Tag: permisan

  • Kali Porong Penuh Lumpur, Penambang Pasir Kehilangan Pekerjaan

    korbanlumpur.info – Dulu Samian (40 tahun), warga Permisan Jabon, menjadi penambang pasir di kali Porong. Dia harus merelakan pekerjaannya hilang lantaran kali Porong kini dipenuhi lumpur hingga hampir rata dengan dua pinggirnya.

    Jam kerja Samian tak lazim yakni mulai jam 3 dini hari saat kali surut dan Samian bisa mengambil pasir dengan leluasa menggunakan perahu kecil. Tiap hari dia bisa mengumpulkan 12 perahu penuh pasir. Pekerjaannya selesai kalau jam satu siang karena mulai pasang, truk-truk pengusung pasir sudah menunggu hasil kerjanya.

    “Saya biasa dapat delapan puluh ribu per hari,” tutur Samian.

    Menurut catatan Final Draft United Nations Environment Programe yang dirilis Juni 2008: luapan lumpur Lapindo yang luapannya naik terus mulai dari 40 ribu-60 ribu meter kubik  per hari pada awal awal 2007 menjadi 80 ribu meter kubik tiap harinya pada Agustus 2007 dan terus meningkat hingga 150 ribu meter kubik perharinya dan menyebabkan 10.426 rumah dari dua belas desa di tiga kecamatan Sidoarjo tenggelam.

    Luas luapannya hingga 810 hektar dan menghilangkan pekerjaan 1873 karyawan dari 30 pabrik yang tak bisa beroperasi karena terendam lumpur. Karyawan ini agak beruntung karena tercatat resmi dan dapat ganti rugi selama enam bulan sesuai upah minimum daerah.

    Yang paling sial karena tak dapat ganti rugi adalah pemilik usaha rumahan macam, usaha dompet, tas, penambak, petani, buruh bangunan dan penambang pasir yang jumlahnya ribuan orang di tiga kecamatan yang terdampak lumpur.

    Orang-orang ini berusaha sendiri untuk melanjutkan hidupnya dengan mengojek, tukang parkir bahkan banyak yang jadi pengemis.

    Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terkesan lambat dan tak tegas dalam menangani kasus ini. Meski sudah mengeluarkan peraturan presiden yang mengatur pertanggungjawaban Lapindo untuk mengurusi lumpur sekaligus korbannya. Namun SBY tak bisa berbuat apa-apa saat Lapindo mangkir dari peraturan itu.

    Banyak yang curiga ketidaktegasan ini disebabkan karena kedekatan hubungan antara SBY dengan Abu Rizal Bakrie, penguasa Bakrie and Brothers (induk Lapindo Brantas)-cum-orang terkaya se Indonesia versi Forbes Asia Desember 2007-cum-pemilik aset $US 5,4 milyar-cum-Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.

    Kecurigaan ini makin mengental setelah dua tahun lebih pemerintah tak juga menuntaskan kasus luapan lumpur Lapindo.

    Karena ketidaktegasan ini masyarakat yang kehilangan pekerjaan macam Samian terlantar. Kali Porong tempat dia bekerja sudah dipenuhi lumpur dan ditutup sekarang, tak ada lagi aktivitas penambangan pasir di sana. Samian dan kawan-kawannya dipaksa untuk mencari pekerjaan baru untuk melanjutkan hidupnya.

    Dia menjadi buruh bangunan serabutan kini. Sekarang ini dia lagi ada garapan di daerah Tuyono, Tanggulangin. Penghasilan Samian menurun separuhnya.

    “Sekarang 40 ribu per hari,” tutur Samian. Setelah pekerjaan ini selesai Samian tak tau musti bekerja kemana lagi.[re/mam]

  • Kali Porong Tercemar, Produksi Tambak Permisan Menurun Tajam

    tambakkorbanlumpur.info – Pembuangan lumpur ke Kali Porong tidak hanya mengakibatkan pendangkalan. Tambak-tambak yang berada di sekeliling sungai juga terkena dampaknya. Muhammad Erik (23), warga Desa Permisan, Kecamatan Jabon, menuturkan penghasilan tambaknya menurun tajam.

    Seperti sebagian pemuda Desa Permisan lainnya, Erik lebih menggeluti tambak ketimbang pekerjaan lain. Maklum, luas tambak mencapai 90% dari total luas desa dan bertambak menjadi tumpuan hidup warga. Kalau Sidoarjo punya ikon udang dan bandeng, warga Permisan bisa berbangga menjadi salah satu penyumbangnya.

