Tag: sewindu kasus lapindo

  • Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    Bencana Budaya Lumpur Lapindo

    IMG_20140528_180212Oleh: Henri Nurcahyo

    Sudah delapan tahun lumpur Lapindo menyembur, masih juga belum ada kejelasan penyelesaian persoalan yang menyelimutinya. Semburan lumpur itu bukan hanya sebuah peristiwa geologi semata, namun juga bencana sosial, bencana intelektual dan juga bencana budaya. Lapindo telah menggunakan segala macam cara untuk menciptakan wacana pembenaran bahwa mereka tidak bersalah.

    Celakanya, kalangan ahli geologi sendiri, malah tidak satu suara untuk menegaskan penyebab terjadinya semburan. Apakah ilmu geologi tidak cukup canggih untuk menjelaskan peristiwa eksakta seperti itu? Bahkan organisasi profesi IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia) sendiri hingga kini tidak pernah punya sikap resmi terkait semburan yang mencelakakan itu. Para ilmuwan berebut mengumbar serangkaian teori dan kepintarannya bersilang pendapat sehingga malah membingungkan masyarakat. Inilah yang disebut Bencana Intelektual.

    Padahal, dalam logika awam, penyebab terjadinya semburan lumpur itu karena Lapindo melakukan penyeboran di situ. Lepas apakah ada pengaruh gempa Yogyakarta yang terjadi dua hari sebelum semburan, lepas dari kesalahan prosedur pengeboran, lumpur tidak akan menyembur kalau Lapindo tidak mengebor di kawasan yang sebetulnya sudah diketahui punya potensi kuat menyemburkan lumpur itu. Proses awal mula penentuan lokasi pengeboran itu sendiri saja sudah sarat dengan rekayasa dan manipulasi.

    Peristiwa semburan lumpur Lapindo ini adalah bencana budaya, karena masyarakat diteror oleh perang wacana untuk menerima logika yang seolah-olah ilmiah. Para guru pasti akan bingung menjawab ketika ditanya muridnya perihal apa yang menyebabkan terjadinya semburan itu. Kebingungan ini akan terus membekas selama puluhan tahun, persis seperti wacana pembenaran pembantaian terhadap (mereka yang dituduh) PKI yang mengendap di kepala rakyat negeri ini selama puluhan tahun, sampai kemudian muncul upaya mencari kebenaran setelah Soeharto runtuh.

    Teror wacana budaya ini juga merambah wilayah dongeng, yang menyebut-nyebut dongeng Timun Mas untuk menguatkan alasan bahwa memang sudah wajar terjadi semburan lumpur di Porong. Sebab, dongeng Timun Mas adalah varian Cerita Panji, sebuah kisah legenda yang berpusat di Daha (Kediri) dan Jenggala (Sidoarjo). Dalam dongeng itu memang disebutkan sang raksasa tenggelam dalam lautan lumpur akibat lemparan terasi (belacan) oleh Timun Mas. Rekayasa ini diperkuat dengan kitab-kitab kuno yang seolah-olah sah sebagai sumber sejarah.

    Banyak orang yang dengan mudah percaya tafsir mainstream terhadap dongeng tersebut. Padahal, sesungguhnya dongeng Timun Mas seperti yang banyak dikenal orang selama ini bukan dongeng Jawa Timur, melainkan Jawa Tengah. Sementara yang berkembang di Jawa Timur sendiri adalah dongeng Timun Mas dalam versi yang lain. Saya menemukan sedikitnya ada tiga versi berbeda mengenai dongeng ini, sebagaimana yang menjadi bahan cerita ludruk dan Wayang Kancil. Dongeng Timun Mas versi Jatim ini memang tidak populer, namun yang jelas dalam versi ini justru sama sekali tidak menyebut-nyebut adanya lautan lumpur.

    Sebagaimana varian Cerita Panji lainnya, tokoh perempuan selalu identik dengan Dewi Sekartaji, sedangkan tokoh lelaki yang menjadi pahlawan penyelamat si perempuan adalah penyamaran Panji Asmorobangun. Pakem seperti itulah yang juga terdapat dalam dongeng Ande-ande Lumut yang juga merupakan varian Cerita Panji. Disebutkan bahwa Kleting kuning adalah Dewi Sekartaji, sedangkan Panji Asmorobangun menyamar sebagai Ande-ande Lumut.

    Rekayasa dongeng ini, dengan menyejajarkan dongeng Timun Mas dengan peristiwa semburan lumpur Lapindo, tanpa disadari justru membuahkan blunder tersendiri. Karena dalam dongeng itu tokoh Raksasa dikalahkan oleh gadis desa yang lemah tak berdaya bernama Timun Mas. Lantas, mengapa dalam peristiwa semburan lumpur Lapindo ini yang tenggelam justru “timun mas” dan bukan raksasanya? Itulah sebabnya para pegiat pembela korban lumpur lantas menguatkan logika ini dengan menjadikannya tema peringatan 8 tahun semburan lumpur Lapindo. Pesan utama dalam dongeng itu malah semakin dipertegas dengan kalimat, “sudah saatnya menenggelamkan raksasa dalam kubangan lumpur Lapindo”.

    Paradigma seperti ini sudah dipakai untuk mendasari peringatan semburan lumpur setahun lalu, dengan membuat ogoh-ogoh berupa raksasa berbaju kuning, kemudian dilemparkan ke kubangan lumpur. Ogoh-ogoh itu masih ada hingga sekarang.

    Dan saat ini Dadang Christanto yang jauh-jauh datang dari Australia semakin mempertegas penderitaan para Timun Mas itu. Mereka divisualkan dengan patung-patung manusia dengan tangan menengadah, membawa sisa-sisa perabotan rumahtangga sebagai harta yang terakhir. Juga para seniman Taring Padi dari Yogyakarta menyajikan puluhan instalasi berupa tangan-tangan yang terbenam, hanya kelihatan bagian lengan dan lima jari tangannya seperti orang tenggelam. Ini juga tangan-tangan Timun Mas yang masih menderita hingga sekarang, masih terombang-ambing oleh perdebatan kaum elitis. Bukan pada tempatnya mereka yang tenggelam, justru si Raksasa itulah yang seharusnya terbenam dalam kubangan laknat ini. Tunggu saja waktunya. (*)

    Henri Nurcahyo, penulis buku “Rekayasa Dongeng dalam Bencana Lumpur Lapindo”, penerbit Asosiasi Tradisi Lisan.

    Sumber: Jawa Pos, 1 Juni 2014

  • Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    Sewindu Lumpur Lapindo (3): Korban Lumpur Lapindo Bingung Nyoblos

    indep

    Belasan ribu warga korban lumpur masih bingung di tempat pemungutan suara (TPS) mana akan akan mencoblos saat pemilihan presiden (Pilpres), Juli 2014 mendatang. Mereka ini tidak mendapat TPS. Bahkan belasan ribu dari mereka tidak masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT).

