Tag: koran tempo

  • Lumpur Lapindo Berpotensi Timbulkan Kanker

    SURABAYA – Lumpur Lapindo yang menyembur di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ternyata mengandung gas berbahaya, yaitu policyclic aromatic hydrocarbons (PAH).

    Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengatakan hasil penelitian Walhi mengungkapkan PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo melebihi 8.000 kali lipat di atas ambang batas normal.

    “Batas normal PAH hanya 0,05 miugram per kilogramnya, tapi ini mencapai 8.000 kali lipatnya,” kata Catur. Padahal, kata dia, tingginya PAH membuat siapa pun yang menghirupnya akan terkena berbagai penyakit.

    Bambang menyatakan, meskipun senyawa kimia ini tidak langsung menyebabkan tumor dan kanker, senyawa ini yang terhirup akan mengubah metabolisme tubuh menjadi senyawa tertentu yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, kanker kulit, dan kanker kandung kemih.

    PAH, kata Bambang, terbentuk akibat proses pembakaran fosil di dalam tanah yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang membuat PAH berbahaya. Selain melalui pernapasan, PAH bisa masuk ke tubuh melalui makanan.

    Hanya, efek PAH ini, menurut Bambang, baru bisa dirasakan sekitar 10 tahun setelah si korban mengkonsumsi makanan yang mengandung PAH.

    Penelitian lumpur Lapindo yang dilakukan Walhi memakan waktu hampir dua tahun, yaitu sejak November 2006 dan baru selesai pertengahan Mei lalu. “Hasilnya mengejutkan karena lumpur Lapindo mengandung unsur PAH yang cukup tinggi,” kata Bambang.

    Selain mengandung PAH, lumpur Lapindo mengandung logam berat berupa timbal yang mencapai 2.000 kali lipat dari ambang batas wajar. Karena itu, Walhi mendesak pemerintah segera mengambil langkah darurat untuk mengungsikan seluruh warga yang berada di sekitar kawasan lumpur. Pemerintah juga didesak secara berkala memeriksa kondisi kesehatan warga, apalagi akibat dari PAH ini baru dirasakan 10 tahun mendatang.

    Walhi, kata Bambang, dua pekan lalu mengirimkan hasil penelitian tersebut ke Menteri Lingkungan Hidup. “Tapi tidak ditanggapi, kami akan melapor ke Komisi Nasional HAM,” kata Bambang.

    Koordinator warga Desa Siring Barat, Bambang Kuswanto, juga meminta pemerintah segera merelokasi semua warga korban lumpur Lapindo. “Saat ini hampir (di) seluruh rumah warga keluar gas. Kalau benar mengandung PAH, berarti kami tiap hari menghirupnya, jadi pemerintah harus segera merelokasi kami,” kata Kuswanto.

    Hingga saat ini, pemerintah belum membuat keputusan merelokasi dan memberi ganti rugi kepada warga tiga Desa di Desa Siring barat, Jatirejo Barat, dan Mindi. Padahal kondisi warga di tiga desa ini sangat memprihatinkan akibat bermunculannya semburan gas liar yang disertai mulai retaknya bangunan rumah akibat terjadinya tanah ambles.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • BPLS Sangsikan Temuan Walhi

    SURABAYA — Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyangsikan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur yang menyatakan adanya kandungan policyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dalam lumpur Lapindo.

    “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak ada yang mengungkapkan adanya PAH,” kata juru bicara BPLS, Ahmad Zulkarnain, kemarin.

    Dalam penelitian yang dilakukan Walhi selama kurang-lebih dua tahun sejak November 2006 dan baru selesai pada pertengahan Mei lalu, lembaga ini menemukan adanya kandungan zat berbahaya jika dihirup manusia.

    Menurut Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara, dalam penelitiannya, Walhi menemukan adanya kandungan PAH dalam lumpur Lapindo hingga 8.000 kali lipat dari ambang batas normal, yakni 0,05 miugram per kilogram. PAH sangat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, di antaranya tumor dan kanker paru serta kanker kulit.