    Erik dan ayahnya Muhammad Kisom (48 tahun) menggarap tambak keluarga mereka seluas tiga hektar. Biasanya mereka memelihara bandeng dengan cara tradisional. Permisan memang cocok untuk tambak karena airnya menyediakan ganggang yang cukup untuk pakan bandeng di tambak mereka. Pakan tambahannya paling banter rumput dan tak perlu biaya banyak untuk mendapatkannya.

    Modal yang paling besar yang mereka keluarkan adalah untuk pembelian nener (bibit bandeng). Untuk tambak mereka biasanya mereka isi 30 rean (satu rean: 5000 ikan), dengan harga dua juta rupiah.

    Bandeng-bandeng ini bisa besar dengan memakan ganggang tanpa menggunakan pakan buatan pabrik dan obat-obatan kimia. “Tidak perlu (obat-obatan), ganggang seharusnya mencukupi untuk kebutuhan pakan bandeng,” kata Erik.

    Setelah empat bulan Erik bisa memanen bandeng-bandengnya. Hasilnya rata-rata satu ton. Biasanya, kalau musim hujan hasilnya lebih baik. Harganya berkisar antara lima belas hingga delapan puluh ribu rupiah per kilogram.

    Pengalaman itu terjadi sebelum adanya bencana lumpur Lapindo, setelah lumpur meluap dan menenggelamkan desa tetangga mereka, Renokenongo. Lumpur seperti mimpi buruk bagi Erik dan petambak-petambak lainnya. Situasinya memburuk, hal ini semakin parah setelah lumpur dialirkan ke laut melalui sungai Porong. Air sungai yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan tambak mulai berubah.

    “Airnya kehijau-hijauan dan baunya jadi banger, menyengat,” jelas Erik.

    Dampak langsungnya kontan dirasakan Erik dan petambak-petambak lainnya, bandeng-bandengnya jadi mudah mati dan yang masih hidup pertumbuhannya lambat. Akibatnya, waktu panennya semakin panjang. “Dulu kita bisa panen tiga kali dalam setahun, sekarang kalau bisa dua kali saja sudah bagus,” tambahnya.

    Belum lagi bobot panennya juga menurun drastis. Sebelum ada lumpur mereka bisa memanen 1 ton kini mereka hanya mampu memanen kurang dari separuhnya.

    Ini belum lagi pasar yang takut membeli bandeng dan udang yang diproduksi dari tambak-tambak dekat lokasi aliran lumpur. Yang paling takut adalah konsumen luar. Menurut situs Walhi, di Eropa yang biasanya memesan 3 kontainer udang dari Sidoarjo perbulannya kini membatalkan pesanan mereka. Konsumen Jepang juga mulai was-was dengan udang impor dari Sidoarjo. [re/mam]

  • Pipa Petrokimia Meledak, Warga Permisan Protes

    korbanlumpur.info – Sabtu (09/27) pukul 04.00 WIB dini hari, warga Desa Permisan, Kecamatan Jabon, dikejutkan sebuah ledakan keras. Ledakan tersebut membuat warga panik. Suara ledakan semacam itu mengingatkan warga pada ledakan pipa gas Pertamina pada 22 November 2006, yang menyebabkan sedikitnya 14 orang tewas, dan tanggul penahan lumpur jebol. Warga Permisan kian heboh begitu menyadari sumber ledakan berasal dari pipa yang dipasang oleh PT Petrokimia.

    M. Basri, Ketua RT 06 / RW 02, menyatakan ledakan itu terdengar hingga ujung Desa Permisan yang bisa mencapai jarak 3 kilometer. “Kencang sekali ledakannya. Sampai semua warga datang ke sini. Warga ini masih trauma dengan lumpur. Eh, sekarang ada ledakan begini.”

    Pemasangan pipa ini sendiri juga diwarnai pro dan kontra. Warga merasa sosialisasi yang didapatkan kurang memadai. Mereka resah dengan keberadaan pipa tersebut. Apalagi belum ada jaminan keamanan yang didapat dari proyek pemasangan pipa itu. “Belum ada sosialisasi apa-apa tentang kegiatan hari ini,” sambung Basri.