    Ribuan warga lain, namanya masih masuk DPT di TPS desa asal mereka. Namun mereka ini sudah meninggalkan desa itu dan hidup berpencar di tempat tinggal sementara atau pengungsian.

    Berdasarkan pemutakhiran data pemilih yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sidoarjo, per Mei 2014, pemilih di empat desa dicatat nol. Keempat desa tersebut memang telah hilang terkubur lumpur. Terdiri Jatirejo, Reno Kenongo, Siring, Kecamatan Porong. Satu lagi, Desa Kedung Bendo, yang masuk Kecamatan Tanggulangin. Pemilik hak pilih dari empat desa, yang diperkirakan mencapai 15.000 lebih terancam tidak menggunakan hak pilih.

    Di luar empat desa, ada dua desa lain, yang ribuan warganya terancam tidak bisa menggunakan hak pilih. Kedua desa itu adalah, Desa Ketapang Kecamatan Tanggulangin dan Desa Mindi Kecamatan Porong. Di sini 8.000 warga masuk DPT dan TPS-nya pun masih tercatat di KPU.

    Persoalannya, kedua desa ini sudah kosong, karena ditinggalkan warganya yang berpencar mencari rumah baru.

    Edeh (54), korban lumpur asal Kedung Bendo mengaku hingga kini belum mengetahui, apakah dirinya bisa mencoblos saat pilpres nanti. “Pengalaman pemilu lalu, saya  tidak bisa nyoblos,” jelasnya.

    Janda dua anak itu sudah lima tahun terakhir mengontrak rumah di Desa Jimbaran Kulon, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo. Namun  KTP Edeh tetap Kedung Bendo. Ia dan warga lumpur memang diminta tidak ganti KTP. Sebab perubahan data kependudukan, bisa membuatnya sulit bahkan kehilangan ganti rugi dari Lapindo. “Jadi KTP saya tetap KTP Kedung Bendo,” kata Edeh kepada Surya, Kamis (29/5/2014).

    Di lingkungan barunya, Edeh sempat ingin mencoblos. Tapi petugas tidak mau menerimanya, karena namanya tak ada di DPT. Juga tidak masuk dalam daftar pemilih khusus (DPK), daftar pemilih susulan bagi warga yang belum masuk DPT.  “Tidak bisa (nyoblos). Katanya karena saya bukan penduduk situ,” tambahnya

    Korban Lapindo : Saya Juga Ingin Pilih Presiden Yang Sanggup Membantu Kami

    Pengalaman serupa dirasakan Kasiati (56), juga warga Kedung Bendo. Pada pileg April silam, dia tidak bisa memilih wakil rakyatnya, di tempatnya yang baru, Perumahan Mutiara Citra Asri (MCA). Pada Pilpres nanti, Kasiati berharap bisa memilih. “Saya juga ingin pilih presiden yang sanggup membantu kami,” katanya.

    Tapi Kasiati belum tahu bagaimana caranya untuk bisa menggunakan hak suaranya. Kasiati juga tidak tahu, apakah namanya masuk DPT atau tidak. Hingga kini belum pernah ada pendataan warga sebagai pemilih.
    “Rasanya belum pernah petugas yang datang mendata,” tambah Harwati, warga Desa Siring menimpali.

    Itu berarti, Hawati dan teman-temannya sesama korban lumpur yang pada pemilu lalu tidak masuk DPT, pada pilpres ini juga tetap tidak masuk DPT atau DPK. “Kami juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Di mana nyoblosnya, dan bagaimana mengurusnya suratnya,” katanya.

    Harwati menceritakan, pada pemilu legislatif lalu, ia sebenarnya bisa memilih di tempat tinggal barunya, Desa Candipari. Sebab ia sudah mengurus surat keterangan domisili dari kepala desa setempat agar bisa diditerima sebagai pemilih.

    Pagi-pagi ia datang ke TPS. Tapi hingga siang, ia tak kunjung mendapat giliran mencoblos.Capek menunggu,  ia memilih balik pulang dan urung mencoblos.

    “Sudah datang pagi-pagi. Tapi disuruh tunggu  sampai pemilih asli sana nyoblos semua. Jadi saya putuskan nggak usah nyoblos aja, mending kerja saja,” ujar tukang ojek di tanggul lumpur itu.

    Tidak semua korban lumpur golput ketika itu. Sebagian mereka tetap bisa menggunakan hak suaranya meski telah pindah tempat tinggal.

    “Saya dulu pindah dari Siring ke desa Gedang. Nyoblos buat pileg kemarin ya di Gedang. Tidak sulit karena birokasi kepindahan juga dibantu sama lurah,” sebut Purwaningsih (55).

    Khusus warga Ketapang dan Mindi, yang masih masuk DPT, masih bisa mudah memilih. Sebab di desanya yang telah kosong penduduk, dalam pileg  lalu masih didirikan TPS. Dengan begitu warga yang sudah hijrah ke berbagai tempat bisa langsung ke TPS itu.

    KPPS Tak Proaktif Untuk Datangi Korban Lumpur Lapindo

    Pj Kepala Desa Reno Kenongo, Subakri, membenarkan adanya keluhan warga yang sulit menggunakan hak suara. Ia kemudian menceritakan saat pileg April lalu. Saat itu ia didatangi banyak warga.

    Mendapatkan laporan tersebut, Subrakri lalu berkoordinasi dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) setempat.

    “PPK lalu mengarahkan mereka agar datang ke kelurahan tempat mereka tinggal sekarang untuk meminta surat keterangan domisili. Surat keterangan itu bisa dipakai untuk mencoblos di tempat tinggal baru mereka,” kata Subakri.

    Namun Subakti tidak tahu, apakah mereka kemudian melaksanakan prosedur itu atau tidak. Subakri juga tidak mengetahui secara persis berapa persen warganya yang memilih dan golput saat pileg lalu.

    Subakri yang kini tinggal di Desa Juwet Kenongo menyebut, kebingungan warga mendapatkan TPS ini terjadi karena petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) tidak proaktif.

    Menurut dia, seharusnya KPPS datang ke desa-desa yang diperkirakan menjadi tempat domisili sementara para korban lumpur dan mendata nama-nama korban lumpur. “KPPS harusnya turun dan mendata secara door to door (dari pintu ke pintu),” tambahnya.

    Hingga kini warga korban lumpur memang disarankan tidak berganti KTP. Saran itu, kata Subakri telah disampaikan sejak masa pemerintahan Bupati Win Hendarso. Pemkab, kala itu khawatir ganti KTP akan menyulitkan proses pembayaran sisa kewajiban Lapindo. Tapi dampaknya, mereka tidak bisa tercatat sebagai pemilih di tempat baru.

    Di desa Reno Kenongo sendiri, tercatat ada sekitar enam ribu warga. Sebagian besar dari mereka, telah hijrah ke Kecamatan Sidoarjo setelah rumah yang mereka diami terpendam lumpur. Meski telah pindah domisili, namun berbagai pelayanan yang terkait kependudukan, masih dilayani oleh kelurahan Reno Kenongo.

