Tag: resiko

  • Debit Lumpur Lapindo Kian Dekati Bibir Tanggul

    Debit Lumpur Lapindo Kian Dekati Bibir Tanggul

    TEMPO.COSidoarjo – Curah hujan cukup tinggi di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, menyebabkan debit lumpur Lapindo makin meninggi dan kian mendekati bibir tanggul penahan. Kondisi tersebut membuat Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) siap siaga 24 jam di lokasi semburan karena dikhawatirkan lumpur akan makin meluap dan menjebol tanggul.

    Juru bicara BPLS, Dwinanto Hesti Prasetyo, membenarkan air hujan bercampur lumpur kian mendekati bibir tanggul di sisi selatan. Sedangkan endapan lumpur yang paling tinggi berada di sisi barat, sehingga sulit untuk membuang airnya. Pasalnya, di sisi barat tanggul, endapan lumpur sudah cukup keras dan meninggi. “Genangan air menyisakan 50 sentimeter dari puncak tanggul,” kata Dwinanto, Senin, 3 Januari 2014.

    Menurut Dwinanto, jika berpatokan pada standard operating procedure BPLS, kondisi semacam itu sudah cukup berbahaya. Yang dimaksud bahaya, kata dia, mengacu pada kerawanan tanggul. Adapun terhadap warga, tingkat bahayanya tidak terlalu besar karena umumnya warga sekitar sudah dipindahkan. “Namun endapan lumpur bercampur air itu justru menguntungkan kami karena kami bisa mencairkan endapan lumpur yang sudah kering,” katanya.

    Dwinanto menjelaskan pada musim kemarau, untuk mengeruk endapan lumpur di sisi barat tanggul, pihaknya sampai harus mendatangkan air agar dapat diaduk dan dialirkan ke Kali Porong. “Sekarang kami tinggal mengaduk untuk dialirkan ke Kali Porong,” ujarnya.

    Sejauh ini, untuk mengantisipasi meluapnya lumpur, BPLS selalu mengintensifkan pengerukan menggunakan enam unit kapal keruk. Empat kapal pengeruk berada di sisi barat dan dua unit sisanya berada di sebelah timur tanggul. Kapal keruk ini menyedot air lumpur 24 jam nonsetop.

    Bila luapan lumpur tak terkendali, BPLS masih memiliki alternatif penanganan, yakni mengalirkan air lumpur ke kolam yang terletak disebelah selatan tanggul. “Jika berada pada tahap siaga jebol, kami akan menggunakan kolam yang berukuran 40 hektare di selatan tanggul,” kata Dwinanto.

    Pantauan Tempo, air genangan di lumpur Lapindo, tepatnya di sebelah selatan tanggul, sudah semakin tinggi. Biasanya, ketinggian air lumpur hanya sampai rerumputan yang tumbuh di tebing tanggul. Namun hari ini rumput itu sudah terendam air. Saluran pembuangan air lumpur juga semakin besar. Kapal keruk yang tersebar di berbagai titik bekerja keras mengaduk-aduk lumpur agar dapat dialirkan ke Kali Porong.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/02/03/058550745/Debit-Lumpur-Lapindo-Kian-Dekati-Bibir-Tanggul

  • BPLS: Lumpur Lapindo Rawan Luber

    BPLS: Lumpur Lapindo Rawan Luber

    Metrotvnews.com, Sidoarjo: Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) mencatat volume lumpur di dalam kolam penampungan sangat rawan meluber. Pihaknya menyiapkan empat kapal keruk untuk mengalirkan lumpur dari dalam kolam penampungan ke Kali Porong. (more…)

  • Mud volcano ‘on brink of collapse’

    The world’s largest mud volcano that has been erupting continuously since 2006 is beginning to show signs of “catastrophic collapse”, according to geologists who have been monitoring it and the surrounding area.

    The volcano – named Lusi – has already devastated homes and businesses in Sidoarjo, East Java, Indonesia, displacing around 10,000 people and killing 14.

    Now scientists say that the land near the central vent could sag by up to 146 metres in the next decade. In March, the scientists observed drops of up to 3 metres in one night. Most of the subsidence in the area around the volcano is more gradual, at around 0.1cm per day.

    “It is starting to show signs that the central part is undergoing a more catastrophic collapse,” said Prof Richard Davies, a geologist at Durham University.

    “The fact that the whole area is collapsing means there are probably new faults forming. These faults are new pathways for fluids to seep up to the surface. We’ve never really seen a mud volcano develop so quickly.”

    The team have monitored the subsidence using fixed GPS stations which are able to record very accurate ground movements by communicating with satellites. They reported their results in the journal Environmental Geology.

    Last year, the Indonesian authorities began a desperate plan to drop 2,000 concrete balls into Lusi’s central vent in an effort to stem the flow. Davies watched the operation, which went on for 2 months.

    “What happened was they dropped them and never saw them again,” he said. “It just gobbled them up.”

    Since it began spewing noxious mud and gasses on May 29 2006, Lusi has blanketed an area of around 7 cubic kilometres, covering 10,426 houses, 35 schools, 65 mosques and one orphanage. The advancing mud is now contained behind human-engineered dykes.

    The central collapse may be good news because it will make room for more mud at the surface and so take the pressure off the dykes. But subsidence around the submerged zone will have more impact on the local community.

    A bridge that developed cracks has already had to be dismantled, railway tracks have been moved out of line and in November 2006, 13 people were killed in a gas blast caused by an underground pipe rupturing.

    Davies does not believe there is any way to stop Lusi now. “I think now the system has become so big … the plumbing system is so complex you couldn’t hope to stop it.”