    “Kenapa hanya Walhi yang merilis PAH ini? Padahal banyak peneliti asing yang menyatakan lumpur masih aman,” katanya. Keamanan ini, kata Zulkarnain, bisa dilihat dari adanya tumbuhan yang bisa hidup di atas lumpur. “Buktinya mangrove bisa hidup, ikan yang dilepas di kolam lumpur juga hidup,” ujarnya.

    Dokter spesialis penyakit paru Slamet Hariadi mengatakan PAH memang berpotensi menyebabkan penyakit batuk dan sesak napas. “Ambang batas aman kandungan PAH di tempat terbuka maksimal hanya 1 mikrogram per meter kubik. Jika lebih dari itu, harus mendapat perhatian,” kata Kepala Bagian Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Dr Soetomo ini.

    Menurut Slamet, gas radon yang menyembur dari bumi juga berpotensi menyebabkan penyakit kanker paru. “Ini termasuk jenis gas berbahaya,” ujarnya.

    Meski kadar kandungannya kecil, kata Slamet, gas itu berpotensi muncul di semburan lumpur Lapindo. Sebab, semburan lumpur berasal dari lapisan dalam bumi atau gunung berapi. “Ambang batas untuk radon hanya 4 picocuries per liter,” katanya.

    Jika kandungan kedua gas itu tinggi jauh melebihi ambang batas maksimal, menurut Slamet, masyarakat sekitar semburan rentan mengalami penyakit paru, sesak napas, dan kanker paru. “Orang tua lebih rentan menderita penyakit itu, apalagi jika setiap hari menghirup dua gas itu,” katanya.

    Pada 2007, Slamet sempat melakukan penelitian kandungan gas di sekitar semburan lumpur Lapindo, tapi baru menemukan kandungan H2S dengan kadar 110 miligram per meter kubik dan gas klor (Cl) dengan kadar 20 miligram per meter kubik. Padahal ambang batas kedua gas ini hanya 15 miligram per meter kubik untuk H2S dan 1,45 miligram per meter kubik untuk Cl. “Kandungan kedua gas cukup tinggi dan berbahaya untuk kesehatan,” katanya.

    Menurut Slamet, saat itu dia tidak meneliti kandungan PAH lantaran tidak mempunyai alat yang memadai. “Sedangkan untuk mengukur radon, baru empat laboratorium di dunia yang bisa melakukan. Di Indonesia belum ada,” katanya.

    YEKTHI HM | Koran Tempo

  • Nilai Aneh untuk Lapindo

    Keputusan Kementerian Lingkungan Hidup menempatkan PT Lapindo Brantas sebagai perusahaan yang memperoleh nilai cukup bagus dalam soal lingkungan hidup sungguh membingungkan. Publik tahu apa yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur. Sudah lebih dari dua tahun lumpur menyembur dari ladang pengeboran yang dikelola PT Lapindo Brantas, dan membuat sengsara warga sekitarnya.

    Akibat semburan yang bahkan masih berlangsung hingga sekarang, lebih dari 10 ribu rumah tenggelam. Enam desa harus dihapus dari peta, ribuan orang kehilangan tempat bernaung dan harapan. Belum lagi kerugian ekonomi bernilai puluhan triliun rupiah akibat lumpuhnya industri dan infrastruktur. Bagaimana mungkin kemudian Lapindo justru mendapat nilai baik dalam hal pengelolaan lingkungan.

    Memang, yang mendapat label biru (artinya bagus) dari Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (Proper) bukanlah unit perusahaan Lapindo yang melakukan pengeboran sehingga kemudian terjadi semburan lumpur. Penerima label ini adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas. Tapi, apa bedanya bila pemilik perusahaan itu sama?