    “Pelayanan tetap jalan. Mulai 2011 sampai sekarang kami masih pinjam satu ruangan di kantor Camat Porong untuk melayani kebutuhan warga Reno Kenongo. Sebelumnya, sejak Reno Kenongo tenggelam, hingga 2010 pelayanan dilakukan di rumah saya di Juwet Kenongo,” pungkasnya.

    (c) Liputan Khusus Harian Surya

  • Victims still await full settlement after eightyears

    Victims still await full settlement after eightyears

    Victims mark eight years of the devastating mudflow in Sidoarjo, East Java, Thursday. Thousands of displaced residents asked the visiting Joko “Jokowi” Widodo to pay the compensation that the government had promised them. (JP/Wahyoe Boediwardhana)

     

    Tjarwadi, 68, a resident of Siring village, Sidoarjo regency, East Java, had not previously known 65-year-old Sadawi Priadi of nearby Glagah Arum village.

    However, they shared the same fate when their homes and all their belongings were engulfed by the hot mudflow originating from the Panji I oil well drilling conducted by PT Lapindo Brantas Inc. in 2006.

    Lapindo is partially owned by the Bakrie family, which is under the patronage of Golkar Party chairman Aburizal Bakrie. 

    Neither Tjarwadi, a trader, nor Sadawi, a driver for a shoe factory, have received the full compensation long promised by the government.

    “Whereas in fact, President Susilo Bambang Yudhoyono personally promised to compensate every one of the victims of the Lapindo mudflow by February 2010, this has not happened in reality,” Tjarwadi told The Jakarta Post during the commemoration of the eight anniversary of the eruption of the mudflow on Thursday in Sidoarjo.

    He claimed that Lapindo should have already paid Rp 635 million (US$54,588) for his 235-square-meter plot and 135-square-meter house, but Tjarwadi and his wife Saropah, 55, have so far only received Rp 247 million. 

    “The initial payment was 20 percent of the total amount, while the rest was to have been paid in installments at Rp 15 million per month, but that happened for eight months only. I’ve received no cash transfers for the past year,” said Tjarwadi.

    The same tale was also related by Sadawi who lost 887 square meters of land and a house measuring 165 square meters. He should have received compensation of Rp 1.1 billion, but has only received Rp 320 million as of now. 

    Thousands of people swarmed on top of embankment 22, located west of the gush point, bordering the railway line and the Porong-Sidoarjo highway to commemorate the eighth anniversary of the Lapindo mudflow.

    Presidential candidate Joko “Jokowi” Widodo also attended the commemoration and met the mudflow victims on Thursday.

    Jokowi, who has been nominated by the Indonesian Democratic Party of Struggle (PDI-P), the NasDem Party, the National Awakening Party (PKB) and the Hanura Party, also signed a political contract with various civil society groups if elected as president.

    “The Lapindo hot mudflow case must be settled. The state must be manifest among the people. If this was resolved it would indicate the state is there for the people,” Jokowi addressed the crowd.

    Jokowi will run in the presidential election on July 9 against Prabowo Subianto who has been nominated by several parties, including the Gerindra Party and the Golkar.

    According to the National Development Planning Board (Bappenas) the mudflow has caused Rp 27.7 trillion in losses. It has buried more than 600 hectares of land, displacing 39,700 people and submerging three subdistricts, 12 villages, 11,241 buildings and 362 hectares of rice paddies. 

    Both Tjarwadi and Sadawi were of the same opinion when they were asked about presidential candidate Jokowi.

    “I don’t care about his party. I only see his character. I believe he would not be as hesitant and be able to speed up the compensation process through the state budget,” said Sadawi.

    If he was elected as president, added Sadawi, Jokowi would be the same as when he led Surakarta (Solo) and Jakarta. 

    Sadawi said he was drawn to what he believed to be the humble personality of Jokowi, and he believed him to be close to the people.

    Wahyoe Boediwardhana

    Sumber: http://www.thejakartapost.com/news/2014/05/30/victims-still-await-full-settlement-after-eight-years.html

  • Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    Sewindu Lumpur Lapindo (2): 33 Gedung Sekolah Telah Terkubur Lumpur Lapindo

    kholid-bin-walid

    Hari ini (29/5), genap sewindu lumpur Lapindo menyembur di Kecamatan Porong, Sidoarjo. Selama delapan tahun menyembur, ribuan rumah dan gedung terkubur. Sampai saat ini sudah 33 gedung sekolah termasuk dalam daftar pengisi dasar lautan lumpur itu.

    “Sekolah saya dulu persisnya ada di mana kira-kira, itu saja sudah lupa”, kata Khobir sambil memandang hamparan luas lumpur Lapindo, Senin (26/5/2014)

    Hamparan luas lumpur itu mengubur empat desa berikut semua isinya. Yang tersisa hanyalah kenangan Khobir pada masa-masa di sekolah dulu. Kenangan pada teman dan guru-gurunya.

    Khobir kini tergabung dalam komunitas KLM (Korban Lumpur Menggugat). Surya menemui Khobir di sela-sela kesibukannya mempersiapkan acara peringatan Sewindu Lumpur Lapindo di sekitar tanggul. Khobir berharap luapan lumpur yang disebutnya sebagai tragedi itu segera berakhir.

    Harapan serupa diucapkan Ali Mas’ad, Kepala MA Kholid Bin Walid. Harapan Ali Mas’ad ini biasanya juga diwujudkan dalam bentuk doa bersama. Setiap musim kelulusan siswa, Ali selalu mengajak anak didiknya yang baru lulus sujud syukur di tanggul lumpur, tepatnya di lokasi sekolahnya yang telah terkubur. ”Kami hanya bisa berdoa semoga tragedi ini bisa berakhir,” katanya.

    Ali maupun Khobir berharap sekolah-sekolah yang masih tersisa di seputar kawasan lumpur tidak menjadi korban lumpur berikutnya.

    Tercatat sudah 33 gedung sekolahan yang lenyap. Sekolah-sekolah yang tinggal menjadi cerita duka itu tersebar di enam desa. Siring, Reno Kenongo, Kedung Bendo, Jatirejo, Pejarakan, dan Besuki. “Semuanya gedung SD. Tidak ada sekolah lanjutan,” kata Mustain Baladan, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo, Rabu (28/5/2014).

    Sekolah-sekolah yang tutup sebagian digabung dengan sekolah terdekat yang belum tersentuh lumpur. Mustain Baldan tidak tahu, sampai kapan sekolah-sekolah itu bisa bertahan. Yang pasti  bayang-bayang tamat sudah semakin dekat.

    Selain berpotensi menyusul ditenggelamkan lumpur, sekolah ini juga mulai kehabisan murid. Penduduknya secara bergelombang telah hijrah, menjauhi lumpur yang telah menjadi gunung dan terus menyembur.

