di-kahuripan-nirwana

  • Sepenggal Kisah dari Suatu Sudut KNV

    Ibu Eli (41) dan Pak Indar (43) merupakan sebagian korban lumpur Lapindo dari Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di Kahuripan Nirvana Village (KNV). Selain mereka, juga ada sekitar 15 keluarga Desa Jatirejo yang sekarang tinggal di KNV.

    Salah satu permasalahan yang masih tersisa dari kedua warga Jatirejo ini adalah masalah sertifikat tanah dan bangunan di KNV. Pihak Lapindo pernah menjanjikan bahwa sertifikat akan diberikan pada warga paling lambat Oktober 2012. Akan tetapi, sampai Februari 2013, Lapindo belum memberikan sertifikat tanah dan bangunan pada Eli dan Indar. (more…)

  • Korban Semburan Gas Liar Dijanjikan Rumah

    SIDOARJO — Konsep ganti rugi bagi korban Lapindo yang berada di Desa Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi tinggal menunggu persetujuan Presiden.

    Menurut Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) saat ini sudah menentukan konsep ganti rugi bagi kawasan yang terkena semburan liar. “Konsepnya, mereka akan kami berikan rumah di kawasan lain,” kata Bachtiar kemarin.

    Dengan konsep ini, kata dia, pemerintah memberikan dua rumah sekaligus kepada korban. Satu rumah di kawasan yang telah ditentukan dan satu rumah lagi adalah rumah mereka semula. “Jadi rumah mereka yang asli sampai kapan pun tetap milik warga,” ujar Bachtiar.

    Menurut Deputi Sosial BPLS Sucahyono, saat ini ada sembilan rukun tetangga di tiga desa itu yang direkomendasikan untuk segera direlokasi. Di kawasan ini setidaknya terdapat 756 rumah yang akan segera dipindahkan ke tempat lain.

    Sementara itu, kemarin sebanyak 111 korban Lapindo sudah bisa segera menempati rumah mereka di perumahan Kahuripan Nirwana Village (KNV) di kawasan Sukodono, Sidoarjo.

    “Hari ini ada 75 warga yang menerima kunci, Senin kemarin ada 25, dan sebelumnya ada 11,” kata Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla. Menurut Andi, saat ini telah ada 1.072 warga yang telah melakukan ikatan jual-beli dengan Minarak.

    KNV merupakan kawasan yang dibangun Minarak di area 2.000 hektare yang rencananya akan menampung sekitar 7.000 rumah khusus bagi korban Lapindo.

    Bachtiar menyambut baik komitmen Minarak. “Sebelumnya, hanya janji-janji semata. Tapi hari ini semuanya terwujud,” katanya.

    Selain dihadiri Bachtiar Chamsyah dan Andi Darussalam, penyerahan kunci tahap kedua dihadiri Direktur Utama Lapindo Brantas Imam Agustinus; Kepala Kepolisian Daerah Jawa Timur Irjen Herman Surjadi Sumawiredja; Pangdam V/Brawijaya Mayjen TNI Bambang Suratno; anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari PDI Perjuangan, Tjahjo Kumolo; Bupati Sidoarjo Win Hendarso; Wakil Bupati Sidoarjo Syaiful Illah; serta ribuan korban Lapindo.

    Rohman Taufiq | Koran Tempo

  • Korban Lapindo, Apa Pantas Saya Bawa Pacul?

    Setelah menyaksikan langsung rumah yang disediakan PT Minarak Lapindo Jaya bagi korban Lapindo, Sumiran seperti kebingungan. Niatnya memang sudah bulat menerima rumah itu sebagai ganti rugi. “Tapi saya bingung memilih,” kata lelaki 47 tahun itu. Rumah 54 meter persegi di atas lahan 148 meter itu ia rasa belum cukup untuk tempat main dua anaknya.

    Selain bingung memilih, dia mesti yakin rumah itu cukup layak buat dirinya. Semula dia khawatir apakah pintu dari tripleks itu cukup kuat jika ditabrak anaknya. Begitu pula dinding rumah yang ia selisik satu per satu. Tapi, setelah mencoba pompa air, dia sejenak terdiam. “Alhamdulillah, airnya tidak asin,” katanya.

