Tag: senyawa PAH

  • Bikin Film Di Tengah Demo

    Bikin Film Di Tengah Demo

    Ada pemandangan lain di tengah demonstrasi ribuan korban lumpur Lapindo hari ini (25/08). Beberapa anak muda berpakaian kasual, tampak membawa peralatan pembuatan film ditengah kerumunan warga yang sedang menuntut hak-hak mereka. Kamera besar mereka men-shoot ke sekumpulan anak kecil yang bersepeda di atas tanggul.

    Mereka adalah mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta) yang sedang mengerjakan tugas pembuatan film. Setting yang dipakai adalah sekitar wilayah semburan lumpur Lapindo. Ceritanya, ada anak-anak korban Lapindo yang berusaha mencari obat untuk ibunya yang sedang sakit. Ibu itu teracuni gas metan setelah lama berjualan di dekat wilayah lumpur Lapindo.

    Seperti diketahui, penelitian WALHI menyatakan lingkungan sekitar semburan lumpur telah tercemar PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) 8.000 kali melebihi ambang batas. PAH merupakan senyawa yang berbahaya. Senyawa itu menyebakan tumor atau kanker secara lansung. Parahnya lagi, PAH bisa berubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif dan berpotensi tinggi akan resiko tumor dan kangker.Kenyataan ini sengaja ditutupi dan bahkan dimentahkan tanpa pernah dibuat penelitian tandingannya baik oleh pemerintah maupun pihak Lapindo Brantas.

    Menurut pengakuan Pidi, salah satu mahasiswa IKJ yang terlibat pada pembuatan film ini, setidaknya ada 20 mahasiswa IKJ yang ikut di Porong, untuk mengerjakan tugas itu. Mereka menggunakan pemain yang seluruhnya berasal dari korban, karena ingin mendapatkan gambaran nyata kondisi anak-anak korban Lapindo.

    Saat pengambilan gambar, korban Lapindo yang sedang melakukan aksi antusias melihat kerja para mahasiswa ini. Korban sendiri berharap semua kampanye yang dibuat, seharusnya bisa dipakai sebagai usaha menekan baik pihak Pemerintah maupun Lapindo.  Agar segera menyelesaikan masalah yang muncul akibat semburan lumpur itu.[re]

  • Skandal Ekosida Lumpur Lapindo

    Ekosida merupakan istilah yang digunakan dalam bidang lingkungan hidup. Jika genosida diartikan sebagai pembasmian seluruh atau sebagian bangsa, ras, kelompok etnik ataupun kelompok agama, maka ekosida diartikan sebagai pembasmian atau perusakan sistem ekologi normal, yang tentu berakibat pada nasib buruk manusia.

    Tama Leaver (1997) menjelaskan tulisan William Gibson dan Ridley Scott, bahwa ekosida merupakan efek buruk dari upaya-upaya ekonomi untuk mencapai kesejahteraan global (akibat globalisasi), penerapan faham ultra-utilitarianisme serta eksploitasi dari cara-cara produksi mutakhir yang dilakukan kaum kapitalis.

    Ekosida sebenarnya tak jauh dari model genosida, misalnya terjadinya ‘pembasmian penduduk’ akibat toksinasi atau kehancuran fungsi lingkungan hidup seperti yang terjadi pada komunitas penduduk sekitar tambang emas Newmont di Buyat dan lain-lain, serta kematian massal dalam banjir besar atau longsor akibat perusakan fungsi lingkungan hidup. Dalam kasus lumpur Lapindo, ekosida telah terjadi sebagai fakta notoir (tak perlu dibuktikan lagi, sebab telah menjadi pengetahuan umum).

    Zat beracun

    PBB melalui United Nations Disaster Assessment and Coordination sejak Juli 2006 telah merekomendasikan untuk adanya penelitian dan monitoring secara reguler terhadap soal lingkungan dalam kasus lumpur Lapindo. Tetapi tampaknya pemerintah Indonesia tidak terlalu memperhatikan hal yang berkaitan kesehatan masyarakat dalam jangka pendek dan panjang akibat semburan lumpur tersebut. Contohnya, gas semburan lumpur Lapindo itu sudah menewaskan dua warga Siring Barat (Sutrisno, meninggal 14/3/2008 dan Luluk, meninggal 26/3/2008) serta puluhan orang serta anak-anak dirawat di rumah sakit.