    Kekurangan Murid, Tiga Sekolah Ini Terancam Tamat

    Ancaman tamat paling nyata dirasakan tiga sekolah dasar (SDN). Terdiri SDN Mindi I, SDN Mindi II, serta SDN Ketapang. Kepala SDN Mindi 1, Musthofa membenarkan potensi sekolahnya tamat. Mustofa mengaku, sekolah sampai sekarang masih bisa bertahan karena masih banyak warga Mindi dan sekitarnya yang mendaftarkan anaknya. Hingga saat ini, SDN Mindi 1 masih memiliki 278 siswa, mulai dari kelas 1 hingga kelas 6. Secara administratif, sekolah akan ditutup bila tidak mampu memenuhi kuota jumlah siswa, minimal 26 pendaftar.

    Tapi perlahan namun pasti, sekolahnya toh akan tamat. Sejak 2013 lalu seluruh permukiman dan lahan di Desa Mindi sudah dibeli pemerintah. Sampai saat ini, separuh warga Mindi sudah hidup tersebar di luar desa.

    Mantan Kepala SDN Jatirejo 2 ini tidak mengetahui apa rencana Dinas Pendidikan Kabupaten Sidoarjo setelah penutupan. Hanya saja, ada beberapa usulan dari orang tua siswa yang nantinya tinggal di lokasi relokasi di kawasan Kesambi. Mereka meminta sekolah ikut dipindah ke sekitar Kesambi.

    Untuk tahun ajaran baru ini sekolah yang dia pimpin akan tetap beroperasi karena sudah ada sekitar 44 pendaftar. Para calon siswa tersebut berasal dari sejumlah desa seperti Pesawahan, Gedang, serta Juwet.

    Nasib SDN Mindi 2 tak lebih baik. Sejak tahun lalu, sekolah ini tidak menerima murid baru. Sehingga tahun ajaran baru 2014, Dinas Pendidikan melarang mereka membuka pendaftaran siswa baru.

    Praktis, siswa-siswa yang ada saat ini hanyalah siswa kelas 2 hingga kelas 6, dengan jumlah siswa yang tak lebih dari 65 orang. Sekolah ini nantinya direncanakan akan bertahan sampai seluruh siswanya lulus.

    Saat Surya mengunjungi sekolah itu untuk meminta konfirmasi dari kepala sekolah, Bachrudin, yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat. “Kami kok tidak tahu kalau ada rencana sekolah ini akan ditutup,” kata seorang guru setempat yang tidak mau ditulis namanya.

    Lumpur Lapindo Menyembur, Banyak Anak Putus Sekolah

    Belum ada data baru tentang jumlah anak korban lumpur yang akhirnya putus sekolah. Data terakhir pernah dihimpun aktivis dari Sanggar Al Faz untuk tahun ajaran 2010/2011. Ketika itu tercatat  ada 103 anak yang tidak melanjutkan sekolah.

    Sanggar Al Faz  adalah inisiator program Solidaritas Anak Lumpur. Program tersebut dibuat dengan tujuan untuk menghimpun beasiswa bagi anak-anak korban lumpur yang terancam atau putus sekolah karena orang tua yang tak lagi sanggup membiayai pendidikan mereka. “Beasiswa itu dihimpun dari donasi publik,” kata Fani Tri Jambore, aktivis Solidaritas Anak Lumpur.

    Ada banyak sebab anak putus sekolah setelah lumpur Lapindo menyembur. Ada yang dikarenakan orang tua yang tak sanggup membiayai setelah kehilangan lapangan kerja. Juga tidak sedikit yang disebabkan lokasi relokasi sekolah yang terlalu jauh.

    Faktor mental ikut menambah panjang daftar anak putus sekolah. Pengalaman ini setidaknya ditemui Imam Khoiri, korban lumpur asal Desa Siring. Pria yang kini pindah di kecamatan Prambon tersebut, menyatakan anaknya mogok sekolah gara-gara di tempat yang baru, sering diejek temannya.

    Cerita yang hampir mirip disampaikan Harwani. Korban lumpur asal Desa Siring mengungkapkan, mental anaknya sempat drop karena harus pindah sekolah. “Anak saya yang pertama sempat males sekolah karena sering pindah-pindah sekolah,” katanya. Beruntung, Harwani cukup sabar membesarkan hati, hingga sang anak mau melanjutkan sekolah.

    Sekolah di Galangan Hingga Rumah Penduduk

    Sekolah ini sungguh ’sakti’. Setelah diterjang lumpur pada 2006 silam, sekolah ini tetap bertahan hingga kini. Padahal, puluhan sekolah lainnya langsung tamat riwayatnya begitu gedungnya terkubur lumpur. Adalah Madrasah Aliyah (MA) Khalid Bin Walid, nama sekolah itu.

    Ali Mas’ad, kepala sekolah milik Yayasan Khalid Bin Walid itu menceritakan kerja keras yayasan menyambung hidup sekolah kebanggaan warga Desa Renokeongo, satu dari empat desa yang terkubur lumpur.

    Dulu di awal semburan muncul, Ali bersama guru dan muridnya setiap hari harus kerja bakti untuk membersihkan lumpur. Rutinitas itu dilakukan sebelum proses belajar mengajar.

    Namun pada 2007, luberan lumpur tidak bisa ditahan lagi. Volumenya aliran terus membesar. Dari cuma setinggi mata kaki, lumpur terus menggunung hingga mengubur atap.

    “Waktu itu banyak sekolah yang pindah ke arah barat. Kalau kami ikut-ikutan, tidak mungkin bisa bersaing dengan sekolah-sekolah yang lebih besar. Jadi saya bertahan saja, pindahnya ke timur,” kata Ali.

    Sejak saat itu Ali harus merelokasi sekolah. Dalam pikirannya, gedung sekolah boleh terkubur, tapi nasib puluhan siswanya tidak boleh ikut mati. Dia bertekad untuk terus menggelar proses belajar mengajar.

    Pada awal masa relokasi, Ali menyulap toko bangunan di Desa Glagah Arum menjadi ruang kelas. Tiga tahun sekolah itu bertahan di toko galangan. Pemilik bangunan menyewakan bangunan toko itu ke orang lain.
    Ali pun kelabakan. Dia harus segera mencari bangunan pengganti. ”Alhamdulillah, ada warga yang mau meminjamkan rumahnya untuk kami,” katanya.

    Sejak 2009 Ali menampung siswanya di rumah sederhana itu. Luasnya memang 300 meter persegi, tetapi kondisinya masih jauh dari kata layak untuk ukuran sebuah sekolah.Ali bergeming. Dia menganggap, pendidikan jauh lebih penting ketimbang memikirkan fasilitasnya.