    Rumah dari Minarak itu terdiri atas tiga kamar tidur dan satu kamar mandi. Berdiri di kawasan seluas 2.000 hektare, rumah itu akan menjadi hunian baru bagi korban Lapindo yang setuju dengan ganti rugi cash and resettlement. Kusen rumah terbuat dari aluminium. Gentingnya terbuat dari beton. “Kalau bocor, kayaknya sulit cari gantinya,” kata Sumiran, yang diiyakan rekannya.

    Bagi Sumiran, rumah di Kahuripan Nirwana Village di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, itu boleh disebut elite. Apalagi jika melongok gerbang perumahan yang berbentuk dua raksasa dari sembilan rangka baja. Nama perumahan ditulis dalam huruf kapital dengan ukuran jumbo. Jalan masuk selebar 10 meter terbagi dua dengan taman apik di bagian tengahnya.

    Menurut Vice President Minarak Andi Darussalam Tabussala, perumahan ini memang didesain dengan konsep regency. Kompleks ini dirancang agar mampu menampung 7.000 rumah bagi korban Lapindo yang tak punya sertifikat tanah dan bangunan. “Sampai sekarang perumahan ini terus dikerjakan,” kata Andi.

    Rumah yang didesain agar tampak elite ini justru membuat Sumiran takut menempati. “Apa pantas saya bawa pacul kalau hidup di sini,” katanya. Maklum, sejak lahir hingga dewasa, dia hidup dalam keluarga petani. Sawah adalah sumber kehidupannya.

    Sumiran berharap Minarak Lapindo Jaya bisa menyediakan area persawahan bagi penghuni Kahuripan Nirwana Village agar warganya bisa tetap bercocok tanam. “Bertani merupakan pekerjaan kami turun-temurun,” katanya. Kalau beralih profesi, tentu Sumiran harus belajar lagi dari nol.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • ”Mari Temukan Solusi, Jangan Ciptakan Masalah”

    Wawancara dengan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso

    Penyediaan rumah di kawasan perumahan Kahuripan Nirwana Village bagi korban lumpur Lapindo adalah salah satu solusi atas masalah yang ditimbulkan dari semburan lumpur. PT Minarak Lapindo Jaya dan warga menyepakati konsep cash and restlement.

    Tapi permasalahan tidak segera selesai. Warga yang telah menerima kunci, jangankan menghuni, melihat rumahnya pun mengalami kesulitan. Belakangan diketahui, pembangunan perumahan Kahuripan menyembunyikan banyak masalah, termasuk izin mendirikan bangunan (IMB), serta site-plan.

    Bahkan Bupati Sidoarjo, Win Hendrarso, yang sudah dua tahun dipusingkan oleh masalah lumpur, harus menyindir perusahaan di bawah naungan Bakrie Group itu agar segera membereskan semua persoalan. Hal itu pula yang dikatakannya saat diwawancarai wartawan Tempo, Fajar WH dan Rohman Taufik. Berikut petikannya:

    Apa tanggung jawab Pemerintah Kabupaten Sidoarjo berkaitan dengan pembangunan komplek perumahan Kahuripan Nirwana Village?

    Pembangunan kawasan perumahan itu saat ini sedang direalisasi. Tanggung jawab saya sebagai bupati adalah memfasilitasinya berupa perizinan yang dibutuhkan PT Minarak Lapindo Jaya yang membangun kawasan, serta warga korban lumpur yang membeli rumah di situ. Tentunya itu sesuai proporsi kewenangan saya.

    Pembangunan perumahan itu terkesan dadakan. Apakah memang sudah lama merencanakannya di daerah Jati?

    Lahan sekitar 1.200 hektare yang izinnya sudah kami keluarkan ada di daerah Sukodono. Bahkan PT Minarak sempat melaunching- nya. Sebanyak 1.031 warga juga sudah mendaftar untuk membelinya. Tapi setelah dilihat, ternyata masih berupa tanah kosong. Hal itulah yang membuat warga berdemonstrasi. Lha, saat kami mengeluarkan izin di Sukodono, ternyata PT Minarak juga mencari dan membeli tanah lain. Rencana di Sukodono tidak diteruskan.