    Ketika mendatangi lokasi ledakan, warga menyaksikan pipa yang meledak itu mengeluarkan semburan air dan asap pekat. Warga langsung berusaha mendapatkan keterangan dan juga pertanggungjawaban pihak Petrokimia. Para pekerja yang ada di tempat kejadian hanya memberi keterangan, pipa sedang dalam proses pembersihan. Tidak ada penjelasan lebih lanjut.

    Warga langsung meminta para pekerja menghentikan proses pembersihan pipa tersebut dan memanggil pihak Petrokimia yang berwenang guna memberi penjelasan dan pertanggungjawaban. Seratusan lebih warga akhirnya menutup wilayah pengerjaan yang baru saja meledak itu. “Kami akan tutup tempat ini sampai ada kejelasan dari pihak Petrokimia,” tandas Basri.

    Pada pukul 12.00 WIB, warga Desa Permisan dipertemukan dengan pihak Petrokimia. Bertempat di Balai Desa Permisan, pihak Petrokimia yang diwakili Suaji dan pelaksana proyek PT Lagawico yang diwakili Oyek, dengan dimediasi Kepala Desa Suwarno Ichsan dan Kapolsek jabon AKP Satuji, menemui warga.

    Dalam pertemuan itu, perwakilan PT Lagawico menyatakan meminta maaf atas kejadian ledakan tersebut. “Atas nama perusahaan kami mohon maaf. Ledakan itu terjadi karena tekanan yang diberikan untuk proses pembersihan pipa tersumbat kotoran. Kami jamin itu tidak berbahaya.”

    Perwakilan Petrokimia menyatakan hal senada. Proses pembersihan pipa memang bisa menghasilkan ledakan, kata Suaji. Namun Suaji juga mengakui kesalahan karena ledakan itu terjadi waktu dinihari, sehingga bunyi ledakannya sangat mengejutkan warga.

    Tidak puas dengan jawaban tersebut, warga yang didominasi ibu-ibu mulai meneriaki perwakilan perusahaan dan merangsek maju, tapi sama sekali tidak ada aksi kekerasan. Iwan, salah satu perwakilan warga menuntut agar pihak perusahaan menghargai kondisi trauma warga karena ledakan yang terjadi. Apalagi wilayah desa Permisan tidak jauh dari lokasi semburan Lapindo. Perusahaan mestinya mengkaji dengan seksama dan mendalam sebelum bertindak.

    ”Ini baru pembersihan kotoran pihak perusahaan sudah ceroboh. Bagaimana nanti kalau sudah dilewati gas? Ini soal keselamatan jiwa. Tolong itu diperhatikan!” tegas Iwan. Pernyataan ini langsung disambut teriakan kesetujuan warga. Warga mempertanyakan, kenapa harus terjadi ledakan pada waktu subuh.

    Penjelasan saja tidak cukup. Warga juga menuntut ada jaminan keamanan dalam pelaksanaan proyek pemasangan pipa. Selain itu, harus juga kompensasi atas masalah ledakan pipa sebesar 400 ribu rupiah per kepala.

    Pihak Petrokimia tidak bisa memberi jawaban atas tuntutan ini dan hanya berjanji untuk mendatangkan perwakilan yang lebih punya wewenang untuk itu. Pertemuan lanjutan itu direncanakan dilaksanakan Senin (29/09) pukul 13.00.

    Karena belum ada hasil yang memuaskan, warga menyatakan akan menyita aset Petrokimia dan Lagawico yang ada di desa Permisan sampai tercapai kesepakatan tentang kompensasi warga dan jaminan keselamatan. Setelah pertemuan, warga bubar dan kembali ke lokasi ledakan. Mereka lalu menyelubungi peralatan yang ada di sana dengan kain putih bertuliskan: “DISITA WARGA, HARGA PATEN”. [re]

  • Living on the Poisonous Stream

    The residents of Permisan village near the Porong river in East Java have been harvesting fish from their ponds for generations, but since an environmental disaster at the Lapindo Brantas gas mining site in May 2006, the area has been suffering from vast eruptions of volcanic mud, which have buried nearby villages and displaced thousands of people.

    Whilst Permisan is not in the immediate vicinity of the mud flow, it does rely on the local river water to replenish its fish ponds, and since the company has been using the river to deposit the excess mud from the disaster zone, the fishermen have noticed that their fish harvests are getting smaller and less frequent.

    In this video, the residents of the community filmed their own story to demonstrate that their rights to livelihood have been violated and to request the acknowledgement of this by those responsible, and their assistance to help the community to manage their resources more effectively to ensure the sustainability of their local economy and way of life.