    Bangunan di gang sempit itu menjadi tempat belajar 75 siswa kelas 1 sampai 3. Ali dibantu 20 guru yang setia mengabdi di sekolah tersebut. Kata Ali, sekolah hanya bisa menggaji para guru itu antara Rp 300.000 sampai Rp 500.000. ”Ini murni pengabdian,” katanya menilai perjuangan para guru di sekolahnya

    Berharap Lapindo Mengganti Gedung Sekolah Yang Karam Ditelan Lumpur

    Kalimat pengabdian bukan saja menggambarkan kecilnya gaji. Kata pengabdian itu juga tergambar dari ketelatenan dan kesabaran para guru hadir ke sekolah setiap hari. Padahal jarak rumah mereka sekarang cukup jauh. Ya sejak lumpur menenggelamkan desa, para guru itu harus hijrah di tempat yang jauh.Terpencar di Kecamatan Krembung dan Wonoayu, sebelah barat Porong.

    Saat masih di Renokenongo, para guru ini biasa datang ke sekolah mengendarai sepeda angin. Ali bersyukur, hanya ada satu guru yang mundur karena tinggal terlalu jauh.

    Tahun ajaran baru ini, MA Khalid Bin Walid sudah menerima 7 calon siswa. Dia yakin, sampai penutupan pada Juli nanti, jumlah itu akan bertambah. Selama ini, Ali selalu mengandalkan pendekatan personal kepada warga di sekitar sekolah untuk mendapatkan siswa.

    Dia bersama para guru, tidak segan mendatangi rumah-rumah warga untuk menyekolahkan anaknya. ”Warga yang tidak mampu menjadi sasaran kami. Anak-anak mereka harus sekolah dan kami membebaskan biaya SPP,” ungkap warga asli Renokenongo itu.

    Dia yakin, sekolahnya  akan terus bertahan, karena hanya ada satu MA di Glagah Arum. Banyak anak usia sekolah di kawasan itu yang enggan bersekolah karena jauhnya lokasi sekolah setingkat SMA atau MA. Nah, MA yang dipimpinnya bisa menjadi solusi kebutuhan warga akan pendidikan.

    Saat ini, Ali masih tetap berharap Lapindo mengganti lahan dan gedung sekolah mereka yang karam. Dia juga tidak lelah menagih janji insentif bagi para guru yang rumahnya jauh dari sekolah. ”Berkali-kali ditagih ya tetap saja mbulet. Tapi saya terus akan bersuara,” ujar Ali.

    Tinggalkan Sekolah Lantaran Tak Tahan Ejekan

    Hidup keluarga sederhana ini berantakan begitu lumpur Lapindo menyembur 2006 silam. Pasangan muda yang baru memiliki anak balita tak pernah membayangkan akan hidup di pengungsian. Cerita pelik mereka menjadi cermin buram  ribuan korban lumpur Lapindo lainnya.

    Bertahan hidup demi anak. Hanya kalimat itu yang tertanam di hati pasangan Chamidah dan Imam Khoiri. Sejak lumpur meneanggelamkan rumah mereka di Desa Siring, Kecamatan Porong delapan tahun lalu, mereka harus hidup berpindah-pindah. Pengungsian Pasar Baru Porong menjadi destinasi awal mereka.

    Ratna Sari, anak sulung pasangan muda itu dibawa serta bergumul dengan ribuan pengungsi. Saat itu Sari masih duduk di bangku taman kanak-kanak. “Saya sedih kalau ingat apa yang dialami anak saya,” kata Chamidah.

    Perempuan berkulit sawo matang itu mengatakan, Sari tumbuh menjadi anak yang tertutup. Lingkungan mempengaruhi perkembangan psikisnya. Keluar dari pengungsian, pasangan ini hidup nomaden atau berpindah-pindah. Kadang di rumah saudaran, saat lain mengontrak rumah.

    Seingat Chamidah, dia sudah tiga kali pindah. Begitu juga dengan sekolah Sari yang mengikuti jejak orang tuanya. Saat sekolah inilah Sari sering mendapat ejekan dari kawan-kawannya. “Sulungku diejek anak tukang ojek tanggul dan korban lumpur,” ungkapnya berkaca-kaca.

    Ejekan itu datang bertubi. Sari yang awalnya periang, berubah menjadi pendiam. Dia trauma, kata Chamidah. Ibu tiga anak itu tidak menyangka, ejekan itulah yang membuat Sari enggan bersekolah kembali. Sari stres dan tidak tahan dengan ejekan itu. Gadis yang kini berusia 14 tahun itu berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas dua.

    Chamidah ikut-ikutan stres karena anak pertamanya itu tidak memiliki ijazah. Dia bingung bagaimana nanti Sari akan mendapatkan pekerjaan tanpa ijazah. Menurutnya, Sari gadis yang tidak melawan saat diintimidasi teman-temanya.

    Dia memilih diam dan menangis ketika mendapatkan ejekan. Chamidah sudah berulang kali menasihati Sari agar melawan saat ejek orang. Namun Sari bergeming. Dia diam, tetapi menangis.

    ”Anak saya yang pertama mirip ayahnya. Putih dan cantik. Dia pendiam. Saya tidak bisa marah kepadanya karena saya mengerti dia memulai hidup di pengungsian yang serba susah. Saya kasihan padanya,” kata Chamidah dengan mata menerawang.

    Hidup di Pengungsian, Pengaruhi Psikis Anak Korban Lumpur Lapindo

    Surya menemui Chamidah di sekitar tanggul lumpur Lapindo awal minggu lalu. Saat itu dia membantu suaminya bekerja sebagai tukang ojek. Sebelumnya, Chamidah pernah bekerja sebagai buruh pabrik untuk membantu perekonomian keluarga.

    Namun, penyakit kanker serviks yang dideritanya mengharuskan dia beristirahat. Sari kini tinggal di rumah neneknya di Tulangan, Sidoarjo usai rumahnya terendam lumpur. Lokasinya sekitar 10 kilomter sebelah barat Porong. Di sana Sari membantu merawat neneknya yang sudah sakit-sakitan.

    Setiap hari Chamidah meyempatkan diri mengunjungi ibu dan anaknya. Selain itu juga diminta mengasuh dua adiknya. Berbeda dengan Sari, dua anak Chamidah lainnya tumbuh menjadi sosok yang temperamental.

    Meski tidak hidup di pengungsian, Chamidah mengakui hidup dua anaknya yang lain juga serba sulit. Ejekan juga sering dilontarkan kepada keduanya. Hanya saja, dua anak Chamidah ini bermental baja. Mereka malah balik melawan ketika mendapatkan hinaan.

    Tidak jarang Chamidah harus berurusan dengan orang tua teman-teman anaknya. ”Ada yang lapor kalau anak saya memukul anak mereka,” ujar Chamidah.

    Dia tidak serta merta memarahi sang anak. Pasalnya, anaknya membela diri karena terus-terusan diejek anak tukang ojek dan korban lumpur. Bagi Chamidah, apa yang dilakukan sang anak adalah bentuk pembelaan diri. ”Hati orang tua mana yang tidak hancur tahu anaknya dihina karena pekerjaan orang tuanya,” imbuhnya.