    Guna mendeteksi bahaya akibat pencemaran dan perusakan ekologi karena semburan lumpur Lapindo itu, September 2007 sampai dengan Januari 2008, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur bekerjasama dengan beberapa ahli dan laboratorium melakukan penelitian lumpur Lapindo di Sidoarjo di berbagai titik hingga ke wilayah terluar akibat semburan lumpur Lapindo. Penelitian yang dilakukan Walhi tersebut juga dalam rangka untuk ‘meneguhkan keyakinan’, apa benar hasil penelitian beberapa laboratorium kampus di dalam negeri yang menyatakan tak ada masalah dengan kandungan lumpur Lapindo, dibandingkan dengan hasil penelitian sementara (awal) pemerintah RI dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyebutkan adanya kemungkinan fatal akibat gas semburan lumpur Lapindo.

    Penelitian Walhi tentang logam berat akibat lumpur Lapindo menunjukkan hasil sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kep. MenKes No. 907/2002
    Hasil Analisa Logam Pada Materi
    Lumpur Lapindo
    Air Lumpur Lapindo
    Sedimen Sungai Porong
    Air Sungai Porong
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    nd
    nd
    nd
    nd
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,003
    0,3063
    0,0314
    0,2571
    0,0271
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    0,4379
    0,008
    0,4919
    0,0144
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    7,2876
    0,8776
    3,1018
    0,6949

    Perbandingan parameter ambang batas logam berat sebagai berikut:

    Parameter
    Satuan
    Kadar maksimal yang diperbolehkan
    Per. MenKes No. 416/1990
    Kep.MenKes No. 907/2002
    WHO 1992
    Uni Eropa
    Kanada
    USA
    Kromium (Cr)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,005
    0,05
    0,05
    Kadmium (Cd)
    mg/L
    0,005
    0,003
    0,005
    0,005
    0,005
    0,005
    Tembaga (Cu)
    mg/L
    1
    1
    1
    0,1
    1
    1
    Timbal (Pb)
    mg/L
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05
    0,05

    Selain logam berat, Walhi juga meneliti kandungan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH). Karena mahalnya biaya, Walhi hanya menguji kandungan Benz(a)anthracene dan Chrysene yang hasilnya mencapai ribuan kali lipat dari ambang batas. Beberapa senyawa lain yang tergolong dalam PAH adalah acenaphthene, acenaphtylene, anthtracene, benz(a)antracene, benz(a)pyrene, benz(b)fluoranthene, chrysene, dibenz(a,h)anthracene, fluoranthene, fluorene, indeno(1,2,3cd)pyrene, naphthalene, phenanthrene dan pyrene (Liguori et al, 2006), dan masih terdapat ribuan senyawa lainnya.

    Sebagai perbandingan, Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menetapkan baku mutu PAH dalam air laut untuk wisata bahari sebesar 0,003 mg/liter. Sedangkan baku mutu Hidrokarbon dalam udara yang diizinkan berdasarkan PP No 41 tahun 1999 adalah 160 ug/Nm3. Namun dalam temuan Walhi, kadar Benz(a)anthracene di titik tertentu ada yang mencapai 0,5174 mg/kg (sampel terendah 0,4214 mg/kg). Sedangkan kadar Chrysene ada yang mencapai 806,31 μg/kg lumpur kering (sampel terendah 203,41 μg/kg).

    Dalam jangka pendek, akibatnya hanya tampak adanya penduduk yang keracunan gas dan bahkan sampai ada yang meninggal dunia. Namun dalam jangka panjang, lumpur Lapindo tak hanya menjadi nasib buruk masa depan para korban langsung, tapi juga masyarakat yang setiap hari melintasi sekitar semburan lumpur Lapindo yang terancam oleh penyakit kanker akibat senyawa PAH yang bersifat karsiogenik. Pasalnya, zat beracun yang termasuk PAH bersifat bebas tempat, bisa bercampur udara, air, tanah dan seluruh media yang ada.

    Dahulu, Chief Operating Officer PT Energi Mega Persada Tbk., Faiz Shahab menyatakan pihaknya serius membangun pabrik batu bata skala besar di lokasi bencana. Namun, Kepala Unit Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS) Ir Amien Widodo mengatakan bahwa lumpur Lapindo itu bisa memicu kanker. Sifat-sifat karsinogenik ini terutama dipicu oleh kandungan logam berat yang terdapat dalam lumpur (Kompas, 14/7/2006). Itulah mengapa pabrik batu bata yang direncanakan itu tidak ada kabarnya lagi, sebab bisa jadi mereka takut dengan sifat bahaya lumpur Lapindo.

    Logam berat juga bisa menimbulkan penyakit degeneratif (kelainan fisik) dan menimbulkan keturunan penderita slow learner (lambat berpikir), sedangkan zat-zat beracun PAH mengakibatkan kanker, permasalahan reproduksi, membahayakan organ tubuh seperti liver, paru-paru, dan kulit. Setidaknya lima hingga sepuluh tahun ke depan baru akan tampak akibatnya.