    Pada perkembangannya, ada pemikiran baru. Kebetulan, di daerah Jati ada beberapa pengembang. Tapi, mungkin akibat persoalan lumpur, pasar perumahan menjadi turun, sehingga mereka tidak berani melakukan pembangunan. Lahan itulah yang di-take over.

    Berapa luas lahan yang diambil alih, dan bagaimana perizinannya?

    Ada beberapa lahan developer yang diambil alih. Setelah itu, barulah PT Minarak mengusulkan agar izinnya diproses. Tapi rupanya, sambil mengajukan usul perizinan, mereka diam-diam melakukan pembangunan.

    Apakah boleh membangun sebelum mengantongi izin?

    Kalau berdasarkan peraturan, memang tidak boleh melakukan pembangunan sebelum ada izin. Tapi karena perlu terobosan agar para korban bisa mendapatkan rumah, ya hal itu tidak bisa dihindari. Developer yang dulu ada di situ sebenarnya sudah punya izin, tapi izinnya sudah mati.

    Pada saat perumahan di kawasan Kahuripan mulai dibangun, berarti Pemerintah Kabupaten Sidoarjo tidak diberi tahu?

    Pada awalnya, kami terus terang saja, memang tidak diberitahu. Tapi dari berbagai pertemuan, mereka mengakui kesahannya. Mereka beralasan perlu secepatnnya membangun. Pengurusan izin dilakukan sambil jalan. Izin lokasi sudah kami keluarkan. Sekarang sedang dalam proses kelengkapan izin site-plan dan IMB. Tapi memang dalam soal ini ketentuan tidak bisa diterapkan sebagaimana mestinya, melainkan bagaimana sebaiknya. Berarti harus ada kompromi. Proses pembangunan berjalan, tapi proses perizinan juga berjalan. Karena kompromi ini pula 3.500 warga yang tergabung dalam GKLL akhirnya setuju, lalu muncullah konsep cash and resetlement.

    IMB diurus belakangan, apa tidak menyalahi prosedur?

    Kalau dari sisi regulasi, hal itu memang tidak boleh. Kalau saya berpikir pakai kacamata kuda, pasti saya hentikan. Tapi saya harus melihatnya tidak melulu soal regulasi. Kalau pembangunan perumahan di Kahuripan saya hentikan, pasti akan timbul mata rantai persoalan yang panjang. Saya tidak ingin Sidoarjo tidak kondusif. Menyelesaikan masalah sosial harus dengan arif dan bijak. Prinsip saya, mari temukan solusi, jangan bikin masalah. Warga tidak perlu khawatir. Sembari pembangunan dilakukan, kami meminta agar PT Minarak menyelesaikan proses perizinan yang belum lengkap.

    Apakah ini tidak mengorbankan masyarakat yang memiliki lahan sebelumnya?

    Lahan 1.500 hektare yang dipakai PT Minarak di Jati itu semula milik empat developer. Semua tanah sudah diganti rugi. Jadi, secara prinsip, kami tidak ingin memindahkan masalah.

    Kalau memang tidak ada masalah, mengapa Anda menyindir PT Minarak di hadapan Menteri Sosial saat peresmian perumahan Kahuripan?

    Meskipun izin lokasi sudah beres, tapi karena izin yang lainnya belum, saya menyampaikan sindiran. Ikan kakap ikan sepat, berkas lengkap izin cepat. Udang galah disambel terasi, ada masalah cari solusi.

    Apakah itu berarti PT Minarak bandel dalam soal izin sehingga harus disindir?

    Saya selalu mencoba melakukan semua pendekatan. Tidak hanya terhadap PT Minarak atau PT Lapindo. Mungkin bupati yang paling sering didemo adalah saya. Tapi banyak ilmu yang justru saya dapatkan. Saat penetapan harga ganti rugi akan dilakukan, situasinya seperti perang. Polisi, tentara, bahkan kendaraan tank memenuhi pendopo, karena ada kabar bahwa 10 ribuan orang akan membakar pendopo.