    Chamidah masih berharap Sari mau sekolah lagi. Namun dia bingung karena dari mana anaknya itu harus memulai sekolah. Saat ini, Sari lebih banyak mengenyam pendidikan non-formal. Setiap sore, dia mengaji di musala dan belajar agama.

    sumber:  Liputan Khusus Harian Surya

  • Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    Sewindu Lumpur Lapindo (1): Korban Lumpur Lapindo Sulit Urus Jaminan Kesehatan

    tempo - lempar bakrie

    Ribuan korban lumpur, terutama dari golongan keluarga miskin (gakin) semakin nelangsa. Mereka harus pontang-panting mendapatkan layanan kesehatan. Kondisi ini terjadi karena mereka hidup tanpa jaminan kesehatan. Padahal ancaman kesehatan mereka semakin besar, seiring lamanya semburan lumpur Lapindo.

    Harwati, korban lumpur dari Desa Siring, Kecamatan Porong, menyebut ada ribuan warga korban lumpur Lapindo yang tidak tercover jaminan kesehatan. “Alasan Dinas Kesehatan lucu. Kami dianggap terlambat mendaftar. Padahal kami sama sekali tidak pernah dapat sosialiasi,” kata Harwati, Senin (26/5/2014).

    Perempuan 43 tahun itu mengaku sudah berjuang bersama para tetangganya sejak 2011. Ketika jaminan kesehatan masih bernama Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Mulai tahun ini, jaminan kesehatan itu berganti menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

    Herwati menceritakan, awalnya, dia dan korban lumpur meminta didaftarkan Jamkesmas, namun gagal. Sebelumnya, nama-nama mereka juga gagal masuk ke Jamkesda dengan alasan terlambat mendaftar.

    Berbagai instansi mereka datangi. Mulai dari kelurahan, kecamatan, DPRD sampai Pemkab Sidoarjo. Jawaban yang didapat Harwati sangat normatif. Isinya lebih banyak janji. Harwati menilai, janji itu sampai saat ini belum terealisasi.

    Beberapa warga memang kemudian  mengurus surat keterangan miskin (SKTM) ke kelurahan. Surat ini bisa menjadi pengganti bagi warga miskin yang tidak memiliki kartu Jamkesmas untuk mendapatkan pengobatan gratis. Tapi tidak sedikit warga yang frustrasi karena merasa dipingpong.

    “Kalau mengingat dipingpong-pingpong ini,  kami merasa kok seolah-olah orang miskin seperti kami ini dilarang sakit. Ya Allah, kok tega-teganya memperlakukan kami begitu,” tutur Herwati.

    Pendataan Korban Lumpur Lapindo Awut-awutan

    Cerita sedih disampaikan oleh Novik Akhmad, korban lumpur Lapindo asal Jatirejo. Dia mengeluh karena tidak pernah diikutkan dalam program jaminan kesehatan. Padahal mereka menderita karena bencana tersebut. “Dulu ada jamkesmas, ada juga jamkesda. Tapi kami tidak pernah diikutkan program itu. Padahal kami korban lumpur yang setiap hari menghirup gas beracun dari semburan lumpur,” keluh pemuda 32 tahun itu.

    Novik yang merasa sangat membutuhkan jaminan kesehatan, kemudian mendaftarkan kedua orangtuanya sebagai peserta BPJS secara mandiri. Premi ditanggungnya sendiri setiap bulan, Rp 90.000.

    Pemuda bertubuh kurus itu mengaku tidak memiliki uang lagi untuk menambah anggota keluarga masuk sebegai perserta BPJS. Pasalnya, untuk menambah peserta, dia harus kembali membayar premi. Untuk kelas III, premi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 25.000, sedangkan kelas II, ditetapkan Rp 45.000.

    Dia menilai, pemerintah lalai dalam menjamin kesehatan warganya, terutama warga korban lumpur. Ada ribuan warga lain yang sama sekali tidak pernah tahu ada program jaminan kesehatan dari negara. Selama ini, hanya warga yang kritis saja yang mendapatkan akses informasi.

    Menurut Novik, kisah pilu warga itu terjadi karena pendataan yang dilakukan terhadap korban lumpur awut-awutan.  Ia lalu merujuk data Pemkab Sidoarjo melalui Basis Data Terpadu PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial). Di situ tercatat hampir 90 persen warga korban lumpur tidak tercatat sebagai sasaran Jamkesmas atau BPJS. Bahkan di Desa Renokenongo, data rumah tangga sasaran tercatat nol persen. Padahal ada ratusan KK yang semestinya masuk kategori keluarga miskin (Gakin).

    Begitu juga di Desa Jatirejo, yang tercatat sebagai penerima jaminan kesehatan cuma 31 KK. Kemudian Desa Kedungbendo hanya 6 keluarga dan Siring 36 keluarga.

    “Saya tidak tahu, bagaimana pemerintah melakukan pendataan. Yang jelas, ribuan warga lain tidak pernah didata. Alasan pemerintah daerah sih warga korban lumpur hidup terpencar. Jadi mereka kesulitan mendata. Padahal, pemerintah bisa kok mendata warga saat foto dan pengurusan e-KTP lalu. Tetapi itu tidak dilakukan,” kritik Novik.

    Warga korban lumpur sendiri selama ini tidak sempat mengurus masalah itu. Mereka terlalu disibukkan dengan alotnya pelunasan ganti rugi dan tempat tinggal sementara

    Uang Ganti Rugi Lumpur Lapindo Sudah Habis untuk Berobat
    Arrohma
    Kegiatan Komunitas Arrohma

    Penuturan senada  disampaikan korban lumpur lainnya, Khoiri. Sejak lima tahun silam, istrinya divonis mengidap kanker serviks. Warga asli Siring itu pun bingung bukan kepalang karena tidak memiliki ongkos untuk biaya pengobatan.

    Awalnya, Khoiri bisa membiayai pengobatan istrinya dengan uang ganti rugi dari PT Minarak Lapindo Jaya. Tahun pertama, Khoiri sudah menghabiskan Rp 100 juta. Sebagian besar uang itu dihabiskan untuk biaya kemoterapi. Kemudian dia harus menjual rumah di kawasan Pandaan.

    Khoiri jatuh miskin. Dia tidak memiliki biaya untuk proses penyembuhan selanjutnya. Tabungannya saat itu hanya menyisakan Rp 5 juta. Berbagai instansi pemerintah dia datangi.

    Dia hanya ingin istrinya terdaftar di dalam jamkesmas atau sejenisnya. Dia mendatangi kecamatan dan Dinkes Sidoarjo. Namun tidak ada hasil.

    Oleh seorang dokter, Khoiri dan istrinya disarankan mengurus SKTM. “Alhamdulillah setelah itu kemoterapinya gratis,” kata Khoiri. Namun dia tetap harus menyediakan uang jutaan rupiah untuk menebus obat yang tidak masuk dalam daftar tanggungan negara. Meski begitu, dia bersyukur nyawa istrinya tertolong.

