Tag: siring barat

  • Yustini Sudah Capek Berpindah-Pindah

    “Di tempat lama, kemana-mana dekat. Depan rumah sudah ada bis. Sekarang kemana-mana jauh, sepi lagi,” tutur Yustini (27 tahun).

    Yustini termasuk korban yang masuk di dalam Perpres 40 Tahun 2009. Dia tinggal di Siring (Barat). Di rumah lama itu, suami Yustini, Iyan Riyawangsa, membuka bengkel. Waktu itu penghasilan dari bengkel mencapai 350-400 ribu rupiah per minggu.

    Setelah sempat pindah kontrakan berkali-kali, Yustini dan keluarganya sekarang pindah dan menetap di Pamotan. Dari Siring Barat keluarga Yustini pindah ke sebuah rumah mewah di Simo selama satu tahun, tapi tidak betah. (more…)

  • Ike Masih Bertahan di Siring Barat

    Sejak 2009 rumah Ike teridentifikasi sebagai daerah terdampak lumpur. Rumahnya bersebrangan dengan tanggul lumpur yang ada saat ini. Persis di pinggir Jalan Raya Porong, tempat lalu-lalang truk pengangkut barang. Begitu proses pembayaran penjualan rumah itu lunas, permasalahan Ike berawal.

    Berikut cerita Ike:

    Rumah ini sebetulnya adalah milik [aset] nenek saya sebetulnya. Rumah ini diwariskan ke lima-bersaudara (termasuk ibu saya). Oleh karena itu, uang ganti rugi dari Lapindo dibagi lima saudara ibu saya. Karena yang paling lama tinggal di rumah ini adalah ibu saya, seharusnya ibu saya yang mendapat bagian lebih besar. (more…)

  • Korban Lapindo Mengadu ke Komnas HAM

    SIDOARJO – Rombongan korban lumpur Lapindo berangkat ke Jakarta, untuk menagih janji pembayaran ganti rugi bagi dan dampak sosial lainnya. Rombongan terdiri dari 11 perwakilan korban lumpur bersama Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo. “Kami tak mendapat jaminan hidup seperti dijanjikan sebelumnya,” kata Edi Pasopang warga Desa Siring Barat, Selasa (23/3).

    Edi menyatakan seluruh warga tetap bertahan agar mendapat jaminan hidup serta ganti rugi yang layak. Meski, kawasan tersebut dikategorikan daerah berbahaya dan rawan untuk hunian. Untuk mendukung perwakilan korban lumpur, sebanyak 300 an warga Siring Barat menggelar doa bersama dan istighotsah di Balai Desa setempat.

    Menurutnya, perwakilan korban lumpur ini mewakili tiga kelompok kepentingan. Di antaranya, warga Siring Barat yang menagih janji jaminan sebesar Rp 300 ribu per jiwa. Warga Desa Mindi yang menuntut agar seluruh warga di 18 RT dimasukkan dalam peta terdampak. Serta warga Desa Besuki yang berada di timur tol agar dimasukkan dalam peta terdampak alasannya, pemukiman warga berdekatan dengan tanggul dan berbahaya.

    Warga Desa Mindi menuntut agar Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo untuk mensurvei ulang penerima bantuan. Selain itu, Badan Pertanahan Nasional juga diminta untuk mendata dan mengukur ulang tanah yang berada di Desa Mindi. Desa Mindi terjepit antara tanggul penampung lumpur Lapindo serta sungai Porong. Akibatnya, kini nilai aset warga terus merosot tak terkendali. Bahkan, sejumlah perbankan menolak memberikan pinjaman dengan jaminan lahan dan bangunan di sekitar Desa Mindi.

    Rencananya, perwakilan korban Lapindo dan Pansus lumpur Lapindo akan mengadukan masalah ini ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Dewan Perwakilan Rakyat, Kementerian Pekerjaan Umum dan Dewan Pengarah Badan Penanggolangan Lumpur Sidoarjo. “Kami akan memberikan fakta dan bukti kondisi korban yang sebenarnya,” kata ketua Pansus Lumpur Lapindo, Sulkan Wariyono.

    Panitia Khusus Lumpur Lapindo Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sidoarjo juga menagih janji PT Minarak Lapindo Jaya untuk menyelesaikan dampak sosial yang ditimbulkan luapan lumpur Lapindo. Di antaranya membangun gedung sekolah, memperbaiki pasar baru Porong, sarana umum dan fasilitas sosial lainnya. “Banyak program dan pembangunan yang menjadi tanggungan PT Minarak Lapindo Jaya mandeg di tengah jalan,” katanya. (EKO WIDIANTO)

    (c) TEMPO Interaktif

  • Warga Tolak Padamkan Semburan Api

    Sidoarjo – Surya-Warga Desa Siring Barat RT3/RW1 Kecamatan Porong, dikagetkan dengan munculnya semburan api di tempat semburan liar, tepatnya di Jl Flamboyan, Selasa (19/8) pagi. Namun warga melarang BPLS atau petugas lainnya, memadamkan semburan api tersebut. Sebab, agar pemerintah tahu kalau kawasan Siring Barat memang sudah tidak layak dihuni manusia.

    Bambang Kuswanto, koordinator warga Desa Siring Barat menuntut agar BPLS bertanggungjawab terhadap kejadian ini.

