Tag: pemulihan ekonomi

  • Pelipur Lara di Pusaran Lumpur Lapindo

    KOMPAS.com – DELAPAN tahun sudah lumpur Lapindo di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menyembur. Sekitar 700 hektar areal permukiman, pabrik, perladangan, dan sawah tenggelam oleh lumpur yang hingga kini masih menyembur. Solusi belum juga ada.

    Padahal, beragam persoalan yang muncul bersama semburan lumpur Lapindo tak hanya dialami penduduk sekitar. Pergerakan ekonomi di Jawa Timur sempat melambat, bahkan hingga sekarang belum sepenuhnya pulih. Rel kereta api yang melintas di Jalan Raya Porong terus ditinggikan agar moda transportasi menuju Malang hingga Banyuwangi lancar.

    Waktu tempuh berbagai moda transportasi yang melintas di wilayah Porong cenderung dua atau bahkan tiga kali lipat dari sebelum lumpur menyembur pada 2006. Waktu tempuh Surabaya-Banyuwangi dengan mobil pribadi, yang pada kondisi normal 7 jam, kini 10 jam, bahkan saat tertentu hingga 15 jam. Kehadiran jalan tol baru Porong-Pandaan sejak 2013 baru bisa mempersingkat waktu tempuh dari Surabaya ke Malang.

    Luberan lumpur Lapindo ke berbagai penjuru yang dihadang cuma dengan tanggul setinggi 12 meter itu tak hanya menggerogoti perekonomian provinsi berpenduduk 41,4 juta jiwa tersebut, tetapi juga menasional. Apalagi pemilik pabrik di Pandaan, Pasuruan, Probolinggo, hingga Banyuwangi ketika Jalan Raya Porong macet berjam-jam karena lumpur panas menggenangi jalan. Akibatnya, arus barang masuk dan keluar terhambat.

    Pemodal asing pun sempat ingin hengkang ke negara lain, seperti Vietnam, jika jalan tol Porong-Pandaan tak segera terealisasi. Niat angkat kaki dari Jawa Timur, provinsi yang dianggap paling aman dan nyaman untuk berinvestasi, batal dengan beroperasinya jalan tol Porong- Pandaan sejak 2013. Tol ini menjadi jalur utama ke selatan Jawa Timur, sedangkan ke timur tetap melalui Jalan Raya Porong.

    Semburan lumpur Lapindo menimbulkan kerugian setiap tahun sekitar Rp 260 triliun, atau sekitar Rp 500 miliar per hari, dari pendapatan perdagangan dan industri. Kerugian begitu besar karena sekitar 30 persen produk domestik regional bruto Jawa Timur sumbangsih dari perdagangan dan industri.

    Hampir 60 persen sektor perdagangan dan industri berada di wilayah Pasuruan, Malang, dan Blitar, yang dalam ekspor mengandalkan Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Artinya, ruas jalan Porong menjadi poros utama menuju Surabaya. Menurut pakar statistik dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Kresnayana Yahya, kerugian itu akibat stagnasi nilai barang dan sebagian biaya lain seperti kehilangan pekerjaan, transportasi, dan unsur psikis yang justru tak ternilai. Apalagi, secara riil lumpur tidak hanya mengubur tempat usaha, tetapi tanah berikut ribuan rumah dan bangunan ikut tenggelam.

    Memang betul: meski lumpur Lapindo belum ada solusi, kata Daniel M Rosyid, pakar transportasi dari ITS, pertumbuhan ekonomi Jawa Timur relatif bagus. Kendati demikian, pertumbuhan baik, perencanaan kurang fokus, sehingga kesenjangan wilayah masih buruk. Pembangunan masih eksklusif, bahkan meninggalkan kawasan tertentu, termasuk pesisir dan pulau kecil seperti Bawean di Gresik dan Sumenep di Pulau Madura.

    Pemerintah Provinsi Jawa Timur belum mampu membenahi transportasi umum antarkota dan antardesa sehingga masyarakat cenderung memakai kendaraan pribadi. Jalan makin sesak. Bahkan, terkait pendidikan, kata Daniel, warga muda Jawa Timur tidak memiliki bekal dengan kompetensi memadai untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tinggal sekejap mata.

    Pendidikan nirformal pun kurang dikembangkan untuk menyediakan tenaga terampil besertifikat sehingga inovasi minim. ”Pengambilan keputusan dan kebijakan kurang memanfaatkan peran Badan Penelitian dan Pengembangan Jawa Timur. Lembaga ini masih dianggap sebelah mata. Akibatnya, daya saing Jawa Timur melalui inovasi tidak bertambah dibandingkan dengan provinsi pesaing seperti Kalimantan Timur, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, padahal sumber daya manusia sangat luar biasa, baik kuantitatif maupun kualitatif,” kata Daniel.