    Penghargaan lingkungan seharusnya diberikan kepada perusahaan yang benar-benar bersih dari unsur perusakan dan pencemaran lingkungan. Bukan hanya pencemaran lingkungan, mereka juga harus memenuhi tanggung jawab sosial kepada masyarakat sekitar. Apakah kedua faktor itu sudah dipenuhi oleh PT Lapindo Brantas?

    Yang kita tahu, penyelesaian bencana lumpur Lapindo belum tuntas. Sampai sekarang, lumpur masih menyembur. Kerusakan lingkungan sudah pasti akan bertambah luas dan parah dari hari ke hari. Upaya ganti rugi kepada korban yang diberikan oleh pemerintah dan Lapindo, jelas, tak menghapus dampak kerusakan itu. Apalagi tidak semua korban lumpur mendapat ganti rugi sebagaimana yang seharusnya.

    Bahkan siapa yang harus bertanggung jawab atas kehancuran lingkungan itu pun sampai sekarang belum jelas. Belum ada kepastian hukum, apakah semburan lumpur Lapindo akibat kelalaian dalam proses pengeboran, atau memang bencana alam. Semua masih merupakan kontroversi. Maka, di tengah kontroversi seperti ini, bukanlah langkah tepat memasukkan Lapindo sebagai perusahaan yang relatif ramah lingkungan.

    Seharusnya Kementerian Lingkungan Hidup lebih berhati-hati dalam memberi peringkat pelestari lingkungan. Apalagi, dalam daftar peringkat itu, perusahaan yang masuk kategori merah dan hitam lebih banyak perusahaan kecil. Bagaimana dengan perusahaan besar yang membabat hutan habis-habisan, atau perusahaan tambang yang mencemari sungai dan laut dengan limbahnya?

    Penghargaan seperti yang diberikan Kementerian Lingkungan Hidup seharusnya menjadi pendorong bagi perusahaan untuk meningkatkan komitmennya terhadap pelestarian lingkungan. Tujuan ini hanya bisa berhasil bila ada kriteria yang jelas. Tanpa kejelasan kriteria, masyarakat akan semakin skeptis terhadap keseriusan pemerintah melestarikan lingkungan.

    Koran Tempo

  • Yo opo rek, Pejabat Ngelucu

    Para pelawak sudah tak lucu lagi. Padahal rakyat masih butuh hiburan. Bayangkan, harga bensin naik, listrik byar-pet melulu, para pejabat hobi menilep duit rakyat, jaksa suka main mata dengan makelar suap, dan sebagainya–bagaimana mungkin semua itu tidak membikin kepala dan perasaan rakyat jadi spaning?

    Karena para juru hibur profesional sudah kehilangan jurus melucu, posisi itu pun diambil alih pemerintah. Kali ini kementerian lingkungan hidup yang membikin rakyat ngakak. Kantor itu baru saja menobatkan PT Lapindo Brantas sebagai salah satu perusahaan yang mengelola lingkungan dengan baik. Ha-ha-ha!

    Pancen wis wolak-waliking jaman,” celetuk kawan saya. Kata dia, lha wong semburan lumpur Lapindo telah membikin enam desa kelelep, 10 ribu rumah ambles, dan menyebabkan ribuan penghuninya jadi pengungsi, kok dianggap mengelola lingkungan hidup dengan baik? “Lelucon wagu!” sumpah serapahnya.

    Saya bilang kepadanya, yang dinilai baik itu adalah anak perusahaan Lapindo Brantas yang memproduksi gas, bukan Lapindo yang mengebor itu. Kawan saya malah melotot, “Apa bedanya? Kan pemiliknya sama. Logikamu itu sama saja dengan perumpamaan yang menyebut aku orang dermawan karena tangan kananku suka sedekah, padahal tangan kiriku aktif nilep duit sana-sini–persis para anggota parlemen itu!”

    Lalu ia berceramah. Jargon-jargon pro-lingkungan yang dikoarkan pemerintah selama ini, kata dia, hanya omong kosong. Gerakan penanaman sejuta pohon yang dulu di-blow-up media hanyalah pertunjukan teater sesaat. “Tetapi ketika kekuatan modal yang bicara, lenyaplah semua itu,” ia mengakhiri orasinya.