    Pintu pendopo justru saya perintahkan dibuka. Saya minta karpet merah digelar di pendopo. Saya persilakan warga masuk karena bagi saya mereka adalah tamu agung bupati. Warga malah berteriak, ”hidup bupati! Hidup bupati! Pihak Lapindo saya datangkan, dan saya mempertemukan mereka dengan utusan warga. Akhirnya harga ganti rugi berhasil disepakati.

  • “Cash and Carry” atau Mati!

    “Cash and Carry” atau Mati!

    Jatirejo, korbanlumpur.info – Pada saat media ramai memberitakan tentang betapa warga korban lumpur yang di dalam peta sudah menerima kunci rumah di perumahan Kahuripan Nirwana Villages, ribuan orang lainnya masih terkatung-katung nasibnya. Mereka adalah kelompok yang menolak tawaran cash and resettlement dari Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Warga tetap bersikeras untuk menuntut pembayaran cash and carry. “Cash and Carry atau Mati!” Demikian semboyan Bang Rois, tokoh warga dari Siring, Porong.

    Semangat itu mengemuka dalam pertemuan korban lumpur Lapindo dari kelompok yang menamakan GEPPRES (Gerakan Penegakan Perpres 14/2007). Pertemuan yang digelar di Posko GEPPRESS di Desa Jatirejo tadi malam (25/07) itu dihadiri oleh ratusan warga dari empat desa, yaitu Siring, Jatirejo, Reno Kenongo dan Kedung Bendo.  Rapat itu bertujuan untuk mensosialisasikan rencana kerja dan tuntutan GEPPRES kepada anggotanya.

    GEPPRES merupakan kelompok pecahan dari kelompok Gabungan Korban Lumpur Lapindo (GKLL) yang lebih dikenal sebagai kelompok binaan Cak Nun. Pada tanggal 24 Juni 2008, GKLL yang awalnya menuntut cash and carry menandatangani nota kesepahaman dengan MLJ untuk menerima cash  and resettlement, disaksikan oleh Bupati, Kepala BPLS dan Cak Nun selaku pembina GKLL. Karena nota kesepahaman itulah kemudian banyak warga yang kecewa yang kemudian membentuk GEPPRES “Sebab kami sudah dikhianati oleh GKLL dan Cak Nun,” tegas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Menurut Musthofa, awalnya GKLL menuntut untuk pembayaran sisa 80% secara cash and carry. “Bahkan warga semuanya disuruh untuk membuat surat pernyataan dan mandat kepada Cak Nun untuk memperjuangkan”, tambah Musthofa. Sebagian besar warga beranggapan bahwa pembayaran 20% yang sudah mereka terima adalah atas jasa Cak Nun. Saat itu, lanjut Musthofa, ada 3.000-an warga yang tergabung dalam GKLL, “karena kami memang ingin sisa pembayaran 80% dibayar secara cash and carry.”

    Alasan warga menuntut cash and carry adalah karena warga tidak akan bisa hidup di perumahan seperti yang ditawarkan Lapindo. “Sebagian besar warga itu petani dan tukang bangunan. Lha bagaimana kami bisa hidup di perumahan? Kami sudah biasa hidup di desa yang orangnya kenal semua. Jelas kami tidak akan kerasan dan tidak akan bisa kerja,” jelas Wito, salah seorang pengurus GEPPRES dari Jatirejo, dengan panjang lebar.

    Lain lagi yang diutarakan Hari Suwandi, koordinator Desa Kedungbendo dalam kepengurusan GEPPRES. Menurut Hari, orang sudah terlanjur berencana untuk membangun rumah atau melakukan berbagai hal lainnya dengan uang 80% yang mestinya mereka terima akhir bulan ini. “Sebagian sudah beli tanah, mbangunnya dengan uang dari Minarak. Ada yang sudah kadung bayar uang muka untuk beli rumah di desa lain. Lha kalau gak jadi seperti ini ya gimana?” terangnya.

