Tag: Pejarakan

  • Tanah Wakaf Terendam Lumpur Belum Peroleh Gati Rugi

    SURYA Online, SIDOARJO – Ganti rugi tanah wakaf tiga mesjid dan empat musala di kawasan terdampak lumpur di Desa Besuki, KedungCangkring dan Pejarakan, Kecamatan Jabon hingga kini belum dibayar. Hal ini dikeluhkan warga setempat. Padahal dana pembayaran ganti rugi itu sudah di tangan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

    Mantan Ketua Pansus Lumpur DPRD Sidoarjo, Maimun Siroj, datang ke DPRD untuk menyampaikan uneg-unegnya karena sudah lelah memperjuangkan ganti rugi tanah wakaf. Langkah yang dilakukan itu mulai mendatangi kantor Setneg dan bertemu Deputi Kepala BPLS, Ir Kamdani. Namun jawaban BPLS, anggaran yang sudah disediakan itu tidak bisa dikeluarkan karena takut dengan persoalan hukum.

    “Kalau seperti itu kami harus berjuang dengan cara apa,” ujar Maimun Siroj dengan nada tanya, Selasa (4/11/2014).

    Di wilayah tiga desa yang sudah dibebaskan BPLS termasuk masjid, musala, tanah kas desa, sekolah, jalan umum tidak ada yang diganti. Warga di tiga desa itu pun sudah menyebar pindah ke beberapa lokasi karena lokasinya sudah tidak bisa ditempati. Lantas di mana masjid baru itu dibangun?

    “Dana yang ada itu diserahkan ke pengurus masjid yang menangani wakaf. Bukankah sudah dibentuk pengurus, untuk memudahkan BPLS berhubungan ganti rugi dengan pihak secara hukum dinyatakan layak,” jelasnya.

    Untuk merealisasikan itu  diperkuat payung hukumnya Perpres 33/2013 tentang tanah wakaf sehingga secara hukum tidak ada masalah untuk dibayar. Kesempatan warga menerima ganti rugi tanah wakaf ini tinggal 2 bulan lagi.

    “Apabila sampai akhir Desember 2014 tidak segera diserap maka uang itu akan dikembalikan ke kas negara. Untuk mendapatkan kembali dana itu harus diproses dari nol lagi,” ucapnya.

    Pemkab Sidoarjo juga diminta segera bertindak atas sempitnya waktu untuk mendorong warga 3 desa mendapatkan ganti rugi tanah wakaf itu. Warga tidak mempersoalkan jika ganti rugi lahan masjid dan mushola dalam bentuk jadi. Artinya BPLS yang mencarikan lahan dan membangunkan masjid ata mushala.

    “Warga bersyukur kalau diberikan dalam bentuk jadi. Yang penting BPLS cepat merealisasikan  pembangunan,” jelasnya.

    Terkait lokasi sebaiknya dikonsultasikan dengan para pengurus masjid. Pengurus masjid masih lengkap dan bisa diajak konsultasi untuk menentukan titik lokasi. Ia menjamin pembangunan masjid dan mushola baru tidak diprotes warga  lain.

    “Sebenarnya di 3 desa itu terdapat 7 mushala, tetapi 3 mushala sudah dicairkan karena statusnya tanah perorangan. Tetapi untuk 3 masjid dan 4 mushala berstatus tanah wakaf,” ungkap Maimun Siroj.

    Sumber: http://surabaya.tribunnews.com/2014/11/04/tanah-wakaf-terendam-lumpur-belum-peroleh-gati-rugi

  • Desa Pejarakan Kesulitan Air Bersih

    Desa Pejarakan Kesulitan Air Bersih

    korbanlumpur.info – Setelah kejadian bocornya gorong-gorong I yang ada di Desa Pejarakan, kegeraman warga Pejarakan kali ini semakin bertambah.

    Sudah sejak bulan Juli sampai sekarang, pengiriman air bersih yang seharusnya didapatkan warga secara rutin ternyata tidak sesuai dengan komitmen awal BPLS.

    Pengiriman air bersih yang sebelumnya dipegang langsung oleh Lapindo (yang bekerjasama dengan PDAM Sidoarjo), sejak 1 Juli lalu dioper ke BPLS. Pengoperan ini pun tidak disertai dengan alasan yang jelas.

    Awalnya, BPLS di depan para warga dan pihak desa berkomitmen untuk mengirimkan air bersih tujuh kali dalam seminggu. Jika hari minggu tidak bisa dikirim, maka akan ada pengiriman dua kali pada hari sabtu atau senin. Nyatanya, seperti komitmen-komitmen lain dari BPLS, hal itu berakhir menjadi janji-janji yang membuat warga geram.