    Bergerak cepat

    Dalam situasi serba tak jelas kapan lumpur berhenti menyembur, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas justru terpacu mencari alternatif agar kabupaten itu tidak kian dilupakan. ”Kerja cepat, terutama untuk operasional bandara karena kehadiran bandara mampu mempercepat pergerakan ekonomi, terutama investasi dan pariwisata, butuh mobilitas yang cepat,” kata Anas.

    Gerak cepat dilakukan karena dengan pesawat udara, waktu tempuh Surabaya-Banyuwangi cukup 45 menit. ”Dulu mau ke Banyuwangi berpikir lama di jalan, naik kereta api atau mobil. Bagaimana mau ajak pemilik modal ke Banyuwangi? Persoalan makin berat ketika lumpur Lapindo,” kata Anas.

    Dalam waktu singkat, Anas pun pontang-panting meyakinkan maskapai penerbangan, juga Kementerian Perhubungan, agar penerbangan segera dibuka ke Banyuwangi, daerah paling timur di Pulau Jawa. Semua penerbangan dari awal sampai sekarang nihil APBD, tak ada subsidi. Pola ini berbeda dengan bandara lain yang baru dibangun dan maskapai disubsidi daerah agar mau terbang ke daerah itu.

    Dia juga menyusun strategi agar daerahnya makin menggeliat. Investasi dan wisata dipacu sehingga perkembangan penumpang pesawat di Bandara Blimbingsari Banyuwangi makin menjanjikan. Bandara menjadi salah satu gerbang pembuka kemajuan di kabupaten berjulukan Matahari Terbit Jawa itu.

    Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memainkan sejumlah strategi untuk menggeliatkan daerahnya. Infrastruktur saban tahun dibangun atau diperbaiki sepanjang 300 kilometer dengan mengajak masyarakat dan dunia usaha karena tak cukup mengandalkan APBD.

    ”Pemerintah daerah menyiapkan aspal dan peralatan, masyarakat gotong royong dan secara sukarela menyediakan konsumsi saat pengerjaan. Peran dunia usaha, membantu honor pekerja,” kata Anas. Hasilnya hingga kini jalan rusak sekitar 70 kilometer.

    Banyuwangi pun kian tersohor hingga ke penjuru dunia. Obyek wisata yang begitu memesona, yang selama ini tak tersentuh, kini dibuka akses jalan dan dilengkapi sarana dan prasarana, termasuk mendidik warga setempat terbuka kepada pendatang, terutama turis. Penduduk dilatih bisa memasak dan mengembangkan usaha sesuai keterampilan masing-masing sehingga ekonomi warga ikut terdongkrak.

    Sepak terjang Anas mengangkat Banyuwangi dengan berbagai program, termasuk menggelar sedikitnya 30 agenda festival secara rutin setiap tahun di Banyuwangi, dengan lokasi tersebar hingga ke tingkat kecamatan, mendapat pengakuan dari Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert O Blake. Ketika bermalam tiga hari di Banyuwangi, merayakan Thanksgiving sekaligus menyaksikan Banyuwangi Ethno Carnival, Blake mengungkapkan betapa cantik dan bersahabat Banyuwangi.

    Anas pun tak lantas berhenti menaikkan pamor daerahnya. Dengan berbagai langkah, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi sedang menyusun strategi untuk bisa ”mencegat” wisatawan yang hendak ke Bali melalui jalur darat, yang berjumlah jutaan orang setiap tahun.

    ”Banyuwangi akan buat kiat bagaimana turis yang akan ke Pulau Dewata merogoh kantongnya di Banyuwangi minimal Rp 500.000 per orang dengan berbelanja suvenir atau makan khas daerah ini,” kata Ketua Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini.

    Padahal, kekuatan Jawa Timur tidak hanya Banyuwangi dan Surabaya dengan berbagai inovasi menjadi kota modern tanpa mengabaikan yang tak mampu. Ada 36 kabupaten dan kota dengan problem dan keunggulan khas.

    Jawa Timur tak hanya kaya dengan minyak dan gas, tetapi juga berkembang di sektor pertanian dan peternakan serta industri. Surplus gula 500.000 ton, beras sekitar 3,4 juta ton dari produksi 7,8 juta ton per tahun, produksi sapi potong setiap tahun 1,3 juta ekor dan konsumsi penduduk 560.000 ekor, sehingga ada 800.000 sapi, jadi Jawa Timur tak butuh topangan daerah lain. Jawa Timur pun tertutup bagi produk pangan impor, termasuk gula, sapi, dan beras, karena memang mengalami surplus meski sudah menopang kebutuhan nasional.