    Peran negara dan korporasi

    Artikel ini tidak bermaksud ‘meneror’ masyarakat, tetapi didasari hasil penelitian laboratorium. Para ahli yang turut dalam penelitian Walhi tersebut berpesan agar Walhi ‘merahasiakan’ identitasnya sebab kampus tempat mengajarnya rupanya sudah tidak bisa independen. Ini semakin menunjukkan bahwa hegemoni korporasi telah menyerang kemerdekaan intelektual.

    Terlepas dari semua itu, setidak-tidaknya pemerintah RI seharusnya lebih serius dalam upaya menyelamatkan masyarakat dari akibat buruk lumpur Lapindo yang dalam banyak hal selalu ditutup-tutupi. Jika tidak, sama halnya pemerintah terlibat dalam skandal ekosida, sebagaimana banyak laboratorium domestik yang membuat kesimpulan berdasarkan ‘pesanan’ sehingga tidak lagi obyektif. Inilah fenomena kekuasaan kapitalis yang menerapkan faham ultra-utilitarianisme, tidak peduli dengan nasib sosial.

    Para pejabat pemerintah dan seluruh pengambil keputusan korporasi kasus semburan lumpur Lapindo, termasuk ‘laboratorium palsu’ mungkin bisa mengelak dan bersembunyi pada hari ini dalam kejahatan ekosida itu. Tetapi kelak kasus ini akan membawa mereka ke pengadilan hak asasi manusia (HAM), bahkan dalam forum hukum internasional, jika mereka tidak mau bertanggung jawab mulai hari ini untuk tunduk pada hukum internasional dan nasional dalam rangka memenuhi hak-hak para korban lumpur Lapindo yang sudah lama menderita dan terancam menjadi korban ekosida.

    Sebagai pihak yang telah mengambil ‘manfaat’ (utilitas) dari negara ini, berlakulah adil dan santun kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan negara ini! Jangan hanya mau enaknya, lalu lari dari tanggung jawab!

    Percepatan penyelesaian sosial hendaknya segera dilakukan agar warga korban lumpur semakin bisa diselamatkan dari kejahatan ekosida tersebut. Alangkah malang nasib warga korban lumpur yang diombang-ambingkan oleh pihak Lapindo. Dahulu Lapindo bersuara lantang akan patuh kepada model penyelesaian menurut pasal 15 Perpres No. 14/2007, tapi kini malah membangkangnya dengan memaksakan cara cash & resettlement dengan alasan bahwa tanah-tanah Petok D, letter C dan gogol tak dapat dibuatkan akte jual beli. Padahal sudah ada pedoman berupa Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) c.q. Deputi Bidang Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Sidoarjo tertanggal 24 Maret 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Masalah Lumpur Sidoarjo.

    Jika Lapindo si anak korporasi Grup Bakrie itu bisa ‘mempermainkan’ diskresi hukum yang dibuat pemerintah, lalu Presiden yang membuat diskresi hukum itu diam saja, maka kepala negara ini telah diinjak-injak. Jika begitu, bagaimana kewajiban pemerintah untuk melindungi korban lumpur Lapindo dan menegakkan hukum?

    SUBAGYO, S.H. 

  • Lumpur Lapindo Berpotensi Timbulkan Kanker

    SURABAYA – Lumpur Lapindo yang menyembur di kawasan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, ternyata mengandung gas berbahaya, yaitu policyclic aromatic hydrocarbons (PAH).

    Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Bambang Catur Nusantara mengatakan hasil penelitian Walhi mengungkapkan PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo melebihi 8.000 kali lipat di atas ambang batas normal.

    “Batas normal PAH hanya 0,05 miugram per kilogramnya, tapi ini mencapai 8.000 kali lipatnya,” kata Catur. Padahal, kata dia, tingginya PAH membuat siapa pun yang menghirupnya akan terkena berbagai penyakit.

    Bambang menyatakan, meskipun senyawa kimia ini tidak langsung menyebabkan tumor dan kanker, senyawa ini yang terhirup akan mengubah metabolisme tubuh menjadi senyawa tertentu yang berpotensi menyebabkan berbagai penyakit, seperti kanker paru-paru, kanker kulit, dan kanker kandung kemih.

    PAH, kata Bambang, terbentuk akibat proses pembakaran fosil di dalam tanah yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan inilah yang membuat PAH berbahaya. Selain melalui pernapasan, PAH bisa masuk ke tubuh melalui makanan.

    Hanya, efek PAH ini, menurut Bambang, baru bisa dirasakan sekitar 10 tahun setelah si korban mengkonsumsi makanan yang mengandung PAH.

    Penelitian lumpur Lapindo yang dilakukan Walhi memakan waktu hampir dua tahun, yaitu sejak November 2006 dan baru selesai pertengahan Mei lalu. “Hasilnya mengejutkan karena lumpur Lapindo mengandung unsur PAH yang cukup tinggi,” kata Bambang.