    Tampaknya ia benar-benar murka. Saya kira ia akan semakin muntap jika melihat kasus di Kulon Progo, Yogyakarta, saat ini. Di sana, para pemodal tengah berusaha mereklamasi pantai Kulon Progo untuk menambang bijih besi. Itu artinya, akan melenyapkan hampir 3.000 hektare lahan dan gumuk pasir yang dikelola warga. Padahal di sana tumbuh subur tanaman cabai, semangka, jeruk, sawi, terung, kentang, juga padi yang telah menghidupi belasan ribu jiwa di empat kecamatan. Sedangkan gumuk pasir melindungi mereka dari ancaman tsunami.

    Penambangan itu tinggal menunggu lampu hijau saja dari Pak Presiden. Saya berdebar menanti: apakah akan ada lawakan besar lain di Kulon Progo? Dan apakah rakyat akan tertawa oleh lawakan itu?

    Tulus Wijanarko Wartawan Tempo

    © Koran Tempo

  • Mei, Lapindo Hentikan Jatah Makan Pengungsi

    SIDOARJO — Lapindo Brantas Inc. tetap akan menghentikan bantuan jatah makan bagi pengungsi yang hingga saat ini masih bertahan di lokasi pengungsian Pasar Baru Porong, Sidoarjo, per 1 Mei mendatang.

    “Kita sudah mengirim surat ke bupati supaya seluruh pengungsi bersiap, karena 1 Mei kita pasti tidak lagi memberikan bantuan jatah makan,” kata juru bicara Lapindo, Yuniwati Teriana, ketika dihubungi Tempo kemarin.

    Penghentian jatah makan ini dilakukan Lapindo, menurut Yuniwati, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, yang menyatakan para pengungsi harus segera meninggalkan lokasi pengungsian setelah mendapatkan uang paket kontrak rumah senilai Rp 5 juta (untuk dua tahun), plus bantuan transportasi Rp 500 ribu, serta uang makan Rp 300 ribu per jiwa per bulan selama enam bulan berturut-turut.

    Meski warga hingga saat ini belum menerima jatah paket uang kontrak tersebut, Lapindo berdalih bahwa pihaknya telah mensosialisasikan kepada perwakilan warga agar segera mengambil uang paket ini. Apalagi, pengungsi yang hingga saat ini masih bertahan di lokasi pengungsian adalah mereka yang sejak Agustus 2006 mendiami lokasi pengungsian tersebut.

    Warga sendiri memang menolak jatah uang paket ini, karena mereka meminta jatah uang paket tersebut diganti dengan sebuah lahan kosong yang nantinya akan digunakan warga untuk membangun rumah secara bersamaan setelah dibayarnya ganti rugi. Tuntutan inilah yang membuat 2.049 jiwa dari 602 keluarga tersebut menolak menerima jatah uang paket kontrak rumah dan memilih tetap tinggal di pengungsian.

    Yuniwati menambahkan, Lapindo tidak bisa memenuhi tuntutan warga, apalagi dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007 juga tidak diatur ganti rugi sebagaimana yang dituntut oleh warga. “Apalagi, kalau kita laksanakan (tuntutan warga), warga lainnya akan ikut meminta hal yang sama,” Yuniwati menambahkan.

    Jika warga tetap minta disediakan lahan, Lapindo sebenarnya juga telah menyediakan lahan di kawasan perumahan Kahuripan Nirvana Village, atau kawasan yang akan dibangun 7.000 unit rumah untuk menampung warga yang menginginkan ganti rugi berupa sebuah rumah siap huni. Hanya, pembayaran rumah ini akan diambil dari sisa ganti rugi 80 persen, bukan dari jatah uang paket kontrak.