    Menurutnya, kondisi lingkungan dan munculnya semburan liar di kawasan Desa Siring Barat ini sudah cukup membuat warga resah. Sebab selain semburan liar, saat ini banyak rumah warga mengalami retak-retak. “Kami sudah sangat resah dengan banyaknya semburan liar, sekarang malah menyemburkan api,” tambahnya.

    Ny Asih salah satu warga Siring Barat, mengatakan ia dan keluarganya resah dengan semburan liar yang memunculkan api tersebut. Jika tidak ada penanganan dan respon dari pemerintah, warga mengancam akan menutup jalan. “Kami akan turun jalan menutup jalan sampai kapanpun,” kata Ny Asih, yang tempat tinggalnya berada paling dekat dengan lokasi semburan liar.

    Humas BPLS Akhmad Zulkarnain mengatakan, memahami keresahan warga. “Semua semburan liar yang ada di wilayah Siring, mendapat perhatian dan penanganan khusus dari kami (BPLS),” kata Zulkarnain.

    Dewan pengarah pansus lumpur DPRD Sidoarjo, Jalaludin Alham yang kemarin melihat ke lokasi mengatakan kawasan Siring Barat harus mendapat perhatian karena tidak layak huni.

    “Kondisi ini sangat membahayakan, masak harus menunggu korban lebih dulu,” urai Jalaludin. (iit)

    © Surya

  • Gas Liar di Siring Barat

    Gas Liar di Siring Barat

    korbanlumpur.info – Seumur hidup Sumargo, 38 tahun, tak pernah membayangkan ada gas bisa keluar dari dalam rumahnya. Selama ini dia hidup tenang bersama istri tercintanya Muslimah, 29 tahun, dan anaknya yang tampan Nur Mudian, 11 tahun. Mereka menempati rumah kecil sederhana di RT 01/01 Kelurahan Siring Barat, Porong, Sidoarjo.

    Di Siring Barat ada empat RT 1, 2, 3 dan 12. Sementara delapan RT lainnya berada di Siring Timur. Antara Siring Timur dan Siring Barat dipisahkan oleh rel kereta api dan jalan tol yang menghubungkan kota Surabaya dan dengan Malang. Kini, pemisah mereka ditambah lagi satu yakni tanggul lumpur Lapindo tepat di sebelah rel.

    Delapan RT di Siring Barat telah menjadi kampung mati karena terendam lumpur Lapindo. Para penduduknya telah tercecer ke mana-mana. Sedangkan empat RT ini masih bertahan hidup dengan lingkungan yang buruk. Air bersih tercemar dan bau lumpur menyengat dihirup warga empat RT ini. Delapan RT ini masuk dalam peta yang tanahnya akan dibeli Lapindo sedang empat RT tidak masuk peta.

    Orang-orang di delapan RT tersebut baru mendapatkan ganti rugi 20 persen sementara 80 persennya masih belum dibayar Lapindo. “Kami baru dibayar dua puluh persen, dan delapan puluh persennya masih gantung,” tutur Cak Rois, salah seorang warga Siring Timur yang rumahnya terendam lumpur.


    Belakangan, di empat RT ini muncul semburan-semburan gas liar yang menakutkan warga karena terkadang disertai percikan api. Gas-gas ini muncul sembarangan bahkan sampai di dalam rumah warga salah satunya di dalam rumah Sumargo. 

    Saya ketemu Sumargo sekeluarga, Rabu pagi, dia menunjukkan tempat gas itu muncul, yakni tepat di depan pintu rumahnya. Gas ini keluar dari retakan kecil di lantai rumahnya yang diplaster. Awalnya mereka hanya mencium bau gas yang menyengat dan selanjutnya mereka takut menggunakan api, tak berani memasak di lantai. Kalau gas ini di sulut mereka akan keluar api.

    Sumargo mempraktekkannya dengan menyulutkan api dari korek dan api menyala persis kayak sulap. Saya terkejut.

    Sejak gas liar itu keluar Sumargo menjadi was-was dan hidupnya dan keluarganya jadi tidak tenang. Sebelumnya semburan gas liar ini ditemukan di beberapa tempat di empat RT di Siring Barat. Salah satunya di tanah milik Amari, 200 meter dari rumah Sumargo, semburan gas di tempat ini lebih besar bahkan bisa digunakan untuk memasak.

    Warga menjadi gelisah dan menuntut supaya pemerintah memperhatikan hal ini. Mereka menuntut diperlakukan sama dengan warga Siring Timur yang masuk peta dan mendapatkan ganti rugi. Berkali-kali mereka mengajukan tuntutan ke Bupati bahkan empat kali ke presiden namun tak juga ada respon balik.


    Pada tanggal 19 Agustus 2008 kemarin semburan baru muncul Siring Barat. Tempatnya di perbatasan tanah milik Toni dan Hubyo.

    Semburan gas ini mulai muncul setahun lalu dan penduduk Siring Barat sudah mengeluhkan hal ini pada pemerintah. Selama ini mereka bersabar menunggu dan mereka sudah jengkel. Mereka mengancam kalau misalnya dua bulan ke depan tidak ada kepastian dari pemerintah mereka akan turun ke jalan. Mereka berani mati untuk memperjuangkan hak mereka.

    “Wis rak wedi mati nek koyo ngene, sudah tidak takut mati kalau begini,”” tutur Ibu Hartini 53 tahun warga Siring Timur pada saya.

    IMAM SHOFWAN