    Agnes Swetta Pandia

    Sumber: http://nasional.kompas.com/read/2014/12/19/14285581/Pelipur.Lara.di.Pusaran.Lumpur.Lapindo

  • Lapindo mudflow threatens Japanese investment

    The prolonged mudflow disaster has threatened East Java’s chances of attracting foreign investment, particularly from Japan, a local official says.

    The issue has become a major problem, discussed at a meeting of the Japan Club in Surabaya last week, chairman of the East Java Investment Board (BPM) Djoni Irianto told The Jakarta Post here Tuesday.

    A number of Japanese investors had expressed interest in the province, but decided to hold back until they receive a satisfactory explanation to at least three of their four questions regarding the disaster, he added.

    “We were given until Friday to respond to their questions,” Djoni said.

    The three questions concern the relocation of a section of the Surabaya-Gempol toll road, land subsidence on the Porong artery road and the possible overflow of Porong River, into which the mud has flown, he added.

    A forth question concerned the possible threat of avian flu, especially given outbreaks across Indonesia over the past four years. A leak that began on June 29, 2006 at Lapindo Brantas Inc.’s mining site became a mudflow disaster that has thus far buried at least four villages, displacing some 13,000 villagers.

    The mudflow has also damaged Porong highway, a railway line, and the Gempol toll road, causing soil subsidence at the disaster site.

    Many Japanese investors in Pasuruan have had to spend more on production costs, particularly to transport products and raw materials as a result of the damaged road, Japan Club chairman Hajime Matsuda sat at the meeting.

    “That has made it difficult to compete with companies in Sidoarjo and Gresik, two other industrial zones in the province,” Djoni quoted Hajime as saying.

    Around 80 Japanese investors actively involved in the new Pasuruan industrial zone expressed their commitment to retain workers despite the overburdening transportation problem, Djoni added.

    “We are proud of the investors’ commitment because many have repatriated their experts and senior staff instead of dismissing low-income workers, to cope with the additional transportation costs,” he said.

    The congested Porong artery and toll roads are the only links connecting Pasuruan with the port and the provincial capital, he added.

    Japanese investors want the industrial zone to provide an integrated service center, including for tax and excise examinations and for investment permits, Djoni said.

    With such a center, they could begin operations relatively quickly, despite having to pay extra.

    “That is why BPM sought a deadline from the government on the completion of the toll road relocation, the handling of bird flu and other issues that could make foreign investors reluctant to invest in the province,” Djoni said.

    BPM established an investment clinic last month to provide accurate information on whatever foreign investors need to know to invest in the province, he added.

    Djoni was confident more foreign investors will be attracted to the province, which he described as an excellent alternative investment destination, after Jakarta and Riau.

    In actuality, East Java is not trying to compete with those areas, but with Malaysia and Thailand, especially because the province’s infrastructure and regulatory environment are considered business-friendly to foreign investors, with the government working hard to eliminate barriers and costs, he added.

    The province has continued developing its potential in the provision of raw materials for mining, agribusiness and trading, a new sector that has attracted many Chinese investors, Djoni said.

    “Entering their second semester this year, Chinese investors have been taking the lead in the trading sector with 60 percent of their investments, worth US$54.2 million,” he added.

    The US$29.5 million in Japanese investment comes fourth, after Singapore’s $214 million and South Korea’s $40.3 million, he said.

    For the past eight months, the provincial government has issued investment permits for 45 foreign investors, in addition to expanding permits for 19 others in Gresik, Sidoarjo, Pamekasan, Malang and Tuban.

    Wahyoe Boediwardhana, The Jakarta Post, Surabaya

  • Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    Mbak Waroh dan Usaha Yang Hilang

    korbanlumpur.info – Menjelang bulan Ramadhan dan Idul Fitri ini, kegundahan menyelimuti perasaan Mutomaroh. Korban Lumpur Lapindo dari desa Kedung Bendo ini dulunya mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas. Sebelum terjadinya semburan lumpur yang kini menenggelamkan desanya, dia mampu memberi tunjangan hari raya (THR) kepada 6 orang anak buahnya.

    “Sekarang usaha saya sudah gulung tikar. Memikirkan dana untuk pengeluaran hari raya saja sudah sulit” tuturnya kepadatim media Kanal korban Lapindo.

    Meluncurlah kemudian kesaksian Mbak Waroh, demikian ibu muda berusia 30 tahun ini biasa dipanggil, tentang bagaimana usahanya yang harus tutup setelah terjadi semburan lumpur.

    Menurutnya, usaha emas yang dulu digelutinya merupakan usaha turun temurun selama beberapa generasi. Keluarganya membuat berbagai macam perhiasan emas, seperti gelang, cincin, anting-anting, kalung dan sebagainya. Semua pekerjaan dilakukan di rumahnya sendiri, yang salah satu ruangannya dirombak jadi tempat produksi.