    Saat ini, kata dia, setidaknya ada 182 warga, khususnya yang berasal dari perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera, yang telah menandatangani pembelian rumah di perumahan yang berada di Kecamatan Sukodono, Sidoarjo, tersebut. “Jika pengungsi mau, mereka kami persilakan untuk ikut di perumahan ini,” ujar Yuniwati.

    Dihubungi secara terpisah, koordinator pengungsi, Pitanto, mengancam akan menggelar berbagai aksi jika Lapindo menghentikan bantuan jatah makan tersebut. “Kita lihat saja, jika mereka menghentikan, kita pasti akan menggelar aksi besar-besaran,” kata Pitanto.

    Apalagi, jatah makan bagi pengungsi, kata dia lagi, merupakan kewajiban bagi Lapindo untuk menyediakannya. Sebab, warga mengungsi bukan karena murni bencana alam, melainkan karena ulah Lapindo yang lalai dalam menjalankan aktivitas pengeboran di Sumur Banjar Panji 1 yang berada di Desa Renokenongo.

    ROHMAN TAUFIQ

    © Koran Tempo

     

    Sumber : Tempo

  • Semburan Liar Rambah Trotoar Jalan

    SIDOARJO — Fenomena gas liar sebagai dampak semburan lumpur Lapindo Brantas mulai merambah gorong-gorong trotoar di jalan raya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Gas liar yang mudah terbakar ini menjalar ke trotoar karena tanah di Desa Siring Barat ambles sekitar 0,1-0,5 sentimeter setiap hari sehingga kontur tanah miring ke arah timur atau pusat semburan lumpur.

    Untuk menghindari percikan api di trotoar, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) akan membuka penutup trotoar. “Percikan api bisa membakar air di bawah trotoar,” kata juru bicara BPLS Ahmad Zulkarnain di Sidoarjo kemarin. Kandungan low explosive limit (LEL), kata dia, saat ini sudah mencapai 100 persen.

    Fenomena sejak dua pekan itu baru terdeteksi kemarin setelah beberapa waktu lalu warga di sekitar jalan raya Porong mengeluh pusing dan mual. Selain dihuni warga, trotoar ini sering menjadi tempat beristirahat sopir angkutan umum rute Porong-Surabaya. Polisi sudah memasang garis polisi karena air di dalam gorong-gorong mulai mengalir ke jalan raya.

    Semburan gas liar ini membuat warga resah karena gorong-gorong ini merupakan satu-satunya tempat pembuangan air. “Air di sepanjang got jadi mudah terbakar,” kata Gandu Suyanto, warga Siring. Warga minta BPLS membuat saluran baru. Mereka juga minta direlokasi karena tanah terus ambles setiap hari.

    Menanggapi keluhan warga, Ahmad Zulkarnain mengatakan akan memasang gorong-gorong berjenis U-Gatter. Dengan gorong-gorong berbentuk huruf “U” ini, aliran air dari semburan liar bisa dialirkan ke Kali Tengah. BPLS juga berencana memasang pipa khusus untuk memisahkan air dengan gas agar tidak membahayakan warga.

    Untuk melihat dampak amblesan tanah, BPLS terus mengukur pergerakan tanah dengan Geo-Radar. Penelitian sejak tiga bulan lalu ini sampai sekarang belum bisa disimpulkan. “Masih dirumuskan,” kata Zulkarnain.

    Sementara itu, tanah yang terus ambles ini membuat jalur kereta di kilometer 32.850 hingga 32.950 tergenang air. Bahkan genangan hampir menutup seluruh badan rel. “Tapi untuk sementara masih aman karena belum tertutup total,” kata juru bicara PT Kereta Api Daerah Operasi VIII Sudarsono.

    Agar kereta tetap beroperasi, kereta yang melintas diharuskan mengurangi kecepatan dari 70 kilometer per jam menjadi 10 kilometer. Jika kondisi makin parah, rel kereta akan ditinggikan kembali. Dia berharap 40 jadwal perjalanan kereta per hari tidak terganggu oleh genangan air.

    Rohman Taufiq | Koran Tempo