    James Randerson

    Sumber: The Guardian

  • Lapindo dan Hak untuk Tahu

    Oleh: Agus Sudibyo

    Kehancuran infrastruktur di sekitar lokasi lumpur Lapindo kian memprihatinkan.

    Jika sebelumnya jumlah penduduk yang harus dipindahkan “hanya” 6.000 kepala keluarga (KK), kini menjadi 13.000 KK. Jika semula putusnya jalan tol Surabaya-Gempol adalah dampak terburuk lumpur Lapindo atas jalur transportasi umum, kini yang terjadi lebih buruk lagi. Jalan arteri Porong sebagai satu-satunya jalur transportasi yang tersisa juga sulit diselamatkan, juga jalur kereta api Surabaya-Malang/Banyuwangi.

    Ratusan warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera 1 Sidoarjo, Jawa Timur, sempat berdemo di depan Istana Merdeka, menuntut pemerintah serius memperjuangkan nasib mereka.

    Sungguh mencengangkan. Semakin lama kita tidak paham atas apa yang terjadi dengan Lapindo. Bukan hanya masyarakat, pemerintah pun ternyata tidak tahu persis skala bencana yang terjadi. Prediksi skala bencana, skala kerusakan, serta eskalasi kerugian dan korban, banyak yang tidak akurat. Berbagai cara untuk mengurangi luapan lumpur juga tidak efektif. Teknologi yang memungkinkan eksplorasi kekayaan alam bernilai ekonomi tinggi tidak dibarengi ketersediaan informasi dan pengetahuan tentang dampak buruk di kemudian hari.

    Peran iptek

    Eskalasi dampak semburan lumpur menunjukkan paradoks ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) modern. Kemajuan iptek telah memberi manfaat dan kemudahan bagi manusia. Tetapi, kemajuan iptek juga dapat membuat kehidupan manusia terkepung risiko-risiko yang tak terbayangkan sebelumnya. Iptek untuk memperluas cakrawala pengetahuan, tetapi tidak otomatis membangun kapasitas guna memprediksi aneka kemungkinan negatif yang menyertainya.

    Persoalannya, penggunaan teknologi tinggi dalam eksplorasi alam di Indonesia hampir selalu dipaksakan. Berbagai keputusan untuk melakukan eksplorasi yang tidak ramah lingkungan, atau yang terlalu dekat permukiman penduduk dan infrastruktur publik, selalu diputuskan sepihak oleh pemerintah dan pengusaha.

    Keberadaan masyarakat dengan aneka beban bukan faktor signifikan dalam menentukan apakah sebuah proyek eksplorasi bisa dilakukan atau tidak. Masyarakat adalah penonton pasif proses pengerukan sumber-sumber alam dan potensi daerah. Mereka bukan hanya tidak tahu bagaimana dan untuk apa hasil eksplorasi kekayaan alam dialokasikan, tetapi juga tidak mendapat penjelasan tentang risiko eksplorasi bagi keselamatan dan kelangsungan hidup mereka.

    Namun, jika tiba-tiba terjadi kecelakaan dan masyarakat sekitar menjadi korban, pihak-pihak itu cenderung lamban membuat antisipasi. Yang lebih menggelikan, ada upaya penyebaran persepsi, yang terjadi bukan kesalahan teknis-prosedur eksplorasi, tetapi gejala alam yang lazim terjadi di tempat lain, seperti diwacanakan majalah LUSI (singkatan Lumpur Sidoarjo). “Karena gejala alam biasa, tidak semestinya pihak perusahaan memikul tanggung jawab sepenuhnya,” begitu kira-kira maksudnya.

    Daulat publik

    “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat.” Sulit membayangkan bagaimana perintah konstitusi ini dilaksanakan di tengah kesemrawutan manajemen eksplorasi kekayaan alam, yang bukannya semakin menyejahterakan, tetapi justru kian menyengsarakan masyarakat.

    Pelajaran apa yang bisa dipetik dari kasus Lapindo? Kita harus terus mengingatkan semua pihak bahwa publik berdaulat atas pengelolaan kekayaan alam. Jika pelibatan publik dalam kegiatan eksploitasi kekayaan alam merupakan pilihan yang tidak realistis, setidaknya ada mekanisme yang memfasilitasi publik untuk mengetahui seluk-beluk proyek eksploitasi kekayaan alam itu.

    Secara minimal, daulat publik diwujudkan dalam bentuk “hak publik untuk tahu” (right to know). Publik berhak atas informasi yang komprehensif tentang kelayakan aneka fasilitas pertambangan, terutama yang berperangkat teknologi tinggi, dan langkah-langkah antisipasi jika sewaktu-waktu terjadi kecelakaan fatal. Tak kalah penting, hak publik untuk mengetahui bagaimana dan sejauh mana proyek eksplorasi itu relevan bagi kesejahteraan masyarakat.

    Kasus Lapindo menunjukkan keterbukaan informasi bukan hanya penting dalam kerangka pemberantasan korupsi. Keterbukaan informasi adalah prinsip universal bagi semua aspek kehidupan publik, termasuk untuk menghindarkan publik dari dampak buruk proyek-proyek pertambangan yang selalu diputuskan dan dilaksanakan secara eksklusif dan penuh kerahasiaan.

    Andai sejak awal keterbukaan informasi diwujudkan dalam proyek PT Lapindo Brantas, kecelakaan fatal mungkin bisa dihindari dan ratusan ribu orang tidak harus kehilangan rumah, kampung, makam leluhur, sekolah, dan mata pencarian untuk sebuah proyek yang belum tentu mereka pahami apa manfaatnya. (***)

    Sumber: Harian Kompas, 20 April 2007