    Selain mengandung PAH, lumpur Lapindo mengandung logam berat berupa timbal yang mencapai 2.000 kali lipat dari ambang batas wajar. Karena itu, Walhi mendesak pemerintah segera mengambil langkah darurat untuk mengungsikan seluruh warga yang berada di sekitar kawasan lumpur. Pemerintah juga didesak secara berkala memeriksa kondisi kesehatan warga, apalagi akibat dari PAH ini baru dirasakan 10 tahun mendatang.

    Walhi, kata Bambang, dua pekan lalu mengirimkan hasil penelitian tersebut ke Menteri Lingkungan Hidup. “Tapi tidak ditanggapi, kami akan melapor ke Komisi Nasional HAM,” kata Bambang.

    Koordinator warga Desa Siring Barat, Bambang Kuswanto, juga meminta pemerintah segera merelokasi semua warga korban lumpur Lapindo. “Saat ini hampir (di) seluruh rumah warga keluar gas. Kalau benar mengandung PAH, berarti kami tiap hari menghirupnya, jadi pemerintah harus segera merelokasi kami,” kata Kuswanto.

    Hingga saat ini, pemerintah belum membuat keputusan merelokasi dan memberi ganti rugi kepada warga tiga Desa di Desa Siring barat, Jatirejo Barat, dan Mindi. Padahal kondisi warga di tiga desa ini sangat memprihatinkan akibat bermunculannya semburan gas liar yang disertai mulai retaknya bangunan rumah akibat terjadinya tanah ambles.

    ROHMAN TAUFIQ | Koran Tempo

  • BPLS Sangsikan Temuan Walhi

    SURABAYA — Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) menyangsikan temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur yang menyatakan adanya kandungan policyclic aromatic hydrocarbon (PAH) dalam lumpur Lapindo.

    “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak ada yang mengungkapkan adanya PAH,” kata juru bicara BPLS, Ahmad Zulkarnain, kemarin.

    Dalam penelitian yang dilakukan Walhi selama kurang-lebih dua tahun sejak November 2006 dan baru selesai pada pertengahan Mei lalu, lembaga ini menemukan adanya kandungan zat berbahaya jika dihirup manusia.

    Menurut Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara, dalam penelitiannya, Walhi menemukan adanya kandungan PAH dalam lumpur Lapindo hingga 8.000 kali lipat dari ambang batas normal, yakni 0,05 miugram per kilogram. PAH sangat berpotensi menimbulkan berbagai penyakit, di antaranya tumor dan kanker paru serta kanker kulit.

    “Kenapa hanya Walhi yang merilis PAH ini? Padahal banyak peneliti asing yang menyatakan lumpur masih aman,” katanya. Keamanan ini, kata Zulkarnain, bisa dilihat dari adanya tumbuhan yang bisa hidup di atas lumpur. “Buktinya mangrove bisa hidup, ikan yang dilepas di kolam lumpur juga hidup,” ujarnya.

    Dokter spesialis penyakit paru Slamet Hariadi mengatakan PAH memang berpotensi menyebabkan penyakit batuk dan sesak napas. “Ambang batas aman kandungan PAH di tempat terbuka maksimal hanya 1 mikrogram per meter kubik. Jika lebih dari itu, harus mendapat perhatian,” kata Kepala Bagian Penyakit Paru Rumah Sakit Umum Dr Soetomo ini.

    Menurut Slamet, gas radon yang menyembur dari bumi juga berpotensi menyebabkan penyakit kanker paru. “Ini termasuk jenis gas berbahaya,” ujarnya.

    Meski kadar kandungannya kecil, kata Slamet, gas itu berpotensi muncul di semburan lumpur Lapindo. Sebab, semburan lumpur berasal dari lapisan dalam bumi atau gunung berapi. “Ambang batas untuk radon hanya 4 picocuries per liter,” katanya.

    Jika kandungan kedua gas itu tinggi jauh melebihi ambang batas maksimal, menurut Slamet, masyarakat sekitar semburan rentan mengalami penyakit paru, sesak napas, dan kanker paru. “Orang tua lebih rentan menderita penyakit itu, apalagi jika setiap hari menghirup dua gas itu,” katanya.

    Pada 2007, Slamet sempat melakukan penelitian kandungan gas di sekitar semburan lumpur Lapindo, tapi baru menemukan kandungan H2S dengan kadar 110 miligram per meter kubik dan gas klor (Cl) dengan kadar 20 miligram per meter kubik. Padahal ambang batas kedua gas ini hanya 15 miligram per meter kubik untuk H2S dan 1,45 miligram per meter kubik untuk Cl. “Kandungan kedua gas cukup tinggi dan berbahaya untuk kesehatan,” katanya.