    Saat ini, kondisi istrinya sudah membaik. Tapi masih kontrol ke dokter. Nah untuk kebutuhan kontrol ini Khoiri merasakan sulitnya hidup tanpa jaminan kesehatan. Ia terpaksa telat tiga bulan dari jadwal kontrol yang ditentukan dokter.

    Tiap kontrol, Khoiri harus mengeluarkan minimal Rp 500.000. Butuh waktu dan kerja keras untuk mengumpulkan uang itu. Ia harus menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilannya sebagai kuli bangunan yang memang tidak seberapa. Apalagi pekerjaan kuli bangunan itu tidak selalu ada.

    Biasanya, bila sedang tidak order bangunan, Khoiri mencoba menganis rejeki dengan mengojek. Itupun dilakukan dengan was-was karena kondisi kesehatan Khoiri sendiri rawan gangguan. Dua kali kecelakaan saat nguli menjadi penyebab. Dokter menyarankan agar dia tidak bekerja terlalu berat. “Saya hampir mati karena terlindas truk saat nguli,” ujarnya lirih.

    Khoiri sangat berharap, ia dan keluarga terdaftar sebagai peserta BPJS.

    Dinas Kesehatan Tak Tahu Jumlah Warga Lapindo yang Terdaftar

    Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Sidoarjo, Ika Harnasti mengaku tak tahu persis jumlah warga korban lumpur Lapindo di Sidoarjo yang telah terdaftar dalam kepesertaan BPJS Kesehatan. Menurutnya, data tersebut sepenuhnya ada di tangan BPJS Kesehatan sendiri. “Saya hanya PPTK (Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan) untuk Dinas Kesehatan yang tugasnya untuk pemberian pelayanan kesehatan saja,” kata Ika, Kamis (27/5/2014).

    Dia hanya memastikan, untuk korban lumpur yang memang memiliki Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) atau dinyatakan miskin, biaya pengobatannya akan ditanggung oleh pemerintah.

    Terkait syarat kepesertaan BPJS Kesehatan bagi korban lumpur Lapindo, juga tidak ada perbedaan dengan syarat kepesertaan masyarakat yang lain.

    Yang paling utama, dalam BPJS, penyakit-penyakit atau bahaya kesehatan yang termasuk dalam KLB atau kejadian luar biasa, tidak dicover. Dengan demikian, untuk penyakit-penyakit yang tergolong KLB, sepenuhnya menjadi beban pemerintah daerah, dalam hal ini Pemkab Sidoarjo.

    “Dan kalau memang belum terdaftar ke dalam BPJS, harus dilihat dulu apakah yang bersangkutan tergolong mampu atau tidak. Kalau mampu, pengobatan di puskesmas ya bayar. Sebaliknya kalau tidak mampu, ya gratis,” lanjutnya

    DPRD Sidoarjo Minta Data Keluarga Miskin Dimutakhirkan

    Ketua Komisi D DPRD Sidoarjo Mahmud Untung mengakui memang ada banyak warga korban lumpur yang tidak tersentuh jaminan kesehatan yang diselenggarakan negara. Penyebabnya, tidak semua dari mereka yang menyandang status miskin. Padahal, status miskin itu menjadi syarat mutlak mendapatkan jaminan dari negara.

    “Kan tidak semua warga korban lumpur itu miskin. Jadi perlu ada pendataan yang selektif untuk menentukan siapa yang berhak,” ujarnya.

    Mahmud menjelaskan, penyelenggarakan jaminan kesehatan oleh BPJS itu ada dua model, yakni mandiri dan dibiayai negara. Untuk kategori kedua, hanya warga berstatus miskin saja yang bisa mendapatkannya. Sedangkan yang tidak termasuk miskin, harus atas biaya sendiri. “Jadi ada kok warga (korban lumpur) yang mendaftar BPJS mandiri,” kata dia.

    Terkait upaya memberikan jaminan kesehatan itu, lanjut Mahmud, pihaknya sudah mempertemukan warga korban lumpur dengan Dinkes serta Bappeda Kabupaten Sidoarjo.  Namun, kata Mahmud, tidak bisa kemudian mengintervensi data penerima BPJS yang dimiliki BPLS. Sebab, data penerima jaminan dari negara itu merupakan domain Badan Pusat Statistik (BPS).

    Mahmud mengkritik cara pendataan keluarga miskin korban lumpur Lapindo. Pendataan oleh BPS itu dilakukan tanpa melibatkan unsur-unsur di Sidoarjo.

    Menurut Mahmud, pendataan dan perumusan kriteria miskin untuk korban lumpur itu seharusnya dilakukan tim terpadu, gabungan dari BPS, Pemkab Sidoarjo,  kelurahan, dan perwakilan warga.

    Data miskin itu, lanjut Mahmud, seharusnya diupdate terus. Sebab, warga miskin untuk korban lumpur Lapindo bersifat dinamis.

    Dia mencontohkan, ada warga yang sebelum terjadi tragedi lumpur, termasuk warga mampu. Namun, setelah  terjadi semburan lumpur, menjadi miskin. Ada juga warga yang masuk kriteria kaya setelah menerima ganti rugi dari Lapindo, tapi kemudian jatuh miskin karena membengkaknya kebutuhan hidup. “Inilah yang perlu selalu dilihat dan diantisipasi,” tuturnya.

    Pendataan terakhir dilakukan pada 2011. Padahal, saat itu sudah banyak warga miskin korban lumpur yang tidak tercover jaminan kesehatan, yang saat itu masih bernama Jamkesmas.  “Kami meminta agar ada pemutakhiran data dalam waktu dekat,” tegasnya.

    Informasinya, pada 2014 ini akan ada pendataan ulang. Dia berharap Pemkab Sidoarjo mendorong BPS agar lebih teliti dalam mendata warga korban lumpur. Dia menilai, permasalahan di sana tidak sama dengan daerah lain yang juga menjadi obyek pendataan.

    Permasalahan lain yang dianggap menyulitkan pendataan adalah tersebarnya domisili warga korban lumpur.  “Masalah ini memang sangat teknis. Tetapi, mereka kan tetap warga Sidoarjo meskipun tinggal di daerah lain. Apalagi, mereka tidak akan melepas status warganya karena masih terkait dengan proses ganti rugi,” ungkap politikus PAN itu.

    Untuk sementara, Mahmud menyarankan agar warga menggunakan SKTM untuk mendapatkan layanan kesehatan. Layanan kesehatan juga bisa dilakukan di puskemas.

    Korban Lumpur Lapindo Bertahan dengan Jimpitan Sehat

    Para korban lumpur Lapindo terus berharap bisa menikmati layanan  kesehatan gratis dari negara yang kini ditangani Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Tapi, karena tidak mau mati dalam ketidakpastian, mereka membentuk lembaga pendanaan mandiri, Jimpitan Sehat.

    Komunitas Ar-Rohma membuat terobosan dengan menggarap model pendaanaan swadaya untuk membantu biaya pengobatan. Tidak besar memang dana yang bisa dibagikan, tapi manfaatnya cukup dirasakan para anggota komunitas itu.