    Mengalami hal ini, warga bukannya hanya berdiam diri. Beberapa kali warga mendatangi pihak BPLS untuk meminta kejelasan akan hal ini. Tapi BPLS malah menyuruh warga untuk menanyakan langsung pada supir yang biasa mengantarkan air bersih. Ketika dikonfirmasikan kepada supir, sang supir malah menyuruh warga menanyakan hal tersebut pada BPLS karena menurutnya tak ada perintah.

    Pada minggu ini saja (minggu terakhir bulan Agustus) pengiriman terlambat empat hari. Dengan berapi-api, Ibu Lis, warga Pejarakan, mengutarakan unek-uneknya, “Dalam seminggu mas, kadang kita itu dikirim air cuma empat kali seminggu. Coba bayangin kita aja pernah gak mandi dua hari. Padahal air merupakan salah satu kebutuhan utama. Masa’ kita yang terus-terusan nelpon bahkan mendatangi posko BPLS tiapga ada pengiriman air, padahal ini harusnya menjadi tanggungjawab mereka.”

    Masalah lainnya adalah waktu pengiriman yang tidak teratur. Pada hari Jumat (22/08/08), pengiriman dilakukan pada pukul 03.15 WIB. Beberapa warga yang mengetahui adanya pengiriman, langsung “menguras” profile tank berukuran 5000 liter. Sekitar satu jam kemudian, air yang tersisa hanya sekitar seperempat. Padahal masih ada warga yang belum mengambil air karena tidak tahu adanya pengiriman tersebut. Menurut kesaksian salah satu warga, Pak Sarjono, air bersih terkadang dikirim pada jam sebelas siang. “Padahal banyak warga yang menggunakan air bersih pada pagi hari sebelum pergi ke kantor atau sekolah”.

    Sumur warga sendiri sudah tidak digunakan. “Airnya berwarna kuning dan membuat kulit gatal-gatal kalo dipakai mandi” kata Bu Lis. Menurut Bu Lis juga, jika air sumur itu digunakan untuk menyiram tanaman, maka tanaman tersebut akan mati beberapa hari setelahnya.

    Ketika ditanya solusi yang diharapkan warga, tujuh orang yang sedang mengantri untuk mengambil air itu pun serentak menjawab, “Pengiriman air harus rutin tujuh kali dalam seminggu, dengan waktu yang juga rutin agar warga tidak berebutan”. Para warga mengancam akan mendemo BPLS jika pengiriman yang telat masih berlanjut.

    “Karena air bersih adalah salah satu hak warga yang air sumurnya dicemari oleh Lapindo”, kata Bu Lis sambil membawa ember berisi air menuju rumahnya.[cek/tang]

  • Diperlakukan Beda, Warga Pejarakan Menolak

    Diperlakukan Beda, Warga Pejarakan Menolak

    korbanlumpur.info – Warga desa Pejarakan Kecamatan Jabon mengaku resah dengan wacana bahwa tipe bangunan mereka akan diperlakukan berbeda-beda. “Mereka membedakan bukan hanya antara tembok atau gedek (bambu), tapi bahkan sampai beda antara lantai keramik atau tidak, tembok memakai plesteran semen atau tidak, bahkan tipe genteng karangpilang atau biasa. Sampai segitu pembedaannya,” demikian ungkap Suwojo, warga desa Pejarakan.

    Dari hasil pertemuan sosialisasi antara BPLS dan warga, dinyatakan bahwa penilaian harga tiap bangunan di tiga desa berdasar Perpres No 48 Tahun 2008 akan dibedakan. “Untuk pengukuran tanah, dilakukan BPN. Tapi pengukuran bangunan juga penilaian nilai bangunan dilakukan PT Cipta Karya,” imbuh pemuda desa Pejarakan ini.

    Berbeda dengan korban lumpur Lapindo yang ada dalam peta 22 Maret 2007 berdasar Perpres No 14 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa harga bangunan disamakan seharga 1,5 juta rupiah, warga di tiga desa ini (Pejarakan, Kedung Cangkring, dan Besuki) tidak mendapat kebijakan yang sama.

    “Itu pernyataan langsung Pak Bajuri dari BPLS,” jelas Suwojo. Keadaan ini tampaknya sudah berdampak buruk bagi proses konsolidasi gerakan rakyat yang ingin mendapat hak-haknya kembali. “Warga jelas bergejolak dan resah. Namun mereka ditakut-takuti, kalau tidak mengikuti, tidak akan diikutkan (pembayarannya),” ujar pria berusia 37 tahun itu.