    Menurut Slamet, saat itu dia tidak meneliti kandungan PAH lantaran tidak mempunyai alat yang memadai. “Sedangkan untuk mengukur radon, baru empat laboratorium di dunia yang bisa melakukan. Di Indonesia belum ada,” katanya.

    YEKTHI HM | Koran Tempo

  • Lumpur Lapindo Mengandung Senyawa Kimia Berbahaya

    Wawancara dengan Bambang Catur Nusantara, Direktur Walhi Jawa Timur

    Temuan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bahwa lumpur Lapindo mengandung senyawa kimia polycyclik aromatic hydrocarbons (PAH) mengejutkan banyak pihak, termasuk pemerintah, yang selama ini selalu berdalih lumpur yang menyengsarakan puluhan ribu jiwa secara sosial dan ekonomi itu aman bagi kesehatan.

    Wartawan Tempo, Rohman Taufik, akhir pekan lalu mewawancarai Direktur Walhi Jawa Timur Bambang Catur Nusantara untuk mendapatkan penjelasan mengenai temuan itu. Berikut ini petikan wawancaranya:

    Apa yang mendorong Walhi melakukan penelitian tentang PAH?

    Sebenarnya sudah bisa diduga sejak awal, lumpur Lapindo mengandung senyawa PAH. Setelah kami teliti, ternyata benar. Bahkan, di luar dugaan, PAH yang terkandung dalam lumpur Lapindo 8.000 kali lipat dari ambang batas normal.

    Lumpur Lapindo setidaknya mengandung dua jenis PAH, yaitu chrysene dan benz (a) antracene. Senyawa kimia ini jika masuk ke dalam tubuh akan langsung mempengaruhi sistem metabolisme, yang akan menimbulkan berbagai penyakit. Selama ini korban Lapindo bersentuhan langsung dengan PAH dalam kategori terpapar lama dalam 24 jam berturut-turut. PAH dalam kadar yang terendah saja sangat mudah masuk ke tubuh melalui pori-pori kulit.

    Apa saja efek paling buruk jika terkena PAH?

    PAH bisa menyebabkan tumor dan kanker, khususnya kanker kulit, paru, serta kandung kemih. PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.

    Senyawa ini sebenarnya tidak secara langsung menyebabkan tumor ataupun kanker, tapi pada orang yang terkena, PAH dalam sistem metabolisme tubuh akan langsung diubah menjadi senyawa alkylating dihydrodiol epoxides yang sangat reaktif serta sangat berpotensi menyebabkan timbulnya tumor dan risiko kanker.

    Senyawa kimia ini sangat mudah larut dalam tubuh, sehingga jika orang terpapar lama dalam waktu lima hingga sepuluh tahun, orang tersebut langsung akan terkena tumor dan kanker. Karena kadarnya 8.000 kali lipat, risiko terkena tumor dan kanker dipastikan lebih cepat.

    Korban Lapindo yang tinggal di pengungsian Pasar Baru Porong, di setiap blok telah ditemukan sekitar lima anak yang menderita benjolan di lehernya, yang mirip tumor. Selain itu, banyak korban yang terkena penyakit kulit.

    Kondisi seperti ini seharusnya segera ditindaklanjuti. Terhadap semua korban lumpur Lapindo, harus dilakukan general check-up.

    Dari hasil penelitian Walhi, kandungan PAH dalam lumpur Lapindo sejauh radius berapa kilometer?

    Kami mengambil sampel di 20 titik, terjauh di radius 1,5 kilometer dari pusat pusat semburan. Hasilnya, PAH terkandung di semua titik yang kami teliti. Ada kemungkinan lebih jauh lagi radiusnya. Sebenarnya kami juga meneliti lumpur di Sungai Porong. Untuk sementara, baru logam berat yang kami teliti.

    Banyak yang ragu dengan temuan Walhi, bahkan ada yang mengatakan laboratorium di Indonesia belum mampu mendeteksi PAH

    Perkembangan ilmu pengetahuan berlangsung demikian pesat. Laboratorium Universitas Airlangga yang kami gunakan juga bisa dicek akurasinya.

    Sebenarnya logika berpikir yang harus dibangun bukan mencari-cari kelemahan penelitian kami. BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) dan Bapedal (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan) seharusnya melihat fakta ini sebagai ancaman. Memang, dalam kasus lumpur Lapindo, tidak ada keberpihakan terhadap warga. Menteri Lingkungan, misalnya, malah memberikan anugerah kepada Lapindo dengan predikat taat lingkungan.

    PAH sebenarnya lazim ditemukan di area pengeboran, tapi anehnya, Kementerian Lingkungan ataupun Bapedal tak pernah menelitinya. Mereka hanya berkutat pada logam berat. Atau mungkin mereka takut karena PAH memang sangat membahayakan, sehingga sengaja tidak dicari tahu kandungannya. Padahal, kalau sejak awal diketahui, bisa langsung diantisipasi.