    Sebagian besar pesanan berasal dari pedagang di Bali, disamping dari beberapa tempat di sekitar Sidoarjo. Usaha kecil inibahkan mampu mempekerjakan 6 orang tetangganya di desa. “Setiap bulan, rata-rata keuntungan kami bisa mencapai 15 juta” kenang perempuan yang hanya tamatan SD ini.

    Bahkan dari usahanya ini, dia sudah mampu membuat satu rumah sendiri di sebelah rumah orang tuanya. Namun apa hendakdikata, lumpur kemudian menenggelamkan desanya, termasuk tempat usaha dan rumahyang baru selesai dibangun. “Bahkan saya dan suami belum sempat meninggali rumah yang kami beli dengan kerja keras kami sendiri itu,” tuturnya.

    Usaha Yang Hilang

    Ibu dari dua orang putra ini kemudian menjelaskan, bahwa usahanya langsung berhenti begitu lumpur merendam desa Kedung Bendo pasca ledakan pipa gas pertamina pada November 2006.

    Rumahnya yang agak jauh dari tanggul membuatnya dia masih sempat menyelamatkan beberapa peralatan produksi, sepertimesin giling, pemoles dan lainnya. Peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada temannya di Japanan, Pasuruan, dengan harapan nantinya kalau lumpur sudah surut akan bisa dipakai lagi untuk usaha.

    Tetapi harapan tersebut tinggal harapan semata, karena alih-alih surut, lumpur semakin membesar dan menenggalamkan desanya secara permanen sampai sekarang. Setelah itu, dia dan keluarga mengungsi bersama sebagian besar korban lainnya ke Pasar Baru Porong. “Kami terpaksa tinggal disana selama 3 bulan lebih, dengan kondisi yang sangat menyesakkan,” kenangnya pahit.

    Setelah itu, dia mengontrak rumah di Japanan dengan harapan untuk memulai lagi usahanya. Tetapi keinginan tersebut sekali lagi tidak dapat terwujud. Untuk menyiapkan tempat produksi yang layak dan aman, memerlukan dana yang cukup besar. “Padahal uang tabungan sudah ludes semua untuk kebutuhan sehari-hari selama di pengungsian,” lanjutnya.

    Disamping itu, para pelanggan yang biasanya memberi pesanan kepadanya juga sudah berpindah kepada pengrajin di daerah lain. “Lha wong sebelumnya selama 3 bulan di pengungsian itu kami tidak bisa bekerjasama sekali karena tempatnya tidak memungkinkan,” lanjut Mbak Waroh.

    Karena usahanya yang dulu sudah tidak mungkin dikerjakan lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. “Tetapi saya lebih kasihan mikir anak-anak (mantan anak buahnya, red), sebab mereka kondisinya lebih berat dari kami,” katanya.

    Dan kenangan akan para mantan anak buahnya itu semakin kuat menjelang bulan ramadhan seperti sekarang ini. Sebab dulunya pada bulan ramadhan dan pada musim liburan merupakan puncak ramainya bisnis yang diageluti. Dan hari raya depan adalah untuk yang kedua kalinya dia lewati tanpa kegembiraan seperti dulu sebelum ada lumpur.

    Segera Lunasi Sisa Pembayaran

    Namun segala kesulitan ini tampaknya masih akan lebih lama lagi dialami oleh Mbak Waroh dan ribuan korban lumpur Lapindo lainnya. Setelah dua tahun lebih, ternyata Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar uang jual beli tanah warga yang sudah tenggelam oleh lumpur akibat kesalahan pemboran Lapindo itu.

    “Padahal, saya itu sebenarnya sudah terima lhodengan model ganti rugi itu, meskipun tidak adil. Tetapi kenapa mereka tidak segera bayar,” ujarnya. Menurut Mbak Waroh ganti rugi yang adil seharusnya menghitung pendapatan yang hilang akibat dia tidak bisa bekerja selama dua tahun ini. Juga kerugian immaterial lainnya seperti semua kesulitan dan ketidaknyamanan hidup yang terpaksa harus mereka alami.

    Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak Lapindo menyelesaikan pembayaran sisa 80 persennya secara tunai. “Uang itu nantinya akan kami pakai untuk beli rumah sekaligus memulai lagi usaha kami yang dulu,” pungkasnya.

    Semoga tuntutan mbak Waroh dan puluhan ribu korban Lapindo lainnya segera terpenuhi. Agar mereka segera bisa menikmati kebahagiaan dan berbagi senyum di Hari Raya seperti sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo. (ako)