    Aparat Desa sendiri tampaknya juga tidak berpihak ke warga, bahkan sudah diangkat menjadi pelaksana terbawah BPLS yang juga mendapat dana operasional. “Mereka bilang sendiri, pelaksana terbawah BPLS itu kepala desa, dan mereka diberi uang operasional untuk itu,” tambah Suwojo.

    Pembedaan penilaian nilai bangunan antara warga yang di dalam peta area terdampak versi Perpres No 14 Tahun 2007 dan 3 desa yang dinaungi Perpres No 48 Tahun 2008 jelas berpotensi menimbulkan kecemburuan dan perpecahan. Suwojo menyatakan bahwa warga menginginkan persamaan perlakuan. “Kalau kita, ya, maunya disamakan saja (dengan versi Perpres 14/2007).”

    Selain itu, untuk pengukuran tanah sendiri juga menyisakan masalah tersendiri. Kepala Desa tidak mau memberikan surat-surat tanah warga (Petok D dan Letter C) kepada warga dengan dalih menunggu hasil pengukuran. “Setahu saya, itu ada di kepala desa, tapi dia bilang yang boleh tahu hanya kepala desa dan camat,” terang Suwojo yang bertempat tinggal di RT 6 RW 4 desa Pejarakan ini.

    Tentu saja menjadi tanda tanya besar, mengapa warga dilarang mengetahui informasi luas lahan tempat tinggalnya sendiri. Keberadaan warga di atas tanahnya dibuktikan dengan surat-surat tersebut, tanpa memiliki sendiri surat-surat itu, posisi warga akan lemah jika dilakukan pengukuran tanah ulang oleh BPN. “Kita akan memaksa kepala desa untuk menunjukkan (surat-surat) itu. Kan tanah itu hak kita, kenapa kita tidak boleh meminta Petok D dan Letter C kita?,” tandasnya.

    Sekali lagi terlihat bahwa pemerintah tidak serius menyelesaikan persoalan warga korban lumpur Lapindo. Kebijakan-kebijakan yang diambil selalu menciptakan potensi keresahan dan ketegangan di dalam warga sendiri. Aparat pemerintahan pun lebih sering tidak memihak kepentingan warga, sehingga posisi korban semakin dilemahkan dengan berbagai cara.

    “Mereka (BPLS)  masih meminta kita untuk percaya kepada mereka, sekarang, ya sudah tidak bisa lagi,” pungkas Suwojo menunjukkan kemarahannya akan nasibnya yang tak kunjung mendapatkan penyelesaian berarti. [re]

  • Lumpur Lapindo, Tiga Desa Baru Masuk Revisi Perpres

    Jakarta, Kompas – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2008 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo di Jakarta, Kamis (17/7). Tiga desa yang terdampak semburan lumpur panas Lapindo Brantas Inc paling akhir yaitu Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring masuk dalam revisi perpres itu.

    Sudah diteken hari ini. Soal teknisnya, tentu nanti. Kan ada badan yang tinggal melaksanakan saja teknis dari perpresnya,” ujar Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa di halaman Istana Negara, Jakarta.

    Lambatnya penandatanganan revisi Pepres No 14/2008 menurut Hatta karena pembahasannya menyangkut dana yang melibatkan sejumlah menteri seperti Menteri Keuangan Sri Mulyani dan menteri yang terkait.

    Mengenai kapan realisasi pemberian ganti rugi sebagai konsekuensi dari revisi perpres, Hatta mengemukakan, kecepatannya tergantung pelaksana teknis mulai dari Menteri Keuangan hingga BPLS.

    Secara terpisah, sebanyak 80 warga korban lumpur Lapindo dari tiga desa (Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan) di luar areal peta terdampak menyambut baik penandatanganan revisi perpres itu. Warga yang sudah lima hari berada di Jakarta, di antaranya dua hari terakhir bermalam di lapangan Monumen Nasional (Monas), serentak meluapkan kegembiraan mereka.

    ”Tentu kami bersyukur, sekalipun kami belum melihat hitam di atas putih. Semoga saja benar adanya,” kata Koordinator Korban Lumpur Tiga Desa di Luar Peta Terdampak Abdul Rokhim, kemarin.

    Di Sidoarjo Jawa Timur, bergitu mendengar dilakukan revisi perpres, warga langsung melakukan sujud syukur. (INU/GSA/HEI)

    © Kompas

  • Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    Terkait Perpres 48/2008, BPLS Lagi-lagi Obral Janji

    korbanlumpur.info – BPLS kembali tebar janji, dalam pertemuan dengan perwakilan 3 desa (desa Besuki, Pejarakan, dan Kedung Cangkring) menanggapi permasalahan setelah dikeluarkannya Pepres 48/2008 tentang revisi Perpres 14/2007 tentang Badan penanggulangan Lumpur Sidoarjo.