    Apa langkah lebih lanjut yang dilakukan Walhi?

    Karena menyangkut keselamatan banyak orang, kami akan kirimkan hasil penelitian ke semua pihak, seperti BPLS, Menteri Kesehatan, Gubernur, juga Presiden. Tujuan kami supaya ribuan korban Lapindo segera diperhatikan dan mendapat penanganan serius. Dua pekan lalu kami sudah berikan kepada Komnas HAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia). Saat berada di Jakarta, kami sampaikan juga ke Kementerian Lingkungan Hidup, tapi tidak ditanggapi.

    Penelitian ini apakah tidak terlambat? Semburan lumpur sudah berlangsung lebih dari dua tahun.

    Penelitiannya sudah lama. Hasil laboratoriumnya memang baru keluar beberapa waktu lalu. Sejak awal kami sudah memprediksi ancaman seperti ini, tapi tidak pernah ada yang menanggapinya.

    Sejak awal kasus lumpur, Walhi selalu dibenturkan dengan korban Lapindo, tapi kenapa Walhi merilis masalah ini?

    Sebuah korporasi memang akan menggunakan berbagai cara agar kepentingannya tidak terganggu. Kami tahu ada aktor yang bermain, karena Walhi dianggap mengganggu mereka, sehingga banyak ditemui spanduk seolah-olah warga menolak kehadiran kami. Ini aneh. Kami melakukan investigasi untuk kepentingan warga korban, malah ditolak. Kami sudah melacak siapa yang memasang spanduk, ternyata bukan warga. Bukan hanya (tentang) spanduk, kami juga sering diteror.

    Bahkan posko bersama yang kami dirikan di Porong diancam akan dibakar oleh sekelompok orang. Kami tak akan terusik. Tugas kami memang menyoroti masalah lingkungan.

    Sumber: Tempo

  • Walhi Desak Bapedal Teliti Kandungan Lumpur Lapindo

    Lumpur Lapindo mengandung PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) yang melebihi ambang batas normal hingga 8 ribu kali lipatnya. Dengan kandungan tersebut potensi penyakit kanker dan tumor yang ditimbulkan cukup besar.

    Dari hasil temuan Walhi, kata Catur, lumpur Lapindo ternyata juga mengandung PAH (policyclic aromatic hydrocarbons) yang melebihi ambang batas normal hingga 8 ribu kali lipatnya. Padahal, dengan kandungan tersebut potensi penyakit kanker dan tumor yang ditimbulkan cukup besar.

    “Dengan kandungan wajar saja orang akan terkena tumor atau kanker. Jika terus terkontaminasi PAH sekitar 10 tahun, kalau PAH-nya sudah 8 ribu, bisa dibayangkan akibatnya,” tambah Catur.

    Karenanya, Walhi mendesak Bapedal segera melakukan kajian mendalam dan merekomendasikan kepada BPLS untuk segera melakukan terapi khusus bagi para warga yang berada di sekitar kawasan bencana. Selain itu, Walhi juga mendesak pemerintah segera mengosongkan kawasan tersebut.

    Desakan kepada Bapedal ini sebenarnya telah dilakukan Walhi sejak awal semburan lumpur. “Tapi saat itu, meski kami menyuguhkan temuan-temuan jika lumpur mengandung zat berbahaya serbupa logam dan hidrokarbon, tetap saja Bapedal tidak lakukan apapun,” kata Catur.

    Temuan Walhi tentang PAH sendiri memang baru dirilis beberapa waktu lalu. Meski demikian, temuan ini adalah sampel lumpur yang telah diambil mereka sejak November tahun 2006 lalu dan sejak saat ini langsung dilakukan penelitian di laboratorium milik Universitas Airlangga Surabaya.

    “Temuan kami bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan karena dilakukan secara serius di Lab Unair,” kata Catur.

    ROHMAN TAUFIQ (tempointeraktif)

  • Lumpur Maut Lapindo

    Dalam surat yang ditujukan kepada Direktur Lapindo Brantas Inc tanggal 5 Juni 2006, Medco menyebutkan bahwa operator telah tidak mengindahkan peringatan untuk melakukan pemasangan casing pada kedalaman 8500 ft sebagaimana telah disampaikan dalam technical meeting tanggal 18 Mei 2006. Walhasil, Medco menolak untuk dibebani biaya ganti rugi sebagaimana sudah disepakati dalam kontrak kerjasama operasi antara mereka.