    Yang lebih rumit, sebagian besar orang mengaku berhutang dan berjanji untuk melunasi setelah menerima pembayaran 80%. Tetapi karena Minarak menolak membayar secara tunai, tentunya mereka terancam untuk gagal. “Ada itu bahkan yang sudah membayar uang muka untuk naik haji sampai 15 juta. Lha kalau tidak bisa melunasi ini kan bisa hangus” tambah Hari. Karena itu warga menolak skema cash and resettlement dan tetap menginginkan untuk pembayaran cash and carry.

    Dalam pertemuan GEPPRES yang kedua tadi malam, warga membulatkan tekad untuk tetap menuntut hak mereka. Secara hukum, warga yakin bahwa posisi mereka sudah sangat kuat. “Kita ini kan sudah dilindungi dengan Perpres 14/2007 yang mewajibkan Lapindo untuk membayar 20-80 kepada korban. Lha kenapa Peraturan dari Presiden bisa dikalahkan oleh nota kesepahaman GKLL dengan MLJ. Yang memimpin negara ini memangnya siapa?” tegas Musthofa yang disambut tepuk semangat peserta pertemuan yang membludak sampai ke sisi jalan raya.

    Pendapat itu dibenarkan oleh Paring Waluyo, pendamping warga dari Posko Porong. Menurut Paring, hak warga untuk mendapatkan sisa pembayaran sebanyak 80 persen secara cash and carry itu dilindungi paling tidak oleh 4 peraturan hukum. Yang pertama adalah Perpres 14/2007 itu sendiri. Pada pasal 15 dari Perpres menegaskan bahwa Lapindo wajib membeli tanah dan bangunan warga dengan skema 20-80, dimana sisa pembayaran dilakukan satu bulan sebelum masa kontrak habis.

    Yang kedua adalah Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 24 P/HUM/2007 tanggal 14 Desember 2007 yang merupakan jawaban atas permintaan Uji Materiil Perpres 14/2007. “Putusan MA yang merupakan lembaga tertinggi dalam masalah hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang cara pembayaran yang diatur dalam Perpres, dan menegaskan kewajiban bagi Lapindo untuk menjalankan Perpres bagi warga yang memilih skema ini,” tambah Paring.

    Yang ketiga adalah Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo. “Dalam surat ini disebutkan bahwa tanah Letter C, Pethok D dan SK Gogol, bisa di-akta jual beli-kan. Nah, kalau Minarak bilang bahwa tanah non-sertifikat tidak bisa di AJB-kan, itu kesimpulan sepihak,” terangnya disambut tepuk tangan setuju dari peserta pertemuan.

    Sedangkan yang terakhir adalah risalah rapat tanggal 2 Mei yang ditandatangani Minarak dan Perwakilan warga yang juga disaksikan oleh pejabat terkait (Mensos, Bupati, Kepala BPLS, BPN, dsb) . Pada pertemuan itu juga disepakati bahwa tanah non sertifikat bisa di-AJB-kan. “Karena itu, sebenarnya tidak ada alasan bagi Minarak untuk tidak memenuhi tuntutan warga yang ingin memilih cash and carry,” pungkas Paring.

    Karena itu, GEPPRES menyatakan dengan tekad bulat bahwa mereka tetap akan memperjuangkan untuk menuntut cash and carry atas sisa pembayaran 80%. Setelah 2 tahun menunggu, warga mengaku bahwa mereka tidak mau lagi dibohongi dan dibodohi. “Lha sebentar lagi kontrak rumah sudah habis, kita tidak punya pilihan lain selain hanya menuntut kepada pemerintah. Kami akan bawa ini sampai ke RI-1 yang keputusannya ternyata diselewengkan di bawah oleh aparatnya,” tukas Musthofa, ketua GEPPRES.

    Warga sendiri mengaku tidak akan mundur untuk menuntut hak yang selama ini sudah diambil oleh Lapindo. “Warga korban lumpur jangan takut, saya yang akan didepan. Kalau aparat mau menangkap, tangkap saja saya. Silahkan, wong saya memperjuangkan rakyat kecil, tetangga saya yang tukang-tukang becak itu. Jangan takut. Pokoknya cash and carry atau mati,” tegas Bang Rois, tokoh dari Siring yang disambut dengan tepukan setuju dari warga korban lumpur Lapindo lainnya.