    Bapak Sarjono dari desa Pejarakan yang dimintai konfirmasi menyatakan bahwa BPLS menyatakan akan segera mengadakan sosialisasi untuk memusyawarahkan penentuan harga ganti rugi lahan warga di 3 desa. Sosialisasi itu sendiri akan dilakukan per RT.

    Sarjono yang datang pada pertemuan itu menyesalkan langkah ini, dia menilai bahwa itu akan memperlambat proses pembayaran, semestinya sosialisasi itu bisa dilakukan bersamaan beberapa RT, sehingga tidak mengulur waktu. Dia mengkhawatirkan waktunya tidak cukup untuk masa anggaran 2008 ini. Untuk diketahui bahwa pembayaran DP 20% guna membeli lahan warga di 3 desa diambilkan dari APBN-P 2008, sehingga harus segera direalisasi sebelum masa anggaran yakni bulan Desember 2008.

    Pihak BPLS sendiri menyatakan bahwa harga pembayaran akan mengacu pada harga seperti yang sudah dilakukan di dalam peta area terdampak sebelumnya yakni: 120 ribu untuk tanah sawah, satu juta untuk tanah pekarangan dan 1,5 juta untuk bangunan. Namun untuk penentuan harga sendiri rupanya masih harus melewati proses musyawarah, meskipun patokannya tetap harga-harga seperti tertulis sebelumnya itu.

    Selain tentang sosialisasi musyawarah penentuan harga, BPLS melalui Kepala Pokja Perlindungan Sosial BPLS, Bajuri Edy Cahyono, menjanjikan bahwa sisa pembayaran warga yang 80% akan diselesaikan dalam 1 tahun. ”katanya … sudahlah pak percayalah dengan saya, jadi kalau anggaran (untuk membayar sisa) 80%-nya itu (diambilkan dari) APBN 2009, jadi yang tadinya itu kalau (mekanisme pembayaran seperti) di lapindo (menunggu masa) kontrak 2 tahun yang dalam peta, yang disini (3 desa) kontrak 1 tahun, dan 1 bulan sebelum masa kontrak habis 80%-nya sudah diturunkan” begitu ungkap Sarjono menirukan pernyataan staf BPLS.

    Ini berbeda dengan bunyi dalam Perpres 48/2008 yang menyatakan bahwa pembayaran pada 3 desa yang dimasukkan melalui Perpres 48/2008 untuk sisa 80% dibayarkan setelah pembayaran pada peta area terdampak sebelumnya selesai. Mengenai ini, staf Humas BPLS seperti dikutip pada kapanlagi.com (31/07/2008 BPLS siapkan posko verifikasi ganti rugi) menyatakan Untuk korban lumpur versi Perpres No.14/2007 mendapat ganti rugi dari Lapindo Brantas dengan skema pencairan dana 20% dan pelunasan 80%-nya harus menunggu dua tahun. Berbeda dengan versi Perpres No.48/2008. Skema pencairan sama, yakni 20%, selanjutnya, pelunasan 80%.Namun, untuk pelunasan 80% warga tidak harus menunggu lama. Maksimal akhir Desember 2008 sudah cair.

    Entah versi mana yang benar? Sebelum Desember 2008, 1 bulan sebelum masa kontrak yang 1 tahun selesai, atau menunggu Lapindo menyelesaikan pembayaran dalam peta area terdampak sebelumnya?

    Selain permasalahan penentuan harga dan kepastian pembayaran sisa 80%, Sarjono juga menyatakan kegelisahannya akan status pengontrak, khususnya yang ada diwilayah desa Pejarakan. Menurutnya ada beberapa pengontrak yang mayoritas bekerja di industri-industri kecil di Pejarakan, selama ini tidak terperhatikan. padahal mereka selama ini juga sudah dianggap seperti penduduk asli. Tetapi rekomendasi yang diberikan oleh Kepala Desa Pejarakan hanya mengusulkan 384 KK yang tidak termasuk pengontrak yang tinggal di desa Pejarakan. Ini juga yang hendak diperjuangkan oleh Sarjono untuk para pengontrak mendapatkan haknya juga.

    Secara keseluruhan, Sarjono menginginkan ini bukan lagi sekedar janji-janji seperti yang sudah-sudah, karena masyarakat sudah bosan dengan segala janji yang tidak juga kunjung terbukti, bahkan seringkali diingkari. Tapi sekali ini, masyarakat tidak lagi mau dibohongi.