    Kekacauan bulan-bulan awal menunjukkan karut-marut pengelolaan migas di Indonesia. Berbagai prediksi dikeluarkan. Bahkan seorang Jenderal pemangku teritorial wilayah Jawa Timur menyatakan bahwa semburan Lumpur adalah bencana alam, lumpurnya juga tidak berbahaya. Ada apa gerangan sang Jenderal ikut-ikutan membuat pernyataan demikian?

    Sementara itu polisi berperan mengawasi setiap perkembangan pergolakan yang terjadi di warga sekitar lokasi, dan mengatasi kemacetan luar biasa jalur ini. Sedangkan untuk proses pidana, polisi dipersulit pendapat para ahli yang didatangkan Lapindo yang mengarahkan semburan lumpur sebagai bencana alam. Kejaksaan yang menginginkan adanya satu kesatuan pendapat ahli, beberapa kali mengembalikan BAP kepada kepolisian.

    Bupati dan Gubernur yang seharusnya menjadi benteng warga korban pada akhirnya ‘terselamatkan’ dengan keluarnya Perpres 14/2007, mereka mendalilkan bahwa masalah lumpur sudah ditangani pemerintah pusat. Setali tiga uang dengan wakil warga di DPRD kabupaten maupun propinsi.

    Perpres melahirkan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Bagaimana kinerja task force ini juga menjadi tanda tanya. Hari, seorang warga korban, menggambarkan bahwa kerja BPLS hanya menanggul lumpur saja. Ini jauh dari harapan warga bahwa BPLS akan berperan membantu percepatan pemenuhan hak. BPLS tidak melakukan langkah-langkah jelas untuk mencegah bahaya akibat semburan baru yang hingga hari ini mencapai angka ke-94.

    Dugaan lumpur panas Lapindo sangat berbahaya, terbukti sudah. Selain berbagai riset berbagai institusi yang telah dimuat berbagai media, WALHI Jawa Timur telah melakukan riset awal kandungan logam berat dan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) pada air dan lumpur lapindo. Berdasar laporan riset (Mei 2008) ini, jumlah kandungan yang ditemukan sungguh mengerikan. Langkah gegabah pengelolaan lumpur tanpa treatment khusus, menjadi kesalahan besar.

    Pemerintah dan korporasi yang memiliki tanggung jawab dan sumber daya harusnya lebih cermat dalam mengelola lumpur. Kandungan Logam Berat pada air dan lumpur Lapindo dideteksi jauh melebihi ambang baku yang ditetapkan regulasi kesehatan Indonesia. Kadar untuk timbal (Pb) tertinggi mencapai angka 20,9853 mg/l ditemukan pada sampel dari wilayah Besuki juga. Ini sungguh jauh diatas ambang batas maksimal sejumlah 0,05 mg/l. Sungai Porong dari wilayah barat telah tercemar logam berat, dan menjadi semakin parah ketika ribuan liter lumpur panas Lapindo digelontor ke dalamnya. Sampel air pada titik koordinat S 07o32’10.7″ E 112o51’01.7″ bagian timur sungai menunjuk angka 1,05 mg/l untuk timbal, berselisih lebih tinggi 0,2 dari sampel kontrol bagian barat jembatan porong(0,8035). Sedimen sungai porong juga menunjuk angka tinggi, dengan temuan kadar 4,7341 mg/l pada salah satu titik sampel.

    Jumlah cemaran Kadmium (Cd) lebih parah, terendah 0,2341 mg/l dan tertinggi 0,4638 mg/l. Jauh diatas ambang batas jika mengacu pada Kep.Menkes No. 907/2002 yang mematok angka 0,003 mg/l. Hal yang sama ditemukan untuk PAH. Dua jenis yang diperiksa meliputi Chrysene dan Benz(a)anthracene ditemukan: Chrysene terendah 203,41 µg/kg dan tertinggi mencapai hingga 806,31 µg/kg (kadar tertinggi ditemukan pada sampel lumpur dari Besuki), sedangkan Benz(a)anthracene ditemukan pada sampel 3 titik lokasi rendaman lumpur dengan jumlah terendah 0,4214 mg/kg dan tertinggi 0,5174 mg/kg. Monitoring secara periodik dan penanganan darurat khusus harus segera dilakukan.

    PAH merupakan suatu kelompok senyawa kimia yang dibentuk dari proses pembakaran tidak sempurna dari gas, batubara, minyak bumi, kayu, sampah, ataupun senyawa kimia organik lain seperti tembakau. Senyawa PAH juga ditemukan di sepanjang lingkungan baik di udara, air, dan sebagai partikel yang berhubungan dengan debu atau sebagai padatan di dalam sedimen atau lahan. Jumlahnya diperkirakan sekitar 10.000 senyawa. Sifat karsinogenik memicu tumor, kanker kulit, kanker paru-paru, dan kanker kandung kemih. Dapat masuk dalam tubuh manusia melalui pernafasan akibat menghirup limbah gas yang mengandung senyawa PAH di dalamnya. Makanan atau minuman yang terkontaminasi senyawa ini juga akan mempengaruhi tubuh jika dikonsumsi. Yang lebih cepat adalah interaksi secara langsung dengan menyentuh tanah atau air yang tercemar PAH. Walaupun dalam kadar rendah, senyawa ini dapat terserap melalui pori-pori kulit.

    BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun.

    Walhasil, Anton seorang warga korban menjumpai sedikitnya 5 warga yang secara fisik terindikasi mengidap tumor(20/7/2008). Seorang bayi perempuan umur 7 bulan memiliki benjolan di dada dan lehernya. Kanker kulit juga ditemukan menjangkit seorang anak umur 3 tahun. Hal ini tentu harus segera ditangani khusus dengan melakukan pemeriksaan medik secara terus menerus kepada semua warga yang pernah ‘berjibaku’ dengan lumpur. Akumulasi dalam jumlah besar sangat mempengaruhi metabolisme tubuh warga dan mempercepat munculnya tumor dan kanker. Pemeriksaan periodik terhadap kandungan logam berat dan PAH harus dilakukan secara periodik untuk acuan pengelolaan lebih lanjut. Namun jika pemerintah melalui badan khususnya tidak mengagendakan, siapa lagi yang harus melakukannya?

    Keselamatan dan kesejahteraan warga korban telah dipertaruhkan dalam hitungan kerugian material melalui skema jual beli tanah dan bangunan sebagaimana dalam Perpres 14/2007. Sandaran hukum pemenuhan hak warga inipun masih ditawar dengan skema resettlement yang tidak memiliki jaminan apapun. Bulan Agustus dan September merupakan masa kontrak sebagian warga korban habis. Namun itikad pemenuhan oleh korporasi tak juga ditunjukkan. Padahal jika diperbandingkan, jumlah yang akan diterima tidak akan mencukupi kebutuhan pengobatan jika efek logam berat dan PAH telah muncul beberapa waktu kedepan. Jaminan kesehatan bagi seluruh warga mutlak menjadi tanggungjawab korporasi dan negara.

    Melihat kenyataan demikian, seharusnya tiada alasan bagi korporasi untuk menghindari dan menunda penggantian hak material warga. Surat Badan Pertanahan Nasional (BPN) tanggal 24 Maret 2008 menegaskan adanya jaminan bagi tanah selain sertifikat hak milik (Yasan, Gogol, letter C, petok D, dan HGB) bisa dilakukan peralihan dengan status yang sama. Hanya perusahaan bodoh yang menginginkan hak milik tanah di negeri ini. Dalam regulasi agraria Indonesia (UUPA NO. 5/1960) sudah diatur kepemilikan tanah Hak Milik hanyalah untuk perorangan. Korporasi hanya bisa mendapat hak berupa Hak Guna (HGU/HGB) atau Hak Pakai yang masa waktunya terbatas. Jika ini dijadikan alasan untuk tidak mengganti 80% sebagaimana disepakati dalam perikatan antara warga dan korporasi, dan ditawar dengan skema resettlement, bertambah sudah derajat kejahatan korporasi ini.

    Namun, temuan kandungan-kandungan berbahaya ini disangsikan oleh Ahmad Zulkarnaen dari BPLS, “Kalau benar ada PAH, kenapa baru sekarang dirilis? Padahal ratusan peneliti sejak dua tahun lalu tidak pernah mengungkapkan adanya PAH” (Koran Tempo, 29/7). Bukannya menindaklanjuti dengan rencana cepat untuk melakukan penanganan, minimal dengan sebuah rencana melakukan penelitian lebih dalam, pernyataan elemen tim khusus ini nampak mencoba mengaburkan adanya temuan bahan berbahaya itu. Dan yang lebih parah, BPLS dan korporasi paham benar adanya logam berat dan beberapa jenis hidrokarbon yang pernah diteliti oleh para ahli, namun toh juga tak melakukan tindakan apapun. Petugas BPLS yang rapi dalam pengamanan diri dengan menggunakan sepatu, sarung tangan, dan masker tentunya lebih tak lebih beresiko dibanding warga yang dengan tangan telanjang, kaki bersendal, dan hidung tak bersaring bergelut di area lumpur setiap saat.

    Sungguh sebuah kebetulan jika pada Juli ini selain disibukkan dengan agenda ‘pesta’ pilkada, pada waktu yang bersamaan keluarga Bakrie -sang konglomerat yang dikenal sebagai salah satu pemilik korporasi penguasa blok Brantas di Jawa Timur- menggelar pesta bahagia perkawinan salah satu keluarganya. Lengkap sudah penggalan sejarah buruk negeri ini, dua prosesi digelar tanpa melihat sedikitpun derita warga korban.