    Ar-Rohma beranggotakan korban lumpur dari empat desa,  Jatirejo, Siring, Reno Kenongo, dan Kedung Bendo, yang lenyap terkubur lumpur Lapindo.

    Dana pengobatan itu mereka namakan dana Jimpitan Sehat. Sesuai namanya, dana itu mereka ambil kecil-kecilan secara rutin dari para anggotanya. “Kami bertemu dua minggu sekali. Nah di pertemuan itu, ada jimpitan lima ribu rupiah. Namanya Jimpitan Sehat,” kata Saropah, Selasa (27/5/2014).

    Saropah dulu tinggal di  Jatirejo. Tapi sejak 2006, ia harus membawa keluarganya mengungsi setelah rumahnya terkubur lumpur.

    Saropah kini tinggal di Pasuruan bersama suami dan tiga anaknya. Meski tinggal di Pasuruan, Saropah dan suaminya, Sulastro, setiap hari tetap bertandang ke lokasi lumpur Lapindo.  Hidupnya masih bergantung di desa kelahirannya itu. Bedanya dulu, hidupnya bergantung  pertanian sawahnya, kini bergantung pada wisatawan lumpur Lapindo. Persisnya, jasa ojek untuk melayani pengunjung lumpur. Kalau beruntung, rezekinya bisa bertambah lewat VCD lumpur yang ia jajakan untuk pengunjung.

    Beberapa kali Saropah terbantu  Jimpitan Sehat itu. Itu ia rasakan  ketika melahirkan anak ketiganya. Juga ketika seorang anaknya harus berobat di puskesmas. Satu lagi, manfaat jimpitan kesehatan itu dirasakan ketika orangtuanya meninggal. Ya, Jimpitan Sehat juga mengcover biaya kematian.

    “Bantuannya memang ala kadarnya. Tetapi itu cukup membantu meringankan kami. Setidaknya bisa buat beli obat atau buat transport saat berobat,” ujarnya

    Sulit Peroleh Layanan Kesehatan, Korban Lapindo Dilarang Sakit

    kerajinan 06

    Di Komunitas Ar Rohmah, lanjut Saropah, selain terdapat penghimpunan Jimpitan Sehat, juga telah dibentuk koperasi kecil-kecilan. Di koperasi itu, para anggota yang berjumlah sekitar 30 orang, bisa meminjam uang sewaktu-waktu saat benar-benar membutuhkan.

    Ketua Komunitas Ar Rohmah, Harwati (39), menyebutkan, komunitas yang dia kawal itu saat ini lebih fokus pada upaya penanganan kesehatan dan ekonomi korban lumpur Lapindo yang menjadi anggota. Selain melalui Jimpitan Sehat dan koperasi, di komunitas tersebut para anggota juga kerap menggelar pelatihan usaha.

    “Ada pelatihan membuat kerajinan tangan seperti menyulam dan merajut. Hasilnya beberapa kali kami ikutkan pameran dan dijual. Keuntungannya juga buat anggota,” papar Harwati.

    Upaya Harwati mendorong perbaikan kesehatan warga korban lumpur Lapindo di Komunitas Ar Rohmah didorong masih banyaknya korban yang belum dimasukkan dalam Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) sehingga menyebabkan mereka kesulitan memperoleh layanan BPJS Kesehatan.

    Harwati sendiri mengaku terinspirasi dari perjalanan hidupnya. Tahun 2008 silam, warga Siring yang kini hijrah ke Desa Candipari tersebut kehilangan suaminya, Muhtadi, karena kanker ulu hati. Saat meninggal, Muhtadi berusia 42 tahun.

    Kematian Muhtadi sempat menyisakan kenangan pahit bagi Harwati. Sebelum meninggal, RSUD Sidoarjo menolak merawat Muhtadi. Alasannya, Lapindo Brantas belum menyelesaikan tunggakan ke RS. Padahal, satu-satunya kesempatan berobat ketika itu adalah menggunakan bantuan pengobatan yang diberikan Lapindo.

    “Dari kejadian itu, saya sering kali kesal kalau mendengar ada orang miskin yang kesulitan dapat pengobatan. Kesannya seperti orang miskin memang benar-benar dilarang sakit,” pungkasnya.

    sumber: Liputan Khusus Harian Surya

  • Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    Jelang 8 Tahun, Korban Lapindo Pasang 110 Patung

    TEMPO.CO, Sidoarjo – Puluhan warga lumpur Lapindo sejak pagi bergotong royong membawa patung manusia untuk diletakan di Titik 21, Desa Siring, Kecamatan Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin 26 Mei 2014. Patung-patung itu guna memperingati delapan tahun semburan lumpur Lapindo.

    Seniman yang memotori pembuatan patung, Dadang Christanto menjelaskan patung yang dibuatnya sejak satu bulan yang lalu sudah terkumpul sekitar 110 dan semua patung itu akan diletakan di tanggul. “Semuanya berjumlah 110 patung yang akan kami pasang,” kata dia kepada Tempo di sela-sela pemasangan patung, Senin, 26 Mei 2014.

    Jumlah 110 itu, kata dia, tidak ada makna filosofi khusus karena para korban lumpur Lapindo yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan patung hanya mampu membuat sebanyak itu. “Kami tiap hari bisa menghasilkan 4 sampai 5 patung,” kata dia.

    Sementara simbol patung, menurut Dadang, merupakan simbol bahwa korban lumpur meskipun delapan tahun ditelantarkan oleh pihak perusahaan PT Minarak Lapindo Jaya dan pemerintah, mereka masih bisa bertahan hidup dan masih bisa bertahan. “Inilah orang-orang pilihan yang sangat hebat,” kata dia.

    Patung tersebut dibuatnya berpasang-pasangan untuk menunjukan suatu keluarga korban lumpur, tangannya menengadah keatas menunjukan permohonan ganti rugi yang kian dilunasi sejak delapan tahun silam. “Namun untuk lebih lengkapnya nanti setelah pemasangan ini selesai akan ada maknanya semuanya,” ujar dia.

    Seniman yang saat ini tinggal di Australia ini menjelaskan bahwa aksi pagelaran patung itu merupakan aksi lanjutan dari aksi yang digelarnya pada tahun 2008 tahun silam. “Sehingga ini ada makna korelasi nanti.”

    Menurut Dadang, patung itu akan bertahan sekitar 4 bulanan karena campuran dari lumpur dan semen sehingga dipastikan dapat bertahan. “Yang saya khawatirkan malah bambu yang membuat patung itu berdiri,”katanya.

    Patung-patung itu dijadwalkan pemasangannya selama dua hari sejak pagi ini, sampai berita ini diturunkan mereka masih mampu memasang sekitar 20 patung manusia. Pemasangan itu terbilang sulit pasalnya ditancapkan pada bambu supaya patung itu bisa berdiri.

    MOHAMMAD SYARRAFAH

    Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/05/26/058580387/Jelang-8-Tahun-Korban-Lapindo-Pasang-110-Patung